Ikhwal Kepentingan Memaksa dalam Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia

832 Views

Oleh: Randy Atma R. Massy, SH, MH.

 

Penayangan video diskusi mengenai Jejak Khilafah di Nusantara menjadi sebuah pemberitaan yang kini kembali menjadi viral dan marak, sehingga kembali menimbulkan Polemik di masyarakat. Dibalik penayangan kembali mencuat nama Organisasi yang juga beberapa tahun sebelumnya menjadi sorotan terkait pembubarannya yaitu Organisasi Masyarakat yang dikenal dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tanggal pada 19 Juli 2017, gerakan transnasional ini resmi dinyatakan terlarang. Sebagaimana yang tertulis dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan Ham No. AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan dengan alasan Ikhwal Kegentingan Yang Memaksa.

Pasca runtuhnya era Soeharto, menjadi peluang berbagai organisasi yang mengatasnamakan agama untuk mengklaim gagalnya negara atau pemerintah. Salah satu alasan inilah yang kemudian menjadikan HTI terus mempromosikan ide sistem khilafah sebagai solusi. Bukanlah hal baru memang. Dengan berkembangnya waktu, HTI dirasa makin masif dalam menyosialisasikan cita-citanya untuk mendirikan negara Islam. Maka, mulai muncul ide pemerintah untuk membubarkan HTI[1] Sehingga, berbagai pertanyaanpun muncul merespons wacana ini Misal, di pihak yang kontra dengan wacana tersebut terus mempertanyakan mengapa inisiatif seperti itu baru muncul pada era pemerintahan Jokowi. Pada era-era sebelumnya, HTI dibiarkan beraktivitas. Sebaliknya, pihak yang pro berargumen bahwa aktivitas HTI semakin merisaukan.

Setelah dilakukan penelusuran terkait dengan kebijakan tersebut, ada keterkaitan dengan beberapa program pemerintah yang termaktub dalam Nawacita sebagaimana berikut:

  • Nomor 2 : Menghilangkan absennya pemerintah dalam mengelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya dengan mendorong partisipasi publik dalam menentukan kebijakan publik dari pengelolaan badan publik yang baik.
  • Nomor 8 : Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dan mengembalikan nilai-nilai nasionalis serta melakukan evaluasi model penyeragaman dalam sistem pendidikan di Indonesia.
  • Nomor 9 : Memperteguh kebhinekaan yang akan mengembalikan rasa kerukunan antar warga sesuai dengan jiwa konstitusional atau Pancasila serta meningkatkan proses pertukaran budaya untuk meningkatkan pemahaman atas kemajemukan.[2]

Dalam Nawacita tersebut tampak bagaimana pemerintah berupaya dalam memperkuat nilai-nilai demokrasi dengan kembali pada paham nasionalisme. Oleh karena itu, pemerintah akan menindaklanjuti segala paham yang berbau anti Pancasila. Melalui survey yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting, saat ini NKRI terancam dengan berbagai paham keagamaan tertentu yang mengkhawatirkan akan terjadinya perang saudara. Hal ini kemudian direspons oleh pemerintah dengan menginstruksikan kementerian Koordinator bidang politik, Hukum dan Keamanan untuk melakukan kajian terhadap Ormas yang memiliki ideologibertentangan dengan Pancasila ataupun UUD NKRI. Inilah yang kemudian menjadi dasar Menkumham untuk membubarkan HTI[3].

Penerbitan Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menuai pro dan kontra. Demikian pula dengan keputusan pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia,  Sembilan hari setelah penerbitan Perppu. Pihak yang kontra menganggap langkah pemerintah sebagai bentuk pemberangusan kebebasan berserikat[4]. Dalam Perppu ada asas contrario actus, maka lembaga yang memberikan izin dan mengesahkan ormas diberikan kewenangan mencabut izin itu manakala ormas tertentu sudah melanggar ketentuan izin[5] dan dianggap sebuah tindakan darurat dan segera dilaksanakan pembubarannya yang diindikasikan saat itu mengancam keutuhan NKRI yang beridelogikan pancasila, tentu dalam hal ini Negara haruslah memposisikan dirinya sebagai negara hukum yang menjadikan hukum sebagai panglima dalam pergerakan negara yang berada pada koridor Konstitusi.

Makna atau nilai dari negara hukum tersebut adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat, maupun antara anggota atau kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya dalam mewujudkan tujuannya.[6] Dalam konteks kehidupan bernegara, maka hukum harus berperan, sehingga segala sesuatunya berjalan dengan tertib dan teratur, sebab hukum menentukan dengan tegas hak dan kewajiban masing-masing. Hukum harus mampu mewujudkan rasa keadilan dan kegunaan bagi kepentingan masyarakat, serta kepastian hukum.[7] Di sisi lain negara hukum harus dapat menyelenggarakan ketertiban hukum dengan berpedoman pada hukum (rule of law), serta negara kesejahteraan (welfare state).[8]

Urgensi Fungsi dan Materi Muatan Perppu

Secara hierarki semua jenis peraturan perundang-undangan mempunyai fungsi tertentu. Tetapi secara umum menurut Bagir Manan fungsi peraturan perundang-undangan dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu:[9]

1. Fungsi Internal, yaitu fungsi peraturan perundang-undangan sebagai sub-sistem hukum terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya. Secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi antara lain:

  • Fungsi penciptaan hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara, yaitu melalui keputusan hakim, kebiasaan yang timbul di dalam praktik dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum.
  • Fungsi pembaharuan hukum. Pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaruan hukum dapat pula direncanakan. Fungsi pembaruan terhadap perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan masa Belanda dan peraturan perundang-undangan nasional yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru.
  • Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum. Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Pembaruan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain.
  • Fungsi kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan asas penting di dalam tindakan hukum dan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi daripada hukum kebiasaan dan hukum adat atau yurisprudensi.[10]

2. Fungsi eksternal, adalah keterkaitan peraturan peru ndang-undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal bisa juga disebut fungsi sosial hukum, dan dapat dibedakan menjadi:

  • Fungsi perubahan. Fungsi perubahan yaitu hukum sebagai sarana rekayasa sosial dimana peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat dibidang ekonomi, sosial, maupun budaya.
  • Fungsi stabilitas. Peraturan perundang-undangan dibidang pidana, ketertiban, dan keamaan merupakan kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjamin stabilitas masyarakat.
  • Fungsi kemudahan. Fungsi kemudahan dapat berfungsi sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan peraturan yang berisi insentif, seperti keringan pajak.

Fungsi peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas sejalan dengan fungsi hukum yang dikemukakan oleh Sjahran Basah. Menurut Sjahran Basah, ada 5 (lima) fungsi hukum yang disebut dengan panca fungsi hukum, yaitu: Pertama, direktif, artinya hukum sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara. Kedua, integratif, yaitu sebagai pembina kesatuan bangsa. Ketiga, stabilitatif, yaitu untuk memelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Keempat, perfektif, yaitu sebagai penyempurna, baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga negara apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dan kelima, korektif, yaitu sebagai pengoreksi atas sikap tindak, baik administrasi negara maupun warga negara apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.[11]

Dalam negara hukum yang modern, menurut A. Hamid S. Attamimi, peraturan perundang-undangan mempunyai fungsi sebagai berikut:[12]

  1. memberikan bentuk pada endapan-endapan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan hidup dalam masyarakat;
  2. produk fungsi negara di bidang pengaturan; dan
  3. metode dan instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan.

Adanya berbagai jenis peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia yang tersusun secara hierarki, mengakibatkan pula adanya perbedaan dalam hal fungsi maupun materi muatan dari berbagai jenis peraturan perundang-undangan tersebut.[13]

Dalam hierarki peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa undang-undang dan perppu mempunyai kedudukan yang sama. Berdasarkan hal itu pula sehingga fungsi undang-undang dan perppu adalah sama, yaitu:

  1. menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya. Fungsi ini terlihat jelas di dalam pasal-pasal Undang- Undang Dasar Tahun 1945, karena pasal-pasal tersebut menyatakan secara tegas hal-hal yang harus diatur dengan undang-undang;[14]
  2. pengaturan dibidang materi konstitusi seperti: 1) organisasi, tugas, dan susunan lembaga negara dan 2) tata hubungan antara negara dan warga negara dan antar warga negara/penduduk secara timbal balik.[15]

