TENTANG MEREKA YANG BERPERKARA DENGAN SUARA
Bukan soal seberapa banyak jumlah pelanggaran perkara, tapi ini soal jenis perkaranya. Pihak keamanan dan yang berwenang telah sepakat mengkategorisasikannya sebagai kejahatan paling berbahaya. Bukan hal yang mudah jika berhubungan dengan perkara ini, nyawa langsung jadi taruhannya. Interogasi yang panjang lebar berbalut kekejaman, hingga penyiksaan guna mengorek keterangan. Nyawa terancam.
Hukuman mati berlaku bagi yang terlibat di dalam perkara ini. Sebab perkaranya menyangkut kepentingan publik, kepentingan orang banyak, kepentingan negara. Bayangkan jika ada yang membeli barangnya, kemudian dia menang di suatu pemilihan, kemudian banyak yang tidak percaya dengan kemenangan itu padahal kemenangannya BENAR dan TERBUKTI (lantaran membeli barang itu), maka yang terjadi adalah bentrokan!
Skalanya setingkat camat saja bisa menyebabkan suatu kecamatan saling baku-hantam. Coba kalau skalanya setingkat negara, dipemilihan presiden misalnya, satu calon (entah yang mana) membeli barang ini, yang lain bisa jadi membelinya juga. Maka negara akan runtuh sebab konflik antar kubu saling tuduh. Yang satu menang, yang satu juga menang (bukan sekedar klaim-klaim tapi betul-betul TERBUKTI). Lalu yang mana yang kalah?
Itulah dampak besar yang terjadi, jika seseorang, atau beberapa orang Beperkara dan berurusan dengan barang bernama SUARA.
1
Tudui tergugup. Sangat gugup. Lebih sepuluh kali keluar masuk penjara, tapi kali ini ia tidak bisa menyembunyikan ketakutannya setelah dibekuk di bandara.
Ia sebenarnya menolak, sangat menolak menyeludupkan barang ini. Ia tahu konsekwensi beratnya jika cari gara-gara dengan barang ini. Tapi kata teman-teman sepekerjaan, uang kurir untuk barang ini bisa sepuluh kali lipat bahkan lebih dari sekedar mengurus ganja. Maka, air liurnya hampir menetes saat disebutkan nominal uang yang bisa ia dapatkan.
Tudui sudah sering keluar masuk penjara dengan kasus yang sama: penyelundupan ganja. Tapi sebab tak jera, merasa sudah biasa, ditambah banyak koneksi di penjara dari tahanan sampai petugasnya, ia merasa leluasa. Di dalam penjarapun bisnis tetap lancar, aman, dan terkendali. Tiba saat keluar, ia akan memperlebar jaringan. Makanya, ia sering pulang-balik luar negeri. Meskipun bukan cukong, tapi ia adalah kurir profesional sebab berjam terbang tinggi. Ia merasa lebih nyaman jadi kurir, yang ia kategorikan sebagai orang lapangan.
“Lebih enak, kita bisa kesana-kemari. Tidak duduk dengan nafas patah-patah menunggui kabar barang tiba dengan selamat atau tidak, hehehe,” demikian ucapnya setiap kali berbincang dengan kawan akrabnya, Jungok yang senasib sepenanggungan di bangsal penjara.
Tapi kali ini, ia tergugup sangat. Perkara yang selama ini ditakuti residifis-residifis se-profesional sebagaimanapun dan sekambuh apapun telah diperbuatnya. Celakanya, ia tertangkap basah, dengan bukti yang sama sekali tak bisa terbantah. Ia membawa barang yang paling haram diantara barang-barang haram lainnya. Ini barang yang lebih berbahaya ketimbang ganja, ekstasi, atau apalah yang memabukkan itu. Jika ganja yang kata orang merusak generasi muda, maka barang ini merusak generasi dari muda, hingga yang paling muda. Dari tua, hingga yang paling tua, karena barang ini menyangkut kepentingan negara.
Tudui menyelundupkan SUARA.
2
Ceritanya begini. Waktu itu, saya baru saja bebas bersyarat dari penjara. Bos saya yang membebaskan saya. Syaratnya, saya harus rajin melapor ke bos di penjara. Melapor kalau ekstasinya sudah laku. Hehehe.
