Ketika Ateis Berkurban untuk Partikel Tuhan (Higgs Boson)
Oleh : Saeful Ihsan (Penulis Buku dan Novel)
Bagi orang muslim, mendekatkan diri kepada Allah di hari raya Haji atau Idul Adha itu mudah. Cukup patungan tujuh orang membeli seekor sapi lalu menyembelihnya. Dagingnya dibagikan ke fakir dan miskin. Namanya ibadah kurban. Suatu ibadah yang diilustrasikan dalam kisah penyembelihan nabi Ibrahim terhadap anaknya, Ismail (versi Alkitab menyebut Ishak, putera Ibrahim yang lain), dan kemudian sembelihan itu diganti dengan seekor kibas.
Mengapa saya katakan mudah? Karena orang Islam sudah menemukan Tuhan dan meyakininya. Keyakinan itu mesti diperkuat dengan melaksanakan segala perintah yang terkandung di dalam kitab suci Alquran, dan hadits nabi Muhammad saw. Salah satunya dengan berkurban. Kurban sendiri merupakan peng-Indonesia-an dari “Qurban”, asal katanya Qaraba. Bentuk lainnya adalah (Q)karib yaitu dekat. Kurban berarti mengorbankan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam konteks hari raya Idul Adha, kurban adalah pengorbanan yang disimbolkan dengan menyembelih sapi, kibas, kambing, dan domba.
Kesulitannya hanya terletak pada yang belum mampu secara ekonomi saja. Tetapi bagi yang masih memiliki kelebihan uang, patungan tujuh orang untuk satu ekor sapi itu terhitung mudah.
Lain halnya dengan mereka yang ateis. Jangankan bisa mendekatkan diri, menemukan Tuhan saja belum. Penelitian mutakhir pencarian jejak Tuhan di alam semesta adalah dikembangkannya Higgs Mechanism pada tahun 1960-an dan ditemukannya Higgs Boson dengan massa baru pada tahun 2012 oleh Peter W. Higgs–peraih nobel fisika tahun 2013–bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam Tim eksperimen ATLAS dan CMS. Higgs Boson juga disebut partikel Tuhan, atau anti-matter (anti materi).
Partikel Tuhan? Mungkin ini agak menyinggung kita, golongan yang ber-Tuhan. Tetapi itulah keyakinan mereka, penamaan itu berangkat dari sana. Ateis punya definisi sendiri tentang Tuhan, berbeda dengan kaum teis. Jangankan itu, definisi Tuhan di kalangan teis sendiri, antara satu dan lainnya berbeda-beda.
Walau agaknya terlalu percaya diri tidak meyakini adanya Tuhan, kaum ateis itu diam-diam penasaran dengan Tuhannya orang-orang beragama. Upaya mereka untuk membuktikan ketiadaan Tuhan saja–dan itu sangat kentara disengaja–sudah membuktikan bahwa membicarakan Tuhan itu penting.
Para ateis itu berlindung di bawah kedigdayaan sains, apalagi di Abad ke 21 ini. Mereka lebih percaya pada sains tinimbang agama. Sains, taruhlah ala Popperian yang katanya lebih baik mengedepankan kebenaran ketimbang menjanjikan kepastian, digunakan untuk menantang kebenaran keyakinan kaum teis.
Stephen Hawkings mengatakan bahwa “filsafat telah mati–apalagi teologi.” Lalu kemudian membangga-banggakan sains yang memberikan jawaban-jawaban yang dibutuhkan di masa kini ketimbang filsafat dan agama, barang yang sudah ketinggalan jaman itu. Lalu berdasarkan argumentasi saintifik tentang alam semesta, terutama penemuan lubang hitam (black hole) berupaya membutikan bahwa Tuhan tidak ada.
Richard Dawkins adalah ateis selanjutnya yang begitu mati-matian menyajikan ketiadaan Tuhan lewat “God Delusion”. Kaum agamawan di matanya adalah orang-orang pongah dan suka bikin ribut lantaran keyakinannya ditentang.
Saya melihat, seolah-olah orang-orang ateis itu ingin berkata begini: “Cobalah yang rasional sedikit, buktikan kalau Tuhan itu ada. Coba dong patahkan argumentasi sains.” Lalu, setelah itu apakah setelah tantangan mereka dipenuhi dan mereka kalah akan berkata, “Itu baru namanya jawaban, kalau begitu saya percaya?”
