Nigitama dan Pak Penghukum (Ketika

450 Views

Tuhan yang lebih tahu …

Sedang mana yang berlari mencari benar diri

Dan sedang mana yang tutup diri dengan banyak hiasi

(Sajak Tempa Tanpa Diri, Nigitama)

Siapa Nigitama?

   Ada yang sampaikan ia raja kata. Ada pula beberapa yang menyatakannya wali puisi. Ada yang menganggapnya pujangga intuisi. Tak lupa beberapa yang mencitrakannya filosof sejati hingga guru kehidupan yang mumpuni. Jikalau kau bertanya definisi, ia akan mengeluarkan seribu satu arti, baik yang masuk di akalmu, maupun yang meresap di qalbu. Semua layak berarti bagimu. Ada yang menjulukinya sang ahli hikmah yang muncul di dunia yang merana lagi meng-anti-kan arti.

  Banyak yang datang kepadanya untuk mengadu, atau lebih tepatnya ia yang mendatangi si pengadu. Sebab, tempat tinggal Nigitama takkan kau tahu. Ia seorang pengembara yang datang di tengah-tengah hutan belantara, ataupun duduk-duduk dibangku taman kota. Ia sering terlihat di suatu desa, namun secara kasat mata nampak di desa lainnya. Ia datang di sebuah kota seolah hidup disana, tidak tahunya ia hilang seperti tak pernah ada di tempat itu sebelumnya. Ia mendatangi dan didatangi siapa saja: tua-muda, budak-raja, pemarah-penyabar, jiwa yang abstrak-jiwa yang nyata.

  Jawaban dari aduan tiap orang dijawabnya santun. Kadang dengan sajak tanpa nama, namun mengena. Kadang dengan panjang teorinya, mengena pula. Mengena dalam artian senyum puas sang pengadu setelah aduannya dijawab Nigitama. Atau tangis keharuan maupun penyesalan.    

 

***

  Suatu ketika, Nigitama berjumpa dengan Pak Penghukum. Pak Penghukum sedang menangis. Pak Penghukum merupakan salah satu guru kehidupan yang paling peka qalbunya dan tegar. Jadi terheranlah Nigitama ketika mendapatinya sedang menangis. Pak Penghukum sedang duduk di bangku suatu taman kota. Ia memilih bersunyi ditengah ramai dengan pelupuk mata basah. Nigitama mencoba mendekati. Nigitama ikut duduk. Pak Penghukum menengok pada siapa disampingnya, yang ia sadari adalah Nigitama.

  Tanpa diminta, Pak Penghukum membuka kata,

  “Nigitama? Oh, kaukah itu?” tangis Pak Penghukum berhenti. Tapi masih tersisa isak. Senyumnya muncul dan mengembang. Sambil mengusap air matanya, ia melanjutan, “Nigitama, bolehkah aku meminta nasehatmu?”

  Nigitama yang sejak tadi menatap Pak Penghukum dengan senyum membalas sapa itu, “Aku bukanlah siapa-siapa duhai pengadil dibanding dirimu. Kau membijaki kehidupan, sedang aku seorang pengembara mencari kehidupan. Namun barangkali tiap orang diberikan kelebihan atas orang lain, disitulah letak keadilan Tuhan. Dan kelebihanku hanyalah datang pada waktu seorang butuh teman untuk berbagi kegundahan. Jikalau berbagi adalah menenangkan, dan aku bisa membantu dengan mendengarkan, maka silahkan sampaikan apa yang menjadi kegundahan?”

  Sang penanya tersenang sebab tertanggapi dengan baik. Ia lalu memulai cerita.

  “Nigitama, aku seorang penghukum. Aku menghukum siapa saja atas nama keadilan. Aku menghancurkan apapun yang menghalangi jalan keadilan. Tapi aku merasa ada yang rancu dengan keadilan, yang aku dan orang-orang sepertiku berusaha dengan sekuat tenaga untuk tegak.” Pak Penghukum menggelengkan kepala dengan muka sayu. Dia melanjutkan dengan memegang kepalanya, “Tapi ku tidak tahu Nigitama, apa yang rancu. Apa yang salah dari menegakkan adil itu. Dari hati kecilku, terasa ada yang rancu, ada yang salah.”

