Ancaman Golput dalam Pemilu
ANCAMAN GOLPUT DALAM PEMILU
Oleh: Ruslan Husen
Golongan putih yang biasa disingkat “golput” merupakan istilah politik yang berawal dari gerakan protes mahasiswa dan pemuda dalam pelaksanaan Pemilu di masa pemerintahan orde baru. Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di surat suara di luar gambar Parpol peserta Pemilu. Kala itu, jarang yang berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan ditandai sebagai pihak yang berpotensi merongrong Pancasila atau menentang Pemerintah. Golongan putih kemudian digunakan sebagai istilah perlawanan aktivis kepada pihak Golongan Karya, Parpol penguasa pada masa orde baru.
Ketika dipertontonkan sandiwara politik tingkat tinggi masa orde baru, pelaksanaan Pemilu hanya menjadi rutinitas politik untuk melanggengkan kekuasaan pemerintahan orde baru. Selama kurang lebih 32 tahun pemerintahan orde baru berkuasa, Pemilu silih berganti dilaksanakan, tetapi kepemimpinan nasional akan selalu dipegang oleh orde baru. Belum selesai proses Pemilu, dapat diprediksi pemenang Pemilu adalah Golkar, dan jika Golkar pemenang, maka dipastikan Presiden terpilih adalah Soeharto.
Golput pada dasarnya sebagai gerakan moral yang tidak dimaksudkan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih ditujukan untuk melahirkan tradisi kritis atas jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa, yakni sebagai suara kritis menentang sistem Pemilu yang selalu menguntungkan pemerintahan orde baru. Aktivitas gerakan itu disambung dengan penyampaian pikiran secara terbuka kepada publik dan penempelan selebaran kampanye yang menyatakan tidak akan turut memberikan suara dalam Pemilu.
Golput Ideologis dan Teknis
Golput merupakan bentuk ekspresi politik dan merupakan hak dasar warga negara, sebagai turunan dari prinsip demokrasi. Opsi untuk memilih peserta Pemilu atau tidak memilih merupakan pilihan politik sebagai bagian dari ekspresi prinsip kedaulatan rakyat. Ketika pemilih melihat dan merasakan sistem Pemilu tidak berjalan demokratis, berupa pimpinan politik tidak berintegritas berupa menggunakan segala cara untuk terus berkuasa, dan sistem Pemilu yang belum berhasil menjamin pelaksanaan prinsip demokrasi, serta belum adanya jaminan persamaan di muka hukum, maka golput menjadi gerakan alternatif untuk mengkritisi sistem Pemilu. Gerakan ini biasanya disebut dengan gerakan “golput ideologis”.
Secara prinsip, dapat dimaknai bahwa sikap golput ideologis dilindungi oleh Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), UUD tahun 1945, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai bagian dari hak kebebasan berkumpul dan berekspresi untuk mengemukan pendapatan secara lisan dan tertulis di muka umum. Berangkat dari landasan ini, maka pandangan dan sikap golput tidak dapat dipidana, walaupun secara substansi gerakan golput dapat berkontribusi dalam menurunkan angka partisipasi pemilih dalam proses Pemilu.
Selain golput ideologis, terjadinya golput dalam proses Pemilu juga dapat dipicu oleh terhalanginya pemilih yang memenuhi syarat untuk menggunakan hak memilihnya di TPS, mereka ini disebut “golput teknis”. Hal ini dapat terjadi, jika pemilih tersebut tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau pemilih tidak memiliki identitas kartu kependudukan (e-KTP). Sementara dalam ketentuan UU Pemilu, untuk dapat menggunakan hak memilih, maka pemilih harus terdaftar terlebih dahulu dalam DPT, terdaftar sebagai pemilih tambahan (DPTb) bagi pemilih pindahan, atau pemilih memiliki e-KTP sehingga didaftar sebagai pemilih khusus (DPk) yang menggunakan hak memilihnya mulai jam 12.00-13.00. Jika petugas di TPS memperkenankan pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, DPTb atau DPk walaupun secara faktual yang bersangkutan berdomisili di wilayah setepat, maka resikonya adalah pelanggaran proses Pemilu dan proses pemungutan suara di TPS yang bersangkutan wajib diulang dengan menggelar Pemilihan Suara Ulang.
