Palu, Jati Centre. Kepala Desa merupakan kepala pemerintahan desa yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa, dengan dibantu Perangkat Desa. Kepala Desa memiliki kedudukan sebagai perpanjangan tangan negara di lingkungan masyarakat desa untuk menjadi pemimpin dan menyelenggarakan pelayanan ke masyarakat desa.
Kedudukan Kepala Desa dan Perangkat Desa tersebut, beriringan dengan kewajiban tidak terlibat kegiatan politik praktis penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2020. Hal ini disampaikan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) Ruslan Husen di Palu, Jumat (18/09/2020).
“Kepala Desa mempunyai kedudukan penting sebagai pelayan publik dan pemimpin masyarakat desa, sehingga dituntut tidak terlibat kegiatan politik praktis,” ujarnya.
Pernyataan itu menurutnya, beriringan dengan Pasal 29 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang menyebutkan larangan bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa yang terdiri Sekretaris Desa, Pelaksana Kewilayahan, dan Pelaksana Teknis, untuk menjadi pengurus Partai Politik dan ikut serta atau terlibat dalam kampanye Pilkada.
“Jika ditemukan Kepala Desa maupun Perangkat Desa yang melanggar dengan bukti pelanggaran yang kuat, maka jajaran Bawaslu tidak segan-segan melakukan penindakan pelanggaran,” tegasnya.
Ia menjelaskan, penindakan pelanggaran terhadap kegiatan politik praktis kepala desa atau perangkat desa, termasuk kategori pelanggaran hukum lainnya. Sehingga eksekusi atas pelanggaran, bukan di tangan Bawaslu tetapi pada instansi lain yang berwenang berupa sanksi administratif sesuai Undang-Undang Desa.
“Hasil penindakan pelanggaran, menghasilkan rekomendasi yang diteruskan kepada atasan Kepala Desa, yakni Bupati dengan melampirkan kajian pelanggaran disertai bukti-bukti terkait,” sebutnya.
Ia juga menerangkan, selain berdimensi pelanggaran hukum lainnya, kegiatan politik praktis atau pelanggaran kepala desa dalam Pilkada, juga dapat berkonsekuensi pelanggaran pidana pemilihan. Pidana pemilihan, berawal dari laporan atau temuan dugaan pelanggaran untuk dibahas dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang beranggotakan Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan.
“Hal ini merujuk Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Pemilihan, bahwa Kepala Desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon,” terangnya.
Menurutnya, tindakan Kepala Desa yang mengajak warganya agar mendukung atau memilih pasangan calon kepala daerah tertentu, merupakan tindakan pelanggaran. Apalagi menggunakan fasilitas desa atau fasilitas jabatannya.
“Akan tetapi, pelanggaran tersebut harus dibuktikan lebih dahulu,” sebutnya.
Lanjutnya, konsekuensi hukum bagi Kepala Desa yang melanggar larangan tersebut, diancam sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat satu bulan dan paling lama enam bulan, serta denda paling sedikit enam ratus ribu rupiah dan paling banyak enam juta rupiah.
“Jauh hari, Bawaslu telah menyampaikan surat imbauan, sosialisasi, dan koordinasi untuk menjamin netralitas kepala desa, agar tidak terjebak dalam kegiatan politik praktis,” pungkasnya.
Atas kecenderungan Kepala Desa maupun Perangkat Desa terlibat dalam kegiatan politik praktis, pihaknya mengharap agar menghindari membuat keputusan maupun tindakan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilihan. Sehingga bisa lebih fokus menyelenggarakan pemerintah desa dan pelayanan masyarakat desa sesuai amanat Undang-Undang Desa.
Untuk diketahui, sampai 18 September 2020, Bawaslu Sulteng mencatat jumlah Kepala Desa yang terbukti melakukan pelanggaran politik praktis, jenis pelanggaran hukum lainnya sebanyak 18 kasus. Adapun pelanggaran pidana pemilihan (Pasal 71 ayat (1) UU Pemilihan), tidak ada.
Dengan rincian pelanggaran, 15 kasus Kepala Desa di Kabupaten Banggai, dan 3 kasus Kepala Desa di Kabupaten Sigi.
Selain itu, terdapat 1 kasus yang menyeret Sekretaris Desa di Kabupaten Sigi, selain melanggar Undang-Undang Desa juga melanggar prinsip netralitas selaku Aparatur Sipil Negara (ASN). Sehingga Bawaslu Kabupaten Sigi meneruskan rekomendasi pelanggaran, selain ke kepala daerah juga kepada Komisi ASN di Jakarta. (Rsl)