  “Mohon kiranya engkau berucap Nigitama.”

  Nigitama masih tersenyum, sambil mendengarkan sejak tadi. Ia kemudian mulai menanggapi,

  “Tuan, apa yang lebih tinggi dari keadilan?” tanya Nigitama.

  “Setahuku keadilan adalah segalanya.”

  “Nah, demikianlah rata-rata para penanggung jawab seperti Anda. Mereka terhanyut dengan tugasnya dan lupa hal kecil dan hal dasar. Mereka mampu menjabarkan mengapa ikan berenang dengan segala teori dan ilmu pengetahuan mereka. Mereka mampu menjabarkan mengapa air laut asin, air sungai tawar dengan retorika ilmiahnya. Tapi mereka tidak bisa menjawab hal dasarnya.”

  “Nigitama, jika keadilan bukanlah segalanya, lalu apa yang lebih tinggi dari keadilan Nigitama?” Tanya Pak Penghukum sangat penasaran.

  “Bukan masalah tinggi-rendah sebenarnya tuan. Tapi coba perhatikan biar hanya kali ini saja. kira-kira, jika dalam ‘keadilan’ yang tercipta, hanya ada ‘kebohongan’, apa itu masih perlu ‘ditegakkan’ atau hanya yang dianggap ‘penting’ saja yang ‘ditegakkan’?”

  Pak penghukum berpikir. Dia memilah-milih jawaban yang berseliwiran di benaknya.

  “Tentu tidak Nigitama, tentu tidak. Bagaimana mungkin keadilan tegak di atas kebohongan?”

  “Jadi, apa lawan kebohongan, itulah keadilan.”

  Sang Penghukum bingung. Ia mengerutkan kening. Entah sebab bingung ia kembali menampakkan kesedihan, atau sebab sedih makin bertambah kebingungannya.

  “Nigitama, terus terang, aku ingin mundur dari jatidiriku sebagai penghukum. Sebab aku merasa ada yang kurang dari prinsip adilku. Aku ingin mundur, aku tidak ingin menjadi ‘orang lain’ yang menikmati duduk tenang di tempat yang tidak layak untuknya. Aku ingin menjadi diriku sendiri yang memegang prinsipku.

  “Maka, yang tersisa dariku kini adalah pergolakan batin yang membuatku terus bersedih. Aku ingin memegang prinsipku, namun kurasa dan terus kurasa ada yang kurang. Aku tidak ingin mundur sebagai penghukum, namun terasa dan sangat terasa aku semakin tidak pantas.”

  “Oh, Nigitama, tolong jangan bebankan lagi sesuatu seperti pertanyaanmu itu. itu semakin membingungkan kesedihanku, dan menyedihkan bagi kebingunganku. Aku hanya perlu nasehat pelipur.”

  Nigitama masih dengan senyum menanggapinya. “Aku, Anda tuan, dan semua manusia memiliki masalah di hatinya. Hingga hanyut tenggelam terbawa perasaannya. Kita memiliki masalah di kepala kita. Hingga terus memikir dan berakhir terdampar dalam logika dan rasionalitas yang tersisa.“

  “Nasehat saya sederhana tuan. Tuhan menganugerahkan hati dan akal berarti keduanya alat yang dapat digunakan. Yang menciptakan adalah Tuhan berarti keduanya serba kekurangan dan punya kelebihan masing-masing. Berpikirlah dengan menggunakan perasaan karena-Nya.

  “Renungkanlah tuan, hikmah penciptaan: semua dari-Nya, lalu kembali pada-Nya. Itulah kebenaran. Dan disitulah keadilan.”

  Sedih Pak Penghukum berubah menjadi keterpakuaan. Dia seolah tak bisa bergerak akan nasehat itu. Isaknya berhenti. Bahkan angin sekitar taman ikut berhenti, kicau burung terhenti.

  Tak disadari Pak Penghukum, Nigitama pamit meninggalkannya. Tapi entah apa yang menamparnya, atau entah apa yang menyalakan lampu di kepalanya. Ia tiba-tiba bangkit berdiri dari duduknya, dan berteriak!