Adanya permasalahan teknis proses Pemilu sangat potensial mengancam pemilih yang ingin menyalurkan aspirasi suaranya menjadi terhalangi. Mereka bisa saja telah memiliki pilihan politik, tetapi karena urusan teknis dari berbagai aspek, apakah dari aspek data kependudukan, pemberitahuan, halangan datang ke TPS atau penyebab teknis lainnya menjadikan mereka tidak dapat menggunakan hak memilihnya pada waktu yang telah ditentukan.
Mengurangi golput teknis ini, Pemerintah, Penyelenggara Pemilu bahkan peserta Pemilu sendiri dengan berbagai macam strategi dan persiapan sejak dini terus mengantisipasi agar golput karena alasan teknis dapat ditekan. Sebagai langkah jaminan perlindungan hak konstitusional warga negara dan mengupayakan legitimasi pemimpin yang lahir dari pilihan politik warga negara.
Menurunnya Partisipasi Pemilih
Proses demokratisasi dari Pemilu ke Pemilu menunjukkan tingkat partisipasi pemilih mengalami penurunan sejak Pemilu tahun 1999, baik dalam pelaksanaan Pemilu legislatif maupun Pemilu Presiden. Tren penurunan partisipasi pemilih dari Pemilu ke Pemilu nampak sebagai berikut:
- Pemilu Presiden putaran I tahun 2004 menunjukkan partisipasi pemilih 79,76 persen, namun dalam pelaksanaan Pemilu Presiden putaran II tahun 2004 turun menjadi 74,44 persen;
- Pemilu Presiden 2009 angka partisipasi pemilih 72,09 persen, yang dimaknai turun jika dibandingkah dengan angka partisipasi pemilih di Pemilu tahun 2004;
- Pemilu Presiden 2014, kembali angka partisipasi pemilih turun pada angka 70 persen.
Demikian pula dengan partisipasi pemilih dalam pelaksanaan Pemilu legislatif, juga cenderung mengalami penurunan, dengan angka persentase sebagai berikut:
- Pemilu legislatif 1999 partisipasi pemilih 97,7 persen.
- Pemilu legislatif 2009 partisipasi pemilih 70,99 persen.
- Pemilu legislatif 2014 partisipasi pemilih 75,11 persen.
Turunnya partisipasi pemilih pada satu sisi dapat mempengaruhi performa politik karena menunjukkan turunnya minat pemilih berpartisipasi dalam pelaksanaan Pemilu dan mereka cenderung tidak tertarik lagi (apatis) dengan kegiatan politik praktis. Tingkat partisipasi erat kaitannya dengan kepercayaan pemilih bahwa Pemilu menjadi salah satu jalan untuk menentukan masa depan negara. Jika ternyata proses Pemilu tidak memberi keyakinan akan hal itu, maka alternatif golput sebagai gerakan ideologis akan menjadi pilihan.
Partisipasi politik masyarakat berupa penggunaan hak memilih guna menentukan pemimpin nasional/daerah dalam sejumlah literatur disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti sistem Pemilu, masalah teknis pendataan pemilih, integritas penyelenggara Pemilu, konten kampanye politik, dan durasi masa kampanye yang lama.
Pertama, sistem Pemilu pada satu sisi turut mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu. Negara yang menggunakan sistem proporsional terbuka cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi pemilihnya, jika dibanding dengan negara yang menggunakan sistem proporsional tertutup. Faktor kandidat dan persaingan antar kandidat/calon legislatif baik antar ataupun internal partai dalam sistem proporsional terbuka cenderung meningkatkan tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu. Apalagi ada kecenderungan publik lebih melihat ketokohan seorang kandidat/calon ketimbang parpol yang digunakan sebagai kendaraan politiknya.