Istilah “materi muatan” pertama kali diperkenalkan oleh A.Hamid S. Attamimi, yang menurut pengakuannya mulai diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1979 sebagaimana dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan Nomor 3 Tahun 1979. Menurutnya, istilah materi muatan sebagai pengganti atau alih bahasa dari istilah Belanda het onderwerp dalam ungkapan Thorbecke het eigenaardig onderwerp der wet yang diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-undang, yakni materi pengaturan khas yang hanya semata-mata dimuat dalam undang-undang dan oleh karena itu menjadi materi muatan undang-undang.[16] Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan pengertian mengenai materi muatan peraturan undang-undangan yaitu sebagai materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Mengenai materi muatan Perppu, diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu bahwa “materi muatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sama dengan materi muatan undang-undang”. Hal ini dikarenakan kedudukan perppu dan uu sama secara hierarki, bedanya hanya perppu dikeluarkan oleh presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, karena perppu ini merupakan peraturan pemerintah yang menggantikan undang-undang, materi muatannya adalah sama dengan materi muatan dari undang-undang.[17] Hal senada juga dikemukakan oleh Bagir Manan yang menyatakan bahwa materi muatan perppu merupakan materi muatan undang-undang. Dalam keadaan biasa materi muatan tersebut harus diatur dengan undang-undang.[18]Tetapi lebih lanjut Bagir Manan menyebutkan bahwa materi muatan perppu semestinya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan (administrasi negara). Jadi tidak boleh dikeluarkan perppu yang bersifat ketatanegaraan dan hal-hal yang berkaitan dengan lembaga-lembaga negara, kekuasaan kehakiman, pelaksanaan kedaulatan rakyat, dan lain-lain di luar jangkauan penyelenggaraan administrasi negara.[19]

Sedangkan yang menjadi materi muatan suatu undang-undang berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu berisi:

  1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;
  3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
  4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
  5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Proses Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Istilah Perppu sepenuhnya adalah ciptaan UUD NRI 1945,[20] yaitu sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 22 UUD NRI 1945. Berdasarkan Pasal 22 UUD NRI 1945 tersebut, dapat diketahui beberapa hal yaitu:[21]

  1. Peraturan tersebut disebut peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, yang berarti bahwa bentuknya adalah peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Jika biasanya bentuk peraturan pemerintah itu adalah peraturan yang ditetapkan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya, maka dalam keadaan kegentingan yang memaksa bentuk peraturan pemerintah itu dapat dipakai untuk menuangkan ketentuan-ketentuan yang semestinya dituangkan dalam bentuk undang-undang dan untuk menggantikan undang-undang;
  2. Pada pokoknya, perppu sendiri bukanlah nama resmi yang diberikan oleh UUD NRI 1945. Namun, dalam praktik selama ini, peraturan pemerintah yang demikian itu lazim dinamakan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau disingkat Perppu.
  3. Perppu tersebut pada pokoknya hanya dapat ditetapkan oleh Presiden apabila persyaratan kegentingan yang memaksa terpenuhi sebagaimana mestinya. Keadaan “kegentingan yang memaksa” yang dimaksud disini berbeda dan tidak boleh dicampur-adukkan dengan pengertian “keadaan bahaya” sebagaimana ditentukan oleh Pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”;
  4. Karena pada dasarnya Perppu itu sederajat atau memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang, maka Dewan Perwakilan Rakyat harus secara aktif mengawasi baik penetapan maupun pelaksanaan Perppu di lapangan, jangan sampai bersifat eksesif dan bertentangan dengan tujuan awal yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, Perppu harus dijadikan sebagai objek pengawasan yang sangat ketat oleh Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan tugasnya.
  5. Karena materi Perppu seharusnya dituangkan dalam bentuk undang-undang, maka masa berlakunya Perppu dibatasi hanya untuk sementara. Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 yaitu sampai dengan mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, dan jika tidak mendapat persetujuan maka perppu tersebut harus dicabut.

Konstitutionalitas Perppu dalam Pembubaran ORMAS

Konstitusi memberikan jaminan kepada setiap individu atau sekelompok orang untuk bersepakat mengikat diri pada sebuah organisasi untuk mencapai apa yang menjadi kepentingannya. Era reformasi yang telah berlangsung sejak tahun 1997, telah membuka peluang bagi hubungan masyarakat sipil dan negara yang mengalami transformasi yang demikian cepat.[22]

Hal ini ditunjukkan dari gejala semakin kuatnya peran masyarakat sipil dalam mengorganisir dirinya untuk memperjuangkan kepentingannya ketika berhadapan dengan negara ataupun pada saat mengisi layanan publik. Euforia tersebut merupakan puncak manifestasi dari kemerdekaan hati nurani dan kemerdekaan berpikir yang telah diperjuangkan pada masa reformasi.[23]

Pasca Reformasi, dinamika perkembangan Ormas dan perubahan sistem pemerintahan membawa paradigma baru dalam tata kelola organisasi kemasyarakatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pertumbuhan jumlah Ormas, sebaran dan jenis kegiatan Ormas dalam kehidupan demokrasi semakin menuntut peran fungsi dan tanggung jawab Ormas untuk berpatisipasi dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, serta menjaga dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dinamika Ormas dengan segala kompleksitasnya menuntut pengelolaan dan pengaturan hukum yang lebih komprehensif, mengingat UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya UU Nomor 17 Tahun 2013 sebagai pengganti UU Nomor 8 Tahun 1985 yang sudah berlaku selama kurang lebih 18 tahun[24].

Di dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 selain memuat tentang ketentuan umum mengenai Ormas juga memuat mengenai larangan dan sanksi bagi Ormas. Larangan terhadap Ormas diatur dalam Pasal 59 UU Ormas menjelaskan sebuah ormas dilarang untuk melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, dan golongan. Ormas juga tidak boleh melakukan tindakan kekerasan yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, termasuk perbuatan merusak. Melakukan tindakan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI, dan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum yang diatur berdasarkan undang-undang.[25] Selain larangan tersebut, Ormas juga dilarang untuk menerima sumbangan dari pihak manapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, mengumpulan dana untuk partai politik, dan menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila.[26]

Satu hal perbedaan yang terlihat jelas dalam kedua UU tersebut adalah apabila dalam Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 1985 ormas dilarang menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah, maka dalam Pasal 56 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2013 ormas dilarang menerima bantuan dari siapapun apabila bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Aturan dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 lebih mempresentasikan kedaulatan hukum, dibandingkan dengan UU Nomor 8 Tahun 1985 yang berdasarkan persetujuan pemerintah yang lebih condong kepada pendekatan dan kepentingan politik. Karenanya penulis UU Nomor 17 Tahun 2013 lebih dekat kepada tujuan negara yang menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum.[27]

Sanksi bagi Ormas dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 diatur dalam Pasal 60 sampai Pasal 82, diantaranya adalah pembubaran. Pemerintah daerah dalam undang-undang ini bisa menghentikan kegiatan ormas. Undang-Undang ini menyebutkan dapat membubarkan suatu ormas berbadan hukum melalui beberapa tahapan, yaitu pemberian sanksi administratif yang terdiri atas peringatan tertulis, penghentian bantuan, penghentian sementara kegiatan, dan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.[28]

Peringatan tertulis dilakukan sebanyak tiga kali. Dalam Pasal 64 disebutkan jika surat peringatan ketiga tidak digubris, pemerintah bisa menghentikan bantuan dana dan melarang sementara kegiatan mereka selama enam bulan. Dengan catatan, jika ormas tersebut berskala nasional, harus ada pertimbangan Mahkamah Agung. Namun, jika sampai 14 hari tidak ada balasan dari Mahkamah, pemerintah punya wewenang menghentikan sementara kegiatan mereka.[29] Dalam Pasal 68, jika ormas masih berkegiatan padahal sudah dihentikan sementara, pemerintah bisa mencabut status badan hukum mereka, asal mendapat persetujuan dari pengadilan.[30]

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor: 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Pembubaran Ormas), diteken Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017. Dalam pertimbangan UU tersebut dinyatakan bahwa ada kekosongan hukum karena Undang-Undang (UU) berumur 4 tahun tersebut belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.33 Dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017, terdapat 5 pasal dalam UU Ormas sebelumnya yang diubah dan terdapat 18 pasal yang dihapus. 5 pasal dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang diubah oleh Perppu ini yaitu Pasal 1, 59, 60, 61, dan 62.  Pasal 1 Perppu ini antara mengubah pengertian ormas menjadi lebihtegas dari sebelumnya. Menurut Perppu ini, ormas memiliki pengertian:

Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[31]

Definisi dari ormas dalam Perppu menjadi lebih tegas jika sebelumnya pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 berbunyi Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kini dipertegas dengan “dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Artinya Ormas harus patuh pada UUD 1945. Tidak boleh undangundang lain atau piagam Jakarta.

Menurut Moh. Mahfud MD hukum haruslah responsif dan tidak sentralistik hanya dikuasai oleh eksekutif semata. Produk hukum yang bersifat sentralistik dan lebih didominasi oleh eksekutif akan menghasilkan hukum yang berkarakter ortodoks.[32]

Ikhwal Kegentingan Yang Memaksa.