 “Akhirnya Nigitama, benar. Engkau benar. Engkau membenarkan apa ‘kebenarannya’. Betul sekali, itulah kerancuannya ‘adil yang bohong’. Aku sendiri tidak tahu apa ‘adilku’ yang selalu kutegakkan itu bohong atau benar. Dan disitulah makna kesedihanku, makna gundahku.”

  “Engkau betul Nigitama, terima kasih.” Ia ingin menjabat tangan Nigitama dengan semangat. Tapi sosok disampingnya sudah berlalu sejak tadi.

  Pak Penghukum menoleh kanan-kiri, berbalik badan kesana-kemari, namun yang di dapatinya hanya taman kota dan hiruk-pikuknya tanpa tersisa sedikitpun tanda Nigitama yang berlalu.

 Seorang penjaga taman kota sedang memotong-motong rumput sedari tadi. Pak Penghukum melangkah mendekatinya.

  “Permisi, apakah Anda melihat kemana perginya orang yang bersamaku tadi, dia adalah Nigitama, seorang yang cukup dikenal.” Tanya Pak Penghukum pada sang penjaga.

  Penjaga kebun itu tersenyum dan hampir tertawa.

  “Sama sekali tidak tuan. Yang ada adalah tidak ada siapa-siapa yang bersama Anda sejak tadi. Anda datang dengan kesedihan, duduk sendirian disitu, dan terus terisak hingga Anda ketiduran. Kemudian bangkit berdiri dan berteriak.”

  “Sepertinya mimpi Anda cukup indah, Anda berteriak sambil tersenyum tadi.” Jawab sang penjaga sambil tertawa.

  Pak Penghukum mengerutkan dahinya. Sambil memperhatikan tempat duduknya tadi yang tidak jauh darinya.

  “Aneh. Kalau memang seperti itu, sejak kapan Anda membereskan rumput ini?”

  “Sejak sebelum Anda datang dan duduk ditaman ini.”

  “Tapi seingat saya tadi tidak ada seorangpun selain saya dan Nigitama.”

  “Begini saja tuan, saya sedang sibuk bekerja, ini tumpukan potongan rumput yang banyak, tidak mungkin saya mengerjakannya baru saja. biar mudah Anda pahamai tuan, anggap saja jika tadi Anda tidak bermimpi, berarti tadinya nyata dan sekarang Anda tepatnya sedang bermimpi.” Penjaga itu melanjutkan tugasnya memotong rumput itu sambil tertawa, tanpa peduli lagi dengan Pak Penghukum yang masih berdiri.

  Pak penghukum tersenyum lalu ikut tertawa. Paling tidak jawabannya bukan hanya mimpi, batinya dalam hati.

***

Siapa Nigitama?

  Ada yang sampaikan ia manusia, ada yang katakan dia utusan Tuhan. Tapi dia sendiri berkata dia bukan siapa-siapa. Banyak yang menyampai pernah bertemu dengannya. Tapi mereka tak bisa menjelaskan dan menegaskan, pertemuan itu mimpi atau nyata…

  *) Nigitama adalah tokoh fiksi karangan Cecep Syamsul Hadi dalam sebuah Apresiaisi puisi pada majalah sastra Horison. Penulis (cerpen ini) “hanya” meminjam nama dan sifat bijaknya, seluruh bentuk dan isi cerita dari Penulis.

 

 

Teluk Terceruk, 30-12-2016

Sesiapa Terusir

Gambar: dancing dervishes, oleh Kamāl ud-Dīn Behzād (c. 1480/1490)
302 Views
gambar: dancing dervishes, oleh Kamal ud Din Behzad (c. 1480/1490)

    Para jiwa abstrak berkumpul bertemu dalam sebuah sidang penentuan takdir kehidupan. Merekalah para tuan guru pendidik kehidupan. Membimbingi kehidupan, mendidiki kehidupan. Sejak bayang senja hingga hilang temaram malam. Dari sunyi embun hingga matahari tenggelam. Mereka para tuan guru mengajarkan, memberi bimbingan.

      Mereka kini senyap duduk dalam temu, namun segera terbuka kata dari hakim yang ada di depan para hadirin.