Kedua, masalah teknis pendataan pemilih. Persoalan data pemilih seolah menjadi masalah yang tidak kunjung selesai dari Pemilu ke Pemilu, bahkan masalah yang ditemukan cenderung berulang. Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu telah mengupayakan akurasi data pemilih dengan pendekatan berbagai kebijakan, tetapi fakta sampai saat ini data pemilih terus saja bermasalah yang tidak jarang berujung pada sengketa hasil yang turut mempersoalkan data pemilih. Konkritnya akurasi data pemilih ditujukan pada pemilih yang memenuhi syarat agar dimasukkan dalam DPT, tetapi pemilih yang tidak memenuhi syarat agar dicoret/dihapus dalam DPT.
Ketiga, integritas Penyelenggara Pemilu. Persepsi publik terhadap integritas dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu akan mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih. Dalam hal ini, Penyelenggara Pemilu harus memegang prinsip integritas dan bekerja secara profesional untuk melindungi suara rakyat dari berbagai bentuk manipulasi dan kecurangan yang mengancam. Pada akhirnya masyarakat dapat berkolaborasi dalam mencegah teradinya pelanggaran dan melaporkan pelanggaran untuk ditindak sesuai ketentuan hukum. Sebaliknya, jika integritas dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu tidak dijamin, berupa terjadi persekongkolan dan tidak netral atau tegas dalam menindak pelanggaran, maka dapat dipastikan akan berpotensi menimbulkan kekacauan hasil Pemilu dan membuat sikap apatis masyarakat untuk menggunakan hak memilihnya. Sebab, tidak ada jaminan suara rakyat dikawal hingga lahir pemimpin pilihan rakyat, akibat terciderai integritas dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu.
Keempat, konten kampanye Pemilu. Pelaksanaan kampanye sejatinya mencerdaskan dan membahagiakan, tidak diisi dengan konten-konten negatif dan menyebarkan keresahan. Kampanye bermuatan fitnah dan negatif cenderung memicu pemilih non-partisan dan mengambang menjadi malas datang ke TPS. Adanya hubungan antara kampanye fitnah dan negatif yang diterima oleh pemilih yang non-partisan serta tidak berafiliasi ke peserta Pemilu tertentu, dapat memicu mereka malas (apatis) menggunakan hak pilihnya. Pemilih non-partisan ketika diterpa kampanye fitnah dan negatif memiliki kecenderungan yang tinggi untuk tidak berpartisipasi dibanding dengan pemilih loyal. Pemilih loyal cenderung tidak terpengaruh oleh informasi negatif, mereka memiliki pendirian kokoh dengan berbasis pada kepentingan pragmatis bahkan rasionalitas-ideologis.
Kelima, waktu kampanye yang panjang ternyata memberi pengaruh pada pemilih malas datang ke TPS. Kemalasan tersebut dipengaruhi oleh adanya kejenuhan politik yang timbul karena tidak adanya inovasi kampanye oleh kandidat/calon. Setiap hari publik disuguhkan dengan dinamika kontestasi politik yang dinamis, terkadang menyerang dan membantah hingga hilang nalar-rasional berganti dengan pandangan pragmatis sesaat. Di samping itu, waktu kampanye yang panjang juga banyak dikeluhkan oleh peserta Pemilu terutama calon legislator, karena mereka mengeluarkan dana kampanye yang banyak dan sulitnya menjaga basis massa bila terdapat gempuran politik secara terus menerus dari calon lain.
Golput Tidak Dapat Dipidana
Selama ini, Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah terus menghimbau dan mengajak warga negara untuk tidak golput, yakni mereka dapat berpartisipasi dalam proses politik guna menentukan pemimpin. Sebab publik tentu menantikan pemimpin yang memiliki kapasitas dan integritas yang handal, yakni pemimpin yang mampu berjuang untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan kemajuan pembangunan daerah/nasional. Dan, semua itu dapat terwujud atas partisipasi warga negara dalam memilih pemimpin dalam perhelatan pesta demokrasi. Artinya, proses menentukan pemimpin tidak bisa diserahkan pada sebagian kelompok orang tertentu saja, sebab pemimpin itu akan memimpin warga negara secara keseluruhan. Apalagi ada kelompok orang yang ingin memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang melanggar hukum, hingga harus dilawan berupa mencegah pelanggaran dan melaporkan pelaku kepada instansi berwenang untuk ditindak sesuai ketentuan hukum.
