MENGURUS SKRIPSI
Oleh : Ruslan Husen
“Saya yakin dalam waktu satu minggu ini, proposal skripsi ini akan selesai,” kataku mantap pada Iwan, teman satu kamar kos.
“Iya, mudah-mudahan saja. Tetapi agak susah, karena saya sudah membuktikan dan mengalami sendiri. Urusan di Fakultas, berbelit-belit dan prosedur layanan administrasi yang lama,” kata Iwan pesimis.
“Semoga tidak terjadi dengan urusanku, Wan. Kenyataan dipersulit, dengan prosedur layanan yang lama tidak terjadi,” harapku.
Sambil meneguk minuman dingin, “Tetapi jika harus menghadapi prosedur layanan yang panjang, saya akan hadapi dan jadikan sebagai sejarah hidup,” kataku optimis.
Saat ini, kami sudah berada di semester akhir perkuliahan dan sudah mulai konsentrasi pada penyusunan proposal skripsi, dengan harapan dapat wisuda dan memperoleh gelar sarjana tahun ini.
Dengan persiapan administrasi yang lengkap, berhubungan dengan pengajuan judul proposal ke ketua bagian di fakultas, aku terus meyakinkan diri akan menyelesaikan proposal minggu ini.
Konon saya ini di kenal sibuk. Kurang waktu dalam persoalan akademik. Namun dalam beberapa hari ini, kesibukan saya di HMI saya tinggalkan dan konsentrasi pada kegiatan mengurus skripsi. Hitung-hitung sebagaimana perwujudan harapan orang tua untuk cepat memperoleh gelar sarjana dan mendapat penghasilan kerja.
* * *
Waktu mendekati sholat Zuhur. Tetapi yang di tunggu yaitu ketua bagian fakultas tidak juga kunjung tiba. Untuk mengurangi rasa kecewa, saya dekati teman sekelas dengan berbincang persoalan yang menyenangkan. Kira-kira mengurangi rasa bosan dan melupakan kecewa di hati.
“Sepertinya ketua bagian fakultas tidak naik kampus hari ini,” tebakku dalam hati.
Setelah lama menunggu, aku berkeinginan pulang. Apalagi situasi pengajaran, tempat pegawai dan dosen mulai sunyi, dari tadi beberapa pegawai dan dosen sudah pulang.
Akhirnya, saya putuskan pulang, dengan besok datang lagu untuk keperluan yang sama.
Esok hari. Kenyataan itu terjadi lagi. Ketua bagian fakultas tidak kunjung datang. Kali ini bukan saya sendiri yang ingin bertemu dengan ketua bagian fakultas itu, tetapi beberapa orang teman juga mempunyai keperluan yang sama.
Rasa kecewa kembali terjadi pada kami dengan tidak bertemu dengan ketua bagian fakultas. Tapi hanya ini yang bisa kami lakukan, tidak bisa mengadu kepada pimpinan fakultas, ketua bagian yang lain atau ke dosen-dosen yang lain.
Hanya ketua bagian fakultas itulah yang memiliki wewenang untuk mengesahkan judul proposal yang kami usulkan.
Akhirnya kami putuskan mendatangi rumah kediaman ketua bagian fakultas itu. Dengan harapan di sana dapat bertemu, dan semua urusan ini dapat selesai. Namun kenyataan buruk kembali terulang, yang dicari tidak kunjung ada.
“Bapak lagi tidak ada di rumah, lagi ada di luar kota untuk urusan keluarga,” kata anak perempuan yang menemui kami. Saya tahu anak itu, adalah anak kandung dari dosen ketua bagian yang ingin kami temui.
* * *
Kenyataan ini hanya gambaran kecil, dari prosedur melelahkan dan kurangnya komitmen para pelayan masyarakat (publik service) dalam menjalankan kewajibannya.
Para pelayan masyarakat, telah di gaji bekerja dan melakukan pelayanan sesuai peraturan yang berlaku. Sementara masyarakat telah di pungut pajak dan membayar retribusi untuk digunakan membiayai pembangunan.
Begitu pula dengan kesadaran tenaga pengajar di kampus ini, sudah diangkat menjadi dosen, dan menerima gaji rutin. Sehingga dituntut mengajar mahasiswa, dan memberikan layanan akademik bagi yang menerima tugas tambahan sebagai pejabat.
Tetapi kesadaran itu tidak kunjung datang. Mohon maaf, terkesan tidak perduli dengan target mahasiswa untuk segera selesai dan memperoleh gelar sarjana. Akhirnya menelantarkan mahasiswa, seakan tidak memiliki beban moral melaksanakan kewajiban.
Padahal mahasiswa telah menyelesaikan kewajiban membayar uang SPP yang tidak sedikit, bahkan membayar pungutan lainnya. Dengan harapan, mendapatkan layanan pendidikan dan layanan administrasi secara maksimal untuk meningkatkan kualitas intelektual sebagai mahasiswa hingga menjadi sarjana.
Persoalan mahasiswa tidak belajar, karena tidak ada dosen yang mengajar, menjadi hal yang lumrah di fakultas ini. Lumrah, karena sering ditemui setiap hari. Sehingga wajar, kalau kebutuhan tenaga kerja dari kampus ini minim, bisa jadi karena kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan. Akibat interaksi proses pendidikan kurang berjalan maksimal.
* * *
Ketegasan dari pimpinan fakultas mencermati keadaan ini harus ada. Dengan mengeluarkan kebijakan dan menegur bawahannya yang tidak bekerja, bahkan terkesan makan “gaji buta”.
Memang tidak mudah memberhentikan tenaga pengajar yang telah diangkat atas nama negara. Tetapi proses dan penegakan aturan harus tetap jalan, dengan meninggalkan anasir-anasir subjektif atas pertimbangan kekeluargaan dan sahabat.
Bahkan terlihat pelayanan maksimal ditunjukkan oleh tenaga pendukung (honorer) yang memiliki komitmen tinggi dan loyalitas penyelesaian pekerjaan yang dipercayakan kepadanya.
Bagi saya, untuk apa lagi dipertahankan tenaga pengajar yang tidak pernah naik kampus, apalagi mengajar di kelas. Sehingga perlu terobosan memberikan sanksi kalau perlu pemberhentian, dan diganti dengan tenaga yang lebih aktif dan inovatif.
Atas terobosan ini, kiranya dapat lahir sarjana-sarjana yang memiliki kemampuan handal di bidangnya. Agar kampus ini dapat keluar dari mitos, yakni mengeluarkan alumni tidak berkualitas.
Semoga, kesadaran tenaga pendidik di fakultas ini untuk maksimal menjalankan kewajiban, serta ada sistem yang dibangun Pimpinan dengan mengharuskan pegawai dan dosen aktif melaksanakan kewajibannya, segera terwujud.
Sehingga mahasiswa akan memiliki semangat baru, kemampuan intelektual yang handal. Semangat mencari ilmu dan pengetahuan di mana-pun berada, baik di dalam kampus maupun kegiatan ekstra kampus.
Cukuplah saya yang menghadapi jalan panjang pengurusan skripsi, dan tidak dialami lagi oleh generasi angkatan berikutnya. Semoga.
Pengajaran Fakultas Hukum Untad
Jumat, 16 Juni 2006