Agus Mustofa, penulis buku-buku serial “Tasawuf Modern”, yang juga lulusan Teknik Nuklir itu menjawab: “Tidak!” percaya atau tidak percaya adanya Tuhan itu hanya berdasarkan suka atau tidak suka. Pembuktian hanyalah sebuah alasan untuk memperkuat kesukaan atau ketidaksukaan. Telah banyak argumentasi yang disampaikan, tetap saja berupaya dibantah dengan mengajukan argumentasi-argumentasi baru.
Ada anomali di kalangan mereka. Di satu sisi tidak percaya akan adanya Tuhan, tetapi pada sisi yang lain tetap saja mendefinisikan Tuhan. Adanya istilah partikel Tuhan (God Particle)–pertama kali dimunculkan oleh Leon Lederman pada tahun 1994–berarti kata “Tuhan” nya telah didefinisikan terlebih dahulu. Nampaknya Tuhan yang dibayangkan adalah materi yang memiliki unsur penyusun terkecil bernama partikel. Sebuah benda subatomik–bagian-bagian kecil dalam struktur atom.
Tetapi bisa saja maksudnya bukan begitu. Mungkin saja penggunaan kata “Tuhan” adalah sebuah sindiran, untuk menyatakan bahwa partikel ini “mahakuasa” (saya menggunakan huruf “m” kecil di awal kata) atas materi. Higgs Boson atau partikel Tuhan itu adalah pemberi massa kepada materi, yang jika tanpanya, materi tak akan memiliki massa.
Partikel subatomik sendiri, terutama partikel Higgs Boson ini patut dicurigai adalah sebuah jawaban spekulatif atas kebingungan para ilmuan tentang struktur atom yang ditemukan belakangan.
Einstein mula-mula mengatakan bahwa benda terkecil di alam semesta adalah atom. Tahun 1899, J.J. Thompson datang membeberkan bentuk atom seperti bola pejal. Kemudian Rutherford di tahun 1911 menemukan ternyata di dalam atom masih ada inti yang bermuatan positif, dikelilingi oleh elektron bermuatan negatif. Neihls Bohr dua tahun kemudian menemukan, bahwa di dalam atom ada kulit-kulit serupa lintasan tata surya. Di masa yang lebih modern, Erwin Schrodinger menerangkan bahwa atom hanya bisa dijelaskan dengan teori mekanika kuantum yang bergantung kepada teori “ketidakpastian Heisenberg”.
Agus Mustofa mengomentari tentang teori atom paling mutakhir ini. Katanya, para saintis hanya mampu berhenti pada partikel subatomik. Ketika sampai pada level partikel penyusun atau “quark”–kata Agus Mustofa–para ilmuwan tak mampu lagi menangkap bentuknya. Terkecuali para ilmuwan tadi terpaksa menggunakan iman untuk memercayainya ada. Artinya para ilmuwan menganggapnya ada saja, meski tak mengetahui persis bagaimana bentuknya–mereka terpaksa beriman pada ketakjelasan substansi atom itu.
Satu hal yang belum bisa dijawab ilmuwan tentang partikel subatomik, yakni dualitas elektron. Elektron memiliki sifat materi sekaligus gelombang. Agus Mustofa meragukan ini, bagaimana mungkin di saat yang sama, materi adalah gelombang, padahal materi bukan gelombang? Materi itu kuantitas sedang gelombang itu kualitas. Bagaimana mungkin di saat yang sama kuantitas juga adalah kualitas?
*
Mendekatkan diri kepada Tuhan hanyalah sebuah bahasa untuk semakin mempertautkan hati kepada sang pencipta. Secara dzati Tuhan itu sangat dekat sekali, lebih dekat dari urat nadi. Dalam dunia filsafat Islam, Tuhan (Allah) adalah wahdatul wujud. Satu-satunya wujud yang ada. Adapun hubungannya dengan makhluk adalah pada tingkatan atau gradasinya. Yang tertinggi adalah wujud Tuhan dan yang terendah adalah materi murni.
Pemikiran seperti ini misalnya bisa kita lacak pada Alfarabi tentang emanasi, ataukah “ashalatul wujud” yang lebih mutakhir pada Mulla Shadra (Shadruddin al Shirazi).
