Global State Of Democracy

357 Views

GLOBAL STATE OF DEMOCRACY


Lanskap dipengaruhi oleh globalisasi, perubahan kekuatan geopolitik, perubahan peran dan struktur organisasi dan lembaga (supra) nasional serta perkembangan teknologi komunikasi modern.

Fenomena transnasional seperti migrasi dan perubahan iklim mempengaruhi dinamika konflik dan pembangunan, warganegara dan kedaulatan negara. Meningkatnya kesenjangan, dan polarisasi sosial serta eksklusi yang dihasilkannya, mendistorsi representasi dan suara politik, mengurangi pemilih moderat yang vital.

Dinamika-dinamika tersebut berkontribusi pada munculnya pandangan yang diperdebatkan secara luas bahwa demokrasi sedang menurun. Sejumlah peristiwa yang terjadi di berbagai penjuru dunia menantang gagasan ketahanan demokrasi dan membuat sistem demokrasi tampak rapuh dan terancam. Namun, nilai-nilai demokrasi di antara warga negara, dan di dalam lembaga-lembaga, baik di tingkat nasional maupun internasional, terus diekspresikan dan dipertahankan.

Ikhtisar Global State of Democracy 2017: Mengkaji Ketahanan Demokrasi International IDEA menguraikan tantangan-tantangan utama terkini yang dihadapi demokrasi dan kondisi-kondisi yang memungkinkan bagi terciptanya ketahanan demokrasi. Berdasarkan indeks Global State of Democracy yang baru dikembangkan sebagai sebuah basis bukti kunci untuk menginformasikan intervensi kebijakan dan mengidentifikasi pendekatan-pendekatan solutif, publikasi ini menyajikan penilaian global dan regional atas status demokrasi dari tahun 1975—pada awal gelombang ketiga demokratisasi—hingga tahun 2015, dilengkapi dengan analisis kualitatif mengenai tantangantantangan demokrasi hingga tahun 2017.

Sumber: https://www.idea.int/publications/catalogue/global-state-democracy-exploring-democracys-resilience-overview?lang=id

Matinya Demokrasi

300 Views

MATINYA DEMOKRASI
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.[1]

 

Demokrasi, kata yang sering disebut dan didengar, terutama dari kalangan birokrat pemerintahan, pegiat pemilu dan penyelenggara pemilu. Demokrasi sebagaimana dicetuskan Abraham Lincoln, Presiden Amerika yang ke-16, mencitakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi saat ini menjadi sistem politik yang paling baik di dunia, walaupun sistem ini tidak menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat. Sebab banyak juga negara otoriter yang tidak menerapkan demokrasi dalam sistem pemerintahannya, malah lebih sejahtera. Tetapi, demokrasi dapat mengarahkan negara mencapai kesejehteraan dengan peran serta rakyat di dalamnya. Demokrasi menurut Syamsuddin Haris, sebagai sistem politik dan cara pengaturan kehidupan terbaik setiap masyarakat yang menyebut diri modern, sehingga pemerintah di manapun termasuk rezim-rezim totaliter, berusaha menyakinkan masyarakat dunia bahwa mereka menganut sistem politik demokratis, atau sekurang-kurangnya tengah berproses ke arah sistem politik demokratis itu.[2]

Demokrasi dikenali lewat wujud konstitusional penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih pemimpin terbaik dari semua calon pemimpin yang berkompetisi pada periode tertentu. Selanjutnya pemilu dilaksanakan menurut aturan hukum dan aturan proses yang berpijak pada prinsip rechstaat atau rule of law. Aturan dimaksud sejatinya ditaati dan dilaksanakan semua stakeholders pemilu. Saat ketentuan pemilu ditaati dan dilaksanakan secara jujur dan adil, dikatakanlah pemilu-demokratis. Namun pemilu yang terlaksana minim integritas dan profesionalitas, banyak pelanggaran pemilu terjadi tanpa penyelesaian memadai maka pemilu akan kehilangan legitimasi publik yang pada akhirnya menggerus legalitas hasil pemilu.

