Membangun Keterbukaan Informasi Publik

276 Views
MEMBANGUN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.

Pengantar

Pemenuhan hak atas informasi publik oleh badan publik yang menyelenggarakan urusan pelayanan publik terutama menyangkut hajat hidup orang banyak, merupakan salah satu indikator dianutnya konsepsi rechtstaat sekaligus prinsip demokrasi. Konsep rechtstaat dan prinsip demokrasi salah satu cirinya adalah pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Nilai dimaksud menekankan pada aspek hak publik baik kelompok maupun perorangan untuk mendapatkan informasi, dan kewajiban badan publik untuk menyediakan informasi publik sesuai dengan ketentuan hukum secara cepat, transparan dan profesional.

Penegasan hak atas informasi merupakan bagian dari HAM ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan peribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Turunan dari ketentuan tersebut diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, beserta peraturan pelaksananya baik berbentuk Peraturan Pemerintah maupun peraturan teknis kementerian/badan/komisi terkait. Sekali lagi, hak atas informasi merupakan hak asasi setiap orang yang diakui negara dan harus dilayani badan publik untuk memperoleh, mencari dan menyimpan serta memanfaatkan baik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok serta bagi kehidupan sosial.

Jaminan keterbukaan informasi publik dari badan publik pada satu sisi akan mendorong tercipta iklim clean and good governance mengenai apa yang direncanakan dan telah dikerjakannya, melalui penyediaan data dan informasi yang dapat diakses publik secara cepat, transparan, dan profesional. Langkah badan publik menyediakan informasi publik dan tidak menutupi perencanaan dan hasil kinerja instansinya, menandakan ada ketaatan prosedur dan kemauan menerima masukan dan koreksi, dan itu positif dan patut diapresiasi.

Sisi lain, publik sebagai pengguna informasi melalui lembaga atau kelompok masyarakat bahkan individu, sejatinya mengetahui mekanisme permohonan informasi dan memahami klasifikasi informasi yang dimohonkan. Dapat saja informasi yang dimohonkan termasuk informasi yang dikecualikan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sehingga wajar badan publik tidak memberikan informasi dan langkah itu bukan sebagai tindakan membatasi hak publik akan informasi, melainkan ketaatan dalam menjalan aturan hukum, bila mana informasi yang dikecualikan diberikan atau terpublikasi dikhawatirkan akan mempengaruhi proses penegakan hukum, kedaulatan negara, dan melanggar hak asasi orang lain berdasarkan asas kepatutan dan kepentingan umum. Misalnya dalam proses penindakan pelanggaran pemilihan, Bawaslu mengklasifikasi dokumen penindakan pelanggaran sebagai informasi yang dikecualikan, yang jika dokumen tersebut terpublikasi dikhawatirkan mengganggu proses penindakan pelanggaran.

Selain dari pada informasi yang dikecualikan berdasarkan penetapan pimpinan badan publik, semua informasi hasil produksi badan publik dapat disediakan dan diumumkan ke publik karena bukan klasifikasi informasi yang dikecualikan. Bentuknya dapat berupa informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, informasi publik yang wajib diumumkan secara serta merta, dan informasi publik yang wajib tersedia setiap saat.

Bawaslu sebagai salah satu badan publik yang berwenang melakukan pengawasan, penindakan dan penyelesaian sengketa proses pemilu, juga dituntut menjamin akses keterbukaan informasi publik sekaitan dengan pelaksanaan kewenangan tersebut. Bawaslu pada tahun 2018 lalu berhasil mendapat capaian anugerah urutan ke-tiga terbaik sebagai Badan Publik Lembaga Non Struktural Kualifikasi “Informatifdari Komisi Informasi Publik (KIP). Tentu ada kinerja yang dilakukan Bawaslu dan jajarannya hingga berhasil mencapai anugerah tersebut. Kinerja dimaksud dapat menjadi arahan dan motivasi sekaligus bahan-referensi untuk meningkatkan kinerja badan publik dalam rangka menjamin hak publik akan informasi.

Konsepsi Keterbukaan Informasi Publik

Keterbukaan informasi publik diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Hadirnya UU KIP dimaksudkan mendorong proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan dan mendukung transparansi informasi di seluruh badan publik. Melalui UU KIP ini setiap instansi yang menjalankan tugasnya menggunakan dana APBN atau APBD dikategorikan sebagai badan publik yang wajib mengelola dan menyediakan informasi publik yang dimilikinya.

Informasi publik menurut UU KIP adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UU ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Setiap Informasi publik sejatinya dapat diperoleh dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana sepanjang bukan termasuk informasi yang dikecualikan karena bersifat rahasia sesuai dengan ketentuan UU, kepatutan, dan kepentingan umum.

Klasifikasi informasi dilakukan untuk menentukan data dan informasi publik, yakni informasi yang wajib disediakan dan diumumkan serta informasi yang dikecualikan. Pertama, Informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan, terdiri atas:

  • Informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, meliputi:
  • informasi yang berkaitan dengan badan publik;
  • informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik terkait;
  • informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau
  • informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang­-undangan.
  • Informasi publik yang wajib diumumkan secara serta merta. Berupa mengumumkan secara serta merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami.
  • Informasi publik yang wajib tersedia setiap saat, meliputi:
  • daftar seluruh informasi publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan;
  • hasil keputusan badan publik dan pertimbangannya;
  • seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya;
  • rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan badan publik;
  • perjanjian badan publik dengan pihak ketiga;
  • informasi dan kebijakan yang disampaikan pejabat publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum;
  • prosedur kerja pegawai badan publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat; dan/atau
  • laporan mengenai pelayanan akses informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang­Undang ini.

Kedua, Informasi publik yang dikecualikan. Setiap informasi pada hakikatnya bersifat terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat, kecuali terhadap informasi yang dikecualikan sebagaimana ditentukan dalam UU. Ada informasi-informasi tertentu yang tidak dapat diakses oleh publik karena ada kerentanan dan mengganggu kinerja jika informasi tersebar. Informasi yang tidak diakses publik dan badan publik berhak menolak memberikan informasi, yaitu:

  • informasi yang dapat membahayakan negara;
  • informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat;
  • informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;
  • informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau
  • Informasi publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.

Tidak termasuk dalam kategori informasi yang dikecualikan sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU KIP, adalah: a. putusan badan peradilan; b. ketetapan, keputusan, peraturan, surat edaran, ataupun bentuk kebijakan lain, baik yang tidak berlaku mengikat maupun mengikat ke dalam ataupun ke luar serta pertimbangan lembaga penegak hukum; c. surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan; d. rencana pengeluaran tahunan lembaga penegak hukum; e. laporan keuangan tahunan lembaga penegak hukum; f. laporan hasil pengembalian uang hasil korupsi; dan/atau g. informasi lain hasil proses mekanisme keberatan dan/atau penyelesaian sengketa. Dengan ketentuan sepanjang pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis; dan/atau pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik.

Capaian Bawaslu

Era kekinian yang sering disebut era milenial, telah menempatkan kinerja badan publik tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan data dan informasi yang diolah secara elektronik dengan sistem informasi dan teknologi. Transformasi pengelolaan dari manual beralih menggunakan sarana teknologi informasi. Data dan informasi dalam bentuk dokumen disarikan ke bentuk digital-elektronik yang mudah diakses kapan dan di mana saja. Tidak lagi terbebani dengan jumlah dan fisik dokumen administrasi yang menumpuk, cukup dengan sarana flas disk menjadikan data-data dapat tersimpan dan dengan cepat dapat ditarik jika dibutuhkan.

Data dan informasi sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pelaksanaan tugas dan kewenangan badan publik, akan lebih mudah dimengerti dan bermakna karena menggambarkan peristiwa, kejadian dan fakta. Sehingga bermanfaat bagi pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan dalam pengembangan program-program kerja dalam suatu institusi. Data dan informasi mutlak diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan kewenangan badan publik, sekaligus indikator kemapanan dan kemajuan institusi saat dikelola profesional dan menjamin akses publik akan informasi.

Bawaslu sebagai salah satu badan publik penyelenggara pemilu sudah sepantasnya menganggap penting data dan informasi, hingga pengelolaannya harus direncanakan, dilaksanakan secara taat asas dan dievaluasi untuk perbaikan pelayanan publik dan peningkatan kinerja di masa mendatang. Bawaslu menyadari transformasi pengelolaan data dan informasi, dengan melakukan beberapa inovasi kreatif guna peningkatan kinerja, lebih khusus menjamin akses keterbukaan informasi publik. Walhasil upaya Bawaslu berhasil memperoleh anugerah urutan ke-tiga terbaik tahun 2018 sebagai Kategori Badan Publik Lembaga Non Struktural Kualifikasi “Informatif” dari Komisi Informasi Publik (KIP). Pencapaian ini dilandasi atas kinerja dan etos jajaran Bawaslu, bahwa masyarakat mendapatkan akses data dan informasi dengan mudah, cepat, akurat dan terpercaya.

Pencapaian sebagai lembaga informatif, telah menutup sekat bahwa Bawaslu sebagai lembaga tertutup dan tidak memiliki sistem pengelolaan data dan informasi memadai. Semua itu berhasil ditepis dengan capaian gemilang sebagai lembaga informatif tahun 2018, yang perlu ditingkatkan atau dipertahankan di tahun-tahun mendatang. Yakni, meningkatkan kinerja dan karya di masa-masa mendatang dengan bersandar pada komitmen, koordinasi dan inovasi pengelolaan.

Perlu diingat, prestasi itu merupakan pencapaian Bawaslu RI. Dengan inspirasi capaian itu, pada tahun berikutnya jajaran Bawaslu di daerah harus memacu diri dan lembaga mengikuti jejak Bawaslu sebagai lembaga informatif. Kesepahaman dan komitmen bersama menjadi pendukung atas niatan visioner ini. Apalagi contoh keberhasilan telah dimiliki oleh internal Bawaslu, tinggal modifikasi dan diiringi dengan inovasi progresif agar pencapaian dapat diraih.

Keterbukaan informasi merupakan upaya mewujudkan masyarakat informasi yang maju dan cerdas serta mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, bersih, transparan dan akuntabel. Perwujudan keterbukaan informasi tersebut dilakukan dengan pengawasan komitmen badan publik dalam menyelenggarakan pemerintahan yang terbuka yang setiap tahunnya dilakukan oleh KIP melalui monitoring dan evaluasi keterbukaan informasi publik. Jika dicermati, indikator keterbukaan informasi publik berbasis pada tiga hal.

Pertama, Komitmen. Komitmen bersama lahir dari cita-cita menjadi lembaga terpercaya, untuk pelaksanaan fungsi pengawasan tahapan pemilu. Setiap jajaran pelayan publik berkomitmen memberikan layanan maksimal sesuai dengan tugas dan kewenangan instansinya. Indikator pendukung komitmen ini bermuara pada titik temu pandangan penanggung jawab badan publik hingga tersedia Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagai pendukung profesionalitas kinerja. Adanya SOP, masyarakat memperoleh petunjuk akses layanan publik, demikian pula dengan Bawaslu menjadi lebih terarah dalam memberikan layanan, hingga pencapaian dan evaluasi kinerja lembaga lebih terukur.

Komitmen badan publik perlu ditunjukkan dan dikampanyekan terutama oleh mereka yang merupakan penanggung-jawab tertinggi pelaksanaan tugas dan wewenang institusi. Komitmen akan teraplikasi lewat pelaksanaan kegiatan yang terarah dengan gerak bersama jajaran untuk mencapai tujuan institusi. Pelaksanaan kinerja bukan tanpa masalah dan hambatan, semua itu alamiah adanya. Terpenting langkah upaya mengatasi masalah dan hambatan tersebut, dan semua inisiasi itu lahir dari komitmen yang kuat.

Kedua, Koordinasi. Pelaksanaan fungsi badan publik yang jajarannya berada hingga di kelurahan/desa, menjadikan Bawaslu dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses pemilu tentu tidak mudah. Apalagi ditambah dengan tugas pembinaan dan supervisi jajaran pengawas pemilu khususnya di Provinsi dan Kab/Kota. Kata kunci dari maksimalisasi hasil kerja adalah koordinasi top manajerial yang telah terjalin baik. Koordinasi hadir lewat komunikasi harmonis yang telah terbangun, dengan kedekatan emosional staf dan pimpinan.

