Ikhwal Kepentingan Memaksa dalam Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia

833 Views

Oleh: Randy Atma R. Massy, SH, MH.

 

Penayangan video diskusi mengenai Jejak Khilafah di Nusantara menjadi sebuah pemberitaan yang kini kembali menjadi viral dan marak, sehingga kembali menimbulkan Polemik di masyarakat. Dibalik penayangan kembali mencuat nama Organisasi yang juga beberapa tahun sebelumnya menjadi sorotan terkait pembubarannya yaitu Organisasi Masyarakat yang dikenal dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tanggal pada 19 Juli 2017, gerakan transnasional ini resmi dinyatakan terlarang. Sebagaimana yang tertulis dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan Ham No. AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan dengan alasan Ikhwal Kegentingan Yang Memaksa.

Pasca runtuhnya era Soeharto, menjadi peluang berbagai organisasi yang mengatasnamakan agama untuk mengklaim gagalnya negara atau pemerintah. Salah satu alasan inilah yang kemudian menjadikan HTI terus mempromosikan ide sistem khilafah sebagai solusi. Bukanlah hal baru memang. Dengan berkembangnya waktu, HTI dirasa makin masif dalam menyosialisasikan cita-citanya untuk mendirikan negara Islam. Maka, mulai muncul ide pemerintah untuk membubarkan HTI[1] Sehingga, berbagai pertanyaanpun muncul merespons wacana ini Misal, di pihak yang kontra dengan wacana tersebut terus mempertanyakan mengapa inisiatif seperti itu baru muncul pada era pemerintahan Jokowi. Pada era-era sebelumnya, HTI dibiarkan beraktivitas. Sebaliknya, pihak yang pro berargumen bahwa aktivitas HTI semakin merisaukan.

Setelah dilakukan penelusuran terkait dengan kebijakan tersebut, ada keterkaitan dengan beberapa program pemerintah yang termaktub dalam Nawacita sebagaimana berikut:

  • Nomor 2 : Menghilangkan absennya pemerintah dalam mengelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya dengan mendorong partisipasi publik dalam menentukan kebijakan publik dari pengelolaan badan publik yang baik.
  • Nomor 8 : Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dan mengembalikan nilai-nilai nasionalis serta melakukan evaluasi model penyeragaman dalam sistem pendidikan di Indonesia.
  • Nomor 9 : Memperteguh kebhinekaan yang akan mengembalikan rasa kerukunan antar warga sesuai dengan jiwa konstitusional atau Pancasila serta meningkatkan proses pertukaran budaya untuk meningkatkan pemahaman atas kemajemukan.[2]

Dalam Nawacita tersebut tampak bagaimana pemerintah berupaya dalam memperkuat nilai-nilai demokrasi dengan kembali pada paham nasionalisme. Oleh karena itu, pemerintah akan menindaklanjuti segala paham yang berbau anti Pancasila. Melalui survey yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting, saat ini NKRI terancam dengan berbagai paham keagamaan tertentu yang mengkhawatirkan akan terjadinya perang saudara. Hal ini kemudian direspons oleh pemerintah dengan menginstruksikan kementerian Koordinator bidang politik, Hukum dan Keamanan untuk melakukan kajian terhadap Ormas yang memiliki ideologibertentangan dengan Pancasila ataupun UUD NKRI. Inilah yang kemudian menjadi dasar Menkumham untuk membubarkan HTI[3].

Penerbitan Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menuai pro dan kontra. Demikian pula dengan keputusan pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia,  Sembilan hari setelah penerbitan Perppu. Pihak yang kontra menganggap langkah pemerintah sebagai bentuk pemberangusan kebebasan berserikat[4]. Dalam Perppu ada asas contrario actus, maka lembaga yang memberikan izin dan mengesahkan ormas diberikan kewenangan mencabut izin itu manakala ormas tertentu sudah melanggar ketentuan izin[5] dan dianggap sebuah tindakan darurat dan segera dilaksanakan pembubarannya yang diindikasikan saat itu mengancam keutuhan NKRI yang beridelogikan pancasila, tentu dalam hal ini Negara haruslah memposisikan dirinya sebagai negara hukum yang menjadikan hukum sebagai panglima dalam pergerakan negara yang berada pada koridor Konstitusi.