Fenomena lain dari demokrasi yang hampir terjadi di semua negara dunia, yakni berubahnya wajah demokrasi dari demokrasi nyata menjadi “demokrasi selebritis”. Demokrasi selebritis berwujud bentuk “pencitraan diri”, yang mengandalkan polesan media massa dan penggunaan uang yang banyak untuk mencapai tujuan-tujuan politik tanpa perlu menekankan kepada substansi demokrasi. Menurut Munir Fuady dengan sistem politik selebritis atau pencitraan diri ini, akan tercipta sistem pemilu yang tidak berbasis pada kompetensi, melainkan pemilihan yang berbasis pada tingkat popularitas dan penggunaan uang melimpah guna membangun citra positif di tengah masyarakat. Mereka yang tampan, cantik, terkenal dan/atau banyak uang yang akhirnya akan dipercaya untuk menjadi pemimpin meskipun secara kualitas mereka diragukan.[3]

Sejatinya demokrasi hanya dapat dijalankan oleh para pemimpin negara yang amanah. Label amanah terlihat dan dirasakan oleh rakyat dari sikap, tindakan dan kebijakan pengelolaan negara. Sebab seorang pemimpin politik yang picik, akan menganggap musuh orang-orang yang kritis yang kebetulan berseberangan pendapat dengannya. Lebih fatal lagi, musuh tadi harus dikuasai kalau perlu dimusnahkan dengan berbahai cara, kendati dengan cara membunuh (menghilangkan nyawa), menculik atau membunuh karakter musuh. Tindakan irrasional dalam sudut demokrasi, seperti itu bisa saja terjadi, apalagi dikuasainya mayoritas struktur lembaga-lembaga negara dan kekuatan civil society potensial.

Ancaman Matinya Demokrasi

Demokrasi terlaksana melalui medium pemilu untuk periode masa jabatan tertentu, dengan melahirkan aktor pemimpin terpilih, baik dari kamar kekuasaan eksekutif (presiden dan kepala daerah) maupun dari kamar kekuasaan legislatif (DPR, DPD dan DPRD). Pelaksana kekuasaan eksekutif dan legislatif menjadi satu kesatuan unsur pemerintahan hasil pilihan rakyat pemilik kedaulatan dalam suatu kontestasi pemilu. Terpatri asa, cita dan harapan kepada aktor pemimpin yang baru saja terpilih, agar mereka berani tampil dan berjuang memperbaiki tatanan sosial dan mengatasi keterpurukan sosial. Minimal realisasi janji-janji politik yang sering disampaikan kepada pemilih saat tahapan kampanye pemilu.

Namun ada kalanya aktor pemimpin pilihan rakyat berbalik menjadi masalah bagi rakyat banyak, miris saat aspirasi tidak lagi didengar dan diperjuangkan. Tindakan citra diri bisa saja atas nama rakyat tapi hakikatnya mempertahankan kekuasaan dengan segala cara dan bertindak semata-mata mencapai keuntungan golongan dan pribadi semata. Pada posisi inilah titik krusial demokrasi yang melahirkan aktor pemimpin hasil pemilu, yang malah berbalik mempreteli prinsip-prinsip demokrasi, menjadi pemimpin diktator-otoriter. Demokrasi sejatinya menjadi solusi keterpurukan masalah sosial, malah melahirkan pemimpin anti kritik, mengkriminalisasi lawan politik, membatasi gerak kebebasan berpendapat, dan memperalat aparat penegak hukum untuk kelanggengan kekuasaan dengan kriminalisasi lawan-lawan politik.

Pada keadaan ini, demokrasi yang diagungkan dibajak beberapa kalangan elit politik, tentunya untuk kepentingan pribadi. Hakikat suara rakyat hasil pemilu berkembang untuk melindungi dan mencapai tujuan elit politik. Inilah yang dikhawatirkan dari pemimpin hasil pemilu bertransformasi menjadi pemimpin otoriter. Demokrasi perlahan-lahan mati dan dikalahkan oleh sistem pemerintahan yang dibangun dengan mengarah ke ciri diktator. Padahal pemimpin tersebut lahir dari proses demokratisasi. Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt profesor Universitas Harvard Amerika, dalam bukunya “Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die), menyebut empat ciri-ciri kunci yang menunjukkan bahwa demokrasi telah berubah menjadi sistem pemerintahan berprilaku otoriter.  Pertama, komitemen lemah atas aturan hukum. Kedua, menyangkal legitimasi lawan politik. Ketiga, intoleransi atau anjuran kekerasan. Keempat, membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.[4] Matinya demokrasi ditandai dari keadaan-peristiwa kehidupan bernegara, yang erat kaitan dengan tindakan pemilik kekuasaan (pemerintah) mencerabut nilai dan prinsip demokrasi.