Walaupun, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu terus melaksanakan berbagai kegiatan untuk meningkatkan partisipasi pemilih, jika golput tetap menjadi pilihan mereka maka harus diterima sebagai realitas politik. Inilah dinamika kehidupan berdemokrasi, bahwa hak untuk memilih peserta Pemilu dijamin sebagai hak dasar warga negara termasuk hak untuk tidak memilih alias golput juga dijamin sebagai sebuah hak dasar yang dijamin dalam kehidupan berdemokrasi. Walaupun hak tidak memilih sangat kontra-produktif dengan upaya peningkatan partisipasi politik (hak memilih) yang pada akhirnya dapat bersinggungan dengan kepercayaan publik atas hasil Pemilu dan legitimasi pemimpin nantinya.
Eksistensi gerakan golput atau pilihan tidak memilih peserta Pemilu dalam kehidupan demokrasi sebagai bagian dari ekspresi hak dasar warga negara tidak dipersoalkan sebatas tidak mengganggu stabilitas sosial dan penggunaan hak pilih warga negara lainnya. Bentuk kebebasan itu sah dan legal untuk dilaksanakan. Sehingga tindakan represif menindak pihak yang mengampanyekan golput merupakan tindakan yang tidak memiliki dasar dalam proses penegakan hukum. Artinya tidak ada regulasi yang dapat diancamkan dan dikenakan kepada orang-orang yang mengambil langkah atau mengampanyekan golput.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada prinsipnya mengancam pelaku politik uang (money politics) yang mempengaruhi pemilih untuk menggunakan hak memilihnya dengan cara tertentu, yakni tidak memilih peserta Pemilu. Ancamannya sama dengan pelaku politik uang yang mempengaruhi pemilih dengan memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih agar memilih peserta Pemilu tertentu. Golput tidak termasuk dalam bentuk pidana Pemilu, meski sering dikaitkan dengan ketentuan Pasal 515 UU Pemilu. Pasal ini menekankan, bahwa setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.36.000.000,00.
Tanpa adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi lainnya kepada pemilih, berupa tindakan sekadar menggerakkan orang untuk golput maka tidak tersebut tidak dapat dipidana. Sehingga dapat dimaknai bahwa orang yang memilih golput atau mendeklarasikan dirinya golput tidak dapat dipidana. Pada posisi ini golput dimaknai sebagai bagian dari langkah kebebasan berekspresi untuk mengemukakan pendapat secara lisan dan tulisan.
Golput, Tapi Datang ke TPS
Pada posisi ini, sikap dan pilihan golput sebagai gerakan ideologis dalam perhelatan Pemilu merupakan hal yang lumrah dan biasa terjadi dalam dinamika Pemilu. Walaupun kadang golput sangat kontra-produktif dengan kebijakan dan langkah Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu untuk meningkatkan partisipasi pemilih dan mengupayakan legitimasi pemimpin pilihan rakyat. Sehingga sejak dini upaya untuk mengurangi jumlah golput baik alasan ideologis maupun masalah teknis terus diantisipasi dengan melakukan serangkaian kegiatan program yang terencana, terukur dan masif agar terbangun pemahaman akan urgensi dan partisipasi publik dalam Pemilu.
Bagi yang memilih golput, mereka seharusnya tetap datang ke TPS, untuk mencegah terjadinya penyimpangan surat suara atas dirinya. Inilah golput ideologis, pilihan bertanggung-jawab, pilihan perlawanan atas sistem Pemilu yang dinilai tidak demokratis, atau malah pilihan atas inisiasi perubahan sistem Pemilu. Pilihan datang ke TPS mengontrol proses Pemilu, guna membuktikan keraguan dan pilihan politik akan golput. Sekali lagi, golput dilaksanakan dengan langkah terukur dan strategis, dan bukan malah golput karena malas (apatis) datang ke TPS.
