Aksi massa menolak penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67 tahun 2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar, berlangsung di depan Kantor Gubernur Sulteng dan Kantor DPRD Propinsi Sulteng.
Menurut orator massa aksi, penerapan bea keluar terutama biji kakao akan memberatkan pengusaha eksportir, yang selanjutnya berimbas pada petani. Jika bea keluar kakao diterapkan, harga kakao di petani akan tertekan dibeli dengan harga murah, dan dalam jangka panjang berakibat pada penurunan mutu kakao.
“Akibat harga kakao rendah, petani tidak bisa beli pupuk dan obat-obatan tanaman kakao, sehingga dalam jangka panjang berakibat pada rendahnya mutu kakao,” ujar orator massa aksi.
Dalam aspirasinya, massa aksi meminta pemerintah pusat agar segera meninjau ulang penetapan yang merugikan banyak pihak tersebut. Peraturan tersebut sangat merugikan petani Kakao, perlu dilakukan peninjauan ulang sebelum petani semakin menderita.
Aksi massa yang berlangsung damai ini diikuti juga oleh mahasiswa (HMI MPO), Petani Kakao (Parigi, Donggala dan Palu, Pengusaha (Askindo), dan masyarakat umum yang memiliki perhatian terhadap nasib petani.
Untuk diketahui, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67 Tahun 2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar ini menyebutkan, jika harga rerata kakao di bawah US$ 2.000 per ton, tidak akan dipungut bea keluar.
Namun harga rata-rata kakao US$ 2.000-2.750 per ton, dipungut bea keluar 5 persen. Adapun jika harga rerata kakao di atas US$ 2.750-3.500 per ton, bea keluarnya 10 persen. Bila harga melampaui US$ 3.500, bea keluarnya 15 persen.