Pemerintah ciri diktator ini bisa saja lahir lewat proses pemilu, di mana tokoh politik menghimpun dukungan dengan menggunakan isu-isu populer dan argumen yang penuh prasangka terhadap lawan-lawan politik. Lalu terpilih dan naik ke puncak kekuasaan lewat proses pemilu, saat itulah Ia mulai menjalankan kekuasaan pemerintahan dengan langkah menghancurkan lembaga-lembaga politik yang demokratis. Berupa lembaga politik dijadikan senjata politik untuk mengendalikan dan menghantam mereka yang berseberangan secara politik. Membeli media dan sektor swasta agar diam atau memihak kepadanya, serta mengubah aturan politik agar keseimbangan politik berubah menjadi merugikan lawan. Jadi inilah paradoks gawat yang harus dihadapi oleh sistem demokrasi.

Banyak upaya pemerintah berkuasa membajak demokrasi sehingga tampak “legal” dengan persetujuan lembaga legislatif dan diterima lembaga yudikatif. Boleh jadi desain pencitraan, melalui upaya-upaya perbaikan demokrasi dengan membuat pengadilan lebih efesien, memerangi kejahatan dan korupsi, atau mendorong pemilu jujur dan adil.  Media massa terbit setiap saat, tapi sudah dibeli atau ditekan pihak pemerintah sehingga menyensor diri sendiri. Rakyat terus mengkritik pemerintah tapi lantas menghadapi kriminalisasi. Jadilah masyarakat sebagian besar memilih jalan aman yakni apatis.

Pemerintahan dijalankan dalam sebuah skenario besar mempertahankan kekuasaan. Kritikan-kritikan berpotensi mengancam eksistensi kekuasaan lantas ditekan, dikriminalisasi dan diberangus dengan terlebih dahulu diajak masuk dalam lingkaran kekuasaan saling menguntungkan. Struktur kekuasaan lembaga negara dikuasai dengan cara mempergunakan otoritas mengisi dengan orang-orang loyal terhadap elit pemerintah. Pada sisi lain, jargon dan branding tentang pemerintahan demokratis, penegakan hukum dan perlindungan HAM terus disampaikan. Walau senyatanya berbeda, antara disampaikan dengan yang dilakukan pemerintah.

Ketahanan Demokrasi

Demokrasi sejatinya mampu mencari solusi untuk mendapatkan kebenaran relatif dan selalu dapat diperbaiki secara berkelanjutan. Jadi demokrasi berhadapan dengan realitas perubahan yang abadi. Maka solusi yang diambil demokrasi tidak selamanya berwajah lembut, tetapi sering berwajah sangar dan berwatak radikal. Demikian pula demokrasi yang tampil dengan sangar dan radikal, juga dapat dirubah menuju demokrasi berwajah humanis dengan menghargai dan menegakkan hak asasi manusia.

Solusi demokrasi yang secara terus-menerus diperbaharui, mengikuti dinamika yang ada dalam masyarakat mestinya berwajah humanis, meskipun tidak harus berwajah lembut. Artinya, demokrasi responsif menyerap aspirasi masyarakat menurut ukuran terminologi sosiologis, yang sudah terpatri dan diterima dalam hati sanubari rakyat. Itu pun dengan membuang jauh-jauh watak absolut dari nilai-nilai tersebut, dengan tetap melindungi golongan minoritas, yang mungkin mempunyai pola pikir dan pola hidup berbeda bahkan berlawanan.