Pembubaran HTI adalah hal yang dianggap mendesak dan tidak normal, maka dalam menjamin agar negara selalu dalam keadaan normal adalah salah satu tugas pokok pemerintahan guna tercapainya tujuan negara. Akan tetapi dalam keadaan normal, proses pemerintahan hanya dapat diselenggarakan menurut cara cara yang ditentukan dalam undang undang dasar, sebagai mana dikenal dengan prinsip constitutional government. Dan hal tersebut tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi.[33]

Kegentingan yang memaksa harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan kendala yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Selain kondisi negara dalam keadaan biasa (ordinary condition) atau (normal condition), kadang-kadang timbul atau terjadi keadaan yang tidak normal. Keadaan yang menimpa suatu negara yang bersifat tidak biasa atau tidak normal itu memerlukan pengaturan yang bersifat khusus sehingga fungsi-fungsi negara dapat bekerja secara efektif dalam keadaan yang tidak normal.[34] Dalam keadaan yang demikian, bagaimanapun juga, sistem norma hukum yang diperuntukkan bagi keadaan yang normal tidak dapat diharapkan efektif untuk dipakai guna mencapai tujuan hukum yang menjamin keadilan, kepastian, dan kemanfaatannya. Oleh karena itu, sejak semula keadaan tidak normal itu sudah seharusnya diantisipasi dan dirumuskan pokok-pokok garis besar pengaturannya dalam Undang-Undang Dasar.

Dengan beberapa kasus di atas, pemerintah bergegas untuk segera membubarkan. Bukan berarti pemerintah anti Ormas Islam, tetapi demi perdamaian dan persatuan anak bangsa. Bahkan alasan ini telah disampaikan secara tegas dalam konferensi press. Keputusan ini justru dianggap terlambat jika dibandingkan 20 negara di dunia lain.[35]Selanjutnya, keputusan pemerintah ini diamini oleh beberapa pimpinan pemerintah dan DPR, serta beberapa tokoh masyarakat yang sangat yakin dengan ideologi HTI yang ingin mengubah ideologi dan dasar negara.

Dalam kerangka hukum, pembubaran HTI berpedoman pada UUD 1945 Pasal 22 ayat (1) yang tertulis, “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Sebagai kewenangan subjektif, Penerbitan Perppu harus memenuhi syarat konstitusional yaitu adanya frasa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.” Artinya, Perppu harus dilandasi dengan kebutuhan yang benar-benar mendesak dengan berbagai prosedur, bukan atas kepentingan politik belaka. Akan tetapi, Noodverordeningsrecht” atau “hak presiden untuk menentukan kegentingan yang memaksa” tidak harus relevan dengan keadaan yang membahayakan, tetapi apabila presiden meyakini adanya keadaan mendesak dan perlunya peraturan yang mempunyai kedudukan sama dengan undang-undang maka diperkenankan.[36]

Sampai DPR melakukan pembicaraan pengaturan keadaan tersebut. Selanjutnya Perppu ditunjukkan kepada DPR melalui sidang sehingga diberikan keputusan untuk dapat diterima atau ditolak Perppu tersebut sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan. Namun, untuk kasus pembubaran ini, secara bersamaan DPR tengah mengesahkan. Dalam hal ini, memang ada yang terlewatkan yakni fungsi MK.

Pembubaran HTI dilakukan oleh pemerintah dengan mencabut status badan hukum yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memiliki hak legal administrative, setelah itu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat yang mengubah atas Undang-Undang No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat yang didalam Peraturan Pemerintah ini Pasal 80 A “Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Sanksi dan Pembubaran Ormas UU Nomor 17 Tahun 2013 menganut sistem sanksi berjenjang. Adapun kewenangan membubarkan Ormas berdasarkan keputusan Pengadilan. Pemerintah tidak dapat membubarkan sebuah Ormas tanpa adanya putusan Pengadilan. Mekanisme ini sebagai instrumen penting yang berperan dalam demokrasi sebagai wujud dari kebebasan berserikat. Pembekuan dan pembubaran memang seharusnya perlu diputuskan melalui mekanisme due process of law oleh pengadilan yang merdeka. Proses ini menjadi sangat penting, artinya, jangan sampai wewenang dan pembubaran ormas dilakukan karena akan menimbulkan kesewenang-wenangan sebagaimana yang terjadi dalam Orde Baru. Kewenangan pembekuan dan pembubaran yang hanya diberikan kepada eksekutif memberi peran yang besar dan sentralistik, sebab pemerintah dapat membekukan dan membubarkan suatu organisasi yang merupakan manifestasi dari hak asasi manusia untuk berserikat, berkumpul, dan berorganisasi tanpa ada forum peradilan yang menyatakan bahwa Ormas tersebut memang bersalah.

Terkait frasa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan nomor 138/PUU-VII/2009 telah menentukan beberapa indikator yang dapat dikategorikan sebagai keadaan yang mendesak. Pertama, adanya keadaan atau situasi yang mengharuskan untuk segera diselesaikan atau mendesak. Oleh karena itu, diperlukannya tindakan hukum yang cepat tetapi tetap mengacu pada undang-undang. Kedua, belum adanya hukum atau undang-undang yang mengatur sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tetapi belum memadai. Ketiga, adanya kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan membuat undang-undang secara prosedur biasa dikarenakan membutuhkan waktu yang cukup lama, sedang di lain pihak, keadaan mendesak untuk segera dicarikan solusinya.[37] Beberapa indikator inilah, kondisi genting adalah argumen yang dijadikan alasan pemerintah dalam memutuskan kebijakan pembubaran HTI.

Catatan Kaki

[1] Siti Muzaroh, Justicia Islamica: Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Vol. 16, No.1, Juni 2019.
[2] Sri Yunanto, Negara Khilafah Versus Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Jakarta:IPSS, 2017), 126.
[3] ibid.
[4] Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2017/07/21/13321381/mengukur-kegentingan-pembubaran-hti-dan-penerbitan-perppu-ormas?page=all. Diunduh tangga 27-8-2020.
[5] Dengan Perppu, Pembubaran Ormas Tak Perlu Proses Pengadilan”, https://tirto.id/csyw, diunduh tanggal 27-8-2020.
[6] Muhammad Syarif Nuh, (2011). Hakekat Keadaan Darurat Negara (State Of Emergency) sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Jurnal Ius Quia Iustum, 18(2), 229-246:230.
[7] Aidul Fitriciada Azhari, (2012). Negara Hukum Indonesia: Dekolonisasi dan Rekonstruksi Tradisi, Jurnal Ius Quia Iustum, 4(2), 489-505:492.
[8] Muhammad Jeffry Rananda, (2015). Politik Hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, 534-542:536.
[9] Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun & Merancang Peraturan Daerah; Suatu Kajian Teoretis & Praktis Disertai Manual, Kencana, Jakarta, 2013, hal. 61-64.
[10] Ali Marwan Hsb  KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG ( COMPELLING CIRCUMSTANCES OF THE ENACTMENT GOVERNMENT REGULATION IN LIEU OF LAW) hal 11.
[11] Sjahran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 13 – 14.
[12] Haposan Siallagan dan Efik Yusdiansyah, Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, UHN Press, Medan, 2008, hlm. 38.
[13] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan; Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2008, hlm. 215.
[14] ibid.
[15] ibid.
[16] A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 193 – 194.
[17] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan………, Op. Cit., hlm. 131.
[18] Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992, hlm. 50.
[19] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta, 2000, hlm. 217.
[20] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 55.
[21] Ibid., hlm. 55 – 62.
[22] Kajian RUU Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Jakarta: Bagian PUU Bidang Politik, Hukum, dan HAM Sekretariat Jenderal DPR-RI, 2010, h. 5.
[23] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta Konstitusi Press, 2006, h. 7-8.
[24] Konstitusionalitas Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas Ditinjau dari UUD 1945. Hlm 463.
[25] Lihat Pasal 56 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.
[26] Ibid.
[27]  George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition New York: Holt, Rinehart and Winston, 1961, hlm. 35.
[28] Pasal 61 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
[29] Ibid Pasal 64.
[30] Ibid Pasal 68
[31] Pasal 1 Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
[32] Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, hlm. 26
[33] Dedy Nursamsi, (2014). Kerangka Cita Hukum (Recht Idee) Bangsa Sebagai Dasar Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang, Jurnal Cita Hukum, 2(1), 89-100:96.
[34] Osgar S. Matompo, (2014). Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif Keadaan Darurat, Jurnal Media Hukum, 21(1), 57-72:59.
[35] ibid.
[36] http://www.detiknewsocean.com/fungsi-peraturan-pemerintah-pengganti, diakses pada 27 Agustus 2020.
[37] http/news.beritaharian.com.ihwalkegentinganmemaksa. akses 27 Agustus 2020.

[…]

Negara Islam dalam Praktek Negara Bangsa

728 Views

Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.

Bulan Mei 2017 lalu, organisasi kemasyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan Pemerintah berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. HTI dianggap sebagai organisasi terlarang dan dilarang Pemerintah melakukan kegiatan atas nama organisasi ini. Penyebabnya, HTI dituduh ingin mengganti ideologi Pancasila, UUD 1945, dan mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tujuan mendirikan sistem negara bernama khilafah. Tidak sampai pada pembubaran saja, para pengurus dan simpatisan HTI yang mengkampanyekan sistem khilafah turut diancam dengan sanksi pidana. Mereka bisa dianggap melakukan tindakan makar membahayakan eksistensi dan kedaulatan NKRI.