Makna atau nilai dari negara hukum tersebut adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat, maupun antara anggota atau kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya dalam mewujudkan tujuannya.[6] Dalam konteks kehidupan bernegara, maka hukum harus berperan, sehingga segala sesuatunya berjalan dengan tertib dan teratur, sebab hukum menentukan dengan tegas hak dan kewajiban masing-masing. Hukum harus mampu mewujudkan rasa keadilan dan kegunaan bagi kepentingan masyarakat, serta kepastian hukum.[7] Di sisi lain negara hukum harus dapat menyelenggarakan ketertiban hukum dengan berpedoman pada hukum (rule of law), serta negara kesejahteraan (welfare state).[8]

Urgensi Fungsi dan Materi Muatan Perppu

Secara hierarki semua jenis peraturan perundang-undangan mempunyai fungsi tertentu. Tetapi secara umum menurut Bagir Manan fungsi peraturan perundang-undangan dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu:[9]

1. Fungsi Internal, yaitu fungsi peraturan perundang-undangan sebagai sub-sistem hukum terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya. Secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi antara lain:

  • Fungsi penciptaan hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara, yaitu melalui keputusan hakim, kebiasaan yang timbul di dalam praktik dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum.
  • Fungsi pembaharuan hukum. Pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaruan hukum dapat pula direncanakan. Fungsi pembaruan terhadap perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan masa Belanda dan peraturan perundang-undangan nasional yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru.
  • Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum. Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Pembaruan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain.
  • Fungsi kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan asas penting di dalam tindakan hukum dan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi daripada hukum kebiasaan dan hukum adat atau yurisprudensi.[10]

2. Fungsi eksternal, adalah keterkaitan peraturan peru ndang-undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal bisa juga disebut fungsi sosial hukum, dan dapat dibedakan menjadi:

  • Fungsi perubahan. Fungsi perubahan yaitu hukum sebagai sarana rekayasa sosial dimana peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat dibidang ekonomi, sosial, maupun budaya.
  • Fungsi stabilitas. Peraturan perundang-undangan dibidang pidana, ketertiban, dan keamaan merupakan kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjamin stabilitas masyarakat.
  • Fungsi kemudahan. Fungsi kemudahan dapat berfungsi sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan peraturan yang berisi insentif, seperti keringan pajak.

Fungsi peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas sejalan dengan fungsi hukum yang dikemukakan oleh Sjahran Basah. Menurut Sjahran Basah, ada 5 (lima) fungsi hukum yang disebut dengan panca fungsi hukum, yaitu: Pertama, direktif, artinya hukum sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara. Kedua, integratif, yaitu sebagai pembina kesatuan bangsa. Ketiga, stabilitatif, yaitu untuk memelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Keempat, perfektif, yaitu sebagai penyempurna, baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga negara apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dan kelima, korektif, yaitu sebagai pengoreksi atas sikap tindak, baik administrasi negara maupun warga negara apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.[11]

Dalam negara hukum yang modern, menurut A. Hamid S. Attamimi, peraturan perundang-undangan mempunyai fungsi sebagai berikut:[12]

  1. memberikan bentuk pada endapan-endapan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan hidup dalam masyarakat;
  2. produk fungsi negara di bidang pengaturan; dan
  3. metode dan instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan.

Adanya berbagai jenis peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia yang tersusun secara hierarki, mengakibatkan pula adanya perbedaan dalam hal fungsi maupun materi muatan dari berbagai jenis peraturan perundang-undangan tersebut.[13]

Dalam hierarki peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa undang-undang dan perppu mempunyai kedudukan yang sama. Berdasarkan hal itu pula sehingga fungsi undang-undang dan perppu adalah sama, yaitu:

  1. menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya. Fungsi ini terlihat jelas di dalam pasal-pasal Undang- Undang Dasar Tahun 1945, karena pasal-pasal tersebut menyatakan secara tegas hal-hal yang harus diatur dengan undang-undang;[14]
  2. pengaturan dibidang materi konstitusi seperti: 1) organisasi, tugas, dan susunan lembaga negara dan 2) tata hubungan antara negara dan warga negara dan antar warga negara/penduduk secara timbal balik.[15]