Telah ada kesamaan persepsi yang menjadi perhatian bersama, titik temu menjadi potensi strategis dengan berusaha mengenyampingkan titik pembeda di antara para pengambil keputusan dan kebijakan. Semua terlaksana dengan baik, saat koordinasi dijalankan dengan baik, saat semua pihak sadar dan mengerti peran yang menjadi tanggungjawabnya. Pada organisasi manapun, kata kunci koordinasi menjadi penentu keberhasilan. Koordinasi yang sehat turut mendukung penyelesaian pekerjaan secara berkualitas. Koordinasi akan membuat sasaran dan pencapaian program dan kegiatan menjadi lebih terarah.

Ketiga, Inovasi. Memanfaatkan sarana teknologi berupa media yang mudah diakses publik, misalnya : email, whatsapp, facebook, twitter dan instagram yang dikelola oleh staf profesional, menjadi pendukung pencapaian Bawaslu sebagai lembaga informatif. Konsepsi yang dibangun, bahwa akses informasi layanan ditujukan agar publik dapat memanfaatkan data dan informasi yang disajikan dengan cepat dan mudah. Mendukung inovasi progresif itu, diterbitkan pula buku panduan keterbukaan informasi publik, yang turut menjadi andil pencapaian itu.

Intinya inovasi merupakan kebutuhan untuk maju dan berhasil. Perubahan zaman bergerak begitu cepat. Siapa saja dalam pergulatan zaman tidak membuat dan menyesuaikan dengan perubahan zaman, maka Ia harus siap-siap tergilas oleh perubahan zaman, tertinggal dan tidak memiliki arti. Perubahan zaman menuntut produktif dan siap bersaing dengan melahirkan karya-karya transformatif, sekaligus siap keluar dari zona nyaman yang juga menuntut inovasi. Dari itu, Bawaslu terus melakukan inovasi, agar senantiasa tercatat sebagai lembaga informatif, terpercaya, dan profesional.

Pengelolaan Data dan Informasi

Pengelolaan data merupakan kegiatan pengolahan mengubah data menjadi informasi atau pengetahuan bermanfaat bagi publik dan kehidupan. Istilah pengolahan data sering dikaitkan dengan menjalankan sistem informasi menggunakan teknologi yang digerakkan sumber daya menggunakan sarana komputerisasi. Data mempunyai nilai informatif jika dikemas secara terorganisir dengan legalisasi pihak berwenang/penanggung jawab di institusi badan publik. Setelah data diproduksi lewat pelaksanaan tugas dan kewenangan, data didokumentasikan dan diolah dalam suatu manajemen agar mudah dipahami dan digunakan, berupa penyajian oleh Humas melalui penyebaran informasi publik.

Secara khusus, capaian badan publik sebagai lembaga berkualifikasi Informatif dari KIP, berangkat dari komitmen, koordinasi, dan inovasi kinerja yang selalu meningkat. Ada transformasi kinerja positif yang digerakkan banyak pihak dan kolaborasi peran saling mendukung. Secara teknis transformasi kinerja diidentifikasi lewat standar kelembagaan, sumber daya manusia, infrastruktur, dan software yang digunakan badan publik. Semua menjadi satu bagian kolaborasi kinerja mendukung pencapaian lembaga informatif.

Pertama, kelembagaan. Sejatinya setiap badan publik memiliki struktur lembaga yang mengurusi data dan informasi. Bagian atau divisi ini bertanggungjawab atas pengelolaan data dan informasi hasil kerja-kerja kelembagaan guna pelayanan informasi publik sekaligus mengukur pencapaian dan proyeksi. Pada umumnya, pengelola data dan informasi dikendalikan oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yakni pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan publik. Sejatinya divisi teknis selalu berkoordinasi dan menyerahkan data dan informasi hasil kinerja kepada bagian yang mengurasi data dan informasi ini, untuk dikelola dalam sistem data base. Tujuannya agar mudah diakses oleh internal sendiri dan menyajikan kepada masyarakat dengan mudah dan cepat.

Kedua, sumber daya manusia. Pengelola data dan informasi sejatinya dilaksanakan oleh personil sumber daya manusia profesional, yakni mengetahui tugas dan wewenang badan publik serta mampu mengaplikasikan lewat kinerja secara bertanggungjawab. Profesionalitas diidentifikasi pada kemampuan mendapatkan, mendokumentasikan, mengelola, dan menyajikan data dan informasi secara cepat dan tepat. Mereka telah menguasasi petunjuk dan standar pelayanan informasi, terutama teknis berhubungan-berinteraksi dengan pemohon informasi dan menerapkan standar pelayanan informasi sesuai dengan kebijakan internal badan publik.

Ketiga, infrastruktur. Infrastruktur merupakan kebutuhan dasar fisik struktur organisasi dalam menunjang pelaksanaan tugas dan kewenangan. Infrastruktur lekat dengan ketersediaan sarana dan prasarana menjamin ketersediaan akses informasi publik, berupa tempat personil badan publik memberikan pelayanan dengan dukungan fasilitas memadai. Penyediaan sarana dan prasarana ini lekat dengan komitmen Pembina dalam struktur badan publik, sehingga menjadi bagian yang harus memahami secara utuh urgensi dari pada akses pelayanan informasi publik.

Keempat, software. Garis besar inovasi dan pengembangan website badan publik akan terkait dengan sistem Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). PPID merupakan struktur dalam internal badan publik yang mengelola data dan informasi dasar pelaksanaan tugas dan kewenangan badan publik untuk disajikan kepada publik melalui sarana software, sehingga informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh masyarakat. Software sejatinya menjadi jembatan penghubung badan publik dengan masyarakat, lewat sajian data dan informasi sepanjang bukan informasi yang dikecualikan.

Penutup

Komitmen, koordinasi dan inovasi dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan capaian kinerja badan publik, khususnya Bawaslu sebagai lembaga informatif sesuai peringkatan Komisi Informasi Publik tahun 2018 lalu mutlak dilakukan. Ada standar kelembagaan, sumber daya manusia, infrastruktur, dan software yang perlu dibenahi. Semua itu dilakukan dalam rangka menjamin hak publik akan informasi, sekaligus secara internal menjamin kinerja lebih produktif dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih.

Selain itu, Komisi Informasi yang diberi tugas untuk menyelesaikan informasi publik, menetapkan kebijakan umum pelayanan informasi publik; dan menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, kiranya perlu menggencarkan sosialisasi agar badan publik dapat memahami hakikat informasi sebagai bagian dari hak asasi yang menjamin akses publik akan informasi. Sehingga secara berkala melakukan evaluasi dan peringkatan, yang dilakukan bukan hanya tingkat nasional saja, tetapi juga dapat dilakukan pada tingkatan daerah. Agar badan publik mengetahui capain untuk memotivasi diri untuk menjalankan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik.


Sumber Foto: https://ppid.bawaslu.go.id/

Matinya Demokrasi

301 Views

MATINYA DEMOKRASI
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.[1]

 

Demokrasi, kata yang sering disebut dan didengar, terutama dari kalangan birokrat pemerintahan, pegiat pemilu dan penyelenggara pemilu. Demokrasi sebagaimana dicetuskan Abraham Lincoln, Presiden Amerika yang ke-16, mencitakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi saat ini menjadi sistem politik yang paling baik di dunia, walaupun sistem ini tidak menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat. Sebab banyak juga negara otoriter yang tidak menerapkan demokrasi dalam sistem pemerintahannya, malah lebih sejahtera. Tetapi, demokrasi dapat mengarahkan negara mencapai kesejehteraan dengan peran serta rakyat di dalamnya. Demokrasi menurut Syamsuddin Haris, sebagai sistem politik dan cara pengaturan kehidupan terbaik setiap masyarakat yang menyebut diri modern, sehingga pemerintah di manapun termasuk rezim-rezim totaliter, berusaha menyakinkan masyarakat dunia bahwa mereka menganut sistem politik demokratis, atau sekurang-kurangnya tengah berproses ke arah sistem politik demokratis itu.[2]

Demokrasi dikenali lewat wujud konstitusional penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih pemimpin terbaik dari semua calon pemimpin yang berkompetisi pada periode tertentu. Selanjutnya pemilu dilaksanakan menurut aturan hukum dan aturan proses yang berpijak pada prinsip rechstaat atau rule of law. Aturan dimaksud sejatinya ditaati dan dilaksanakan semua stakeholders pemilu. Saat ketentuan pemilu ditaati dan dilaksanakan secara jujur dan adil, dikatakanlah pemilu-demokratis. Namun pemilu yang terlaksana minim integritas dan profesionalitas, banyak pelanggaran pemilu terjadi tanpa penyelesaian memadai maka pemilu akan kehilangan legitimasi publik yang pada akhirnya menggerus legalitas hasil pemilu.

Fenomena lain dari demokrasi yang hampir terjadi di semua negara dunia, yakni berubahnya wajah demokrasi dari demokrasi nyata menjadi “demokrasi selebritis”. Demokrasi selebritis berwujud bentuk “pencitraan diri”, yang mengandalkan polesan media massa dan penggunaan uang yang banyak untuk mencapai tujuan-tujuan politik tanpa perlu menekankan kepada substansi demokrasi. Menurut Munir Fuady dengan sistem politik selebritis atau pencitraan diri ini, akan tercipta sistem pemilu yang tidak berbasis pada kompetensi, melainkan pemilihan yang berbasis pada tingkat popularitas dan penggunaan uang melimpah guna membangun citra positif di tengah masyarakat. Mereka yang tampan, cantik, terkenal dan/atau banyak uang yang akhirnya akan dipercaya untuk menjadi pemimpin meskipun secara kualitas mereka diragukan.[3]

Sejatinya demokrasi hanya dapat dijalankan oleh para pemimpin negara yang amanah. Label amanah terlihat dan dirasakan oleh rakyat dari sikap, tindakan dan kebijakan pengelolaan negara. Sebab seorang pemimpin politik yang picik, akan menganggap musuh orang-orang yang kritis yang kebetulan berseberangan pendapat dengannya. Lebih fatal lagi, musuh tadi harus dikuasai kalau perlu dimusnahkan dengan berbahai cara, kendati dengan cara membunuh (menghilangkan nyawa), menculik atau membunuh karakter musuh. Tindakan irrasional dalam sudut demokrasi, seperti itu bisa saja terjadi, apalagi dikuasainya mayoritas struktur lembaga-lembaga negara dan kekuatan civil society potensial.

Ancaman Matinya Demokrasi

Demokrasi terlaksana melalui medium pemilu untuk periode masa jabatan tertentu, dengan melahirkan aktor pemimpin terpilih, baik dari kamar kekuasaan eksekutif (presiden dan kepala daerah) maupun dari kamar kekuasaan legislatif (DPR, DPD dan DPRD). Pelaksana kekuasaan eksekutif dan legislatif menjadi satu kesatuan unsur pemerintahan hasil pilihan rakyat pemilik kedaulatan dalam suatu kontestasi pemilu. Terpatri asa, cita dan harapan kepada aktor pemimpin yang baru saja terpilih, agar mereka berani tampil dan berjuang memperbaiki tatanan sosial dan mengatasi keterpurukan sosial. Minimal realisasi janji-janji politik yang sering disampaikan kepada pemilih saat tahapan kampanye pemilu.

Namun ada kalanya aktor pemimpin pilihan rakyat berbalik menjadi masalah bagi rakyat banyak, miris saat aspirasi tidak lagi didengar dan diperjuangkan. Tindakan citra diri bisa saja atas nama rakyat tapi hakikatnya mempertahankan kekuasaan dengan segala cara dan bertindak semata-mata mencapai keuntungan golongan dan pribadi semata. Pada posisi inilah titik krusial demokrasi yang melahirkan aktor pemimpin hasil pemilu, yang malah berbalik mempreteli prinsip-prinsip demokrasi, menjadi pemimpin diktator-otoriter. Demokrasi sejatinya menjadi solusi keterpurukan masalah sosial, malah melahirkan pemimpin anti kritik, mengkriminalisasi lawan politik, membatasi gerak kebebasan berpendapat, dan memperalat aparat penegak hukum untuk kelanggengan kekuasaan dengan kriminalisasi lawan-lawan politik.