Berkaca dari pengalaman itu, otoritas kekuasaan negara begitu kuat. Massa HTI bisa saja protes selama berbulan-bulan, melakukan aksi protes yang tidak putus. Terus menjastifikasi bahwa HTI sebagai organisasi yang didirikan atas dasar Konstitusi, dalam negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan jaminan dan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dan pendapat, dan membuat justifikasi rasional bahwa organisasi tidak seburuk seperti dituduhkan oknum Pemerintah. Tetapi Pemerintah mengenyampingkan semua pembelaan itu dan bermodal surat penetapan pembubaran, langsung bubar organisasi masyarakat ini, tidak lagi bisa melakukan kegiatan atas namanya.

Penulis menguraikan dinamika pembubaran HTI, tidak bermaksud larut dalam perdebatan pro-kontra legalitas dan argumentasi pembubaran organisasi massa ini. Masing-masing pihak pasti memiliki dasar dan argumentasi logis. Penulis lebih menitik-beratkan pada eksistensi kekuasaan negara yang strategis bagi berkembang atau tidak berkembang suatu organisasi massa bahkan ideologi tertentu. Kekuasaan negara memiliki kekuatan membubarkan organisasi massa dan mencegah berkembang ideologi, bahkan Pemerintah sendiri bisa menjadi pihak pendukung berkembang dan maju suatu gerakan massa dengan ideologinya.

Demikian pula dengan agama akan tegak, ideologi Islam akan diterima secara masif atas dukungan kekuasaan negara. Agama menjadi pondasi, sementara kekuasaan negara menjadi pengawal. Negara tanpa agama akan hancur, sementara kekuasaan negara tanpa tuntunan agama menjadi sia-sia. Agama memerlukan agama agar dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama untuk mendapatkan bimbingan moral dan etika. Dengan kekuasaan politik, aspek kehidupan dapat diarahkan. Sebab kekuasaan negara memiliki sumber daya, fasilitas dan dukungan rakyat. Walaupun tidak jarang kekuasaan negara juga represif terhadap rakyatnya sendiri.

Menjadi pertanyaan, apa sistem pemerintahan ideal dalam konteks Indonesia? Sistem yang bisa diterima oleh semua komponen anak bangsa ini. Apakah sistem pemerintahan yang dijalankan, sudah menjamin tegak ajaran Islam, atau malah perlu dipertimbangkan wacana penggantian sistem pemerintahan. Dengan menawarkan konsep pemerintahan khilafah, seperti ditawarkan HTI, menawarkan sistem kepemimpinan imamah seperti yang dijalankan oleh Republik Islam Iran, atau aktualisasi sistem pemerintahan demokrasi lewat penerapan prinsip ajaran agama di negara bangsa. Atau jangan-jangan lebih memilih sistem pemerintahan berbentuk kerajaan (monarki) yang kekuasaan raja diganti oleh keturunannya secara turun-temurun. Semua sistem pemerintahan tersebut pernah dipraktikkan dan menjadi kekayaan khasanah intektual pemerintah Islam.

Pemerintahan Islam

Segala sisi kehidupan manusia telah ada tuntunan dalam dasar-dasar ajaran Islam, yang ditemukan dalam Alquran, Hadits Nabi maupun Ijtihad ulama. Memahami, mengamalkan dan menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat menjadi tanggung-jawab setiap muslim sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi. Refleksi tuntunan beragama disarikan dari dasar-dasar ajaran Islam menjadi sikap-perilaku muslim. Ajaran yang memberi arah dan pedoman mengarungi kehidupan sekaligus menjawab dinamika seputar Tuhan, manusia dan alam semesta.

Dasar-dasar ajaran Islam menjadi norma pijak sikap-tingkah laku seorang muslim. Sisi kehidupan terkecil sampai yang terbesar telah diatur prinsipnya dalam Islam. Dari urusan masuk toilet sampai pada kehidupan bernegara, ada tuntunannya. Apalagi persoalan pemerintahan yang menguasai dan mengatur hajat hidup orang banyak, pasti memperoleh prioritas bahasan dalam ajaran tauhid ini.

Sehingga kurang tepat, menganggap ciri seorang muslim sejati adalah mereka yang senantiasa memakai sorban dan baju gamis, dengan rutinitas ibadah yang lekat. Tetapi, malah minim perhatian pada kehidupan sosial-politik bernegara, bahkan mengharamkan politik dibahas di masjid. Kegiatan politik di masjid sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW biasa dilakukan, masjid merupakan pusat kegiatan umat Islam, termasuk dalam melakukan konsolidasi politik. Membolehkan masjid sebagai sarana membahas seputar politik sepanjang dilakukan secara objektif, berperspektif kemanusiaan universal, dan tidak untuk kepentingan pragmatis dukung-mendukung peserta kontestasi pemilu tertentu (kepentingan kekuasaan jangka pendek).

Walaupun untuk urusan kehidupan bernegara menurut M. Natsir, Islam tidak mengatur karena hal-hal yang tidak diatur tersebut memang tidak bersifat kekal dan berkenaan dengan keduniawian yang berubah menurut tempat, waktu, dan keadaan.[1] Islam lebih mengatur dasar-dasar kehidupan yang tidak akan berubah, dalam bentuk hukum untuk mencegah penyakit masyarakat misalnya aturan tentang larangan minuman keras, perjudian, perzinahan, riba, serta aturan tentang pernikahan, perceraian, waris, dan zakat.

Berkaca dari pengalaman sejarah soal sistem pemerintahan yang pernah dipraktikkan dunia Islam terkait dengan kondisi kontekstual masing-masing umat. Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abag ke-7 masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktikkan beberapa sistem pemerintahan, meliputi pemerintahan khilafah, imamah, monarki, dan demokrasi.

a. Pemerintahan khilafah dan Monarki

Khilafah secara etimologis, artinya kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminologi, khilafah diartikan sebagai kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah ditempatkan sebagai pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh teritorial, sehingga meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mempersatukan kekhalifahan adalah Islam sebagai agama.

Sistem pemerintahan khilafah adalah sistem pemerintahan Islam global yang tidak dibatasi oleh teritorial dengan tujuan menerapkan hukum Allah yang diperuntukkan bagi manusia, sehingga khilafah Islam meliputi berbagai suku dan bangsa di dunia. Pada intinya khilafah merupakan kepemimpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan memikul misi “rahmat  bagi semesta alam” ke seluruh dunia.

Ketika Nabi Muhammad saw meninggal dunia, beliau tidak mewasiatkan penunjukkan pengganti kepemimpinan secara spesifik. Para sahabat kemudian berdiskusi yang kemudian menghasilkan keputusan untuk mengangkat Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad Saw dalam urusan kepemimpinan. Masa kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Umar bin Khatthab saat Ia ditunjuk langsung oleh Abu Bakar. Selanjutnya, kepemimpinan dipegang oleh Usman bin Affan yang terpilih melalui diskusi dewan khusus yang dibentuk oleh Umar bin Khatthab sebagai bagian dari proses pergantian kepemimpinan berikutnya. Kepemimpinan kemudian beralih ke Ali bin Abi Thalib yang dipilih secara aklamasi oleh para sahabat.

Ciri yang menonjol dari sistem pemerintah yang mereka jalankan (khulafa al-rasyidun) terletak pada mekanisme musyawarah sebagai paradigma dasar kekuasaan, bukan dengan sistem warisan pemerintah kepada keturunan. Tidak ada satupun dari keempat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaannya kepada sanak-kerabaanya. Musyawarah menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan.[2] Prinsip musyawarah mampu mendialogkan perbedaan-perbedaan pandangan dan sikap yang dibangun di atas toleransi, guna mencari alternatif terbaik.

Namun pada fase berikutnya setelah masa khulafa al-rasyidun kekhalifahan dilanjutkan oleh Dinasti Bani Umayah dengan Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai khalifah pertama. Lalu melantik puteranya, Yazid sebagai khalifah. Sejak saat itu khilafah Islamiyah berdasarkan syura diganti dengan sistem keturunan, menjadi negara kerajaan (monarki) mengikuti sistem yang diberlakukan di Persia dan Romawi.

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada[3] menjelaskan, sistem monarki memberikan hak kepada pemimpin untuk menganggap negara sebagai miliknya dan bisa diwariskan kepada keluarga (turun-temurun) sementara rakyat dipandang sebagai bawahan yang berada di bawah perlindungan dan dukungannya. Dalam sistem ini, singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya. Raja diposisikan sebagai sentral kekuasaan, dan raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya. Perkataan raja adalah undang-undang tertinggi yang harus ditaati. Raja memiliki hak khusus yang tidak dimiliki rakyatnya. Raja memiliki kekebalan hukum dan kekuasaan kenegaraan yang tidak terbatas.

Berakhirnya Dinasti Bani Umayah yang digantikan oleh Bani Abbasiyah, menempatkan sistem pemerintahan yang dianut tidak jauh berbeda, yakni masih mempertahkan khilafah monarki. Demikian pula saat kekuasaan Islam dipegang oleh Turki Usmani di Istambul (Dinasti Utsmaniyah), khilafah monarki yang dipertahankan.