Demokrasi harus selalu mencari solusi terhadap masalah rakyat, serumit apa pun masalah tersebut. Padangan ini sejalan dengan ikhtisar International IDEA bahwa demokrasi harus bisa menawarkan solusi bagi pengelolaan konflik tanpa kekerasan yang dapat merekonsiliasi perpecahan dan perselisihan di dalam masyarakat serta membentuk dasar bagi perdamaian berkelanjutan.[5] Karena itu, demokrasi harus dapat menemukan berbagai macam kompromi di antara pihak yang berseberangan. Walaupun para pihak itu, memiliki tujuan yang sama untuk kepentingan rakyat. Membiarkan suatu masalah rakyat tanpa solusi, akan bertentangan dengan sifat yang paling hakiki dari demokrasi. Dalam negara demokrasi, rakyat punya hak bahkan punya kekuatan.

Pertama, partisipasi masyarakat sipil. Keterlibatan warga negara dalam kerangka masyarakat sipil yang kuat sangat penting bagi ketahanan demokrasi. Adanya partisipasi masyarakat sipil turut menjadi kekuatan penyeimbang menjaga keutuhan demokrasi di tengah politik citra diri pemerintahan. Masyarakat sipil yang kuat membantu menciptakan kepercayaan mendasar bagi kelangsungan pemerintahan demokratis, melalui kritik konstruktif menguji kebijakan dasar. Jika komitmen masyarakat sipil terhadap tumbuh-kembangnya demokrasi, diikuti kontribusi menjaga gagasan ideal dan esensial demokrasi itu, kendati mendapat tekanan terorganisir dari pemerintahan otoriter, pada hakikatnya di sanalah kekuatan dan ketahanan demokrasi.

Kedua, kemandirian lembaga negara. Lembaga negara memiliki tugas dan kewenangan sesuai konsensus kodifikasi peraturan perundang-undangan. Ciri khas demokrasi, menempatkan kekuasaan pemerintah yang terbatas dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negara. Secara teknis, kekuasaan negara dibagi sedemikian rupa kepada beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan kekuasaan pada satu tangan atau badan saja. Metode ini dilakukan agar tercipta kekuatan saling kontrol dan mengimbangi antar masing-masing orang, badan atau lembaga negara. Dengan metode ini, penyalahgunaan kekuasaan melanggar hukum dan hak asasi manusia dapat diperkecil. Apalagi dengan dukungan dan kolaborasi masyarakat sipil dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dalam bingkai rechstaat atau rule of law.

Ketiga, penegakan hukum yang menjamin keadilan dan hak asasi manusia. Kekuasaan yudisial dalam proses penegakan hukum tidak tunduk terhadap kepentingan sektoral penguasa dan pengusaha. Penegakan hukum diarahkan pada pencapaian keadilan dan kebahagiaan umat manusia dengan tetap memperhatikan aspek kepastian hukum. Hukum ditegakkan oleh struktur penegak hukum berintegritas dan profesional kendati berhadapan dengan kepentingan pragmatis kekuasaan dan pengusaha. Struktur penegak hukum yang menjalan fungsi badan yudisial dapat saja silih-berganti, akan tetapi semangat dan komitmen luhur penegakan hukum sejatinya membudaya dan terpatri kuat dalam sanubari aparat hukum.

Keempat, profesionalitas media massa menyatakan pendapat. Media merupakan pilar demokrasi penyambung aspirasi dan kepentingan mendesak publik. Mencapai pemerintahan demokratis, ditentukan peran media massa dalam menyampaikan secara kontinyu pesan dan harapan kepada masyarakat sebagai upaya pemulihan krisis dan mengatasi keterpurukan sosial. Media harus berani menyampaikan fakta dan opini kepada pemerintah terutama yang berpengaruh terhadap aspek tatanan kehidupan sosial politik dan tidak terjebak dalam keberlanjutan politik identitas aktor pemimpin.