    Salah seorang hakim dari tiga hakim berdiri dalam tenang, “Hadirin, terimakasih sudah tiba disini. Kami selaku yang ditunjuk sebagai hakim mengundang, sebab adalah hal penting yang perlu diputuskan. Seorang guru pendidik kehidupan mengajukan usulan, dimana ia merasa perlu mengadakan perubahan, kembali setelah sebelumnya juga telah dilakukan. Barangkali usulan ini menanggung kebaikan bersama. Untuk itu saya mempersilahkan bagi yang mengusulkan.”

     Sang hakim mempersilahkan seorang yang kemudian berdiri diantara para hadirin. Sang tuan guru Tahu yang tadi dipersilahkan, memperhatikan hadirin yang lain dan kemudian memulai ucap,

    “Telahlah sampai usia zaman kita merangkak mengejarnya sementara seenaknya ia pergi meninggalkan. Telahlah sampai seusianya kita perlu mengadakan perubahan. Telahlah lewat perubahan sebelumnya dan kini kita menuju perubahan barunya.”

    “Hadirin sekalian. Saya mengajukan tawaran baru, usulan baru, kehendak baik baru yang semoga direstui bersama sebagaimana usulan yang dahulu. Bahwasanya agar meningkatkan kemampuan kehidupan mengejar zaman, kehidupan perlu mengurangi beban belajarnya. Sudahlah terlalu banyak kehidupan menanggung beban dalam memahami dunia. Dari ia belajar untuk tahu, untuk memahami, untuk menganalisa, untuk menjadi bijak, untuk menjadi sadar, untuk menjadi sabar, dan untuk apapun itu guna mengejar zaman. Adapun beban-beban pelajaran yang diemban sang kehidupan adalah  baik untuknya. Namun, agar mengurangi beban, sudahlah sering kita mengambil putusan bahwa ada di antara beban-beban itu sudah tak diperlukan baginya atau menghambat baginya. Salah satu yang kami usulkan kini adalah, menjadikan pelajaran kesadaran menjadi pelajaran yang tidak diperlukan.”

      Para hadirin nampak kaget. Tuan guru Tahu kembali melanjutkan.

    “Apa-apa yang diajarkan oleh tuan guru Sadar, menurut kami perlu ikut dikurangi dalam mendidik kehidupan. Kehidupan cukuplah perlu dididik dari tahu hingga paham tanpa melibatkan sadar yang adalah ini sangatlah sulit dan multitafsir. Sebab ilmu sadar hanya akan menyebab kehidupan banyak merenung. Akibatnya ia terlambat mengejar zaman, dan menurut saya, hal ini akan menghambat keingintahuan-nya.”

   “Tiga jalur utama yang selama ini dituntut dalam mendidik kehidupan yaitu tahu-paham-sadar, saya usulkan menjadi dari tahu cukup ke paham. Dari paham, kehidupan akan lebih mengutamakan aspek analisannya, interpretasinya, dan sifat paham lainnya yang menyangkut akal budi. Adapun Dari paham ke sadar merupakan rintangan yang besar dan kehidupan akan terbebani menginterpretasikannya. Untuk itulah kami menganggap cukuplah kehidupan dididik hingga sampai pada taraf akaliah. Adapun tahap selanjutnya yang katanya melibatkan komposisi akal dan hati seperti sifat sadar, bukanlah sebagai didikan yang baik bagi kehidupan. Namun kalaupun diperlukan–yang menurut saya tidak perlu—biarkan itu sebagai pilihan. Biarkan kehidupan mencarinya jika kehidupan memilih mencarinya, mencari kesadaran dari pengetahuannya, dari apa yang telah dididikkan padanya.”

   “Sekian untuk sementara, yang menjadi usulan baik kami. Adapun perbedaan tanggapan nantinya, kami kembalikan kepada yang mulia hakim.”

  Para hadirin mulai berbisik-bisik, saling berdiskusi dalam gemuruh keriuhan. Meskipun tak ada suara keras dan membahana, keriuhan itu nyata terdengarnya. Mereka sudahlah tahu bahwa maksud dari tidak ingin diwajibkannya lagi kehidupan dalam mempelajari kesadaran dari sang tuan guru Sadar, berarti tuan guru sadar akan diasingkan. Seperti pendahulunya yang juga telah terusir dari para pendidik kehidupan.

