286 Views
Kader Pengawasan Partisipatif
Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.[1]
Proses dan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) berintegritas dan bermartabat merupakan tujuan ideal dari pembentukan UU No10/2016 (UU Pemilihan), berupa adanya proses yang melibatkan stakeholders pemilihan dalam mencegah dan menindaklanjuti setiap pelanggaran secara jujur dan adil. Hingga lahir pemimpin pilihan rakyat (pemilih) untuk merealisasikan janji-janji politik yang disampaikan saat kampanye lalu. Dikatakan sebagai Pilkada berintegritas dan bermartabat jika pelaksanaan pemilihan memenuhi standar prinsip transparansi proses, prinsip akuntabilitas, dan akses publik menguji kebenaran proses dan hasil, serta prinsip partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip ini menjadi satu-kesatuan sistem yang berkolaborasi dalam pencapaian tujuan dari pelaksanaan Pilkada.
Kedudukan dari prinsip partisipasi masyarakat dalam negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem politiknya, adalah mutlak. Dikatakan demokratis jika secara langsung maupun tidak langsung masyarakat terlibat dalam pengambilan kebijakan politik termasuk mengawal pelaksanaan kebijakan tersebut. Dalam penyelenggaran Pilkada, bentuk partisipasi masyarakat dapat diidentifikasi lewat giat sebagai pemilih menggunakan hak memilihnya di tempat pemungutan suara, menyatakan sikap atau dukungan, mencegah terjadinya kecurangan, dan melaporkan kepada instansi berwenang saat mengetahui atau menemukan terjadinya kecurangan.
Partisipasi Masyarakat
Proses Pilkada berintegritas dan bermartabat telah menggiring pandangan akan adanya keterlibatan masyarakat secara partisipatif. Sehingga penyelenggaraan Pilkada dimaknai sebagai rutinitas politik yang bukan hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara pemilu saja, tetapi juga menegaskan partisipasi masyarakat agar ambil bagian mewujudkan tujuan dan keadilan pemilihan. Pada posisi ini, masyarakat sebagai pemilih, bukan hanya sebagai pihak yang selalu diperebutkan suaranya menjelang hari pemungutan suara, tetapi masyarakat juga berperan dalam pelaksanaan penyelenggaraan sesuai porsi kedudukannya masing-masing. Misalnya melakukan pengawasan pemilihan, menyatakan sikap, menyampaikan himbauan, mencegah terjadinya pelanggaran, dan melaporkan jika terjadi pelanggaran kepada pihak berwenang.
Partisipasi masyarakat ini akan melintasi batas-batas struktur stakeholders Pilkada, artinya masyarakat mengawasi tahapan penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu, mengawasi sepak-terjang kontestasi peserta pemilihan, mengawasi netralitas ASN dan aparat birokrasi, bahkan melakukan langkah pencegahan di dalam kehidupan masyarakat untuk senantiasa taat pada koridor ketentuan hukum. Partisipasi seperti ini lahir atas rasionalitas-kolektif bermasyarakat dan bernegara yang dijamin pelaksanaannya dalam sistem negara.
Pembangunan partisipasi masyarakat dalam Pilkada, dapat berupa kolaborasi dalam kegiatan penyelenggaraan yakni sosialisasi, diskusi, pernyataan dukungan, dan himbauan. Kegiatan semacam ini, cepat atau lambat akan disambut, yang pada giliran akan melahirkan individu dan komunitas yang memiliki visi searah dengan kerja-kerja penyelenggara pemilu. Dengan kesadaran kolektif mereka ikut berkontribusi menyukseskan tahapan pemilihan, mendorong lahirnya pemimpin berintegritas dan memiliki kapasitas handal lewat proses penyelenggaraan pemilihan yang jujur dan adil.
Individu dan komunitas seperti ini, jika dikonsolidasikan secara tepat akan menjadi kekuatan besar. Membantu kerja-kerja penyelenggaraan Pilkada, khususnya Bawaslu sebagai bagian dari penyelenggara pemilu. Sebab, pengawas pemilihan yakni Bawaslu dengan sumber daya terbatas, ditambah waktu penanganan pelanggaran yang singkat, serta wilayah pengawasan yang luas, tentu akan menyulitkan kegiatan pengawasan langsung dan melekat. Tetapi ketika ada kehadiran stakeholders yang terdiri dari individu dan komunitas potensial tadi, menjadi potensi kekuatan besar yang sinergi dengan kerja-kerja pengawasan pemilihan.
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilihan menurut Gunawan Suswantoro bertujuan agar masyarakat tidak hanya menjadi objek pemilihan yang suaranya diperebutkan oleh kontestan peserta Pilkada, tetapi masyarakat juga berperan aktif sebagai subjek dengan terlibat dalam menjaga integritas penyelenggaraan pemilihan.[2] Dalam posisi ini, masyarakat memahami arti hak pilih yang disalurkan secara rasional, termasuk menjaga kontestasi pemilihan agar tidak ternodai-terciderai dengan kecurangan. Mereka memiliki sikap dan tindakan menolak kecurangan dan siap menjadi pihak yang aktif memberikan laporan atau informasi awal terjadinya pelanggaran pemilihan kepada pihak berwenang, misalnya kepada pengawas pemilu (Bawaslu atau jajarannya).
Kader Pengawasan Partisipatif
Potensi kecurangan dalam proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) bisa saja terjadi di segala titik wilayah yang demikian luas, sementara jumlah sumber daya manusia pengawas pemilihan masih sangat terbatas. Pada posisi inilah, peran strategis dari individu dan komunitas yang lahir dari kaderisasi sekolah kader pengawasan partisipatif, untuk berkolaborasi dengan kerja-kerja pengawas pemilu dalam melakukan pencegahan pelanggaran, dan melaporkan jika ditemukan pelanggaran pemilihan kepada Bawaslu atau jajarannya di daerah.