Praktis pemerintahan Islam selepas khulafa al-rasyidun, telah menempatkan musyawarah tidak dijadikan sistem pergantian kekuasaan, sirkulasi kekuasaan diserahkan kepada keluarga raja, akibatnya suri tauladan yang diwariskan khulafa al-rasyidun hilang begitu saja.

b. Kepemimpinan Imamah

Imamah secara etimologi artinya kepemimpinan. Setiap orang yang menduduki kursi kepemimpinan suatu kelompok manusia disebut sebagai imam. Menurut terminologi, imamah ialah kepemimpinan umum atas segenap umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat spiritual maupun duniawi. Dicantumkan kata “duniawi” untuk mempertegas betapa luas cakupan imamah, bahwa pengaturan masalah-masalah dunia bagi umat Islam merupakan bagian dari agama Islam.

Mazhab Syi’ah imamiyah berpandangan bahwa persoalan imamah ini merupakan otoritas Allah. Dialah yang berhak memilih dan mengangkat hamba-Nya yang saleh untuk menduduki jabatan imamah. Peristiwa pengangkatan imam ini telah terjadi pada masa hidup Nabi, yaitu tatkala Allah Swt memilih dan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai imam dan khalifah muslimin sepeninggal beliau. Pemilihan dan pengangkatan Ali tersebut dilakukan oleh Rasul Muhammad SAW secara langsung dan di hadapan umat Islam. Beliau pun memilih dan menentukan 11 orang lainnya dari keturunan Ali sebagai imam kaum muslimin setelah wafatnya.

Doktrin politik Syi’ah muncul dari konsep kepemimpinan imamiyah selama masa periode gaib besar, di mana imam yang kedua belas gaib. Selama masa kegaiban itu, otoritas (wilayat) dikuasakan kepada seorang faqih yang adil dan bertindak sebagai deputi dari iman yang gaib. Penguasaan tersebut menurut Ahmad Vaezi tidak ditunjuk melalui pemilihan bebas, mereka berkuasa karena kualifikasi dan kemampuan tertentu, tidak karena pendelagasian otoritas dalam model proses demokrasi, tapi karena kualitas sebagai wali.[4] Dengan demikian perwalian dari seorang ahli faqih disahkan otoritas yang asli dan mutlak dari Allah, untuk menegakkan pemerintahan Islam dan mengatur masyarakat.

Konsep politik Syi’ah dikontekstualisasi dalam bentuk wilayah al-faqih, yang dalam periode modern dipraktekkan di Republik Islam Iran. Iran menjadi penjelmaan konsep ini setelah Revolusi Islam Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini. Ada lima lembaga penting yang ditafsir oleh Dewan Ahli dan disetujui oleh Imam Khomeini, yakni faqih, presiden, perdana menteri, parlemen dan dewan pelindung konstitusi. Kekuasaan terbesar dipegang oleh faqih yang dipilih oleh dewan ahli dengan syarat-syarat tertentu.[5]

Wewenang faqih di Iran menurut Imam Khomaeni[6] antara lain, (1) mengangkat Ketua Pengadilan Tertinggi; (2) mengangkat seluruh pimpinan angkatan bersenjata; (3) mengangkat pimpinan pengawal revolusi; mengangkat anggota Dewan Perlindungan Konstitusi, dan (5) membentuk Dewan Pertahanan Nasional yang anggotanya terdiri dari presiden, perdana menteri, menteri pertahanan, KSAB, kepala pasdaran, dan dua orang penasihat. Kewenangan mengangkat tentu diikuti juga dengan kewenangan pemberhentian pejabat tersebut.

Pemegang kekuasaan terbesar kedua adalah presiden yang dipilih setiap empat tahun sekali. Tugas pokok presiden menjalankan konstitusi negara, menjadi kepala pemerintahan, serta mengkoordinasikan ketiga lembaga negara: ekskutif, legislatif, dan yudikatif. Presiden merupakan pejabat tertinggi pemerintahan Iran dalam hubungan internasional yang berwenang menandatangani perjanjian dan berhak mengangkat perdana menteri setelah parlemen menyetujui.

Kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen yang beranggotakan 270 orang dan dipilih secara bebas dan rahasia oleh rakyat. Parlemen bertugas mengawasi, mengontrol dan membahas seluruh kebijakan pemerintahan. Seluruh keputusan dan perjanjian yang dibuat pemerintah harus mendapat persetujuan parlemen.

Adapun Dewan Pelindung Konstitusi Iran beranggotakan dua belas orang, enam orang anggotanya adalah ahli hukum Islam yang diangkat faqih, sedangkan enam orang lainnya terdiri dari ahli hukum umum yang diusulkan Pengadilan Tinggi Iran dan disetujui parlemen. Tanpa persetujuan Dewan, seluruh kegiatan parlemen tidak sah. Tugas utama Dewan ini melindungi Islam dan Konstitusi Negara Islam Iran. Dewan ini memiliki kekuasaan menafsirkan konstitusi dan bertugas melaksanakan referendum, pemilihan presiden dan pemilihan anggota parlemen.

 

c. Demokrasi

Asal kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni demokratia, yang berarti pemerintahan rakyat. Demokratia berasal dari demos yang artinya manusia (rakyat), dan kratos yang artinya pemerintahan. Makna demokrasi lekat dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang memperoleh kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau secara tidak langsung melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).

Demokrasi dalam pandangan Syamsuddin Haris, sebagai sistem politik dan cara pengaturan kehidupan terbaik setiap masyarakat yang menyebut diri modern, sehingga pemerintah di manapun termasuk rezim totaliter, berusaha menyakinkan masyarakat dunia bahwa mereka menganut sistem politik demokratis, atau tengah berproses ke arah sistem politik demokratis.[7] Dalam praktik, demokrasi ditemui dalam bentuk formal, yakni ada proses pemilihan umum yang dilaksanakan oleh lembaga independen dan mandiri, serta adanya kebebasan pemilih untuk menentukan pilihannya dari semua peserta kontestan. Demokrasi formal ini dilekatkan ada aturan dan ketentuan sebagai aturan main yang wajib ditaati semua pihak.

Demokrasi dalam praktik dapat melahirkan pemimpin berintegritas yang berjuang dan bertanggungjawab atas pelaksanaan pemerintahan adil dan melindungi segenap warga negara. Namun wajah demokrasi juga kadang tercorong dengan lahirnya pemimpin otoriter yang membunuh demokrasi, melalui kontrol kekuasaan dan melahirnya undang-undang untuk kepentingan diri dan golongannya.

Padahal sejatinya, demokrasi bersifat substantif yakni tidak sekedar pelaksanaan proses aturan main pemilihan umum, tetapi ada pendidikan politik yang terinternalisasi lewat kesadaran sikap tingkah laku stakeholders. Nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan hak asasi manusia diperhatikan dan dilaksanakan. Hingga minim pelanggaran yang menciderai proses demokratisasi serta penanganan pelanggaran yang tegas kepada pelaku. Demikian pula dari sisi hasil pemilihan yang dapat diterima oleh semua pihak, hingga lahir pemimpin berintegritas pilihan rakyat pemilik kedaulatan.

Sistem pemerintahan demokrasi, menjadi di antara sistem yang banyak diterapkan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti halnya Indonesia. Demokrasi tidak dijalankan secara sekuler seperti di negara barat, melainkan demokrasi mendapatkan pengaruh dari agama. Hal ini dapat diidentifikasi lewat materi muatan peraturan perundang-undangan yang dipengaruhi oleh ajaran agama Islam.

 

Desain Sistem Pemerintahan Indonesia

a. Fenomena Dominasi Presiden

Negara Indonesia, telah menempatkan kekuasaan dilaksanakan oleh kekuasaan pemerintahan negara yang dibagi ke dalam cabang-cabang kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tiga cabang kekuasaan ini saling kontrol dan sinergi sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan kekuasaan negara. Walaupun dalam sistem pemerintahan Indonesia, kekuasaan eksekutif yang di jabat kekuasaan tertinggi “Presiden” lebih menonjol superior dibandingkan dengan cabang kekuasaan lainnya. Tidak jarang Presiden bersama para pimpinan partai politik pengusung, menentukan arah kebijakan tatanan kehidupan bermasyarakat-bernegara.

Demikian pula kinerja cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif secara langsung maupun tidak langsung dapat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif-presiden. Walau ada norma tekstual, kekuasaan legislatif dan yudikatif sebagai kekuasaan mandiri dan independen. Tetapi, kenyataan praktik tidak seideal teks norma terbaca. Loyalitas, balas budi dan aroma desain memuluskan kebijakan politik tertinggi tidak bisa ditepis. Jadilah cabang kekuasaan negara lainnya sebagai perpanjangan tangan kepentingan pragmatis eksekutif-Presiden dan kelompoknya.