  Tuan guru Sadar yang hadir sedang diam. Mata-mata tertuju padanya, mungkin itu penyebabnya diam entah mungkin sementara. Ia sedang diperhatikan dan ditunggu gestur maupun kata.

***

   Sementara itu, dalam diam, tuan guru Sadar mengingat-ngingat pertemuan sebelum-sebelumnya. Adalah tuan guru Sabar, dan tuan guru Amanah yang juga terusir sebagai pendidik kehidupan yang diputuskan pada pertemuan sebelum-sebelumnya secara berturut-turut. Belum lagi riwayat yang menyatakan, konon sesepuh para tuan guru pendidik kehidupan, yaitu tuan guru Ikhlas juga terusir saat dimintai kesepakatan pada suatu pertemuan yang sama dahulu. Yang diikuti mundurnya tuan guru Adil sebagai hakim karena tidak terima dengan pengusiran itu. Entah mengapa bisa, sesepuh dan tuan guru-tuan guru terbaik dalam memahami rasa sang kehidupan bisa diusir sekenanya oleh pertemuan seperti ini. Tentu, nyatalah bahwa kesepakatan terusir dan tidaknya tuan guru sesiapapun itu tergantung pada sebanyak apa suara yang menyatakan ia layak terusir atau mengasingkan diri. Semuanya berdasarkan suara terbanyak. Bukan berdasarkan sabda siapa, pun sabda Tuhan semesta. Betapa kejamnya suara mayoritas itu,  batin tuan guru Sadar.

   Tuan guru Sadar dalam diam itu, juga mengingat pertemuannya dengan guru Tahu sejak lama sebelum sidang ini. Pada saat itu, ia menanyakan secara serius, perihal mengapa beberapa tuan guru tidak terpakai dan kemudian terusir dengan sendirinya sebagai pendidik kehidupan. Dengan spontannya, tua guru Tahu berkata, “Sebab saya lebih baik dari mereka.”

  “Apa maksud Anda dengan jawaban seperti itu tuan guru Tahu? Bukankah tidak ada hubungan antara ke-lebih baik-kan dan pengusiran?” tanya, tuan guru Sadar.

  “Ya… bisa dikata iya, tergantung sudut pandang. Yang jelas, saya mengetahui, apa yang tidak kamu ketahui tuan guru Sadar. Anda perlu mengetahui bahwa saya mengetahui apa yang dibutuhkan kehidupan dan saya juga mengetahui apa yang dibutuhkan tuan guru lainnya. Dan salah satu hal lagi yang perlu Anda ketahui tuan guru Sadar, bahwa beberapa yang terusir adalah mereka yang menanyakan hal yang sama seperti Anda. Mereka terlalu berlebihan. Seharusnya, kehidupan cukup mengetahui, dengan banyak pengetahuan, kehidupan akan pandai segala. Lalu pabila dia pandai segala, untuk apa bagian lainnya?”

   Tuan guru Sadar tersentak dengan kalimat-kalimat tuan guru Tahu.

  “Coba renungkan dan dimengerti dengan baik tuan guru Sadar, atas apa yang saya sampaikan. Anda kan katanya pandai merenung, dan mengintrospeksi.”

***

   Ingatan tuan guru Sadar yang membayang hilang oleh kejut suara tuan guru Arif, salah satu dari tiga hakim yang mulai mengambil alih gemuruh keriuhan. Ia meminta hadirin untuk tenang.

  “Hadirin, silahkan memberikan tanggapan-tanggapan pun komentar sebelum kita mengambil keputusan dalam musyawarah ini.”

    Salah seorang hadirin mengangkat tangan.

   “Ya, silahkan tanggapannya tuan guru Derma.”

  “Terimakasih yang mulia,” tuan guru Derma yang dipersilahkan berdiri, “Seperti yang kita sama tahu, bahwa memang kehidupan perlu dididik banyak hal. Dan juga kita ketahui tidaklah serta merta kita dapat menjadikannya pandai mengejar zaman. Sebab, semakin meningkat zaman, semakin banyak pelajaran dan didikan yang diperlukan kehidupan.”