Pada keadaan ini, demokrasi yang diagungkan dibajak beberapa kalangan elit politik, tentunya untuk kepentingan pribadi. Hakikat suara rakyat hasil pemilu berkembang untuk melindungi dan mencapai tujuan elit politik. Inilah yang dikhawatirkan dari pemimpin hasil pemilu bertransformasi menjadi pemimpin otoriter. Demokrasi perlahan-lahan mati dan dikalahkan oleh sistem pemerintahan yang dibangun dengan mengarah ke ciri diktator. Padahal pemimpin tersebut lahir dari proses demokratisasi. Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt profesor Universitas Harvard Amerika, dalam bukunya “Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die), menyebut empat ciri-ciri kunci yang menunjukkan bahwa demokrasi telah berubah menjadi sistem pemerintahan berprilaku otoriter.  Pertama, komitemen lemah atas aturan hukum. Kedua, menyangkal legitimasi lawan politik. Ketiga, intoleransi atau anjuran kekerasan. Keempat, membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.[4] Matinya demokrasi ditandai dari keadaan-peristiwa kehidupan bernegara, yang erat kaitan dengan tindakan pemilik kekuasaan (pemerintah) mencerabut nilai dan prinsip demokrasi.

Pemerintah ciri diktator ini bisa saja lahir lewat proses pemilu, di mana tokoh politik menghimpun dukungan dengan menggunakan isu-isu populer dan argumen yang penuh prasangka terhadap lawan-lawan politik. Lalu terpilih dan naik ke puncak kekuasaan lewat proses pemilu, saat itulah Ia mulai menjalankan kekuasaan pemerintahan dengan langkah menghancurkan lembaga-lembaga politik yang demokratis. Berupa lembaga politik dijadikan senjata politik untuk mengendalikan dan menghantam mereka yang berseberangan secara politik. Membeli media dan sektor swasta agar diam atau memihak kepadanya, serta mengubah aturan politik agar keseimbangan politik berubah menjadi merugikan lawan. Jadi inilah paradoks gawat yang harus dihadapi oleh sistem demokrasi.

Banyak upaya pemerintah berkuasa membajak demokrasi sehingga tampak “legal” dengan persetujuan lembaga legislatif dan diterima lembaga yudikatif. Boleh jadi desain pencitraan, melalui upaya-upaya perbaikan demokrasi dengan membuat pengadilan lebih efesien, memerangi kejahatan dan korupsi, atau mendorong pemilu jujur dan adil.  Media massa terbit setiap saat, tapi sudah dibeli atau ditekan pihak pemerintah sehingga menyensor diri sendiri. Rakyat terus mengkritik pemerintah tapi lantas menghadapi kriminalisasi. Jadilah masyarakat sebagian besar memilih jalan aman yakni apatis.

Pemerintahan dijalankan dalam sebuah skenario besar mempertahankan kekuasaan. Kritikan-kritikan berpotensi mengancam eksistensi kekuasaan lantas ditekan, dikriminalisasi dan diberangus dengan terlebih dahulu diajak masuk dalam lingkaran kekuasaan saling menguntungkan. Struktur kekuasaan lembaga negara dikuasai dengan cara mempergunakan otoritas mengisi dengan orang-orang loyal terhadap elit pemerintah. Pada sisi lain, jargon dan branding tentang pemerintahan demokratis, penegakan hukum dan perlindungan HAM terus disampaikan. Walau senyatanya berbeda, antara disampaikan dengan yang dilakukan pemerintah.

Ketahanan Demokrasi

Demokrasi sejatinya mampu mencari solusi untuk mendapatkan kebenaran relatif dan selalu dapat diperbaiki secara berkelanjutan. Jadi demokrasi berhadapan dengan realitas perubahan yang abadi. Maka solusi yang diambil demokrasi tidak selamanya berwajah lembut, tetapi sering berwajah sangar dan berwatak radikal. Demikian pula demokrasi yang tampil dengan sangar dan radikal, juga dapat dirubah menuju demokrasi berwajah humanis dengan menghargai dan menegakkan hak asasi manusia.

Solusi demokrasi yang secara terus-menerus diperbaharui, mengikuti dinamika yang ada dalam masyarakat mestinya berwajah humanis, meskipun tidak harus berwajah lembut. Artinya, demokrasi responsif menyerap aspirasi masyarakat menurut ukuran terminologi sosiologis, yang sudah terpatri dan diterima dalam hati sanubari rakyat. Itu pun dengan membuang jauh-jauh watak absolut dari nilai-nilai tersebut, dengan tetap melindungi golongan minoritas, yang mungkin mempunyai pola pikir dan pola hidup berbeda bahkan berlawanan.

Demokrasi harus selalu mencari solusi terhadap masalah rakyat, serumit apa pun masalah tersebut. Padangan ini sejalan dengan ikhtisar International IDEA bahwa demokrasi harus bisa menawarkan solusi bagi pengelolaan konflik tanpa kekerasan yang dapat merekonsiliasi perpecahan dan perselisihan di dalam masyarakat serta membentuk dasar bagi perdamaian berkelanjutan.[5] Karena itu, demokrasi harus dapat menemukan berbagai macam kompromi di antara pihak yang berseberangan. Walaupun para pihak itu, memiliki tujuan yang sama untuk kepentingan rakyat. Membiarkan suatu masalah rakyat tanpa solusi, akan bertentangan dengan sifat yang paling hakiki dari demokrasi. Dalam negara demokrasi, rakyat punya hak bahkan punya kekuatan.

Pertama, partisipasi masyarakat sipil. Keterlibatan warga negara dalam kerangka masyarakat sipil yang kuat sangat penting bagi ketahanan demokrasi. Adanya partisipasi masyarakat sipil turut menjadi kekuatan penyeimbang menjaga keutuhan demokrasi di tengah politik citra diri pemerintahan. Masyarakat sipil yang kuat membantu menciptakan kepercayaan mendasar bagi kelangsungan pemerintahan demokratis, melalui kritik konstruktif menguji kebijakan dasar. Jika komitmen masyarakat sipil terhadap tumbuh-kembangnya demokrasi, diikuti kontribusi menjaga gagasan ideal dan esensial demokrasi itu, kendati mendapat tekanan terorganisir dari pemerintahan otoriter, pada hakikatnya di sanalah kekuatan dan ketahanan demokrasi.

Kedua, kemandirian lembaga negara. Lembaga negara memiliki tugas dan kewenangan sesuai konsensus kodifikasi peraturan perundang-undangan. Ciri khas demokrasi, menempatkan kekuasaan pemerintah yang terbatas dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negara. Secara teknis, kekuasaan negara dibagi sedemikian rupa kepada beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan kekuasaan pada satu tangan atau badan saja. Metode ini dilakukan agar tercipta kekuatan saling kontrol dan mengimbangi antar masing-masing orang, badan atau lembaga negara. Dengan metode ini, penyalahgunaan kekuasaan melanggar hukum dan hak asasi manusia dapat diperkecil. Apalagi dengan dukungan dan kolaborasi masyarakat sipil dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dalam bingkai rechstaat atau rule of law.

Ketiga, penegakan hukum yang menjamin keadilan dan hak asasi manusia. Kekuasaan yudisial dalam proses penegakan hukum tidak tunduk terhadap kepentingan sektoral penguasa dan pengusaha. Penegakan hukum diarahkan pada pencapaian keadilan dan kebahagiaan umat manusia dengan tetap memperhatikan aspek kepastian hukum. Hukum ditegakkan oleh struktur penegak hukum berintegritas dan profesional kendati berhadapan dengan kepentingan pragmatis kekuasaan dan pengusaha. Struktur penegak hukum yang menjalan fungsi badan yudisial dapat saja silih-berganti, akan tetapi semangat dan komitmen luhur penegakan hukum sejatinya membudaya dan terpatri kuat dalam sanubari aparat hukum.

Keempat, profesionalitas media massa menyatakan pendapat. Media merupakan pilar demokrasi penyambung aspirasi dan kepentingan mendesak publik. Mencapai pemerintahan demokratis, ditentukan peran media massa dalam menyampaikan secara kontinyu pesan dan harapan kepada masyarakat sebagai upaya pemulihan krisis dan mengatasi keterpurukan sosial. Media harus berani menyampaikan fakta dan opini kepada pemerintah terutama yang berpengaruh terhadap aspek tatanan kehidupan sosial politik dan tidak terjebak dalam keberlanjutan politik identitas aktor pemimpin.

Penutup

Praktik kehidupan demokratis sering kali mengecoh, format politik kelihatannya demokratis tetapi dalam praktik ternyata berwujud otoriter. Terjadi ketimpangan dan ketidaksesuaian antara demokrasi normatif (das sollen) dengan demokrasi empirik (das sein). Keadaan ini membuat demokrasi selalu hangat dikaji, apalagi dalam desain aspek tujuan kehidupan bernegara dan menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tampilnya aktor pemimpin dalam periode tertentu yang dihasilkan lewat proses pemilu demokratis adalah cita-harapan rakyat pemilih. Namun sangat disayangkan, belakangan hari berbalik menjadi pemimpin otoriter dengan mencerabut prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Ini menjadi luka trauma bagi demokrasi sebagai sistem politik yang diagungkan. Mengapa tidak, prinsip dan nilai demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat menjadi dibatasi. Lembaga negara menjadi pelayan kekuasaan otoriter yang minim respon atas masalah sosial dan struktur pejabat lebih cenderung terus mempertahankan kekuasaannya. Penegakan hukum menjadi kehilangan arah idealitas, sangat tajam dan kuat ketika berhadapan dengan pelaku yang merupakan pihak dan pendukung dari lawan politik pemerintah. Bahkan aturan hukum (substansi) banyak diubah untuk kepentingan pemerintah dan merugikan pihak lawan politik.

Transformasi aktor pemimpin otoriter telah menjadi objek kajian di banyak negara, yang di satu sisi menumbuhkan semangat mempertahankan demokrasi. Pada sisi lain, menjadi kekuatan kritik kepada aktor pemimpin agar segera merefleksi diri akan tingkah membunuh demokrasi segera diakhiri dan penting menyadari kekuatan kedaulatan rakyat. Suatu saat rakyat akan bangkit menunjukkan kekuatan berdaulatnya, di tengah keterpurukan sosial yang terus menggejala dan menghantarkan aktor pemimpin otoriter pembunuh prinsip demokrasi ke gerbang kehinaan zaman.


Catatan Kaki:

[1] Penulis adalah Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah periode 2017-2022.
[2] Syamsuddin Haris dalam Topo Santoso dan Ida Budhiarti, 2019, Pemilu Di Indonesia; Kelembagaan, Pelaksanaan dan Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10-11.
[3] Munir Fuady, 2010, Konsep Negara Demokrasi, Rafika Aditama, Bandung, hlm. 26.
[4] Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt, 2018, Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 11-12.
[5] International IDEA, 2017, Mengkaji Ketahanan Demokrasi, International IDEA dan Perludem, Jakarta, hlm. 10.


Materi pdf : Matinya Demokrasi

Menuju Pilkada Serentak Tahun 2020

279 Views

MENUJU PILKADA SERENTAK TAHUN 2020
(Eksistensi Pengawas Pemilu  pada Pilkada Serentak Episode ke-4 dan
Ancaman “Romantisme Publik”)

Oleh : Ahmad S. Mahmud, S.Ip., M.AP.
( Tenaga Pendukung Bawaslu Prov. Sulawesi Tengah )

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyusun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, Walikota dan wakil Walikota Tahun 2020 serta telah ditetapkan dan diundangkan, yaitu PKPU Nomor 15 Tahun 2019. Dengan begitu artinya tahapan Pilkada Serentak Gelombang ke-4 akan segera dimulai. Selain itu, sebagai tanda akan segera dimulainya Pilkada dapat kita lihat dengan mulai bertebarannya Bahan Sosialisasi diri bakal calon yang akan mencoba peruntungan dalam kontestasi Pilkada di pada ruang-ruang publik saat ini.

Pada Pilkada serantak Tahun 2020 akan diselenggarakan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) di 270 Daerah, Meliputi 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota di Indonesia. Pilkada Tahun 2020 merupakan Pilkada serentak Gelombang ke 4 atau bisa dikatakan Pilkada Serentak Episode Ke-4, Pilkada serentak Pertama kali dilaksanakan Tahun 2015, Gelombang kedua dilaksanakan Tahun 2017 dan Gelombang ketiga dilaksanakan pada Tahun 2018.

Berdasarkan PKPU 15 Tahun 2019 tahapan Pilkada Serentak Episode Ke-4 dimulai dari Persiapan meliputi Perencanaan  Program yang akan dimulai 30 September 2019, sedangkan untuk Pelaksanaan Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara di TPS untuk Pilkada Serentak Tahun 2020 akan Serentak  dilaksanakan pada 23 September 2020.