Penutup

Praktik kehidupan demokratis sering kali mengecoh, format politik kelihatannya demokratis tetapi dalam praktik ternyata berwujud otoriter. Terjadi ketimpangan dan ketidaksesuaian antara demokrasi normatif (das sollen) dengan demokrasi empirik (das sein). Keadaan ini membuat demokrasi selalu hangat dikaji, apalagi dalam desain aspek tujuan kehidupan bernegara dan menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tampilnya aktor pemimpin dalam periode tertentu yang dihasilkan lewat proses pemilu demokratis adalah cita-harapan rakyat pemilih. Namun sangat disayangkan, belakangan hari berbalik menjadi pemimpin otoriter dengan mencerabut prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Ini menjadi luka trauma bagi demokrasi sebagai sistem politik yang diagungkan. Mengapa tidak, prinsip dan nilai demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat menjadi dibatasi. Lembaga negara menjadi pelayan kekuasaan otoriter yang minim respon atas masalah sosial dan struktur pejabat lebih cenderung terus mempertahankan kekuasaannya. Penegakan hukum menjadi kehilangan arah idealitas, sangat tajam dan kuat ketika berhadapan dengan pelaku yang merupakan pihak dan pendukung dari lawan politik pemerintah. Bahkan aturan hukum (substansi) banyak diubah untuk kepentingan pemerintah dan merugikan pihak lawan politik.

Transformasi aktor pemimpin otoriter telah menjadi objek kajian di banyak negara, yang di satu sisi menumbuhkan semangat mempertahankan demokrasi. Pada sisi lain, menjadi kekuatan kritik kepada aktor pemimpin agar segera merefleksi diri akan tingkah membunuh demokrasi segera diakhiri dan penting menyadari kekuatan kedaulatan rakyat. Suatu saat rakyat akan bangkit menunjukkan kekuatan berdaulatnya, di tengah keterpurukan sosial yang terus menggejala dan menghantarkan aktor pemimpin otoriter pembunuh prinsip demokrasi ke gerbang kehinaan zaman.


Catatan Kaki:

[1] Penulis adalah Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah periode 2017-2022.
[2] Syamsuddin Haris dalam Topo Santoso dan Ida Budhiarti, 2019, Pemilu Di Indonesia; Kelembagaan, Pelaksanaan dan Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10-11.
[3] Munir Fuady, 2010, Konsep Negara Demokrasi, Rafika Aditama, Bandung, hlm. 26.
[4] Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt, 2018, Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 11-12.
[5] International IDEA, 2017, Mengkaji Ketahanan Demokrasi, International IDEA dan Perludem, Jakarta, hlm. 10.


Materi pdf : Matinya Demokrasi

Peningkatan Kualitas Demokrasi Melalui Penataan Partai Politik

646 Views

PENINGKATAN KUALITAS DEMOKRASI MELALUI PENATAAN PARTAI POLITIK
Oleh: Ruslan Husen

Kehidupan Demokrasi Indonesia sangat tergantung pada penataan Partai Politik (Parpol) saat ini. Dengan memiliki Parpol yang tertata baik, para pihak dan masyarakat tidak lagi berdebat terkait adanya tersangka korupsi atau mantan terpidana korupsi yang menjadi calon Kepala Daerah atau dicalonkan sebagai anggota DPR, DPR, dan DPRD. Parpol ideal, telah memiliki desain manajemen, pola rekrutmen, dan kaderisasi Parpol yang ketat dalam menyeleksi calon-calon yang diusulkan mengikuti kontestasi Pemilihan atau Pemilu. Parpol itu juga memiliki basis massa di masyarakat secara memadai dengan didukung oleh hubungan jaringan (networking) luas di berbagai Daerah.

Parpol dibentuk dengan tujuan sebagai sarana komunikasi dan sosialiasi politik. Kepentingan kelompok, golongan, dan kepentingan masyarakat secara luas, kemudian diperjuangkan melalui wakil-wakil yang duduk di lembaga legislatif, hingga lahir kebijakan Pemerintah berupa akses pelayanan publik berkualitas, peningkatan kualitas pembangunan Daerah, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, Parpol berfungsi untuk mendesiminasikan kebijakan Pemerintah kepada publik, agar diketahui, dilaksanakan, tumbuh rasa rasa memiliki dan sikap kolaborasi dalam mendukung kemajuan Bangsa dan Negara.

Parpol melakukan kegiatan berkesinambungan, penyambung aspirasi politik masyarakat, dan mengusulkan kebijakan publik. Kegiatan tersebut terus dilakukan, baik sebelum pelaksanaan pesta Demokrasi maupun telah selesai pelaksanaan Pemilihan atau Pemilu. Adapun rutinitas pergantian kepengurusan Parpol hendaknya tidak mengenyampingkan tugas dan fungsi Parpol tersebut.