   “Hemat saya, kehidupan harus terus diberi bekal ajaran. Sebab pemberian akan sangat berarti. Untuk itu, tak apalah jika sang kehidupan, yang menurut tuan guru Tahu terbebani oleh pelajaran kesadaran. Bahkan saya rasa ditambahpun pendidikan untuknya lagi, tak mengapa. Sebab apa yang kita beri itu pasti akan sangat berarti…”

   “Yang mulia yang saya hormati!” teriak tuan guru Tahu dengan raut wajah tak nyaman mengangkat tangan sambil berdiri. Padahal tuan guru Derma belumlah habis ucapnya.

   “Sebentar tuan guru Tahu” sela salah satu hakim, “Tuan guru Derma silahkan lanjutkan dulu.”
“Tak perlu yang mulia. Saya beri saja kesempatan saya kepada tuan guru Tahu atau tuan guru lainnya.”

   Tuan guru Derma kembali duduk.

  “Tuan guru Tahu, dengan segala hormat silahkan duduk kembali. Anda sudah diberi kesempatan dan memberi cukup banyak keterangan sebelumnya tadi. Mohon beri kesempatan kepada tuan guru lainnya.” Tanggap tuan guru Arif sang hakim. Tuan guru Tahu akhirnya duduk kembali, dengan raut wajah berubah kesal.

   Hakim kembali menanti tanggapan lainnya. Nampak tuan guru Raga mengangkat tangan. Ia disambut dengan ucap silahkan para hakim.

  “Yang mulia para hakim, serta hadirin para tuan guru yang saya hormati, saya ingin menyatakan kecemasan saya yang berhubungan dengan sidang kita.”

  “Yang mulia dan para hadirin, saya mendengar bahwa zaman akan semakin gila. Ya, semakin gila. Lebih gila dari sekarang ini. Zaman juga akan semakin cepat langkahnya. Semakin cepat hingga tertatih kehidupan mengejarnya. Saya mendengar itu semua, dan saya mulai merasakannya.”

   “Jika dari kegilaanya, kegilaan zaman yang akan menimpa dan menerus bertambah, maka saya berpendapat bahwa keputusan tidak diwajibkan-nya bahkan tidak akan ada-nya kehidupan dididik tuan guru Sadar adalah SALAH. Sebab kehidupan akan mudah dikalahkan kegilaan zaman tanpa didikan kesadaran. Namun jika dari kecepatannya, kecepatan berkembangnya zaman dan langkahnya, maka saya berpendapat bahwa keputusan tidak diwajibkan-nya bahkan tidak akan ada-nya kehidupan dididik tuan guru Sadar adalah BENAR. Sebab kehidupan akan semakin dibebani dan akan melambat langkah geraknya dengan didikan kesadaran.”

   “Barangkali sekian tanggapan saya.” Ucap tuan guru Raga mengakhiri kata.

    Riuh hadirin, kembali terdengar samar meski tak kencang. Ada yang membenarkan komentar tuan guru Raga, ada pula yang meragukannya. Namun lebih banyak yang mengajak yang lainnya untuk menunggu tanggapan selanjutnya. Tiga hakim nampak membiarkan keriuhan, mungkin agar ada tanggapan lanjutan.

    Salah satu sepuh dari tuan guru yang tersisa, Tuan guru Bijak mengangkat tangannya.

    “Silahkan tuan guru Bijak.”, sapa hakim yang memecah keriuhan. Kini rata pandang menuju tuan guru Bijak.

   “Sejak tadi, kita belum mendengar seuntai ucap pun dari tuan guru Sadar. Barangkali alangkah baiknya kita dengarkan bersama apa tanggapan tuan guru Sadar akan persoalan ini.” Tuan guru Bijak mengarahkan pandangnya dari hakim menuju tuan guru Sadar.

   Tuan guru sadar yang kini menjadi pusat perhatian sejak awal sidang lebih banyak diam. Ia menyadari pandang-pandang yang mengarah padanya, dengan menengok satu-persatu pandangan tuan guru lainnya. Saat matanya mengarah kepada ketiga hakim yang juga memandangya, dia akhirnya mulai membuka kata.