Terkait eksistensi Pengawas Pemilu  dalam menghadapi Pilkada tentunya tidak perlu diragukan lagi.! Ya,sudah 3 kali pengalaman dalam mengawal Pilkada Serentak mulai Pilkada serentak Tahun 2015, Pilkada serentak Tahun 2017 dan Pilkada serentak 2018. Apalagi Pengawas Pemilu  baru saja sukses mengawasi Pemilu  serentak Pertama kali di republik ini yang menggabungkan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden atau Pemilu “Lima Kotak”, dan jaraknya hanya kurang lebih dua Bulan dengan dimulainnya tahapan penyelenggaraan  Pilkada Serentak Tahun 2020 dan Pengawas Pemilu  berhasil menjaga trust publik dan sukses merebut “hati” publik termasuk peserta Pemilu melalui eksistensinya dalam melakukan Pengawasan Pemilu serentak Tahun 2019.

Catatan kesuksesan dalam mengawasi Pemilu Serentak Pertama yang berdampak pada kepercayaan publik tersebut bukan pernyataan sepihak, berdasakan Penelilian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI) kepercayaan publik terhadap integritas Bawaslu dan Jajarannya sangat baik. Dalam rilis hasil Riset LIPI tersebut 83,8% responden percaya bahwa Bawaslu dan jajarannya melaksanakan tugasnya dengan baik, ada 9,3% responden tidak percaya dan terdapat 6,9% responden tidak menjawab, Kepercayaan terhadap Pengawas Pemilu dalam hal ini Bawaslu dan jajarannya berada satu digit diatas KPU dan jajarannya, yang memperoleh angka 82,5%.

Namun tunggu dulu, hal itu selain menjadi nilai positif juga bisa saja memiliki dampak negatif terhadap eksistensi Pengawas Pemilu serta trust publik, sehingga dapat menjadi paradoks bagi Pengawas Pemilu dalam menjaga eksistensinya dalam mengawal Pilkada Serentak Tahun 2020.

Berdasarkan Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pengawas Pemilu  khususnya di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 30 Undang-Undang tersebut memiliki kewenangan di antaranya : Pertama, mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan; Kedua, mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen; Ketiga, menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilihan; Keempat, menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsi untuk ditindaklanjuti; Kelima, meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi  yang berwenang; Keenam, mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang sedang berlangsung; Ketujuh, mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan; dan melaksanakan kewenangan lainnya yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Terdapat beberapa kewenangan yang notabene sebagai “mahkota” dalam melakukan penindakan yang hanya dimiliki dalam rezim Pemilu. Selain penguatan kelembagaan Pengawas Pemilu dalam Undang-Undang Pemilu memiliki kewenangan Yaitu Memutus Pelanggaran Administratif Pemilu dan Sengketa Pemilu; Memutus Pelanggaran Administratif Pemilu yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) dan dapat memberikan sanksi diskualifikasi, dalam Pilkada kewenangan tersebut juga ada, namun terbatas pada pelanggaraan administratif Politik Uang; serta beberapa kewenagan besar lainnya dan juga memiliki porsi waktu yang lebih longgar dalam melakukan penanganan dugaan pelanggaran.

Singkatnya, dalam rezim Pemilu Pengawas Pemilu tidak hanya bertindak sebagai pengawas, namun juga memiliki wewenang eksekutorial terhadap pelanggaran administartif dan sengketa Pemilu, sehingga prodak dari hasil penanganan pelanggaran adalah putusan yang jika dalam Pilkada hanya berupa rekomendasi. Dan tidak dapat dipungkiri kewenangan-kewenangan tersebut menjadi daya tarik dan “pemikat hati” publik sehingga dapat membangun trust public terhadap eksistensi Pengawas Pemilu.

Paling tidak, berdasarkan kewenangan baru dalam Undang-Undang Pemilu Pengawas Pemilu bukan lagi “macan ompong” seperti Stereotipe yang berkembang di Publik dimasa lalu yang dialamatkan kepada Pengawas Pemilu karena lemahnya kewenagan yang dimiliki, atau katakan saja “tukang pos” yang menjadi istilah yang sering dialamatkan kepada lembaga Pengawas Pemilu dikarenakan tidak memiliki wewenang eksekutorial terhadap laporan maupun temuan hasil pengawasannya khususnya pelanggaran administratif, Pengawas Pemilu cukup meneruskan laporan/temuan hasil pengawasannya ke instansi berwenang. Dalam mengarungi Pemilu 2019, Bawaslu hadir dengan “wajah baru” memiliki kelembagaan yang kuat dengan kewenangan yang besar, Pengawas Pemilu berhasil mendapat bargaining position dalam penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019.

Perlu dicatat, Publik terlanjur terbiasa dengan eksistensi Pengawas Pemilu  pada Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 dengan kuatnya kewenangan yang diberikan melalui Undang-Undang 7 Tahun 2019. Sehingga, romantisme Publik terhadap pelaksanaan tugas fungsi dan kewenangan dalam Pemilu menjadikan banyak harapan besar publik dititipkan pada Pengawas Pemilu. Publik tidak cukup memahami bahwa ada kewenanganan berbeda pada rezim Pemilu dan rezim Pemilihan/Pilkada dimana Pengawas Pemilu memiliki kewenangan yang cenderung terbatas. Maka perlu disadari, dengan begitu keadaan ini bisa saja berdampak pada kekecewaan publik, karena begitu besar ekspektasi yang dititipkan kepada Pengawas Pemilu.

Tidak hanya Publik, Pengawas Pemilu  juga jangan sampai terjebak dalam romantisme tersebut, apalagi terlalu nyaman dengan ueforia, walapun saat ini Bawaslu RI telah mengajukan usulan perubahan terbatas Undang-Undang Pilkada, Jika memang akan ada revisi tentunya itu merupakan kabar gembira, namun demikian jika memang akan dilakukan revisi maka tidak bisa dalam waktu singkat, sementara Tahapan Pilkada sudah di depan mata.

Selain itu, tidak ada jaminan Undang-Undang Pilkada akan disetujui untuk dilakukan Revisi saat ini, seandainnya memang tidak ada revisi saat ini terhadap Undang-Undang Pilkada maka kondisi perbedaan kewenangan yang cenderung terbatas pada Pilkada sudah tentu sedikit banyak berdampak pada performance Pengawas Pemilu, dalam keadaan demikian dalam mengarungi Pilkada serentak Episode Ke-4 ini, Pengawas Pemilu setidaknya harus mempersiapakan diri sebaik mungkin untuk menjaga eksistensinya agar tetap mendapat trust publik.

Melakukan persiapan yang matang, melakukan Mapping, Mitigasi dan ekseskusi kebijakan Pengawasan dengan baik. Selain itu, penting untuk tetap intens memberikan pemahaman keadaan “keterbatasan” yang dimiliki kepada publik dalam konteks pengawasan dan penindakan. tetap menjaga  trust publik melalui kerja-kerja dengan performa terbaik, agar tidak ada lagi “macan ompong”, agar tidak ada lagi “tukang pos”, agar romanstisme tersbut bisa terjaga dan tetap berlanjut, Dan akhirnya Pilkada Episode Ke-4 “masih” berakhir dengan Happy Ending dan Ceria, Not Sad Ending. Semoga.!

Pernah terbit di Harian Radar Sulteng, edisi 2 September 2019.

Catatan Pembuktian dan Putusan PHPU

276 Views

Mengukur demokratis atau tidaknya penyelenggaraan pemilu melalui electoral laws dan electoral procces pelaksanaan pemilu. Berkaitan dengan electoral laws, pemilu dikatakan demokratis apabila peraturan penyelenggaraan pemilu tidak bertentangan dengan UU Pemilu dan UUD NRI tahun 1945. Sedangkan dalam electoral proccess, pemilu dikatakan demokratis apabila tidak terjadi pelanggaran dan permasalahan hasil pemilu itu sendiri. Jika terjadi pelanggaran pemilu dan perselisihan hasil pemilu, tersedia mekanisme hukum yang dapat digunakan agar mampu menyelesaikan permasalahan secara demokratis dan proporsional.[1]

Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan memutuskan perselisihan hasil pemilu dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sebelum memutus permohonan pemohon, MK terlebih dahulu mencari kebenaran formil dan materil melalui hierarki bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak (termohon, pihak terkait dan Bawaslu), dengan urutan alat bukti; surat atau tulisan; keterangan saksi; keterangan ahli; keterangan para pihak; petunjuk; dan alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

 

Catatan Pembuktian

Proses pemeriksaan persidangan agenda pembuktian yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK), tidak jarang menemui kritikan dan pertanyaan seputar penerapan hukum acara di persidangan. Mereka bisa berasal dari berbagai kalangan, yang disampaikan para pihak di dalam persidangan maupun mereka sampaikan di luar agenda persidangan, yang turut memperkaya khasasnah intelektual proses pembuktian di MK.

Pertama, waktu pembuktian yang terlalu singkat. Kritikan dan pertanyaan ini biasanya disampaikan pihak pemohon, yang menganggap kurang waktu dan pembatasan MK untuk memberi ruang saksi dan ahli pemohon membuktikan dalil-dalil permohonan dalam uraian persoalan yang dalam, dan tersebar di wilayah yang luas. Singkatnya batas waktu membuat Pemohon kesulitan membuktikan dalil-dalil permohonannya demi menggali kebenaran, baik secara materil maupun formil. Sebab, kualitas pembuktian juga dipengaruhi faktor keleluasan bagi para pihak untuk membuktikan argumentasi secara detil, khususnya ketika menghadirkan sejumlah saksi ataupun ahli.

Terhadap batas waktu penyelesaian PHPU telah ditetapkan dalam UU Pemilu, MK tinggal menjalankan sesuai produk legislasi pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden). Yakni, batas waktu 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) dalam penyelesaian PHPU Pilpres 2019 dan batas waktu 30 hari kerja dalam penyelesaian PHPU Pileg 2019. Pembatasan waktu ini merupakan ketentuan UU Pemilu, bukan ketentuan yang dibentuk oleh MK sendiri. MK tinggal melaksanakan dengan menyiapkan perangkat teknis, kendati dengan pemeriksaan persidangan dengan metode panel agar efektif dan pembatasan jumlah saksi dan ahli yang dihadirkan para pihak.

Kedua, anggapan mahkamah kalkulator. Sempitnya pemaknaan hasil pemilu berupa perselisihan mengenai penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh KPU membuat MK disebut “mahkamah kalkulator”. Ini karena dalam menyelesaikan sengketa PHPU, MK dibatasi untuk menilai benar atau tidaknya perhitungan suara yang telah ditetapkan secara nasional oleh KPU dan tidak lebih dari itu.

Mahkamah Konstitusi dalam PHPU merupakan lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir, sehingga erat kaitan dengan hasil secara kuantitatif. Namun, merujuk putusan MK Nomor: 062/PHPU-B-II/2014 diuraikan, selain menyelesaikan sengketa terkait dengan angka signifikan hasil akhir pemilu, MK juga mengadili konstitusionalitas pelaksanaan pemilu. Artinya, perkara yang bersifat melanggar kualitas pemilu terutama melanggar prinsip-prinsip pemilu yaitu “langsung, umum, bebas, rahasia dan adil” (luber dan jurdil) sebagaimana digariskan dalam ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tetap akan menjadi perhatian MK. Sehingga MK memutus penyelesaian PHPU tidak sekedar angka-angka hasil pemilu yang diperoleh peserta pemilu, melainkan juga terkait dengan kualitas pelaksanaan pemilu berupa meneliti pelanggaran yang tidak bisa dihitung dengan jumlah.

Ketiga, tidak adanya tolak ukur yang dapat digunakan hakim sebagai acuan dalam membuktikan unsur-unsur “Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM)” dalam pembuktian persidangan PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini membuat tafsir TSM menjadi “liar” dan berimplikasi pada perbedaan dasar pertimbangan bagi setiap hakim dalam memutus perkara di MK.

Perlu ada kesepakatan tegas yang dituangkan dalam kodifikasi ketentuan UU Pemilu, bahwa pelanggaran pemilu dapat dikatakan bersifat terstruktur, sistematis, dan masif ketika pelanggaran tersebut dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara pemilu, telah direncanakan secara matang dan berdampak sangat luas, serta terjadi secara merata di hampir semua wilayah yang menjadi cakupan dari penyelenggaraan pemilu. Selain itu, unsur TSM menjadi satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, MK hanya dapat membatalkan hasil pemilu apabila unsur tersebut terpenuhi secara kumulatif di dalam fakta persidangan.