Bos saya sudah lama di penjara. Bukan tidak bebas-bebas. Cuma dia memilih di penjara. Katanya lebih enak memantau lewat sini. Kami anak buahnya yang kesana-kemari menyalurkan sekaligus menjual. Beliau yang mengontrol dari dalam penjara. Termasuk keuntungan, disetor pada saat masuk penjara.
Waktu itu, saya sebenarnya sedang menggantikan kakak saya yang sakit. Kakak saya merupakan sopir tukang antar barang dari suatu perusahaan yang saya lupa namanya. Kakak saya sering ditugaskan mengantar staf khusus perusahaan itu. Mereka orang-orang yang jago negosiasi (sepertinya jago juga berkelahi dan jago juga menembak, itu perkiraan saya dari tampang-tampangnya). Mereka bekerja jika ada bisnis-bisnis tertentu yang melibatkan acara serah-terima dengan pihak lain.
Waktu itu, saya ikut menemani dalam serah-terima barang. Staf khusus ada lima orang. Ditambah saya, berarti dari pihak kami ada enam orang. Kami membawa tiga koper berisi uang. Dari pihak yang membawa barang, ada sekitar tujuh orang. Mereka juga datang dengan mobil. Waktu serah terimanya malam. Ada penerangan, tapi cukup remang.
Tiba-tiba, DOR! DOR! DOR!
Suara tembakan!
Tembakan peringatan ke langit-langit, tidak langsung ke arah kami. Kami hanya bisa diam. Kami disergap entah polisi, atau tentara—ya macam di film-film, mereka seperti FBI begitulah—kami tidak tahu dengan pasti waktu itu, yang jelas kami disuruh menunduk.
Ada yang mencoba kabur, langsung kena tembak di kaki. Rupanya yang kabur itu dari pihak pembawa barang. Ada lagi yang mencoba melawan, eh, langsung kena bogem mentah bertubi-tubi.
Saya tidak tahu apa-apa. Saya kan cuma menggantikan kakak saya.
Celana saya bahkan basah waktu itu, ketika saya takut bukan main. Sebab ternyata isi koper-koper yang mau ditransaksikan, berisi SUARA!
3
Kau sudah siap untuk menang, karena kau merasa kau memang punya bakat menang. Bukannya sombong kau rasa, cuma, memang untuk menjadi hebat kau rasa kau harus selalu optimis bagaimanapun juga. Termasuk dalam hal kemenangan. Kau dan para loyalismu sudah siapkan semuannya: atribut-atribut, podium-podium tinggi (seperti yang kau minta, menggambarkan ketinggian tekad), di tempat dimana kau akan berbicara lantang tentang kesejahteraan (sudah kau hafalkan teksnya bahkan titik koma). Kau merasa semua sudah siap.
Tapi waktumu mepet. Terlalu singkat jadwal kampanye hingga pemilihan. Kau sudah curi start, tapi ternyata yang lain liciknya bukan main. Mereka sudah lebih dahulu berbulan-bulan darimu mencuri start-nya. Bahkan memanfaatkan jabatan publiknya.
Kau sadar, kau hanya tokoh masyarakat yang baru mau terjun ke panggung. Sudah sering melihat yang beginian juga, dimana orang saling terkam, dan mau makan sendiri. Tapi di panggung ini, lebih kejam.
Mereka mau merebut suara sendiri. Mereka saling sikut (termasuk kau terkena sikut dan diolok secara diam-diam bahwa kau hanya pendatang baru tanpa harapan). Mereka terus mengumpulkan suara-suara di kolong-kolong jembatan, di pasar-pasar, di perkantoran, di perumahan, di lapangan. Kendati mereka ngesot, mereka akan mencari suara itu. kendati mereka tiarap, mereka akan mengambil suara itu.