Kenyataan ini berangkat dari desain regulasi yang mengatur tata kehidupan bernegara, regulasi yang dirumuskan oleh anggota legislatif (DPR) bersama pemerintah. Sebagai tokoh partai politik yang berhasil duduk di gedung Senayan lewat sistem pemilihan umum, produk regulasi bisa dipastikan tidak lepas dari arahan internal partai politik asalnya. Regulasi sebagai hasil kompromi politik dan lobi pragmatis antar partai. Hampir tidak ada alias minim keberanian-idealisme anggota legislatif untuk keluar dari bingkai kebijakan partai dengan ekspektasi keadilan subtantif, mengambil sikap politik berbeda dengan kebijakan internal partai. Kalaupun ada yang nekat-berani maka siap bernasib tragis, dicari kesalahan walau kadang politis terus diganti dengan status pengganti antar waktu, karena tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota partai politik.

Ada lingkaran kekuasaan. partai politik sebagai pengusung calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum, dan peran mengusung calon legislatif, hingga terpilih menjadi anggota legislatif dan duduk di Senayan. Dengan kenyataan ini, “pimpinan partai politik” menjadi pihak yang mempengaruhi kebijakan kekuasaan negara yang dijalankan oleh presiden, demikian juga dengan undang-undang produk regulasi hasil parlemen.

Demikian pula dengan cabang kekuasaan yudikatif sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan di bidang penegakan hukum yang mandiri dan imparsial, juga tidak lepas dari pengaruh eksekutif-presiden. Kenyataan ini tidak lepas dari kewenangan presiden mengangkat dan memberhentikan pimpinan lembaga dalam kekuasaan yudikatif, baik kepolisian, kejaksaan, mahkamah agung, dan mahkamah konstitusi. Walaupun dalam proses rekrutmen ada persetujuan dari parlemen, tapi sekali lagi dominasi kekuasaan presiden dan pimpinan partai politik pengusung sangat menentukan sosok masing-masing pimpinan lembaga dalam kekuasaan yudikatif.

****

Sejatinya demokrasi hanya dapat dijalankan oleh para pemimpin negara yang amanah. Label amanah terlihat dan dirasakan oleh rakyat dari sikap, tindakan dan kebijakan pengelolaan negara. Sebab seorang pemimpin politik yang picik, akan menganggap musuh orang-orang yang kritis yang kebetulan berseberangan pendapat dengannya. Lebih fatal lagi, musuh tadi harus dikuasai kalau perlu dimusnahkan dengan berbahai cara, kendati dengan cara membunuh (menghilangkan nyawa), menculik atau membunuh karakter musuh. Tindakan irrasional dalam sudut demokrasi, seperti itu bisa saja terjadi, apalagi dikuasainya mayoritas struktur lembaga-lembaga negara dan kekuatan civil society potensial.

Pada keadaan ini, demokrasi yang diagungkan dibajak beberapa kalangan elit politik, tentunya untuk kepentingan pribadi. Hakikat suara rakyat hasil pemilu berkembang untuk melindungi dan mencapai tujuan elit politik. Inilah yang dikhawatirkan dari pemimpin hasil pemilu bertransformasi menjadi pemimpin otoriter. Demokrasi perlahan-lahan mati dan dikalahkan oleh sistem pemerintahan yang dibangun dengan mengarah ke ciri diktator. Padahal pemimpin tersebut lahir dari proses demokratisasi. Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt profesor Universitas Harvard Amerika, dalam bukunya “Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die), menyebut empat ciri-ciri kunci yang menunjukkan bahwa demokrasi telah berubah menjadi sistem pemerintahan berprilaku otoriter.  Pertama, komitemen lemah atas aturan hukum. Kedua, menyangkal legitimasi lawan politik. Ketiga, intoleransi atau anjuran kekerasan. Keempat, membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.[8] Matinya demokrasi ditandai dari keadaan-peristiwa kehidupan bernegara, yang erat kaitan dengan tindakan pemilik kekuasaan (pemerintah) mencerabut nilai dan prinsip demokrasi.

Pemerintah ciri diktator ini bisa saja lahir lewat proses pemilu, di mana tokoh politik menghimpun dukungan dengan menggunakan isu-isu populer dan argumen yang penuh prasangka terhadap lawan-lawan politik. Lalu terpilih dan naik ke puncak kekuasaan lewat proses pemilu, saat itulah Ia mulai menjalankan kekuasaan pemerintahan dengan langkah menghancurkan lembaga-lembaga politik yang demokratis. Berupa lembaga politik dijadikan senjata politik untuk mengendalikan dan menghantam mereka yang berseberangan secara politik. Membeli media dan sektor swasta agar diam atau memihak kepadanya, serta mengubah aturan politik agar keseimbangan politik berubah menjadi merugikan lawan. Jadi inilah paradoks gawat yang harus dihadapi oleh sistem demokrasi.

Banyak upaya pemerintah berkuasa membajak demokrasi sehingga tampak “legal” dengan persetujuan lembaga legislatif dan diterima lembaga yudikatif. Boleh jadi desain pencitraan, melalui upaya-upaya perbaikan demokrasi dengan membuat pengadilan lebih efesien, memerangi kejahatan dan korupsi, atau mendorong pemilu jujur dan adil.  Media massa terbit setiap saat, tapi sudah dibeli atau ditekan pihak pemerintah sehingga menyensor diri sendiri. Rakyat terus mengkritik pemerintah tapi lantas menghadapi kriminalisasi. Jadilah masyarakat sebagian besar memilih jalan aman yakni apatis.

Pemerintahan dijalankan dalam sebuah skenario besar mempertahankan kekuasaan. Kritikan-kritikan berpotensi mengancam eksistensi kekuasaan lantas ditekan, dikriminalisasi dan diberangus dengan terlebih dahulu diajak masuk dalam lingkaran kekuasaan saling menguntungkan. Struktur kekuasaan lembaga negara dikuasai dengan cara mempergunakan otoritas mengisi dengan orang-orang loyal terhadap elit pemerintah. Pada sisi lain, jargon dan branding tentang pemerintahan demokratis, penegakan hukum dan perlindungan HAM terus disampaikan. Walau senyatanya berbeda, antara disampaikan dengan dilakukan pemerintah.

b. Pijakan Demokrasi Indonesia

Sistem pemerintahan khilafah dan imamah merupakan sebagian dari khazanah kekayaan identitas dan sistem politik yang dipraktekkan oleh umat Islam dalam konteks negara bangsa (nation state). Masing-masing khazanah berkembang melewati batas sekat wilayah negara. Tetapi selain sistem tersebut, sistem politik demokratis juga banyak dipraktekkan oleh sejumlah negara-negara muslim di dunia, atau setidaknya dipraktekkan di negara yang mayoritas berpenduduk agama Islam. Walaupun sistem politik demokratis tidak menjamin negara akan mencapai kemakmuran, sebab banyak juga negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi berhasil mencapai tingkat kemakmuran. Tetapi sistem demokrasi lebih menjamin pergantian pemerintah secara damai, dan ada jaminan perlindungan hak asasi manusia.

Kembali ke topik utama, bahwa khilafah, imamah, dan monarki menjadi referensi sistem politik Islam untuk diterapkan di negara bangsa. Pilihan menentukan sistem pemerintahan menjadi hak pendiri negara dan kedaulatan rakyat. Islam tidak menggariskan secara tegas bentuk sistem pemerintahan, tetapi menekankan pada aspek substansi, prinsip, dan nilai Islam dalam setiap pelaksanaan sistem pemerintahan. Jadi sekali lagi, setiap bangsa bebas menentukan bentuk sistem pemerintahan yang dianut dengan catatan mengandung unsur-unsur keadilan, persamaan, dan permusyawaratan serta tidak mengubah dasar-dasar ajaran Islam yang fundamental.

Unsur-unsur tersebut menurut Dahlan Thaib dkk menunjukkan konsepsi Islam tentang negara memegang peranan penting bagi pembentukan negara modern yang demokratis. Sebagai contoh Islam dan ketatanegaraan modern memperlihatkan formulasi konstitusi Madina sebagai konstitusi pertama di dunia, yang di dalamnya terkadunung muatan materi layaknya konstitusi modern. Konstitusi ini memuat dasar-dasar masyarakat partisipatif dan egaliter, yang dicirikan dengan pengakuan hak asasi manusia tanpa diskriminasi baik muslim maupun yahudi.[9]

Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar, lebih memilih dan menjadikan demokrasi sebagai sistem politik pemerintahan. Pergulatan pemikiran, idealisme, toleransi, dan orentasi dari para pendiri bangsa (the founding fathers) lantas menjatuhkan pilihan pada sistem demokrasi yang menempatkan rakyat berdaulat menempatkan wakil-wakilnya di pemerintahan melalui mekanisme pemilihan umum. Pemilihan dilaksanakan dalam periode lima tahun sekali untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah oleh lembaga indepen dan mandiri yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP.

Sebagaimana demokrasi menempatkan kedaulatan tertinggi pada tangan rakyat, rakyat yang berdaulat memilih wakil-wakilnya duduk di kursi pemerintah dan legislatif. Demokrasi dilaksanakan melalui mekanisme pemilihan umum untuk periode masa pemerintahan. Pemilu dijalankan oleh lembaga independen yang memperlakukan semua peserta pemilu secara jujur dan adil serta menjamin hak-hak politik masyarakat.