Istilah “materi muatan” pertama kali diperkenalkan oleh A.Hamid S. Attamimi, yang menurut pengakuannya mulai diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1979 sebagaimana dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan Nomor 3 Tahun 1979. Menurutnya, istilah materi muatan sebagai pengganti atau alih bahasa dari istilah Belanda het onderwerp dalam ungkapan Thorbecke het eigenaardig onderwerp der wet yang diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-undang, yakni materi pengaturan khas yang hanya semata-mata dimuat dalam undang-undang dan oleh karena itu menjadi materi muatan undang-undang.[16] Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan pengertian mengenai materi muatan peraturan undang-undangan yaitu sebagai materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Mengenai materi muatan Perppu, diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu bahwa “materi muatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sama dengan materi muatan undang-undang”. Hal ini dikarenakan kedudukan perppu dan uu sama secara hierarki, bedanya hanya perppu dikeluarkan oleh presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, karena perppu ini merupakan peraturan pemerintah yang menggantikan undang-undang, materi muatannya adalah sama dengan materi muatan dari undang-undang.[17] Hal senada juga dikemukakan oleh Bagir Manan yang menyatakan bahwa materi muatan perppu merupakan materi muatan undang-undang. Dalam keadaan biasa materi muatan tersebut harus diatur dengan undang-undang.[18]Tetapi lebih lanjut Bagir Manan menyebutkan bahwa materi muatan perppu semestinya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan (administrasi negara). Jadi tidak boleh dikeluarkan perppu yang bersifat ketatanegaraan dan hal-hal yang berkaitan dengan lembaga-lembaga negara, kekuasaan kehakiman, pelaksanaan kedaulatan rakyat, dan lain-lain di luar jangkauan penyelenggaraan administrasi negara.[19]

Sedangkan yang menjadi materi muatan suatu undang-undang berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu berisi:

  1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;
  3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
  4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
  5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Proses Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Istilah Perppu sepenuhnya adalah ciptaan UUD NRI 1945,[20] yaitu sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 22 UUD NRI 1945. Berdasarkan Pasal 22 UUD NRI 1945 tersebut, dapat diketahui beberapa hal yaitu:[21]

  1. Peraturan tersebut disebut peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, yang berarti bahwa bentuknya adalah peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Jika biasanya bentuk peraturan pemerintah itu adalah peraturan yang ditetapkan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya, maka dalam keadaan kegentingan yang memaksa bentuk peraturan pemerintah itu dapat dipakai untuk menuangkan ketentuan-ketentuan yang semestinya dituangkan dalam bentuk undang-undang dan untuk menggantikan undang-undang;
  2. Pada pokoknya, perppu sendiri bukanlah nama resmi yang diberikan oleh UUD NRI 1945. Namun, dalam praktik selama ini, peraturan pemerintah yang demikian itu lazim dinamakan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau disingkat Perppu.
  3. Perppu tersebut pada pokoknya hanya dapat ditetapkan oleh Presiden apabila persyaratan kegentingan yang memaksa terpenuhi sebagaimana mestinya. Keadaan “kegentingan yang memaksa” yang dimaksud disini berbeda dan tidak boleh dicampur-adukkan dengan pengertian “keadaan bahaya” sebagaimana ditentukan oleh Pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”;
  4. Karena pada dasarnya Perppu itu sederajat atau memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang, maka Dewan Perwakilan Rakyat harus secara aktif mengawasi baik penetapan maupun pelaksanaan Perppu di lapangan, jangan sampai bersifat eksesif dan bertentangan dengan tujuan awal yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, Perppu harus dijadikan sebagai objek pengawasan yang sangat ketat oleh Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan tugasnya.
  5. Karena materi Perppu seharusnya dituangkan dalam bentuk undang-undang, maka masa berlakunya Perppu dibatasi hanya untuk sementara. Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 yaitu sampai dengan mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, dan jika tidak mendapat persetujuan maka perppu tersebut harus dicabut.

Konstitutionalitas Perppu dalam Pembubaran ORMAS

Konstitusi memberikan jaminan kepada setiap individu atau sekelompok orang untuk bersepakat mengikat diri pada sebuah organisasi untuk mencapai apa yang menjadi kepentingannya. Era reformasi yang telah berlangsung sejak tahun 1997, telah membuka peluang bagi hubungan masyarakat sipil dan negara yang mengalami transformasi yang demikian cepat.[22]

Hal ini ditunjukkan dari gejala semakin kuatnya peran masyarakat sipil dalam mengorganisir dirinya untuk memperjuangkan kepentingannya ketika berhadapan dengan negara ataupun pada saat mengisi layanan publik. Euforia tersebut merupakan puncak manifestasi dari kemerdekaan hati nurani dan kemerdekaan berpikir yang telah diperjuangkan pada masa reformasi.[23]

Pasca Reformasi, dinamika perkembangan Ormas dan perubahan sistem pemerintahan membawa paradigma baru dalam tata kelola organisasi kemasyarakatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pertumbuhan jumlah Ormas, sebaran dan jenis kegiatan Ormas dalam kehidupan demokrasi semakin menuntut peran fungsi dan tanggung jawab Ormas untuk berpatisipasi dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, serta menjaga dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dinamika Ormas dengan segala kompleksitasnya menuntut pengelolaan dan pengaturan hukum yang lebih komprehensif, mengingat UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya UU Nomor 17 Tahun 2013 sebagai pengganti UU Nomor 8 Tahun 1985 yang sudah berlaku selama kurang lebih 18 tahun[24].