Sekolah kader pengawasan partisipatif diinisiasi untuk mendekatkan pengawasan Pilkada ke dalam kehidupan sosial masyarakat. Berupa menciptakan kantong-kantong atau simpul-simpul pengawasan potensial di semua lapisan masyarakat, yakni menjadi mata dan telinga pengawas pemilihan. Pasalnya pengawas pemilu merupakan potensi kekuatan masyarakat yang dilembagakan dan dibiayai oleh negara, sehingga pengawas pemilu tidak boleh lupa dari mana ia berasal dan bekerja untuk apa. Hingga pengawas pemilu merupakan satu kesatuan entitas yang menyatu dengan kekuatan masyarakat, yang menjamin proses pergantian pemimpin dapat berlangsung secara jujur dan adil.
Melalui pola materi pendidikan yang diberikan kepada peserta sekolah kader, sekolah kader pengawasan partisipatif diharapkan akan menghasilkan lulusan yang memiliki potensi untuk menjadi kader pengawas pemilihan di daerah masing-masing. Dengan spesifik, memiliki integritas dan kapasitas dalam pelaksanaan kerja-kerja penyelenggaraan pemilihan, khususnya dalam berkolaborasi dengan pengawasan pemilu mewujudkan keadilan pemilu. Bukan hanya itu peserta juga dilatih untuk menjadi pemimpin di masa yang akan datang, baik di jajaran Bawaslu sendiri maupun di dalam komunitasnya di dalam struktur sosial masyarakat.
Secara teknis kerja-kerja kader pengawasan partisipatif ini bisa dilakukan melalui media-media yang akrab dan digemari khalayak ramai. Bentuknya bisa di media elektronik maupun media cetak termasuk media sosial. Pesan juga dapat disampaikan secara langsung, misalnya lewat selebaran, stiker dan lainnya pada momen kegiatan. Jaringan (networking) personal dan kelembagaan yang selama ini sudah terbangun, juga sangat potensial digunakan. Kerjasama saling menguntungkan titik temunya. Pesan pengawasan pemilihan ini perlu akomodatif sesuai dengan segmen sasaran. Kreatifitas guna merangkai materi dan substansi pesan sangat menentukan keberhasilan, agar pesan diterima secara baik. Selain itu, pesan juga perlu memperhatikan kultur masyarakat setempat, agar pesan diterima dan tidak malah menimbulkan bumerang yang kontra produktif dengan kerja-kerja pengawasan.
Dimensi Manfaat
Pengawasan partisipatif pemilihan digerakkan oleh Bawaslu dan jajaran pengawas pemilu yang berkolaborasi dengan potensi masyarakat, yakni individu dan komunitas yang ambil bagian dalam pencegahan pelanggaran dan melaporkan jika ada pelanggaran pemilihan kepada instansi berwenang. Individu dan komunitas ini bekerja dengan semangat kerelawanan, sehingga disebut dengan “relawan”. Menjadi relawan bisa lahir dari kesadaran internal maupun campur tangan pihak tertentu pembentuk jiwa kerelawanan.
Bawaslu lewat kegiatan sekolah kader pengawasan, berobsesi melahirkan relawan yang merupakan kader–kader potensial pengawasan partisipatif. Relawan atau kader ini memiliki pengetahuan memadai menyangkut urgensi dan tujuan pengawasan guna suksesi penyelenggaraan pemilihan, secara teknis mampu mengisi alat kerja pengawasan. Relawan ini bergerak dengan rasionalitas untuk mencegah potensi pelanggaran, memberikan informasi awal dan melaporkan jika ada pelanggaran pemilihan kepada Bawaslu/Panwaslu. Pada intinya relawan ingin memberikan bukti nyata melalui sikap dan tindakan produktif berupa ambil bagian dalam penyelenggaran rutinitas kontestasi pemilihan.
Gerakan pengawasan partisipatif melalui kegiatan sekolah kader yang digagas Bawaslu sesuai arahan Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) akan berdimensi ganda manfaat. Pertama, mendorong gerak masyarakat terlibat dalam mengawal proses penyelenggaraan dan hasi pemilihan. Peran masyarakat ini tidak lagi sebatas memberikan hak pilih di TPS saja, tetapi cakupan lebih luas yakni ingin menjamin pelaksanaan Pilkada taat asas dan hasilnya berupa lahirnya pemimpin yang memperoleh legitimasi rakyat daerah.
Kedua, peningkatan kapasitas sumber daya masyarakat. Ketika pengawasan partisipatif di kampanyekan, tentu relawan terlebih dahulu belajar, menguasai materi muatan lalu menyampaikan ke sesama masyarakat. Dalam konteks ini, pengetahuan seputar Pilkada bukan hanya menjadi konsumsi penyelenggara pemilu saja, tetapi telah menjadi pengetahuan para pihak (masyarakat) yang pada akhirnya ikut membantu pembangunan demokrasi.
Akhirnya, peran masyarakat secara partisipatif melalui gerak relawan bersama pengawas pemilu untuk memerangi praktik politik pragmatis-transaksional dapat dilakukan. Melalui kekuatan dan potensi tersebut, diharapkan perilaku pelanggaran seperti politik uang, manipulasi, pencurian suara, ujaran kebencian dan pelanggaran pemilihan lainnya dapat dicegah. Termasuk ditindak agar memiliki efek jera pada pelaku dan sekaligus sebagai peringatan bagi yang ingin coba melanggar.
[1] Penulis adalah Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah Periode 2017-2022.
[2] Gunawan Suswantoro, 2016, Mengawal Penegak Demokrasi di Balik Tata Kelola Bawaslu & DKPP, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 115.