Masalah Parpol

Pembentukan Parpol dimaksudkan sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi politik serta rekrutmen politik. Pada posisi ini Parpol hadir memberikan pendidikan politik kepada semua pihak, terutama bagi internal Parpol itu sendiri, kemudian kepada pihak masyarakat. Namun, pada banyak sisi fungsi ini belum berjalan dengan baik, bahkan Parpol belum menjalankan fungsinya. Lebih Nampak, orientasi pragmatis berupa kontestasi memperebutkan kekuasaan dengan menggunakan segala macam cara. Kadang mengkritik Pemerintah dengan sangat fulgar atau mendukung Pemerintah dengan sangat loyal, demikian pula dengan etika dan perilaku para Elit Parpol lebih banyak pada pencitraan belaka, hingga kepercayaan dan dukungan publik kepada Parpol terus menurun.

Menurut Arbi Sanit, Parpol gagal dalam memperbarui dan mendemokratisasikan diri sesuai dengan tuntutan reformasi. Kegagalan itu nampak dari, organisasi dan institusi, kepemimpinan, ideologi, dan taktik dan strategi.[1] Selanjutnya permasalahan kepartaian dalam hasil penelitian P2P-LIPI mengenai Pelembagaan Partai Politik Pasca Orde Baru, dapat dilihat pada enam aspek, yakni ideologi, kaderisasi, demokrasi internal partai, kohesivitas internal, otonomi keuangan, dan hubungan dengan konstituen.[2]

Membaca pemikiran dan hasil penelitian tersebut, Penulis menguraikan masalah Parpol terutama setelah era reformasi dalam fungsinya sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi politik serta kaderisasi calon pemimpin di lembaga eksekutif maupun di legislatif. Pertama, Institusi Parpol. Pendirian Parpol bukan perkara mudah, butuh banyak tenaga dan biaya serta kesamaan visi pendirinya. Apalagi saat Parpol tersebut berhasil lolos verifikasi dan ditetapkan sebagai peserta Pemilu oleh KPU. Dalam proses pendirian dan perkembangan Parpol, di internal Parpol akan muncul pemimpin kharismatik, tokoh sentral yang menentukan platfon dan kebijakan strategis Parpol.

Permasalahannya, saat institusi internal Parpol tidak membangun budaya demokratis di internalnya. Ini ditandai saat pengambilan keputusan atau pilihan politik yang sentralistik di pengurus pusat, ditentukan secara sepihak dan sebahagian kecil pengurus bahkan seorang pimpinan Partai saja. Pilihan-pilihan politik strategis diambil tanpa menyerap dan mendengar aspirasi dari jajaran pengurus lainnya serta kepentingan konstituen, yang tidak jarang menimbulkan dampak bumerang bahkan memicu konflik di internal Parpol.

Kedua, Ideologi Parpol. Ideologi Parpol di Indonesia pada garis besarnya menganut ideologi nasionalis (Pancasila), nasionalis religius, dan Islam. Walaupun jumlah Parpol itu cenderung banyak, namun garis ideologi yang dibangun adalah pada seputar tiga ideologi besar tadi. Ideologi Parpol menentukan ciri khas yang melekat pada diri Parpol terutama pengurus, dan menentukan sikap dan tindakan serta garis perjuangan partai.

Permasalahannya, pada internalisasi ideologi yang tidak holistik, hal ini dapat dilihat dari sikap dan tindakan anggota Parpol yang tidak konsisten, dan sering kali menjadikan ideologi untuk kepentingan kekuasaan belaka, kepentingan pribadi dan kelompok. Pada umumnya Parpol  terperangkap pada upaya memperjuangkan kekuasaan jabatan publik semata dari pada memperjuangkan kebijakan publik.

Ketiga, Sistem rekrutmen dan kaderisasi Parpol. Berbagai Parpol memiliki sistem rekrumen dan pembinaan kader yang berbeda. Pada umumnya, rekrutmen dan kaderisasi berangkat dari bawah, ditempa dan dibina hingga loyal, militan dan potensial menduduki jabatan strategis di internal Parpol atau diusung sebagai calon legislatif dan calon kepala daerah. Parpol harus di desain agar orang yang melalui proses kaderisasi di Parpol dapat memiliki komitmen dan fokus dalam membangun demokrasi. 