Keempat, adanya kebutuhan perlindungan saksi. Perlindungan saksi tersebut bahkan tidak saja ditujukan bagi saksi semata, namun kepada semua pihak yang berpotensi mendapatkan ancaman atau intimidasi. Bahkan bukan hanya dalam sengketa hasil Pemilu, tetapi juga dalam pengujian undang-undang, ataupun perkara lain yang menjadi kewenangan MK.

Kondisi saat ini, belum terdapat formula sistem yang mampu menyediakan perlindungan saksi tersebut secara terintegrasi. Sebab, ancaman atau intimidasi itu justru berpotensi terjadi di luar gedung MK, bukan di dalam ruang sidang MK. Sehingga, kerjasama lebih lanjut perlu dibangun antara MK, LPSK, Kepolisian, dan para penegak hukum lainnya guna menemukan formulasi perlindungan saksi dan pihak lain yang terkait, agar tidak ada keraguan untuk hadir dan memberikan kesaksian dan kontribusi terkait di muka persidangan.

 

Catatan Putusan

Tahapan pelaksanaan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk pemilihan anggota DPR DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2019 telah usai yang ditandai dengan pengucapan putusan/ketetapan atas perkara yang diterima, diperiksa dan diadili Mahkamah Konstitusi (MK). Mayoritas amar putusan MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima sebagai akibat permohonan tidak jelas atau kabur (obscuur libel) yang berarti ada syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) dan syarat-syarat kejelasan permohonan yang tidak terpenuhi. Melalui catatan ini, diuraikan penyebab putusan MK yang pada pokoknya menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima, dan ketetapan MK yang menyatakan permohonan gugur atau mengabulkan penarikan permohonan pemohon.

Pertama, perubahan (renvoi) permohonan bersifat substantif. Pada kasus ini terdapat renvoi permohonan dilakukan sebelum dan selama sidang pendahuluan bahkan ada renvoi dalam sidang lanjutan agenda jawaban termohon dan keterangan pihak terkait dan keterangan Bawaslu. Pada posisi ini pemohon melakukan renvoi permohonan karena terkait dengan objek substansi permohonan, jika tidak dilakukan renvoi jelas materi permohonan menjadi tidak jelas atau kabur, demikian pula saat melakukan renvoi akan dicatat Mahkamah sebagai ketidakpatuhan atas hukum acara persidangan (cacat formil).

Seharusnya renvoi permohonan yang bersifat substantif dilakukan oleh pemohon dalam tenggang waktu perbaikan permohonan yang ditentukan dalam hukum acara MK. Ketentuan Pasal 13 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya ditulis PMK 2/2018) menyatakan “Pemohon atau kuasa hukum dapat menyerahkan perbaikan Permohonan dalam jangka waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak APBL diterima Pemohon”.

Akibat hukum renvoi substansial setelah lewat jangka waktu perbaikan permohonan, sebagaimana tergambar dalam putusan MK nomor: 147-02-26/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 atas Pemohon Partai Gerindra dalam Perkara Pemilihan Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah yang pada pokonya renvoi bersifat substansial dilakukan pemohon saat pemeriksaan pendahuluan. Atas hal ini, Mahkamah Konstitusi menganggap renvoi tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum sehingga menyebabkan permohonan cacat formil dan berakibat permohonan menjadi kabur. Selanjutnya MK memutus perkara yang dimohonkan pemohon dalam amar putusan, permohonan tidak dapat diterima.

Kedua, kedudukan hukum (legal standing) pemohon tidak terpenuhi. Pada kasus ini terdapat permohonan pemohon yang tidak ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal Partai Politik atau permohonan pemohon yang merupakan calon anggota legislatif yang tidak melampirkan persetujuan tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal Partai Politik yang bersangkutan.

Pengertian pemohon diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf a dan b PMK 2/2018, yang menyatakan “Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a adalah :

a. Partai Politik Peserta Pemilu untuk pengisian keanggotaan DPR dan DPRD.
b. Perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu Partai Politik yang sama yang telah memeroleh persetujuan secara tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari Partai Politik yang bersangkutan.” Selanjutnya

Permohonan dari Partai Politik mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) PMK 2/2018, yang menyatakan “Pengajuan Permohonan oleh DPP Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya”. Hal ini berbeda untuk permohonan perseorangan untuk pemilihan calon anggota DPD, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) PMK Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang menyatakan “Pemohon dalam perkara PHPU anggota DPD adalah perseorangan Peserta Pemilu untuk pengisian keanggotaan DPD”.

Akibat hukum atas kedudukan hukum (legal standing) pemohon yang mengajukan permohonan PHPU tidak terpenuhi, MK menjatuhkan putusan yang dalam amarnya, permohonan gugur.

Ketiga, objek permohonan keliru. Pada kasus ini terdapat permohonan pemohon yang mempermasalahkan (objek permohonan) keputusan KPU Provinsi atau keputusan KPU Kabupaten/Kota yang menetapkan perolehan suara hasil pemilu anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.

Padahal seharusnya objek permohonan adalah keputusan KPU RI yang menetapkan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR dan DPRD secara nasional yang memengaruhi perolehan kursi Pemohon dan/atau terpilihnya calon anggota DPR dan/atau DPRD di suatu daerah pemilihan. Ketentuan terkait ditemukan dalam Pasal 5 PMK 2/2018 yang menyatakan “Objek Perkara PHPU anggota DPR dan DPRD adalah keputusan Termohon tentang penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR dan DPRD secara nasional yang memengaruhi perolehan kursi Pemohon dan/atau terpilihnya calon anggota DPR dan/atau DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) di suatu daerah pemilihan”.

Akibat hukum atas objek permohonan pemohon yang keliru, MK menilai permohonan tidak jelas atau kabur hingga menjatuhkan putusan yang dalam amarnya, permohonan pemohon tidak dapat diterima.

Keempat, pertentangan petitum, kecuali petitum pemohon disusun alternatif. Pada kasus ini petitum pemohon disusun secara komulatif, artinya meminta kepada Mahkamah untuk mengabulkan secara keseluruhan petitum permohonan. Kejelian dan ketelitian pemohon dan kuasa hukumnya harus menguasai teknis dan struktur permohonan, saat mana disusun secara alternatif (ada kata “atau”) dan saat mana disusun secara komulatif.

Pada perkara tersebut MK mencermati petitum permohonan pemohon yang dirumuskan secara kumulatif, telah terjadi pertentangan antara yang satu bagian petitum dengan bagian petitum yang lainnya. Konsekuensi yuridisnya, jika dikabulkan petitum yang satu maka akan bertentangan dengan petitum yang lainnya. Berbeda halnya jika petitum pemohon dirumuskan secara alternatif. Atas dasar ini Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan pemohon tidak jelas atau kabur.

Akibat hukum atas penyusunan petitum permohonan yang bertentangan satu dengan yang lainnya, MK menilai permohonan tidak jelas atau kabur hingga menjatuhkan putusan yang dalam amarnya, permohonan pemohon tidak dapat diterima.

Kelima, pokok permohonan tidak menguraikan secara jelas atas selisih perhitungan suara, penyebab terjadi selisih perhitungan suara dan perhitungan suara yang benar menurut pemohon serta tidak ada permintaan untuk membatalkan penetapan suara termohon. Atas permohonan seperti ini, MK menilai permohonan tidak jelas atau kabur hingga menjatuhkan putusan yang dalam amarnya, permohonan pemohon tidak dapat diterima.

Sejatinya syarat formil mendasar permohonan pemohon ketika mengemukakan dasar-dasar atau alasan-alasan mengajukan permohonan (fundamentum petendi) adalah keharusan persandingan perolehan suara pemilu menurut termohon dengan perolehan suara yang benar menurut pemohon. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Junto Pasal 9 ayat (1) huruf b angka 4 dan angka 5 PMK 2/2018 yang menyatakan “Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:

a. kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan
b. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.”

Keenam, pihak terkait tidak memiliki kedudukan hukum. Ini sebagai akibat atas tidak adanya permohonan Partai Politik peserta pemilu sebagai pihak terkait yang ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal, dan keterangan pihak terkait secara tertulis yang disampaikan paling lama dua hari sebelum sidang pendahuluan. Artinya, walaupun ada keterangan pihak terkait yang disampaikan, tetapi tidak ada permohonan yang ditandatangani oleh Partai Politik, maka syarat formil pengajuan pihak terkait tetap tidak terpenuhi. Akibatnya keterangan tertulis yang disampaikan tidak menjadi pertimbangan hakim lebih lanjut.

Demikian yang terbaca dalam putusan MK Nomor: 98-19-26/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 atas Pemohon PBB untuk Pokok Perkara Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Morowali Utara, yakni Partai Nasdem dan PPP telah menyerahkan keterangan pihak terkait kepada Mahkamah 2 (dua) hari sebelum Sidang Pemeriksaan Pendahuluan. Namun, surat permohonan menjadi Pihak Terkait Partai Nasdem dan surat permohonan untuk menjadi Pihak Terkait PPP yang diajukan ternyata tidak ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal Partai Politik yang bersangkutan. Sehingga, Mahkamah menilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pihak Terkait dalam permohonan tersebut serta keterangan yang diajukan tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah.

Ketentuan atas pihak terkait dalam PHPU diatur pada Pasal 3 ayat (3) huruf a dan b PMK Nomor 2/2018 yang menyatakan “Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c adalah:

a. Partai Politik Peserta Pemilu yang berkepentingan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
b. Perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu Partai Politik yang sama yang telah memeroleh persetujuan secara tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari Partai Politik yang bersangkutan yang berkepentingan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.”

Pihak terkait dalam memberikan keterangan tertulis harus memperhatikan Pasal 23 ayat (1) dan (2) PMK Nomor 2/2018 yang menyatakan “(1) Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 3 ayat (3) dapat mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait dengan disertai Keterangan Pihak Terkait paling lama 2 (dua) hari sebelum sidang Pemeriksaan Pendahuluan. (2) Permohonan sebagai Pihak Terkait dan Keterangan Pihak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh DPP Partai Politik Peserta Pemilu yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya”.

Ketujuh, pemohon tidak menghadiri sidang pemeriksaan pendahuluan dan sidang pemeriksaan. Terhadap ketidakhadiran pemohon dan/atau kuasa hukumnya mengakibatkan konsekuensi yuridis yang berbeda. Ketidakhadiran pemohon dan/atau kuasa hukumnya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan berkonsekwensi pada permohonan gugur. Ketentuan ini merujuk Pasal 38 ayat (2) PMK Nomor 2/2018 yang menyatakan “Dalam hal Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir dalam Pemeriksaan Pendahuluan tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, Mahkamah menyatakan Permohonan gugur.”

Selanjutnya ketidakhadiran pemohon dan/atau kuasanya pada sidang pemeriksaan tanpa alasan yang sah akan berkonsekwensi pada permohonan tidak dapat diterima. Ketentuan ini merujuk pada Pasal 41 Ayat (2) PMK Nomor 2/2018 yang menyatakan “Dalam hal Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir dalam Pemeriksaan Persidangan tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, Mahkamah menyatakan Permohonan tidak dapat diterima”.

 

Penutup

Kepatuhan MK dalam penerapan hukum acara persidangan sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor 2/2018, mengindikasikan proses tahapan pemilu tahun 2019 telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu. Walaupun diakui masih banyak masalah yang menyelimuti pelaksanaan pemilu, sebagai bahan evaluasi pelaksanaan kontestasi pemilihan ke depan. Tapi, saluran-saluran penyelesaian masalah pemilu tadi, telah ada jalur dan prosedurnya dalam penyelesaian berjenjang dan per/tahapan pada masing-masing tingkatan sesuai dengan hukum pemilu.

Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan penyelesaian sengketa hasil pemilu, turut menerima, memeriksa dan mengadili permohonan pemohon yang bersinggungan dengan penetapan perolehan suara hasil pemilu, termasuk menilai penyelesaian masalah tahapan pemilu, tetapi tidak mengambil alih kewenangan lembaga lain. Terutama tergambar lewat pemeriksaan PHPU Pileg tahun 2019, MK sangat patuh terhadap terpenuhi syarat formil pemeriksaan perkara, yang kesemuanya menjadi satu kesatuan hukum acara pemeriksaan hingga mayoritas amar putusan, “permohonan pemohon tidak dapat diterima atau permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya.”


Catatan Kaki:
[1] Harry Setya Nugraha, 2015, Redesain Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 3 Vol. 22 Juli 2015, Yogyakarta, hlm. 428.