Di TPS, menjadi salah satu tingkatan yang rawan terjadinya manipulasi suara proses Pemilu, pada tahapan ini berbagai pihak (stakeholders) Pemilu harus berani mengambil peran mengontrol dan mengawasi pelaksanaan pemungutan suara di TPS. Dalam hal ini, perlu dipastikan petugas di TPS dapat bekerja dalam koridor ketentuan dan regulasi Pemilu, jangan ada pihak yang melakukan kecurangan tanpa ada pencegahan dan penindakan pelanggaran dari pihak terkait. Apabila ada pelanggaran di TPS maka menyampaikan informasi awal atau laporan kepada instansi terkait dalam hal ini Pengawas Pemilu atau pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan pelanggaran.
Inisiasi Pemimpin
Pesan bijak menyebutkan, kebaikan yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir. Idealitas tatanan masyarakat adil dan sejahtera dengan rahmat Tuhan yang Maha Kuasa, hanya tercapai dengan usaha sungguh-sungguh yakni saat orang-orang baik bersekutu memperjuangkan keadilan dan keadilan sosial. Saat kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menggejala dalam struktur kekuasaan misalnya di akhir masa pemerintahan orde baru, maka perangkat anak bangsa yang menginisiasi tatanan masyarakat yang lebih baik, lantas bahu-membahu menuntut diturunkannya pemerintahan rezim orde baru. Ini gerakan sosial kolektif mewujudkan tatanan baru masyarakat yang dicitakan.
Langkah kolektif publik ini idealnya sejalan dengan inisiasi melahirkan pemimpin yang memiliki integritas dan kapasitas yang mapan. Artinya, orang-orang baik yang apatis acuh tak-acuh terhadap kontestasi politik tidak akan berkontribusi apa-apa, ada atau tidak adanya dia sama saja tidak memiliki nilai. Saat ini terjadi, maka membuka peluang kejahatan atau kecurangan terjadi. Pesan bijak juga menyebutkan, kejahatan atau kecurangan banyak terjadi, bukan karena banyaknya orang jahat tetapi karena diamnya orang-orang baik. Eksistensi kecurangan bukan berarti mereka mampu beradaptasi sehingga membentuk kekuatan kejahatan baru terus-menerus, melainkan diamnya atau tidak berbuatnya orang-orang baik yang memiliki kapasitas dan kekuasaan.
Dalam perhelatan Pemilu, warga negara ingin dipimpin oleh pemimpin yang memiliki kapasitas integritas dan profesionalitas yang handal. Semisal calon yang diajukan tidak ada yang terbaik, maka minimal yang dipilih adalah yang paling baik dari semua calon yang diajukan atau yang paling sedikit catatan kesalahannya. Intinya tetap melakukan pilihan atas berbagai calon yang diajukan, dengan menggunakan hak memilih datang ke TPS. Dengan kekuasaan yang dimiliki, maka struktur dan kondisi sosial-politik dalam suatu masyarakat dapat dikontrol. Guna pencegahan kondisi yang mengancam stabilitas sosial, atau melalui kekuasaan melahirkan kebijakan dan hukum yang mengatur dan mendesain kehidupan sosial masyarakat yang ideal ke depannya.
Dari itu, harapan melahirkan pemimpin sejatinya tidak diserahkan pada kelompok tertentu saja tetapi partisipasi pemilih kolektif juga harus aktif. Sebab kepemimpinan akan mencakup semua sendi kehidupan masyarakat. Jangan sampai ada penyesalan di belakang hari. Maka, golput terutama golput ideologis pada posisi ini tidak memperoleh porsi rasionalitas. Sebab warga negara harus ambil bagian strategis menentukan pemimpin. Golput akhirnya menjadi “gerakan frustasi” sebagai kebuntuan ideologis karena kehilangan basis epistemologi dan orientasi politik. Minimal label frustasi itu dapat disematkan dalam skala politik di Indonesia dalam menghadapi dan melaksanakan kontestasi Pemilu.