Kau sudah tahu, suara-suara itu nantinya menjerit, meminta kembali suara mereka: sebab lapar karena dijanjikan makanan, sebab kedinginan karena dijanjikan selimut, sebab susah tidur karena dijanjikan pekerjaan. Tapi orang-orang ini, orang-orang yang mengambil suara dengan janji-janji, menganggap derita suara-suara itu biasa. Sebab (menurut mereka), selama itu adalah saat “nanti”—bukan saat suara mereka diperlukan untuk mendulang kemenangan—berarti itu “aman”. Lagi pula dunia sudah menganggap hal ini wajar. Orang-orang yang karena kemenangan lalu menjadi orang penting sudahlah sering mempraktikan. Begitu kata mereka yang mencuri suara-suara memprihatinkan itu dengan janji-janjinya.
Kau sebagai pemain baru di panggung, sepertinya tertarik juga seperti itu: merasa tak mengapa melihat orang lapar, dingin, menangis, disebabkan janji yang tak terpenuhi. Kau mau belajar begitu. Tapi untuk sekarang kau rasa haruslah menang dulu dalam pertarungan di panggung kecil kabupaten ini (nanti barangkali selanjutnya tingkat yang lebih tinggi). Pasti akan “bisa karena biasa”.
Untuk sekarang, dan untuk sementara, kau memilih jalan pintas.
Kau sangat bernafsu ketika ditawari membeli barang haram itu (kau pikir inilah jalan pintas paling pintas). Kau heran mengapa banyak yang menolak membelinya padahal hasilnya instan. Banyak yang di panggung yang sama denganmu memilih ngesot, tiarap, berpincang, jatuh-bangun, ketimbang membeli barangnya.
Akhirnya kau tahu mengapa mereka tidak mau: mereka lebih berpengalaman dan tahu ini berbahaya sekali. Bahayannya terbukti saat itu (Bahkan kau menyesal sekali sebab kalau kau tahu, tentu kau lebih memilih mengumbar janji pergi kesana-kemari tiarap dan lain sebagainya bercapek daripada membeli barangnya).
Kau bertransaksi lewat sambungan telepon. Kau ditawari barangnya mau paket yang mana: yang jumlah dominan dari lawan, jumlahnya unggul tipis tapi menang, atau jumlahnya draw untuk pemilihan ulang. Kau waktu itu memilih paket yang kedua.
Seminggu kemudian, tiga orang datang kerumahmu dengan surat penangkapan atas tuduhan transaksi haram. Kau pun diciduk saat itu juga (padahal kau sedang bersiap untuk pemilihan).
Namamu dicopot dari calon penguasa kabupaten itu. Dan, disinilah kau sekarang. Merenung di penjara sebab transaksi SUARA.
4
Mereka dipenjarakan di tempat yang sama. Yaitu, para pelaku kejahatan yang berkaitan dengan SUARA. Sudah jelas nasibnya: hukuman mati, dan mereka sudah pasrah dengan apa yang akan menimpanya. Itulah hukuman bagi pelaku kejahatan ini. berat, sangat berat. Yang paling ringan hukuman seumur hidup.
Tiga orang sudah bersiap dieksekusi hari itu juga. Si kurir “gugup” Tudui, si sopir “kencing-celana” Jungok, dan si calon-bupati “gagal” Drs. Datiliku Manin. Mereka di bawa dengan kendaraan khusus lapis baja.
Seperti biasa, tiap surat kabar, dan tiap stasiun tivi mengabarkan eksekusi penting ini. Tiap kedai dan warung kopi membicarakan ini. Ini eksekusi kesekian dari kasus yang sama, tapi tetap menjadi perhatian orang-orang.
Pemerintah memang selalu menyuruh secara resmi penyiaran, penyebaran, dan pemberitaan eksekusinya. Agar tiap-tiap orang tahu dampak buruk dan resiko besar jika Beperkara dengan SUARA.
Tapi kali ini, kasus ketiganya menjadi perhatian lebih. Menjadi perhatian lebih, karena baru kali ini, dikasus SUARA ini—yang melibatkan ketiganya—tidak diketahui kemana perginya barang bukti dari ketiga tersangka yang siap dieksekusi. Barang bukti ketiganya hilang, dua hari sebelum hari eksekusi. Maka, tepat ketika barang bukti hilang, tiap media dan stasium tivi hampir sama mengambil headline: KEMANA SUARA-SUARA ITU?