  “Yang mulia para hakim dan tuan guru para hadirin. Saya merenugkan dan kini mengerti akhir semua ini, seperti halnya apa yang terjadi sebelum-sebelumnya. Tak perlulah saya panjang lebar soal sejarah pengasingan tuan guru lainnya,” para tuan guru peserta sidang saling pandang sebab singgungan itu, namun tuan guru Sadar kembali melanjutkan, “Saya hanya ingin meminta izin yang mulia para hakim, untuk melakukan tanya jawab sederhana kepada tuan guru Tahu. Agar saya dapat pergi dengan tenang. Apakah ada izin untuk saya yang mulia?”

  Para tuan guru nampak terkejut dengan permintaan itu. Sementara, ketiga hakim saling berbisik. Cukup lama jeda, sudah beberapa tuan guru mengangkat tangan—termasuk tuan guru Tahu—mungkin ingin beri tanggap atas permintaan tuan guru Sadar. Akhirnya, salah satu hakim angkat bicara,

  “Sesuai kesepakatan kami bertiga para hakim, yang mengacu pada peraturan sidang kita, permintaan tuan guru Sadar kami penuhi. Silahkan bertanya langsung tuan guru Sadar. Dengan tetap memenuhi kode etik sidang.”

  Tuan guru sadar yang berdiri kini berjalan keluar dari kerumunan peserta sidang. Dia kini berdiri diantara tiga hakim dan para peserta.

  “Yang mulia para hakim, para tuan guru peserta sidang, terkhusus tuan guru Tahu yang saya hormati. Adalah tanggungjawab saya mendidik kehidupan agar mengerti siapa ia dan untuk apa ia diciptakan. Lalu jika saya tak disini lagi, siapa yang akan mencakupi tugas ini wahai tuan guru Tahu?”

  “Biar itu menjadi urusan saya mendidiknya. Cukup kehidupan akan tahu dengan itu. bukankah sederhana mengetahui siapa ia dan untuk apa ia diciptakan?” Jawab lugas tuan guru Tahu.

   “Apakah anda akan membuatnya merenungkannya?”

  “Cukup dia tahu. Sehingga banyak waktu untuk mempelajari pengetahuan yang lain. Bukan hanya sekedar merenung, atau bisa dibilang, dia tidak perlu menghayal.”

  “Apa Anda bisa merenungkan ungkapan Anda itu tuan guru Tahu?”

  “Untuk apa direnungkan?”

  “Apa tidak bisa sama sekali dimengerti?”

  “Cukup! saya lebih mengetahui kebutuhan kehidupan daripada Anda!”

  “Oh, kalau begitu, cukuplah tuan guru yang lain merenungkan dampak kepogahan. Sebab, suatu saat salah satu atau semua mereka akan meninggalkan kehidupan yang hanya punya pengetahuan, Yang berdampak pada kehidupan yang mengejar zaman, bukan zaman yang mengejar kehidupan. Sampai kehidupan benar-benar mengerti dan termenung dengan itu, dan tak ada yang mendidikinya.”

  Tak berapa lama setelah tanya-jawab itu, tuan guru Sadar pamit. Dia meninggalkan sidang yang artinya juga meninggalkan kehidupan. Hakim masih menahan tuan guru Sadar begitu pula beberapa tuan guru yang lain. termasuk tuan guru Bijak, yang sempat bertanya.

 “Kenapa ditinggalkan sidang ini tuan guru? Bukankah masih akan berlanjut setelah musyawarah ini mungkin kita akan mengambil putusan dengan perhitungan suara?”

  “Tuan guru Tahu sangat mengetahui kebutuhan lain tuan guru lainnya. Sy mengerti tuan guru lain ketika ditawarkan kebutuhan pasti akan menerima sebab pemenuhan kebutuhan lebih menggerakan daripada kepedulian. Dan tuan guru Tahu, sangat tahu soal itu.”

  “Mohon maaf jika menyinggung tuan guru Bijak. Tak apalah saya terusir kini, yang penting apa yang terjadi, tercatat dalam sejarah nanti.”

  “Satu lagi, tolong ingatkan kepada tuan guru lainnya, bahwa massa mereka, juga akan tiba, termasuk Anda duhai tuan guru.”

  Sapa itu adalah sapa terakhir tuan guru Sadar terhadap tuan guru lainnya, dan diapun tak muncul lagi bertemu kehidupan.

 

Teluk Terceruk, April-Mei 2016