Menyoal Rekomendasi dan Tindaklanjut Pelaksanaan PSU

256 Views

Setelah pemungutan suara dilaksanakan dan dilanjutkan ke tahap perhitungan dan rekapitulasi surat suara hasil pemilu, ternyata masalah hingga koreksi-saran perbaikan dan laporan pelanggaran terus saja terjadi. Walau berbagai pihak terutama Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk peningkatan kapasitas dan menekan potensi pelanggaran tahapan Pemilu. Salah satu masalah krusial yang cukup menyita perhatian, berupa rekomendasi dan tindaklanjut pemungutan suara ulang (PSU). Rekomendasi dari Pengawas Pemilu dan tindaklanjut dari KPU, yang berimbas pada pelaksanaan PSU atau tidak dilaksanakannya PSU.

PSU menurut Very Junaidi ditujukan mewujudkan keadilan pemilu ketika ada persoalan yang menyebabkan muncul ketidakpastian terhadap proses pemungutan dan hasil perhitungan suara hasil pemilu.[1] Ketidakpastian dapat mendelegitimasi hasil pemungutan suara yang dijawab dengan menyediakan mekanisme peninjauan kembali terhadap proses pemungutan suara dan hasil penghitungan melalui pemungutan dan perhitungan suara ulang.[2] Arti kata ulang menurut Kamus Bahasa Indonesia yaitu lakukan lagi; kembali seperti semula.[3] Dengan demikian, definisi PSU adalah proses pemungutan suara yang dilakukan lagi oleh pemilih yang memenuhi syarat pada Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ditetapkan KPU dengan cara mencoblos pada nomor urut, nama, foto pasangan calon atau tanda gambar partai politik peserta pemilu.

Pada prinsipnya, PSU terjadi karena ada prosedur, tata cara, dan mekanisme yang dilanggar dalam ketentuan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan peraturan teknis penyelenggara pemilu, sehingga kemurnian perolehan suara pemilih menjadi terganggu pada setiap jenis pemilihan. Kemurnian suara menurut Ahmad S. Mahmud merupakan prinsip yang perlu dijaga dalam pemilu, termasuk memastikan setiap pemilih memiliki satu suara dan satu nilai, sehingga konsep one man, one vote, and one value (satu orang, satu suara, dan satu nilai) harus diimplementasikan sejak proses pemungutan dan perhitungan suara di TPS.[4] Pada posisi ini, perlu langkah pemulihan kemurnian suara pemilih jika terjadi keadaan yang menjadi masalah kemurnian suara dengan menggelar PSU sebagai sarana legal dalam ketentuan pemilu. Sebab masalah kemurnian suara pemilih pada tingkatan TPS jika tidak diselesaikan secara berjenjang akan terus menjadi masalah yang cenderung meningkat dan dapat menggerus hasil dan kualitas Pemilu.

Penyebab PSU

Konteks minim pemahaman dan perbedaan pemahaman penyelenggaraan pemungutan suara turut menjadi penyumbang terbesar terjadinya PSU di berbagai daerah. Penyelenggara Pemilu terutama di tingkatan TPS karena minim pemahaman, perbedaan pemahaman antar peserta Pemilu atau kendala bekerja dalam tekanan, turut menjadi penyumbang potensi pelaksanaan PSU. Di samping itu, ada juga potensi PSU terjadi karena kecurangan pemilih atau peserta pemilu di TPS yang memanfaatkan kelengahan dan keterbatasan penyelenggara pemilu.

PSU dilaksanakan dalam rentang waktu paling lambat 10 hari sejak hari pemungutan suara berdasarkan keputusan KPU.[5] Pelaksanaan pemungutan suara serentak tanggal 17 April 2019, maka pelaksanaan PSU paling lambat dilaksanakan paling lambat tanggal 27 April 2019. Ketentuan UU Pemilu juga menyebutkan bahwa PSU hanya dilakukan untuk satu kali PSU. Artinya tidak ada PSU yang jika ditemukan potensi PSU lagi maka dilaksanakan PSU kembali. Merujuk pada ketentuan PSU mengharuskan keterlibatan dan supervisi KPU dan Bawaslu yang ketat agar pelanggaran saat PSU tidak terjadi lagi.

Pengawas Pemilu saat menemukan pelanggaran pemilu, melalui pemeriksaan dan penelitian yang membuktikan keadaan berpotensi PSU, sejatisnya membuat rekomendasi kepada PPK untuk pelaksanaan PSU. Sangat riskan ketika Pengawas Pemilu menemukan keadaan yang berpotensi PSU, namun tidak melakukan langkah-langkah rekomendasi perbaikan administrasi pemilu. Demikian pula, PPK dan KPU ketika menerima rekomendasi PSU dari Panwaslu, ketika tidak menindaklanjuti sebagaimana mestinya, pada akhirnya dapat menjadi masalah riskan ke depannya. Artinya Panwaslu rawan dipermasalahkan profesionalitas kinerjanya ketika menemukan keadaan potensi PSU tapi tidak memberikan rekomendasi. Demikian pula, PPK dan KPU juga rawan dipermasalahkan profesionalitas kinerjanya ketika menerima rekomendasi PSU namun tidak melakukan langkah-langkah menindaklanjuti rekomendasi dimaksud.

Sesuai ketentuan Pasal 372 UU Pemilu, sebab terjadinya PSU berupa terjadi keadaan menyebabkan adanya potensi pelaksanaan PSU. Pemungutan suara ulang di TPS “dapat” diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau perhitungan suara tidak dapat dilakukan.[6] Selanjutnya dalam ayat (2) Pasal 372 UU Pemilu, pemungutan suara di TPS “wajib” diulang jika dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas TPS (atau Panwaslu Kecamatan) terbukti terdapat keadaan sebagai berikut:[7]

  • Pembukaan kotak suara dan /atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
  • Petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan;
  • Petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau
  • Pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.

Atas ketentuan Pasal 372 UU Pemilu tersebut, dapat dimaknai sifat pelaksanaan PSU yakni ada yang bersifat pilihan (alternatif) dan ada yang bersifat wajib. Bersifat pilihan artinya PSU dilaksanakan di mana pelaksanaannya akan sangat bergantung pada kondisi yang ada, bisa dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. PSU bersifat pilihan karena alasan terjadi bencana alam atau kerusuhan sosial yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau perhitungan suara tidak dapat dilakukan. Dalam keadaan ini sesuai Pasal 372 ayat (1) UU Pemilu, pelaksanaan PSU menjadi pilihan penyelenggara pemilu yakni dapat dilaksanakan atau dapat tidak dilaksanakan.

Selanjutnya, PSU bersifat wajib artinya jika terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 372 ayat (2) UU Pemilu, maka wajib bagi penyelenggara pemilu untuk melaksanakan PSU. Tidak ada alternatif lain selain melaksanakan PSU. Berangkat dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas Pemilu (Pengawas TPS atau Panwaslu Kecamatan) untuk selanjutnya disampaikan rekomendasi pelaksanaan PSU kepada PPK. Selanjutnya PPK meneruskan rekomendasi tersebut kepada KPU untuk ditetapkan pelaksanaan PSU dan menyiapkan teknis pelaksanaannya.

PSU pada prinsipnya ditujukan untuk menjaga kemurnian suara pemilih dan pada akhirnya meningkatkan kualitas hasil pemilu, berupa menghindari masuknya suara haram dalam rekapitulasi suara hasil pemilu. Hanya warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pemilih yang memiliki hak politik sebagai pemilih dan dapat menggunakan hak memilihnya di TPS. Adapun partisipasi pemilih yang rendah tidak menjadi syarat dalam UU Pemilu untuk melaksanakan PSU. 

Kehadiran Pengawas Pemilu pada setiap TPS, sejatinya bukan hanya menyalurkan suara sebagai hak politik, tetapi juga mendeteksi dan mencegah kecurangan Pemilu agar tidak terjadi pelanggaran pemilu. Terjadinya keadaan yang mengharuskan PSU, pada satu sisi akibat keterlibatan Pengawas TPS yang belum maksimal, baik pada kinerja pengawasan maupun memahami dan melaksanakan ketentuan UU Pemilu. Jika Pengawas TPS maksimal, PSU akan dapat dicegah dan tidak perlu terjadi. Ini koreksi bagi Pengawas Pemilu secara kelembagaan, terkecuali saran perbaikan dan rekomendasi Pengawas TPS tidak diindahkan oleh Ketua PPS.

Rekomendasi dan Tindaklanjut PSU

Terdapat empat keadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 ayat (2) UU Pemilu yang menyebabkan PSU wajib dilaksanakan berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas TPS atau Panwaslu Kecamatan. Jika terjadi salah satu keadaan dimaksud, maka PSU wajib dilaksanakan. Diawali dengan rekomendasi Pengawas Pemilu kepada PPK atau KPU, untuk selanjutnya KPU menetapkan waktu pelaksanaan PSU serta menyiapkan kebutuhan logistik dan melaksanakan prosedur teknis lainnya.

Dari empat keadaan dimaksud, terdapat satu keadaan yang menimbulkan ketidakjelasan hingga menimbulkan keraguan dalam pelaksanaan, yaitu ketentuan Pasal 372 ayat (2) huruf d UU Pemilu. Ketentuan tersebut sebagai berikut:

“Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas TPS terbukti terdapat keadaan sebagai berikut:

d. pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.”

Ketidakjelasan terjadi karena tidak terangnya keadaan yang diatur dalam ketentuan dimaksud. Dari rumusan huruf d tersebut, muncul pertanyaan, dalam keadaan bagaimana pemilih yang tidak memiliki e-KTP dan tidak terdaftar di DPT dan DPTb lalu diberikan kesempatan memilih hingga menjadi keadaan yang mewajibkan dilaksanakan PSU pada TPS bersangkutan?

Atas ketidakjelasan ini menimbulkan dua pertanyaan utama. Pertama, terkait ketentuan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu, yang mengatur hak memilh bagi pemilih yang pindah memilih (DPTb), di mana perpindahan antar dapil akan menyebabkan pemilih bersangkutan tidak dapat menggunakan semua jenis kertas suara yang ada. Dalam kasus, terdapat pemilih yang memperoleh kertas surat suara melebihi yang ditentukan Pasal 348 ayat (4), apakah atas kelebihan jenis kertas suara diberikan juga harus dilakukan PSU?

Kedua, ketentuan Pasal 349 ayat (1) UU Pemilu, yang mengatur penggunaan e-KTP untuk memilih sebagai daftar pemilih khusus (DPK), hanya menggunakan hak memilih pada TPS di rukun tetangga/rukun warga sesuai dengan alamat yang tertera di kartu tanda penduduk elektronik miliknya. Dalam kasus, terdapat pemilih yang menggunakan e-KTP diberi kesempatan memilih di TPS yang berada di luar alamat kartu tanda penduduk elektronik miliknya, baik dalam satu dapil atau di luar dapil dalam wilayah provinsi, apakah keadaan ini tetap mewajibkan dilaksanakan PSU?

Ini merupakan contoh-contoh pertanyaan yang dalam praktek menemukan masalah dalam penyelesaian, jawaban berbeda, sebagai akibat ketidakjelasan ketentuan PSU dalam UU Pemilu. Ketika ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019, yakni dalam ketentuan Pasal 65 ayat (2), rumusan ketentuan kembali dimuat tanpa ada tambahan atau penjelasan. Demikian pula dalam Peraturan Bawaslu Nomor 1 tahun 2019, yakni dalam Pasal 18 ayat (2), juga ditemukan ketentuan yang sama tanpa penjelasan lebih lanjut.

Ketidakjelasan ketentuan ini dapat menyebabkan ketidakpastian hukum ketika PSU harus dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Sehingga dalam praktik, Pengawas Pemilu saat mendapatkan keadaan tersebut akan mengelurkan rekomendasi kepada KPU, karena tidak ingin dipermasalahkan integritas dan profesionalitas kinerjanya. Tinggal KPU yang mengkaji dan menindaklanjuti. Walaupun ketentuan-norma masih diliputi dengan banyak pertanyaan. Demikian pula, KPU akan menindaklanjuti rekomendasi Pengawas Pemilu tersebut, dengan alasan yang relatif sama, takut dipermasalahkan profesionalitas kinerjanya di belakang hari saat ada rekomendasi yang tidak ditindaklanjuti.

Walhasil pro-kontra terjadi antara dasar yuridis dan urgensi pelaksanaan PSU. Tentang kedudukan dan aspek hukum rekomendasi Pengawas Pemilu untuk melaksanakan PSU. Sebab Pengawas Pemilu juga tidak terlalu meyakini urgensi pelaksanaan PSU, sebagai akibat ketidakjelasan ketentuan dalam UU Pemilu. Demikian pula, KPU diperhadapkan pada situasi dilematis antara menetapkan pelaksanaan PSU atau tidak melaksanakan PSU. Termasuk yang sering kali menjadi permasalahan krusial adalah ketersediaan logistik dan batas akhir pengajuan rekomendasi dan tindaklanjutnya.