Di dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 selain memuat tentang ketentuan umum mengenai Ormas juga memuat mengenai larangan dan sanksi bagi Ormas. Larangan terhadap Ormas diatur dalam Pasal 59 UU Ormas menjelaskan sebuah ormas dilarang untuk melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, dan golongan. Ormas juga tidak boleh melakukan tindakan kekerasan yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, termasuk perbuatan merusak. Melakukan tindakan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI, dan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum yang diatur berdasarkan undang-undang.[25] Selain larangan tersebut, Ormas juga dilarang untuk menerima sumbangan dari pihak manapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, mengumpulan dana untuk partai politik, dan menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila.[26]

Satu hal perbedaan yang terlihat jelas dalam kedua UU tersebut adalah apabila dalam Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 1985 ormas dilarang menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah, maka dalam Pasal 56 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2013 ormas dilarang menerima bantuan dari siapapun apabila bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Aturan dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 lebih mempresentasikan kedaulatan hukum, dibandingkan dengan UU Nomor 8 Tahun 1985 yang berdasarkan persetujuan pemerintah yang lebih condong kepada pendekatan dan kepentingan politik. Karenanya penulis UU Nomor 17 Tahun 2013 lebih dekat kepada tujuan negara yang menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum.[27]

Sanksi bagi Ormas dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 diatur dalam Pasal 60 sampai Pasal 82, diantaranya adalah pembubaran. Pemerintah daerah dalam undang-undang ini bisa menghentikan kegiatan ormas. Undang-Undang ini menyebutkan dapat membubarkan suatu ormas berbadan hukum melalui beberapa tahapan, yaitu pemberian sanksi administratif yang terdiri atas peringatan tertulis, penghentian bantuan, penghentian sementara kegiatan, dan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.[28]

Peringatan tertulis dilakukan sebanyak tiga kali. Dalam Pasal 64 disebutkan jika surat peringatan ketiga tidak digubris, pemerintah bisa menghentikan bantuan dana dan melarang sementara kegiatan mereka selama enam bulan. Dengan catatan, jika ormas tersebut berskala nasional, harus ada pertimbangan Mahkamah Agung. Namun, jika sampai 14 hari tidak ada balasan dari Mahkamah, pemerintah punya wewenang menghentikan sementara kegiatan mereka.[29] Dalam Pasal 68, jika ormas masih berkegiatan padahal sudah dihentikan sementara, pemerintah bisa mencabut status badan hukum mereka, asal mendapat persetujuan dari pengadilan.[30]

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor: 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Pembubaran Ormas), diteken Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017. Dalam pertimbangan UU tersebut dinyatakan bahwa ada kekosongan hukum karena Undang-Undang (UU) berumur 4 tahun tersebut belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.33 Dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017, terdapat 5 pasal dalam UU Ormas sebelumnya yang diubah dan terdapat 18 pasal yang dihapus. 5 pasal dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang diubah oleh Perppu ini yaitu Pasal 1, 59, 60, 61, dan 62.  Pasal 1 Perppu ini antara mengubah pengertian ormas menjadi lebihtegas dari sebelumnya. Menurut Perppu ini, ormas memiliki pengertian:

Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[31]

Definisi dari ormas dalam Perppu menjadi lebih tegas jika sebelumnya pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 berbunyi Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kini dipertegas dengan “dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Artinya Ormas harus patuh pada UUD 1945. Tidak boleh undangundang lain atau piagam Jakarta.

Menurut Moh. Mahfud MD hukum haruslah responsif dan tidak sentralistik hanya dikuasai oleh eksekutif semata. Produk hukum yang bersifat sentralistik dan lebih didominasi oleh eksekutif akan menghasilkan hukum yang berkarakter ortodoks.[32]

Ikhwal Kegentingan Yang Memaksa.