Permasalahannya, saat Parpol cenderung merekrut calon dengan cara instan dan pragmatis. Misalnya, beberapa anak pemimpin partai masuk dengan mudah menjadi calon anggota legislatif. Contoh lain, saat Parpol merekrut artis untuk dijadikan pendulang suara dengan kepopuleran dan kemampuan finansial yang artis miliki. Hal ini akan menimbulkan kekecewaan bagi para kader, terutama yang sudah lama mengabdi dan meniti karier di partai. Terhambat karier politiknya karena tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan petinggi pengurus Parpol atau kalah populer dengan kalangan artis.

Keempat, Etika kepemimpinan elit Parpol. Seorang pemimpin hendaknya mampu menjadi panutan bagi anggota atau bawahannya, mencegah dari penyimpangan moral dan hukum. Pemimpin memiliki kewajiban moral yang disebut dengan etika kepemimpinan. Etika kepemimpinan merupakan nilai-nilai yang harus dimiliki pemimpin agar kepemimpinannya dapat berjalan efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi atau institusi.

Permasalahan kepemimpinan Parpol, dapat dilihat dari orientasi sikap, tingkah laku, dan kemampuan elit partai. Pada posisi ini pemimpin Parpol terkadang mempertahankan dan membela kadernya, walaupun nyata-nyata bersalah. Atau mencari dan memberi argumentasi pembenar atas masalah yang dialami oleh kadernya. Penampakan ini terjadi saat elit Parpol tersandung masalah hukum atau terlibat skandal kasus etika-moral, yang dikhawatirkan menggerus kepercayaan publik terhadap eksistensi Parpol.  

Kelima, Otonomi keuangan Parpol. Sebagian besar Parpol masih bergantung pada bantuan Pemerintah untuk membiayai kegiatan dan operasional Parpol, belum ada kemandirian lewat sistem pendanaan Parpol. Sumber keuangan partai pada umumnya dapat berasal dari uang pangkal anggota, iuran bulanan anggota, dan infaq, namun belum berjalan efektif serta kurang mencukupi membiayai kebutuhan partai.

Munculnya kasus-kasus korupsi selama ini, tidak jarang terbukti melibatkan pimpinan Parpol sebagai pihak yang melakukan, membantu melakukan, atau turut serta dalam tindak pidana korupsi tersebut. Kadang terdapat hubungan benang merah, antara perilaku korupsi dengan tuntutan membiayai operasional Parpol. Parpol dalam melaksanakan rutinitas organisasi apalagi turun ke konstituen di wilayah, membutuhkan anggaran yang besar. Bantuan dari Pemerintah sangat minim dan pendanaan dari sumber internal juga tidak mencukupi, sementara kebutuhan aktifitas organisasi dan membangun brand positif Parpol membutuhkan anggaran yang besar. Sangat disayangkan jika perilaku pelanggaran hukum (korupsi) sebagai pilihannya.

Inisiasi penataan Parpol sebaiknya juga memperhatikan penataan sumber penerimaan dan pengeluaran dana Parpol. Jika perlu, kegiatan rutinitas Parpol dibebankan pada APBN, tapi dengan syarat dikelola sesuai dengan prinsip pengelolaan keuangan negara.

Keenam, Relasi Parpol dengan konstituen. Parpol yang ideal, ketika pada sisi massa-konstituen dapat terpelihara dan berkembang lewat kolaborasi politik. Parpol membutuhkan dukungan pemilih dalam bentuk hak suara saat voting day Pemilihan atau Pemilu, dan konstituen juga mengharap terjembataninya aspirasi politik untuk diperjuangkan agar menjadi kebijakan publik. Menurut Luky Sandra Amalia, kegiatan yang berkesinambungan sebagai kriteria Parpol yang ideal, baik untuk mengontrol kekuasaan, menyuarakan aspirasi politik, maupun dalam mengusulkan suatu kebijakan. Kegiatan tersebut tidak berhenti meskipun Pemilu berakhir dan tidak terpengaruh oleh pergantian kepengurusan partai.[3]

Saat ini, relasi Parpol dengan konstituen lebih bersifat hubungan temporer bahkan cenderung pragmatis. Para pemilih mempertimbangkan memilih calon atau Parpol, karena secara pragmatis ketika calon tersebut terpilih akan ikut berdampak baik terhadap eksistensinya. Lebih mempertimbangkan aspek kedirian, yang biasanya diikat dengan isu kesamaan, senasib, dan seperjuangan. Walhasil isu-isu aktual tentang suku, agama, ras, dan antar golongan masih efektif digunakan mendapatkan simpati dan dukungan publik.