Tetapi bagi kaum ateis, Tuhan itu jauh sekali dari kriteria ada. Umur alam semesta sudah sedemikian tuanya–bermilyar tahun yang lalu–yang ditemukan baru partikel Tuhan, Tuhannya sendiri belum ditemukan. Mereka memaksa supaya mata mereka bisa melihat Tuhan, barulah bisa dipercaya Tuhan itu ada. Sedang jejak Tuhan di alam adalah bukanlah teori yang bisa dipercaya umat manusia secara universal.
Partikel Tuhan atau Higgs Boson yang ditemukan Peter W. Higgs memang belum dibantah oleh temuan yang baru. Higgs Boson adalah partikel dasar yang diyakini merupakan asal usul alam semesta, ia pemberi massa kepada materi.
Akan tetapi Higgs Boson yang disebut partikel Tuhan itu, Tuhannya sendiri pasti bukan sungguhan, tetapi rekaan pencipta istilah itu saja. Kalaupun yang mereka maksud adalah Tuhan yang maha besar itu, maka betapa lemah dan terbatasnya Tuhan itu. Setidaknya ada empat alasan mengapa ia tak cocok disebut patikel Tuhan:
Pertama, Higgs Boson ternyata punya masa hidup, dinyatakan dalam rumus: 1,56 x 10 pangkat minus 22. Artinya suatu saat partikel ini akan mati, bisa diprediksi kapan matinya. Sedang alam semesta sendiri yang katanya bersumberdari partikel Tuhan, tak bisa diprediksi kapan kesudahannya. Kedua, memiliki massa. Terakhir tahun 2012, Higgs Boson ditemukan dengan massa 125 GeV. Mungkinkah partikel Tuhan punya massa yang bisa diukur otak manusia? Ketiga, jika Tuhan memiliki partikel dan kehendaknya terletak pada partikel itu–jadi mirip neurosains–berarti itu bukan Tuhan. Sebab Tuhan berkehendak di atas segalanya, bukannya kehendak-Nya lahir atas akumulasi kehendak partikel-partikel-Nya.
Keempat, dan ini yang paling tidak memungkinkan untuk disebut partikel Tuhan; Higgs Boson itu diciptakan. Denny JA mengatakan, untuk melakukan eksperimen higgs boson, diperlukan terowongan raksasa sepanjang 27 kilometer yang kemudian dinamai Large Hadren Collider (LHC), dan ditanam di kedalaman 100 meter ke dalam tanah. Ini dilakukan demi menggerakkan proton untuk mendekati kecepatan cahaya. Memang tenaga yang dibutuhkan sangat besar sekali. Suhu yang diperlukan minus 235 derajat celcius, dan lama pekerjaannya memakan waktu 50 tahun.
Tak usah ditanya soal biaya yang harus dikeluarkan. Eksperimen Higgs Boson menghabiskan 13,25 billion USD, atau setara dengan 180 triliun rupiah. Kata Denny JA, kurang dari itu, eksperimen tak akan jadi. Praktis sewaktu riset ini dilakukan, ada 9 negara yang terlibat membiayai: Jerman, Inggris, Italia, Perancis, Spanyol, Swiss, Amerika Serikat, Rusia, dan India.
Coba bandingkan, untuk menemukan Tuhan saja, walau itu katakanlah hanya partikelnya saja, mahalnya minta ampun. Itu belum ongkos mendekatkan diri. Maka bersyukurlah kita yang telah meyakini Tuhan secara gratis dari orangtua kita, biaya mendekatkan diri kepada-Nya pun amat murah.
Begitulah nasib para ateis perlu mengeluarkan ongkos yang sangat mahal untuk menemukan Tuhan. Mereka berkurban dengan cara menyembelih modal sebanyak-banyaknya, kemudian dipersembahkan kepada temuan yang itu diharap lebih indah dari sekadar mengatakan “Tuhan itu ada”. Nyatanya, mereka tetap gelisah, lantaran butuh berjuta-juta tahun untuk tetap membuktikan bahwa Tuhan tidak ada.
Sementara orang beriman, hanya butuh modal keyakinan, ketaatan, dan hidup bermakna, mereka sudah menemukan Tuhan di dalam jiwanya dan mendekatkan diri kepada-Nya.