Pembubaran HTI adalah hal yang dianggap mendesak dan tidak normal, maka dalam menjamin agar negara selalu dalam keadaan normal adalah salah satu tugas pokok pemerintahan guna tercapainya tujuan negara. Akan tetapi dalam keadaan normal, proses pemerintahan hanya dapat diselenggarakan menurut cara cara yang ditentukan dalam undang undang dasar, sebagai mana dikenal dengan prinsip constitutional government. Dan hal tersebut tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi.[33]

Kegentingan yang memaksa harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan kendala yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Selain kondisi negara dalam keadaan biasa (ordinary condition) atau (normal condition), kadang-kadang timbul atau terjadi keadaan yang tidak normal. Keadaan yang menimpa suatu negara yang bersifat tidak biasa atau tidak normal itu memerlukan pengaturan yang bersifat khusus sehingga fungsi-fungsi negara dapat bekerja secara efektif dalam keadaan yang tidak normal.[34] Dalam keadaan yang demikian, bagaimanapun juga, sistem norma hukum yang diperuntukkan bagi keadaan yang normal tidak dapat diharapkan efektif untuk dipakai guna mencapai tujuan hukum yang menjamin keadilan, kepastian, dan kemanfaatannya. Oleh karena itu, sejak semula keadaan tidak normal itu sudah seharusnya diantisipasi dan dirumuskan pokok-pokok garis besar pengaturannya dalam Undang-Undang Dasar.

Dengan beberapa kasus di atas, pemerintah bergegas untuk segera membubarkan. Bukan berarti pemerintah anti Ormas Islam, tetapi demi perdamaian dan persatuan anak bangsa. Bahkan alasan ini telah disampaikan secara tegas dalam konferensi press. Keputusan ini justru dianggap terlambat jika dibandingkan 20 negara di dunia lain.[35]Selanjutnya, keputusan pemerintah ini diamini oleh beberapa pimpinan pemerintah dan DPR, serta beberapa tokoh masyarakat yang sangat yakin dengan ideologi HTI yang ingin mengubah ideologi dan dasar negara.

Dalam kerangka hukum, pembubaran HTI berpedoman pada UUD 1945 Pasal 22 ayat (1) yang tertulis, “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Sebagai kewenangan subjektif, Penerbitan Perppu harus memenuhi syarat konstitusional yaitu adanya frasa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.” Artinya, Perppu harus dilandasi dengan kebutuhan yang benar-benar mendesak dengan berbagai prosedur, bukan atas kepentingan politik belaka. Akan tetapi, Noodverordeningsrecht” atau “hak presiden untuk menentukan kegentingan yang memaksa” tidak harus relevan dengan keadaan yang membahayakan, tetapi apabila presiden meyakini adanya keadaan mendesak dan perlunya peraturan yang mempunyai kedudukan sama dengan undang-undang maka diperkenankan.[36]

Sampai DPR melakukan pembicaraan pengaturan keadaan tersebut. Selanjutnya Perppu ditunjukkan kepada DPR melalui sidang sehingga diberikan keputusan untuk dapat diterima atau ditolak Perppu tersebut sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan. Namun, untuk kasus pembubaran ini, secara bersamaan DPR tengah mengesahkan. Dalam hal ini, memang ada yang terlewatkan yakni fungsi MK.

Pembubaran HTI dilakukan oleh pemerintah dengan mencabut status badan hukum yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memiliki hak legal administrative, setelah itu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat yang mengubah atas Undang-Undang No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat yang didalam Peraturan Pemerintah ini Pasal 80 A “Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Sanksi dan Pembubaran Ormas UU Nomor 17 Tahun 2013 menganut sistem sanksi berjenjang. Adapun kewenangan membubarkan Ormas berdasarkan keputusan Pengadilan. Pemerintah tidak dapat membubarkan sebuah Ormas tanpa adanya putusan Pengadilan. Mekanisme ini sebagai instrumen penting yang berperan dalam demokrasi sebagai wujud dari kebebasan berserikat. Pembekuan dan pembubaran memang seharusnya perlu diputuskan melalui mekanisme due process of law oleh pengadilan yang merdeka. Proses ini menjadi sangat penting, artinya, jangan sampai wewenang dan pembubaran ormas dilakukan karena akan menimbulkan kesewenang-wenangan sebagaimana yang terjadi dalam Orde Baru. Kewenangan pembekuan dan pembubaran yang hanya diberikan kepada eksekutif memberi peran yang besar dan sentralistik, sebab pemerintah dapat membekukan dan membubarkan suatu organisasi yang merupakan manifestasi dari hak asasi manusia untuk berserikat, berkumpul, dan berorganisasi tanpa ada forum peradilan yang menyatakan bahwa Ormas tersebut memang bersalah.