Pada sisi lain, terutama dari kepentingan calon anggota legislatif yang menang atau kalah dengan angka tipis. Bagi calon anggota legislatif yang mengetahui perolehan suaranya signifikan pada TPS dimaksud, akan cenderung menolak dan protes atas pelaksanaan PSU. Sebaliknya, bagi calon anggota legislatif yang perolehan suaranya minim dan membutuhkan beberapa suara lagi untuk ditetapkan sebagai pemenang, maka sangat mendukung pelaksanaan PSU dan Ia akan berjuang guna memenangkan perolehan suara di TPS yang melaksanakan PSU kendati potensi melakukan kecurangan dan pelanggaran pemilu.

***

Menjawab problematika hukum pelaksanaan PSU ini, turut memperkaya pemikiran dan dinamika perbaikan sistem pemilu ke depannya. UU Pemilu untuk pelaksanaan Pemilu tahun 2019 sudah ditetapkan, dan para pihak harus mematuhi dan melaksanakan materi muatan dalam UU Pemilu tersebut. Adapun pemikiran yang berusaha menjawab problematika hukum terutama seputar pelaksanaan PSU, menjadi pemikiran dan evaluasi regulasi pemilu ke depannya. Termasuk materi narasi dan argumentasi dalam tulisan singkat ini.

Salah satu alasan PSU sebagaimana diatur dalam UU Pemilu adalah karena terdapat pemilih yang tidak berhak memilih pada TPS namun tetap memberikan suara. Dan, surat suaranya telah masuk dalam kotak suara bercampur satu-padu dengan surat suara pemilih yang lain. Oleh karena, pemilih tersebut tidak berhak memilih di TPS, maka suaranya menjadi “suara haram” yang dapat menggerus kualitas pemilu. Sehingga perlu perbaikan hasil perolehan surat suara pemilih dengan menggelar PSU.

Jika alasan ini dijadikan patokan, maka pemilih yang pindah memilih (DPTb) lintas dapil merupakan subjek yang tidak berhak memberikan suara terhadap peserta pemilu pada level tertentu. Dalam kasus, pemilih tersebut tetap memberikan suara untuk peserta pemilu di level di mana ia tidak memiliki hak untuk itu, maka PSU dapat dilakukan. Walaupun demikian, PSU terbatas hanya dilakukan terhadap kategori kesalahan yang terjadi, tidak untuk seluruhnya. Misalnya, kesalahan terjadi untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota, maka PSU hanya dilakukan untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota semata dan tidak untuk jenis surat suara yang lain.

Pada posisi ini, kecermatan dan ketelitian yang didukung oleh pengetahuan teknis kepemiluan menjadi mutlak dimiliki oleh penyelenggara pemilu terutama di TPS, bahkan peserta pemilu yang memandatkan para saksinya sejatinya juga memiliki kapasitas yang sama. Pemahaman teknis, jika pemilih terdaftar dalam DPTb dari antar provinsi, maka hanya diberikan surat suara Presiden dan Wakil Presiden (PPWP).

***

Selanjutnya, ketentuan Pasal 372 UU Pemilu yang mengatur tentang PSU mengandung ketidakjelasan, khususnya ayat (2) huruf d. Sesuai narasi yang telah dijelaskan di atas, Pasal 372 ayat (2) hurud d UU Pemilu menurut Khairul Fahmi[8] harus dipahami dengan maksud “pemilih yang tidak memiliki KTP-el yang tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb ikut memberikan suara dalam pemilu”. Dengan demikian, apabila terdapat pemilih yang tidak memiliki e-KTP yang ikut memilih, maka keadaan tersebut menjadi salah satu alasan pelaksanaan PSU.

Dalam perkembangannya, dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi nomor perkara 20/PUU -XVII/ 2019 terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu,
surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau instansi lain yang sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu, statusnya dan kekuatan hukumnya disamakan dengan e-KTP. Sehingga yang dapat menggunakan hak pilih dengan terdaftar sebagai pemilih khusus (DPK) adalah pemilih yang memenuhi syarat dan memiliki e-KTP atau surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik. Dengan demikian, dapat dimaknai alasan pelaksanaan PSU jika terdapat keadaan berupa pemilih yang tidak memiliki e-KTP atau surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik.

Adapun pemilih menggunakan e-KTP atau surat keterangan perekaman sebagai sarana penggunaan hak pilih hanya terbatas pada pada alamat rukun tetangga/rukun warga setempat sebagaimana yang tertera dalam identitas kartu tanda penduduk miliknya. Pasal 349 ayat (1) UU Pemilu, mengatur penggunaan e-KTP untuk memilih sebagai daftar pemilih khusus (DPK), hanya menggunakan hak memilih pada TPS di rukun tetangga/rukun warga sesuai dengan alamat yang tertera di kartu tanda penduduk elektronik miliknya.

Jika ada keleluasan pemilih pengguna e-KTP atau surat keterangan perekaman dapat menggunakan hak pilihnya di mana saja dalam wilayah NKRI, karena sifat e-KTP berlaku nasional dan tidak dibatasi dalam wilayah rukun tetangga/rukun warga saja. Maka dikhawatirkan ini akan membuka pintu kecurangan pemilu, di mana dapat saja pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya di suatu TPS, lalu berbuat curang dengan menggunakan lagi e-KTP miliknya pada TPS yang lain. Sebab penanda tinta setelah pemilih keluar dari TPS, dapat saja dengan mudah dihapus dan Ia menuju ke TPS lain lagi seolah-olah belum pernah memilih. Aspek kejujuran dan jaminan tidak berbuat curang dari pemilih sekalipun tidak ada jaminan. Dan, ini membuka jurang kecurangan. Oleh karena itu, kiranya tepat ketentuan membatasi penggunaan e-KTP bagi pemilih yang terdaftar sebagai DPK hanya terbatas pada alamat rukun tetangga/rukun warga.

Partisipasi Pemilih dalam PSU

Sejak KPU menetapkan hari pelaksanaan PSU, diikuti dengan menyiapkan logistik dan persiapan teknis lainnya. Masyarakat pemilih juga diberikan sosialisasi dan pemberitahuan untuk menggunakan hak pilihnya pada hari yang telah ditetapkan. Terdapat dua kemungkinan tingkat partisipasi pemilih saat PSU dilaksanakan. Partisipasi pemilih terkait dengan sosialisasi dan kampanye peserta pemilu akibat kepentingan dan perolehan suara di TPS pada perhelatan pemilu sebelumnya.

Pertama, partisipasi pemilih menjadi menurun. Dalam kondisi ini pemilih merasa sudah melaksanakan hak politiknya pada perhelatan pemilu serentak lalu, dan terkesan terbebani akibat adanya pelaksanaan PSU. Sikap apatis muncul yang berakibat tidak ingin menggunakan hak pilihnya kembali. Jadilah ia tercatat sebagai pemilih yang golput. Pada aspek regulasi pemilu, tidak ada penegasan dan sanksi yang dapat diterapkan kepada pemilih yang memilih jalan golput. Akibatnya sekali lagi, partisipasi pemilih menjadi menurun.

Demikian pula dengan kepentingan peserta pemilu, lebih melihat aspek signifikansi perolehan suara pada pemilu serentak lalu. Jika signifikasi suara di TPS yang menggelar PSU tidak terlalu berpengaruh terhadap pencapaian target sebagai pemenang pemilu, maka terkesan perhatian dan kampanye peserta pemilu menjelang pelaksanaan PSU sangat rendah. Artinya, ada atau tidak adanya PSU tidak terlalu berpengaruh secara presentase atas perolehan suara.

Kedua, partisipasi pemilih menjadi meningkat. Saat peserta pemilu terutama calon anggota legislatif mengetahui perolehan suaranya pada perhelatan pemilu serentak tanggal 17 April 2019 lalu. Maka ada kecenderungan untuk memaksimalkan sosialisasi dan kampanye kepada pemilih guna mempertahankan hasil perolehan suara, atau mengejar ketertinggalan hasil suara agar dapat ditetapkan sebagai pemenang pemilu. Terkadang untuk mengejar dan mendapatkan perolehan hasil suara yang maksimal dari perhelatan PSU, calon anggota legislatif malah cenderung dan terjebat dalam kegiatan transaksional yang melanggar ketentuan pemilu. Misalnya melakukan praktek politik uang untuk mempengaruhi dan memobolisasi pemilih untuk mendapatkan suara.

Pada posisi ini, partisipasi pemilih akan meningkat sebab satu suara sangat bernilai dan berharga menghantarkan kandidat sebagai pemenang. Di samping itu, gesekan kepentingan peserta pemilu terutama calon anggota legislatif juga akan sangat tinggi. Kehadiran mereka dapat diidentifikasi sehari sebelum hari pelaksanaan PSU, dan pada hari pelaksanaan PSU dengan target mempengaruhi dan mendapatkan empati pemilih secara langsung di sekitar TPS.


[1] Very Junaidi dalam Khairul Fahmi, 2019, Restatement; Kumpulan Kajian Hukum Pemilu, Bawaslu, Jakarta, hlm. 90-91.

[2] Ibid, hlm. 91.

[3] Departemen Pendidikan Republik Indonesia, 2016, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 1520.

[4] Ahmad S. Mahmud, 2019, Jaminan Kemurinia, Suara Pemilu Tahun 2019, Harian Sulteng Raya, Edisi 10 April 2019.

[5] Pasal 373 ayat (3) UU Pemilu.

[6] Pasal 372 ayat (1) UU Pemilu.

[7] Pasal 372 ayat (2) UU Pemilu.

[8]Khairul Fahmi, 2019, Restatement…. Op Cit, hlm. 97-98.

Menyoal Ancaman Delegitimasi Hasil Pemilu

257 Views

Banyak kejutan terjadi dalam proses dan hasil Pemilu, bahkan ada yang irasional. Kontestasi dalam perhelatan Pemilu senantiasa dinamis, menyulut emosi dan empati yang kadang berujung pada sengketa dan konflik. Perhelatan demokrasi lewat kontestasi Pemilu bukanlah akhir dari segala usaha kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi hanya menjadi sarana penunjang pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara, demokrasi yang mewujud melalui Pemilu yang dilaksanakan secara periodik masa tertentu. Jadi sejatinya sengketa dan konflik disalurkan pada jalur yang legal. Terlalu sederhana jika akibat rutinitas kontestasi yang periodik lantas mencabik-cabik kesatuan dan stablitas kehidupan sosial yang sudah lama kita bangun.

Intinya kontestasi dalam proses Pemilu adalah keniscayaan, semua berjalan pada koridor yang legal dan biasa saja sebagai rutinitas politik. Betul, secara normatif ada norma dan ketentuan yang harus dipatuhi para pihak, dan mengancam sanksi bagi pelaku yang melakukan pelanggaran. Sejatinya kontestasi dalam Pemilu yang bersifat rutinistas tidak mendistorsi identitas budaya bangsa yang ramah, toleran dan beradat ketimuran. Terlalu sederhana hanya persoalan ketidakpuasan atas proses dan hasil Pemilu lantas mengancam stabilitas kehidupan sosial dan tatanan masyarakat menjadi terganggu.

Pada posisi ini, publik menyadari bahwa kontestasi dalam Pemilu adalah rutinitas politik secara periodik untuk menghasilkan pemimpin nasional dan wakil rakyat di parlemen. Kadang yang memperkeruh suasana stabilitas sosial adalah kontestasi dari peserta Pemilu sendiri yang membangun opini pragmatis yang bermuatan konflik (ujaran kebencian atau berita bohong), dan mengikut-ikutkan emosi massa terutama yang berdiminesi Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. 

Kontestasi para peserta Pemilu yang tajam dan dinamis adalah wajar, sebab mereka memang berkontestasi menjadi pemenang dan mustahil semuanya adalah pemenang. Demikian pula dengan integritas dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu sangat ditekankan, dan diancam sanksi bagi yang melanggarnya. Mereka sebagai wasit di antara para peserta Pemilu, wasit tidak boleh ikut bermain. Demikian pula dengan peran Pemerintah yang wajib memfasilitasi sarana dan prasarana teknis bahkan kebijakan untuk memberikan dukungan dalam berjalannya pesta demokrasi secara damai. Serta pihak keamanan baik TNI dan Polri yang bertugas menjaga ketertiban dan keamanan dalam pelaksanaan kontestasi politik ini.