Konsepsi Islam mengenai hak-hak politik merupakan hak-hak yang dinikmati oleh setiap rakyat sebagai anggota dalam suatu lembaga politik seperti hak memilih, hak dipilih, hak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan politik, hak memegang jabatan umum dalam negara, dan hak yang menjadikan seseorang ikut serta mengatur kepentingan negara dan pemerintahan.[10]

Pembukaan alinea IV UUD 1945 berbunyi, “bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Dimaknai negara Indonesia berbentuk negara kesatuan, sedangkan sistem pemerintahan yang dijalankan ialah Republik. Selain sistem pemerintahan republik dan bentuk negara kesatuan, Presiden ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Pemerintahan merupakan kekuasaan negara yang dijalankan badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan bernegara.

Fungsi pemerintahan suatu negara, meminjam ajaran trias politica Montesqieu dibedakan menjadi tiga fungsi, yakni eksekutif sebagai kekuasaan untuk menjalankan undang undang, legislatif sebagai kekuasaan untuk membentuk undang undang, dan yudikatif sebagai kuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang undang. Dari sistem pemerintahan Indonesia mulai tahun 1945 hingga saat ini, telah terjadi banyak perubahan. Perubahan yang menjadi sejarah perjalanan ketatanegaraan negara Indonesia. Perubahan itu, lewat penyelenggaraan pemilihan umum secara serentak, mekanisme cheks and balance lembaga negara, dan pemberian kekuasaan yang besar kepada parlemen untuk melaksanakan fungsi pengawasan, pembahasan undang-undang dan fungsi anggaran.

Walaupun diakui proses demokratisasi dalam kerangka penyelenggaraan kekuasaan negara masih menemui sejumlah masalah, hambatan, dan tantangan. Terutama akibat perbedaan ideologi, aliran dan kepercayaan yang tajam, kadang turut mempengaruhi stabilitas negara, yang pada satu kesempatan berujung pada terjadinya konflik sosial pembawa malapetaka kehidupan masyarakat, berupa kerugian harta-benda hingga hilangnya nyawa. Mengatasi hal semacam ini, maka semangat dan bangun toleransi antar umat beragama maupun dalam sesama umat beragama menjadi penting selalu digalakkan, guna merawat dan merajuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Berdasarkan ideologi Pancasila menurut Muchamad Ali Safa’at, Indonesia bukan negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama saja. Pada sisi lain, juga bukan negara sekuler karena negara sekuler tidak terlibat dalam urusan agama. Negara Indonesia yang berideologi Pancasila menempatkan negara kebangsaan yang religius untuk melindungi dan memfasilitasi perkembangan semua agama yang dipeluk oleh rakyat tanpa pembedaan besarnya dan jumlah pemeluk.[11]

Artinya hubungan negara dan agama di Indonesia tidak ditempatkan dalam konteks dikotomi, melainkan ditempatkan pada posisi yang harmonis dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Indonesia tidak menolak modernisasi sejauh tidak meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Hal ini menjadi wahana bagi kelompok muslim terdidik untuk signifikan terhadap pertumbuhan gerakan demokrasi.

 

Penutup

Islam merupakan agama monoteisme yang sempurna mengatur dasar-dasar sisi sendi kehidupan manusia, meliputi tuntuan moral dan peribadatan, serta petunjuk-petunjuk mengenai segala aspek kehidupan, termasuk sistem politik dan pemerintahan negara. Islam dan politik tidak terpisahkan, agama dan negara merupakan dua objek penting dalam Islam, yang keduanya memiliki hubungan fungsional yakni kekuasaan politik melindungi agama dan agama mengawal kekuasaan politik.

Soal sistem politik dan pemerintahan tidak lepas dari bahasan ajaran Islam. Dalam catatan sejarah, sistem pemerintahan yang pernah diterapkan dengan pengaruh ajaran Islam meliputi sistem pemerintahan khilafah yang dijalankan khulafa al-rasyidun hingga bermetamorfosis menjadi kekuasaan monarki di masa Dinasti Umayah, lalu berganti Dinasti Abbasiyah, dan dilanjutkan Dinasti Turki Utsmaniyah di Istanbul Turki. Demikian pula dengan sistem pemerintahan imamah dijalankan hingga kini oleh Republik Islam Iran dengan konsep wilayatul al-faqih. Serta sistem demokrasi hingga kini banyak dipraktikkan negara muslim.

Konteks ke-Indonesiaan, para pendiri bangsa dan rakyat yang mayoritas umat Islam berkewajiban menjalankan ajaran agama Islam secara penuh dan konsekwen, dengan memperhatikan lokalitas-kearifan setempat. Islam juga tidak menegaskan, bahwa sistem pemerintahan negara-bangsa harus berbentuk khilafah, imamah, atau monarki. Asal sistem pemerintahan manapun yang dipilih dalam konteks negara-bangsa, penerapan prinsip dan norma ajaran Islam dalam dan praktek kehidupan mutlak dilaksanakan. Di antaranya pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, unsur-unsur keadilan, persamaan, dan permusyawaratan.

Oleh karena itu, Konstitusi dan UUD 1945 disusun oleh para pendiri bangsa dan dilanjutkan oleh pemerintah dan wakil-wakil rakyat, idealnya sebagai orientasi dan cita-cita menjalankan ajaran Islam sebagai ajaran rahmatan semesta alam. Dalam kehidupan demokrasi dan pengejawantahan sistem pemilu dengan menempatkan rakyat berdaulat, jika ingin mempertahankan atau ingin melakukan perubahan atas Konstitusi dengan memasukkan nilai dan prinsip universalitas ajaran Islam ke dalam Konstitusi, maka kekuasaan atas pembentukan undang-undangan dalam negara harus diisi oleh orang-orang yang paham dan bersedia berjuang dalam menyampaikan dan menyebarkan ajaran Islam, dan tidak terjebak pada heroisme sistem pemerintahan dalam catatan sejarah umat Islam.

Catatan Kaki:

[1] M. Natsir dalam Muchamad Ali Safa’at. 2018. Dinamika Negara dan Islam, Dalam Perkembangan Hukum dan Politik di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press. hlm. 77.
[2] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008, Fiqih Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 208.
[3] Ibid, hlm. 209.
[4] Ahmad Vaezi, 2006, Agama Politik, Nalar Politik Islam, Citra, Jakarta, hlm. 169-170.
[5] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Op Cit, hlm. 213-214.
[6] Imam khomaeni dalam Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Loc Cit, hlm. 214.
[7] Syamsuddin Haris dalam Topo Santoso dan Ida Budhiarti, 2019, Pemilu Di Indonesia; Kelembagaan, Pelaksanaan dan Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10-11.
[8] Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt, 2018, Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 11-12.
[9] Dahlan Thaib dkk, 2004, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 30.
[10] Ibid, hlm. 51.
[11]Muchamad Ali Safa’at, 2018, Dinamika Negara dan Islam, Dalam Perkembangan Hukum dan Politik di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 100.

[…]

Program Deradikalisasi Tidak Berarti, Bila Keadilan Timpang

338 Views

PaluJati Centre. Upaya program deradikalisasi tidak akan berarti apa-apa dalam suasana keadilan yang timpang, jadi salah satu variabel yang melahirkan radikalisme itu ketidakadilan. Kalau ada ketidakadilan, radikalisme itu akan muncul. Dia akan bertemu spirit agama yakni spirit Jihad, sebagai motivasi awal ketidakadilan.

Demikian pendapat Humas Forum Umat Islam (FUI) Sulteng, Ari Fahry dalam diskusi keilmuan dengan tema, “Bayang-bayang Radikalisme di Tengah Pandemi Keberagaman” dilaksanakan Lembaga Studi dan Informasi Pendidikan (LSIP) bertempat di Kantor LSIP, Kota Palu, Sabtu (4/7).

Dia mengatakan, radikalisme tidak bisa lewat penetrasi ideologi, bantuan usaha, lapangan kerja kalau ada ketidakadilan yang timpang.

“Maka bereskan dulu ketidakadilan dalam masyarakat, maka radikalisme tersebut akan hilang,” paparnya.

Ia menyebutkan, menyoal radikalisme kerap bersisian dengan pembahasan terorisme. Baiknya melihat definisi radikal, untuk memberikan batasan dan gambaran lengkap tentang radikalisme.

Namun kata dia, UU Tindak Pidana Terorisme sendiri sebenarnya tidak memberikan definisi jelas tentang radikalisme. Maka dari itulah Menkopolhukam Mahfud MD memberikan batasan tentang  definisi radikalisme, mengacu pada UU Terorisme, bahwa definisi radikalisme adalah tindakan melawan hukum untuk mengubah sistim. Bukan secara gradual melainkan secara radikal dengan cara kekerasan.

“Terminalogi radikal cenderung bersifat sangat politis ketika diucapkan penguasa,” ujarnya.