Terkait frasa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan nomor 138/PUU-VII/2009 telah menentukan beberapa indikator yang dapat dikategorikan sebagai keadaan yang mendesak. Pertama, adanya keadaan atau situasi yang mengharuskan untuk segera diselesaikan atau mendesak. Oleh karena itu, diperlukannya tindakan hukum yang cepat tetapi tetap mengacu pada undang-undang. Kedua, belum adanya hukum atau undang-undang yang mengatur sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tetapi belum memadai. Ketiga, adanya kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan membuat undang-undang secara prosedur biasa dikarenakan membutuhkan waktu yang cukup lama, sedang di lain pihak, keadaan mendesak untuk segera dicarikan solusinya.[37] Beberapa indikator inilah, kondisi genting adalah argumen yang dijadikan alasan pemerintah dalam memutuskan kebijakan pembubaran HTI.

Catatan Kaki

[1] Siti Muzaroh, Justicia Islamica: Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Vol. 16, No.1, Juni 2019.
[2] Sri Yunanto, Negara Khilafah Versus Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Jakarta:IPSS, 2017), 126.
[3] ibid.
[4] Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2017/07/21/13321381/mengukur-kegentingan-pembubaran-hti-dan-penerbitan-perppu-ormas?page=all. Diunduh tangga 27-8-2020.
[5] Dengan Perppu, Pembubaran Ormas Tak Perlu Proses Pengadilan”, https://tirto.id/csyw, diunduh tanggal 27-8-2020.
[6] Muhammad Syarif Nuh, (2011). Hakekat Keadaan Darurat Negara (State Of Emergency) sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Jurnal Ius Quia Iustum, 18(2), 229-246:230.
[7] Aidul Fitriciada Azhari, (2012). Negara Hukum Indonesia: Dekolonisasi dan Rekonstruksi Tradisi, Jurnal Ius Quia Iustum, 4(2), 489-505:492.
[8] Muhammad Jeffry Rananda, (2015). Politik Hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, 534-542:536.
[9] Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun & Merancang Peraturan Daerah; Suatu Kajian Teoretis & Praktis Disertai Manual, Kencana, Jakarta, 2013, hal. 61-64.
[10] Ali Marwan Hsb  KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG ( COMPELLING CIRCUMSTANCES OF THE ENACTMENT GOVERNMENT REGULATION IN LIEU OF LAW) hal 11.
[11] Sjahran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 13 – 14.
[12] Haposan Siallagan dan Efik Yusdiansyah, Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, UHN Press, Medan, 2008, hlm. 38.
[13] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan; Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2008, hlm. 215.
[14] ibid.
[15] ibid.
[16] A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 193 – 194.
[17] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan………, Op. Cit., hlm. 131.
[18] Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992, hlm. 50.
[19] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta, 2000, hlm. 217.
[20] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 55.
[21] Ibid., hlm. 55 – 62.
[22] Kajian RUU Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Jakarta: Bagian PUU Bidang Politik, Hukum, dan HAM Sekretariat Jenderal DPR-RI, 2010, h. 5.
[23] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta Konstitusi Press, 2006, h. 7-8.
[24] Konstitusionalitas Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas Ditinjau dari UUD 1945. Hlm 463.
[25] Lihat Pasal 56 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.
[26] Ibid.
[27]  George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition New York: Holt, Rinehart and Winston, 1961, hlm. 35.
[28] Pasal 61 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
[29] Ibid Pasal 64.
[30] Ibid Pasal 68
[31] Pasal 1 Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
[32] Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, hlm. 26
[33] Dedy Nursamsi, (2014). Kerangka Cita Hukum (Recht Idee) Bangsa Sebagai Dasar Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang, Jurnal Cita Hukum, 2(1), 89-100:96.
[34] Osgar S. Matompo, (2014). Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif Keadaan Darurat, Jurnal Media Hukum, 21(1), 57-72:59.
[35] ibid.
[36] http://www.detiknewsocean.com/fungsi-peraturan-pemerintah-pengganti, diakses pada 27 Agustus 2020.
[37] http/news.beritaharian.com.ihwalkegentinganmemaksa. akses 27 Agustus 2020.

Sumber Gambar Unggulan: https://www.cnnindonesia.com, AFP PHOTO / ADEK BERRY.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.