Pragmatis dan Idealis Gerakan Mahasiswa
Pragmatis dan Idealis Gerakan Mahasiswa[1]
Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.[2]
Kaum muda dengan dunia dan sepak terjangnya dalam konteks perjuangan dan pergerakan di Indonesia, menggiring bayangan kita tidak terlepas dengan posisi dan gerakan mahasiswa sebagai motor penggerak pergerakan. Demikian pula terhadap keterpurukan sosial akibat kebijakan pemerintah atau kerusakan lingkungan alam, mahasiswa berani tampil dan ambil bagian meneriakkan protes atas kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Namun, kini seolah gerakan mahasiswa kehilangan taring dan kewibawaan. Gerakan mahasiswa mengalami krisis dan luka. Semakin lantang teriakan dan tuntutan dilontarkan mahasiswa, seolah-olah makin menjerumuskan dirinya pada defenisi paradoks. Apa yang diteriakkan dan dituntut sering kali berseberangan dengan yang telah dilakukan. Akibatnya, tuntutan dan advokasi yang dilakukan mempunyai daya tawar minimalis dan terkadang dipandang sebelah mata dari pihak pengambil kebijakan.
Logika dan opini yang berkembang tersebut, membawa pada pemikiran untuk membangun defenisi baru sebagai rumusan memulai perjuangan dan pergerakan yang lebih baik dan berkualitas. Walau telah banyak dibahas rumusan ulang gerakan dan perjuangan mahasiswa, tetap bayang heroisme masa lalu dari gerakan mahasiswa tidak pernah hilang. Apalagi, memakai diksi berjuang atas nama rakyat namun ternyata ada kepentingan pragmatis, baik kepentingan pribadi atau golongan yang akhirnya merusak kemurnian perjuangan.
Dengan demikian, yang terjadi adalah beban sejarah pergerakan selanjutnya, sebab sejarah tidak bisa dilupakan serta-merta. Sehingga memungkinkan merusak ritme dan pola gerakan ke depannya. Dalam artian mengambil hikmah dan pelajaran dari sejarah untuk rumusan gerakan dan perjuangan yang lebih baik dan sistematis.
Untuk itu, tulisan ini mencoba membangun definisi baru yang koheren agar bayang-bayang heroisme tidak terus menghantui dan membebani perjuangan dan pergerakan. Sebab kedudukan mahasiswa dengan tipe idealis dan paragmatis bukan merupakan dikotomi baku, yang saling bertentangan dan menjatuhkan. Hal mendasar, gerakan mahasiswa di tengah garis pemisah idealis dan paragmatis yang terpolalarisasi dalam bentuk baku, seolah-olah tidak bisa bersatu dalam suatu payung perjuangan bersama.
Tipe Gerakan Mahasiswa
Definisi yang dimunculkan, tipe idealis sebagai sebuah sifat untuk melakukan perbaikan dan perubahan atas ketidak-adilan dengan berbagai macam pelanggaran norma dalam konteks sosial kultural masyarakat. Sedangkan paragmatis adalah sifat sebaliknya yang tidak mengkritisi sama sekali realitas kehidupan sosial masyarakat.
Kemudian tipe idealis sering digambarkan pada posisi yang sedikit kiri dan tipe paragmatisme pada sisi yang lebih kanan. Walaupun kaku, namun terminologi tersebut sering kali digunakan dan diketemukan dalam realitas dunia kampus pergerakan mahasiswa. Pendefinisian seperti itu akan menghasilkan definisi minimalis. Sebab ada juga cara pandang lain, dua tipe itu sering kali tidak bisa dipisahkan dan sering komplementer.
Klaim dikotomi minimal akan manjatuhkan pada klaim-klaim yang tidak sehat. Misalnya mahasiswa tipe idealis merupakan mahasiswa yang berdemo, orasi, dan berteriak lantang menentang kapitalisme dan menentang negara atau militerisme sekalipun. Walaupun terkadang teriakan tersebut sering berbalik arah dan mengenai dirinya saat Ia memperoleh kedudukan dan bekerja di instansi pemerintahan. Sebailnya, mahasiswa paragmatis merupakan mahasiswa yang mempriorotaskan kegiatan studi (akademisi) semata, menjadi kutu buku dan mengikuti seksama setiap perkuliahan dan kegiatan akademik.
Menggunakan terminolagi tersebut, terlihat bercorak kontras. Tapi, sekali lagi bukankah hal itu sangat minimalis? Sebab, dua kelompok tipe mahasiswa itu sama-sama belajar dan berjuang dengan cara sendiri-sendiri, terlepas dari keluaran yang dihasilkan. Semua pada tataran tertentu dapat berperan melakukan perbaikan tatanan dan keterpurukan sosial dengan jiwa dan panggilan kemanusiaan masing-masing.
Klaim kedua yang biasa dimunculkan adalah klaim kritis dan advokasi. Mahasiswa yang sering berdemo (mahasiswa idealis) mempunyai tingkat kritis dan advokasi yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang berorientasi pada kegiatan studi (pragmatis).
Apakah generalisasi tersebut sepenuhnya benar? Mahasiswa yang mengaku dirinya idealis terkadang ditemukan merupakan mahasiswa yang berwajah ganda, tidak konsisten dengan apa yang dilontarkan. Hal ini sebenarnya lahir dari adanya kepentingan pragmatis. Sementara, tidak semua mahasiswa yang berorientasi pada studi (akademik) semata dinyatakan tidak kritis dan peka pada permasalahan sosial. Sebab, dia mungkin saja mengkritisi dengan medium dan cara berbeda. Tetapi tetap, pada tujuan yang sama perbaikan tatanan sosial masyarakat.
Jadi, alangkah baiknya tidak saling menyalahkan. Berusaha mencari titik temu, ketimbang memperbesar titik pembeda. Fokus pada tujuan bersama, hingga mampu menggerakkan dan empati diri untuk terlibat dengan kebiasaan dan pilihan jalan masing-masing. Hingga nanti dipertemukan pada tujuan yang sama, yakni keadilan dan kesejahteraan sosial.
Penutup
Gambaran mahasiswa idealis dan pragmatis ternyata memberi keterangan dikotomi yang berpotensi merusak ritme gerakan dan perjuangan. Tidak semua mahasiswa harus turun ke jalan, orasi dan berteriak menentang kapitalisme, militerisme atau kebijakan ketidakadilan negara. Tetapi terpenting, konsisten mencapai tujuan keadilan dan kesejahteraan sosial. Konsisten berjuang bersama menuju arah perbaikan, dengan jujur dan beretika dengan cara perjuangan yang dipilih. Tanpa harus menyalahkan dan mematikan potensi diri yang tidak sepaham dengan jalan perjuangan pilihan.
Alangkah baiknya saling kerja sama mencapai tujuan keadilan sosial masyarakat. Tanpa harus terlibat dalam suatu kubangan persaingan dan kepentingan pragmatis yang pada akhirnya merusak ritme dan corak gerakan perjuangan. Optimis bahwa semua pilihan gerakan mahasiswa berfungsi dalam membangun tatanan masyarakat yang lebih baik, tanpa harus menyalahkan pilihan gerakan idealis atau pragmatis.
[1] Disampaikan dalam Kegiatan Pengkaderan VI Kesatuan Sukarelawan Kemanusiaan Universitas Tadulako (KSRK-Untad), di Kawatuna Palu pada Sabtu, (21/11/2020).
[2] Penulis merupakan Pendiri KSRK Untad, kini berpraktik sebagai Advokat dan Konsultan Hukum di Palu.