Ia mengatakan, Umat Islam merupakan korban telak dari narasi radikalisme di Indonesia. Label  teroris, radikal, kerap juga digunakan secara tidak adil. Padahal aksi-aksi serupa juga dilakukan kelompok-kelompok di luar Islam.

Untuk itu kata dia, perlu mendudukkan narasi radikalisme ini pada tempat yang netral, agar umat Islam tidak selalu menjadi yang tertuduh soal radikalisme.

“Memutus mata rantai radikalisme perlu dilakukan dengan tegas jujur dan berkeadilan,” imbuhnya.

Ari mengakui, bahwa dalam tubuh umat Islam masih kerap terdapat sikap saling curiga, maka perlu digalakkan diskusi lintas ormas dan gerakan untuk saling mengenal.

Moderasi antar ormas ini dapat diambil alih oleh Majelis Ulama Indonesia, sebagai wadah berhimpun seluruh Ormas.

“Maka dengan begitu juga harus terbuka. Dia tidak boleh eksklusif membatasi anggotanya hanya berputar pada satu dua ormas saja. Lembaga tersebut harus benar-benar representative dari lembaga-lembaga Islam yang ada di Indonesia,” imbuhnya lagi.

Umat Islam dapat memberikan energi yang besar pada bangsa ini. Bila tidak berputar pada hal-hal yang remeh temeh. Kaum muslimin bisa memikirkan hal-hal strategis dalam pemberdayaan umat. Kita punya potensi dana zakat luar biasa bila dikelola dengan baik.

Sementara Direktur LSIP 2009-2012, Ruslan Husen, dalam paparannya mengatakan, radikalisme ada di setiap agama dan kelompok yang melintasi batas-batas negara.

“Problemnya ketika radikalisme selalu disematkan pada pihak atau kelompok Islam saja, padahal radikalisme ada di dalam umat non Islam juga,” kata Ketua Bawaslu Sulteng tersebut.

Ia mengatakan, bahwa tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara sejatinya menerapkan prinsip negara Islam. Tapi tafsiran Negara Islam yang disebut patut itu, yang mana. Ini masih menjadi perdebatan, apakah zaman Khalifah, atau kepemimpinan sesudahnya.

“Dari sisi historisnya terdapat praktiknya berbeda yang disesuaikan dengan lokalitas wilayah masing-masing negara,” ujarnya.

Ia menyebutkan, penerapan prinsip dan nilai ajaran Islam serta pengakuan keberagaman dalam kehidupan bernegara, disesuaikan dengan konteks lokal dan wilayah.

Itulah kemudian kata dia, nilai kearifan dan toleransi menganulir, mengakomodir keberagaman tersebut yang dituangkan dalam peraturan hukum dasar. Konstitusi mengakomodir hal tersebut, dari sisi hakiki aslinya maka lahir negara Indonesia.

Jika ada yang tidak disetujui, silahkan menempuh cara konstitusional dalam bentuk pengujian peraturan undang-undang atau peraturan teknisnya.

“Terhadap hukum dasar konstitusi, silahkan rebut kekuasaan eksekutif, legislatif lewat cara-cara konstitusional untuk merubah peraturan, lewat cara yang sah melalui kontestasi pemilihan umum.

Sebab otoritas untuk melakukan perubahan terhadap aturan yang menjadi pegangan dalam bernegara dengan cara legal, dilakukan pihak eksekutif dan legislatif,” katanya.

Sementara Ketua ICMI Muda Sulteng Itho Murtadha, mengatakan, ada tiga hal besar yang melingkup umat Islam sekarang, yakni pertama problem Islam di hadapan modernisme (sains dan teknologi), Islam nampak tak ada aktif dengan kemajuan teknologi.

Kemudian kedua kata dia, Relasi Islam dengan negara dan dan relasi Islam dengan penganut agama lain. (Multikulturalisme) dan ketiga Islam sebagai basis pembebasan sosial.

Dia mengatakan, pasca orde baru kehadiran kelompok-kelompok radikal merupakan konsekuensi logis dari terbukanya kran demokrasi.

Beberapa faktor yang mendorong lahirnya radikalisme berbasis agama, tekstualisme, agama tak mendapat pemaknaan ruang sosial, agama adalah masa lampau.

Sebagai akibat dari bergelanyutnya cara pandang tekstualis, itu juga membentuk atas hidup. Hidup di dunia dimaknai sebagai kesia-siaan belaka.

Selanjutnya identifikasi musuh, selama ini yang diidentifikasi sebagai musuh adalah penganut agama di luar Islam.

Mimpi negara Islam, sebagian besar gerakan muncul sebagai sebuah ikhtiar untuk memperjuangkan berdirinya negara Islam atau pemerintah Islam. Baik itu dalam skala negara/teritori tertentu ataupun Internasional.

Sumber: diolah dari media.alkhairaat.id/ (Ikram)

Gelar Diskusi Keilmuan, LSIP Cantol Tema Radikalisme

308 Views

Palu-Jati Centre.  Lembaga Studi dan Informasi Pendidikan (LSIP) menggelar seri diskusi keilmuan secara terbatas pada Senin,  04 Juli 2020 di jalan Jati kelurahan Nunu Palu.

Kegiatan yang bertema Bayang-Bayang Radikalisme di Tengah Pandemik Keberagaman itu berjalan khidmad. Turut hadir sebagai narasumber Ketua ICMI Muda Sulteng Itho Murthada,  Mantan Direktur LSIP Ruslan Husen, dan Perwakilan dari Forum Umat Islam (FUI) Ari Fahri.

Bersamaan dengan itu, hadir sebagai peserta berbagai perwakilan pimpinan ormas, akademisi, wartawan, dan aktivisi muslim.

Menurut Direktur LSIP Bambang Rinaldi yang menghantar diskusi selaku moderator, bahwa tema radikalisme dipilih  beranjak dari kegelisihan dalam menyikapi isu radikalisme ini di masyarakat. Dipadukan dengan inisiatif melahirkan karya tulis sebagai program lembaga.

“Kami sengaja mengundang peserta khusus sebagai pembanding dan bertujuan memperkaya khazanah tulisan yang akan dibedah,” ungkap Bambang.

Kegiatan yang sengaja diadakan secara terbatas tersebut,  bertujuan untuk membedah pemikiran narasumber untuk memperoleh penguatan dan masukan.

“Kegiatan ini sengaja kami buat secara terbatas yang bertujuan membedah tulisan radikalisme yang ditulis oleh Mantan Ketua LSIP yang kini duduk Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah Ruslan Husen,” terang Bambang.

Bambang menyampaikan bahwa atas antusias masyarakat, sehingga ke depan kegiatan diskusi keilmuan akan kami pikirkan untuk menyiapkan perangkat daring. Agar masyarakat juga dapat mengetahui dan memberikan sumbangsih pemikiran atas topik yang dibahas.

“Kami mohon maaf, atas keterbatasan panitia kali ini, yang belum bisa mengakomodir harapan untuk diskusi dibuka secara daring. Tetapi dalam seri diskusi berikutnya akan kami pikirkan untuk membuka sarana daring,”  tutupnya.

FUI; Umat Islam Terpukul dengan Sematan Radikalisme

379 Views

Palu-Jati Centre.  Kegiatan Diskusi seri pertama keilmuan yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Informasi Pendidikan (LSIP) pada Sabtu, 04 Juli 2020 di jalan Jati kelurahan Nunu. Humas Forum Umat Islam Sulteng Ari Fahri salah satu narasumber menyampaikan bahwa umat Islam sangat terpukul dengan sematan radikalisme.

“Umat Islam sangat terpukul dengan sematan radikalisme, karena istilah teroris, radikal, kerap juga digunakan secara tidak adil. Padahal, aksi-aksi serupa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok di luar Islam. Perlu untuk mendudukan narasi radikalisme ini pada tempat yang netral, agar umat Islam tidak selalu menjadi tertuduh soal radikalisme,”  ungkap Ari.

Lebih lanjut Ari menyampaikan  bahwa sangat disayangkan bahwa narasi radikalisme di Indonesia selalu disematkan dengan umat Islam, padahal menurutnya masih ada contoh radikalisme yang pernah terjadi di agama dan kelompok lain.

“Kita seperti malu-malu untuk menyampaikan bahwa ada contoh radikalisme Kristen, atau radikalisme Budha yang perlu diwaspadai. Kita khawatir, menyampaikan contoh-contoh itu karena nanti disebut sebagai kelompok intoleran,” tegas Ari.

Di samping itu, Ia menyampaikan bahwa umat Islam sudah seharusnya memberikan energi yang besar pada bangsa ini, tidak perlu berputar-putar pada hal-hal yang remeh-temeh.

“Kaum muslimin bisa memikirkan hal-hal strategis dalam pemberdayaan umat, kita punya dana zakat yang potensinya luar biasa bila dikelola dengan baik. Dari syariat zakat saja, betapa masyarakat Indonesia dapat merasakan rahmatan lil alaminnya Islam,” tuturnya.

Hadir juga sebagai narasumber mantan direktur LSIP Ruslan Husen, dan Ketua ICMI Muda Sulteng Itho Murtadha.