Peningkatan Kualitas Demokrasi

Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik dari berbagai pilihan lainnya di dalam sistem politik dan ketatanegaraan.[4] Secara universal, demokrasi memiliki empat prinsip utama, yaitu kesetaraan rakyat, kebebasan individual, pemerintahan konstitusional, dan pengawasan rakyat. Keempat prinsip utama ini saling terkait, jika satu prinsip saja lemah, maka demokrasi akan timpang.[5]

Demokrasi memberikan kesempatan bagi rakyat untuk berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Rakyat diberi kesempatan mendirikan Parpol untuk berkontestasi secara jujur dan adil  memperebutkan kekuasaan  pemerintahan melalui mekanisme Pemilu. Demokrasi memberi peran yang besar bagi Parpol untuk menjadi penyelengara negara, melalui orang-orang pilihan yang terpilih lewat proses demokratisasi Pemilihan atau Pemilu yang diusung Parpol. Di tangan elit politik/pemimpin terpilih inilah kemajuan dan kesejahteraan rakyat dipertaruhkan.

Rakyat yang berkumpul, berserikat dan membentuk sebuah Parpol seharusnya terdiri dari orang-orang yang memiliki integritas dan kesadaran tinggi untuk mempertahankan eksistensi negara. Mereka memiliki jiwa nasionalisme dan kesadaran membangun bangsa dan negara. Negara yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi keadilan dan kemakmuran rakyat melalui pemerintahan berintegritas dan bertangggung jawab.

Jika manajemen dan pola perjuangan Parpol telah berintegritas dan kredibel dalam struktur parlemen, dan peran masyarakat (civil society) senantiasa kritis-konstruktif terhadap jalannya pemerintahan, maka akan menghasilkan regulasi serta kebijakan yang responsif bagi sebesar-besarnya keadilan dan kemakmuran rakyat.

Tantangan saat ini, perlu ada langkah selalu mengingatkan dan mengontrol Parpol untuk senantiasa berbenah, mereformasi organisasi agar kembali ke tujuan dan fungsi Parpol sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi politik serta rekrutmen politik. Tujuannya agar Parpol sebagai pilar demokrasi memahami dan menginternalisasikan tugas dan fungsinya dalam mendukung sistem bernegara. 

Pada sisi lain, pendidikan politik, dan pengorganisasian masyarakat sebagai entitas politik non-parlement sangat diperlukan sebagai strategi penyeimbang Parpol. Masyarakat yang cerdas dan berdaya harus dianggap mitra-kolaborasi. Bahkan, kekuatan warga negara yang kritis dapat diolah sebagai daya dorong bagi Parpol untuk makin penguatan institusi Parpol yang berintegritas. Pada sisi ini akan menghasilan, Parpol dan masyarakat dengan fungsinya masing-masing sebagai syarat peningkatan kualitas demokrasi. 


[1] Arbi Sanit dalam Luki Sandra Amalia (Editor), 2017, Partai dan Sistem Kepartaian Era Reformasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 13.
[2] Luki Sandra Amalia, ibid, hal. 67.
[3] Luky Sandra Amalia, 2016, Evaluasi Pemilu Legislatif 2014; Analisis Proses dan Hasil, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 17.
[4] Ni’matu Huda dan M. Imam Nasef, 2017, Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, Kencana, Jakarta, hlm. 13.
[5] Sri Budi Eko Wardani dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Samsu Rizal Panggabean (Penyunting), 2012, Memperbaiki Mutu Demokrasi Di Indonesia: Sebuah Perdebatan, Pusad, Jakarta, hal. 134.