Sekali lagi, atas ketidak-puasanan, kekecewaan, merasa dicurangi atau diperlakukan tidak adil telah ada saluran penyelesaiannya. Struktur kelembagaan Penyelenggara Pemilu dan Kelembagaan Negara telah menyediakan sistem penyelesaian, dan SDM mumpuni siap memberikan kontribusi dalam penyelesaian konflik dan permasalahan dalam proses dan hasil Pemilu tadi. Sejatinya para pihak yang merasa dirugikan, menggunakan sarana-sarana kelembagaan yang sah dan legal tersebut. Tidak sebaliknya, membuat pengadilan sendiri dan membuat opini publik yang menyesatkan, sehingga berpotensi menggangu stabilitas dan legitimasi pemimpin yang dihasilkan. Sekali lagi ada saluran (kanalisasi emosi) dalam struktur kelembagaan yang telah disiapkan, dan hasil harus diyakini hasilnya akan adil dan berkepastian hukum.

Kontestasi Ekstrim dan Tajam

Ditetapkannya dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu tahun 2019, membuat kutub kontestasi semakin ekstrim dan tajam. Kedua belah kubu tim pemenangan saling unjuk kekuatan bahkan saling serang, dengan pengerahan massa kampanye dan branding isu aktual untuk mengangkat elektabilitas sang kandidat atau menyampaikan pesan agar tidak memilih calon pesaing dengan berbagai kelemahannya. Nampak setiap hari publik disuguhi dengan sajian-sajian pemberitaan dan publikasi kontestasi politik, yang tidak jarang menimbulkan kebosanan dan apatis masyarakat.

Kampanye Pemilu sejatinya mencerahkan dan mencerdaskan publik, dengan sajian konten-konten bernuasa pendidikan. Pada posisi ini, kampanye tidak akan diisi dengan pesan-pesan ujaran kebencian dan fitnah. Kampanye akan lebih mengedepankan adu visi, misi dan program-kegiatan sehingga memberi preferensi kepada pemilih untuk menentukan pilihan, bagi yang sudah memiliki pilihan menjadi semakin yakin atas pilihan politiknya.

Idealitas-harapan ternyata berkata lain dari realitas yang dipertontonkan. Nampak proses kampanye masih dijumpai banyak pelanggaran, demikian pula dengan konten pesan kampanye  terkadang berujung ke penegak hukum Pemilu (Gakkumdu). Tidak jarang Penyelenggara Pemilu harus kerja ekstra dengan intensitas jenis pelanggaran yang meningkat, bahkan pelanggaran-pelanggaran itu cenderung berulang.

Terutama salah satu kubu pasangan calon melaporkan pelanggaran kubu lain kepada Pengawas Pemilu, demikian pula sebaliknya. Saling lapor, saling memata-matai dan saling curiga menjadikan kontestasi semakin tajam dan ekstrim. Hari-hari kampanye saat mendekati hari tenang, serasa tidak tenang. Seolah masing-masing peserta Pemilu bersiap melakukan gerakan besar untuk menyambut kemenangan. Dalam waktu menjelang hari tenang bahkan di hari tenang itulah, dikhawatirkan entitas jumlah pelanggaran akan meningkat.

Saat penindakan pelanggaran oleh Pengawas Pemilu atas laporan salah satu kubu dilakukan, tidak jarang tuduhan miring dialamatkan, misalnya tidak netral atau berpihak pada salah satu peserta pemilu. Saat salah satu laporan ditangani maka cenderung membatasi gerak pihak calon lainnya, demikian pula sebaliknya. Walhasil terjadilah saling lapor. Pada posisi ini, eksistensi dari Penyelenggara Pemilu dengan kinerja yang berintegritas dan profesionalitas harus diutamakan. Tuduhan-tuduhan miring terkadang diterima, tetapi ketika capaian kinerja maksimal maka publik juga akan mengetahui mana yang benar dan salah. Dalam kontestasi politik, semua menjadi relatif, yang pasti adalah Penyelenggara Pemilu bersama dengan Pemerintah dan TNI-Polri harus tunduk dan patuh pada peraturan yang menjadi konsesus bersama dalam pelaksanaan Pemilu.

Memang tidak mudah bertahan dalam kontestasi Pemilu yang tajam dan ekstrim, tetapi bukan berarti tidak bisa. Banyak individu yang memilih konsisten berjalan di jalur kebenaran dan mereka mampu bertahan di masa-masa sulit, menjadikan namanya tercatat dalam sejarah emas peradaban. Amanah telah diambil dan ditetapkan, maka Penyelenggara Pemilu harus memastikan diri dan seluruh jajarannya sanggup melalui dan menyelenggarakan perhelatan kontestasi yang ekstrim dan tajam ini, hingga lahir pemimpin pilihan rakyat-pemilik kedaulatan.

Delegitimasi Hasil Pemilu; Respon Kecewa

Sisi gelap demokrasi ketika peserta Pemilu menggunakan segala cara dan upaya (termasuk perilaku curang) untuk memperoleh kemenangan, yang beririsan dengan sikap dan tindakan Penyelenggara Pemilu yang tidak melakukan pencegahan dan penindakan atas pelanggaran tersebut. Progresif dan militansi peserta, tim pelaksana dan tim kampanye untuk kampanye mempengaruhi pemilih sah-sah saja dilakukan. Tetapi saat pemilih ternyata tidak menjatuhkan pilihan kepada peserta Pemilu yang bersangkutan, maka kenyataan itu harus diterima walaupun pahit. Publik sebagai pemilih memiliki hak politik untuk menentukan pilihannya, sekaligus hak untuk tidak memilih. Dan, negara harus memfasilitasi dan menghormati jaminan hak konstitusional warga negara tersebut.

Masalahnya, jika terdapat peserta Pemilu yang tidak menerima kenyataan saat KPU menetapkan calon terpilih dan itu bukan diri atau pihaknya. Lantas melakukan perlawanan atas penetapan KPU itu melalui jalur-jalur yang tidak formal yakni tidak memilih jalur penyelesaian lewat sengketa hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi. Bisa saja ada kekhawatir akan MK menolak untuk memeriksa pokok perkara saat selisih perolah suara pemohon dan pemenang Pemilu menunjukkan angka selisih yang besar. Sehingga lebih memilih jalur di luar mekanisme hukum tersebut, yakni membangun opini publik dalam rangka delegitimasi hasil Pemilu. Perlawanan atas sistem Pemilu yang sudah berjalan.

Jikalau ini terjadi dan tidak ada pencegahan dan penanganan yang tepat, maka potensi konflik berikutnya menjadi terbuka. Setelah proses kontestasi dalam tahapan Pemilu sudah berlangsung secara ekstrim dan tajam, kembali pertarungan terjadi di luar tahapan Pemilu sebagaimana ditetapkan dalam UU Pemilu. Emosi dan perhatian publik dikhawatirkan kembali tumpah-ruah dalam pergulatan pasca penetapan hasil Pemilu. Sejatinya tokoh-tokoh bangsa harus tampil memberi solusi dan penyejuk atas potensi konflik terganggunya stablitas nasional ini.

Saluran permasalahan baik dalam proses Pemilu dan setelah penetapan hasil Pemilu telah ditetapkan UU Pemilu. Ada pihak Bawaslu dan jajarannya yang bertugas dan berwenang melakukan penanganan pelanggaran atas laporan atau temuan pelanggaran Pemilu. Ada jalur penyelesaian sengketa proses Pemilu yang disediakan saat hak peserta Pemilu dirugikan ketika KPU menetapkan keputusan dan/atau berita acara. Semua itu jelas tata cara, prosedur dan mekanismenya dalam UU Pemilu dan perangkat teknisnya.

Dengan demikian, jika ada hasil Pemilu yang diperselisihkan maka jalurnya hanya melalui sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi. Para pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan dengan melampirkan bukti dan data pendukung. KPU pun akan bersikukuh bahwa penetapan yang dilakukan sudah benar dan tepat. Demikian pula dengan Bawaslu, juga akan menguraikan hasil pengawasan dan penindakan pelanggaran yang telah dilakukan. Sehingga Hakim MK memiliki informasi, data dan bahan yang cukup untuk mengambil kebijakan atau Putusan yang adil. Inilah jalan yang legal dalam negara hukum seperti halnya negara Indonesia.

Khittah Penyelenggara Pemilu

Ancaman delegitimasi hasil Pemilu dilakukan dengan mendiskreditkan kerja-kerja Penyelenggara Pemilu bahkan Pemerintah dan aparat keamanan. Seolah tidak netral (berpihak pada salah satu peserta Pemilu) dan memobilisasi dukungan dengan menggunakan sarana prasarana negara. Ingin dibangun opini akan proses Pemilu berlangsung tidak secara jujur dan adil. Tetapi tuduhan itu tidak memiliki dasar kuat berupa bukti dan data, tuduhan cenderung pada asumsi dengan motif pragmatis dan kekecewaan akan hasil Pemilu.

Ancaman seperti ini harus dimaknai sebagai pemacu peningkatan integritas dan profesionalitas dari Penyelenggara Pemilu pada khususnya, dan sebagai peringatan dan sikap kehati-hatian agar Pemerintah dan aparat keamanan tidak menggunakan fasilitas yang melekat pada lembaganya untuk kepentingan kampanye yang menguntungkan salah satu peserta Pemilu. Terutama saat proses tahapan Pemilu masih berlangsung. Tutup ruang dan bahan yang meragukan proses Pemilu berlangsung jujur dan adil. Caranya, berpegang teguh pada khittah ketentuan perundang-undangan, walaupun tekanan dan intimidasi bahkan godaan sering menghampiri. Menghadapi semua itu, kekuatan tekad dan kapasitas handal menjadi syarat melalui masa-masa sulit tersebut.

Penyelenggara Pemilu harus berpegang pada khittahnya, yakni tugas, wewenang dan kewajiban sebagaimana digariskan dalam UU Pemilu. KPU melaksanakan tahapan, dan Bawaslu mengawasi pelaksanaan tahapan Pemilu, sementara DKPP mengadili jika ada aduan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU-Bawaslu beserta jajarannya. Banyak pihak menggantungkan asa dan kepentingan mereka pada integritas dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu. Pada akhirnya, amanat suara rakyat hasil pemungutan suara harus dikawal ketat hingga lahir pemimpin pilihan rakyat. Pemimpin yang memiliki integritas dan kapasitas handal yang sanggup berbuat lebih mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.

Peningkatan Partisipasi Pemilih Di Daerah Bencana

225 Views

Belum usai duka bencana gempa bumi di Lombok-NTB, menyusul lagi bencana alam di Provinsi Sulteng, berupa gempa bumi, tsunami dan liquifaksi yang terjadi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong. Bahkan di penghujung tahun 2018, kembali kita dikejutkan dengan bencana tsunami di wilayah Selat Sunda. Korban jiwa berjatuhan, kehilangan keluarga dan harta benda terus saja kita alami.

Gerak cepat penanggulangan bencana para pihak terus mengalir, terutama Pemerintah, Lembaga kemanusian, dan Perusahaan dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada korban bencana. Paling tidak, pertolongan pertama di masa-masa krisis pasca bencana. Kehadiran dan empati sosial terus mengalir, seraya memaknai kejadian tersebut sebagai cobaan sekaligus azab kepada makhluk di muka bumi.

Dari rentetan kejadian bencana alam ini, telah mendorong rasa kesetia-kawanan sosial dan empati masyarakat, untuk turut-serta membantu. Sekat-sekat golongan tidak nampak, menjadi rasa persaudaraan sesama umat manusia. Dan, itu terlihat jelas di masa tanggap darurat dan rehabilitasi wilayah bencana. Banyak pihak dengan keinginan sendiri, memberikan bantuan tenaga dan materi untuk meringankan derita korban, terpatri dalam hati keperihan dan duka korban, yang berusaha diringankan.

Itulah sekilas catatan di penghujung tahun 2018 yang tidak akan pernah terlupakan, terkhusus mereka yang menjadi korban dan relawan di wilayah bencana. Selanjutnya, menjalani kehidupan di tahun baru, tahun 2019, lekat diingatan kita adalah tahun politik untuk pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden beserta calon anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota).

Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah telah menetapkan pelaksanaan hari pemungutan suara pada tanggal 17 April 2019. Termasuk di wilayah yang terdampak bencana tidak ada perubahan hari pemungutan suara, tetap pada hari tersebut. Walaupun beberapa kebijakan strategis lantas ditetapkan untuk mengantisipasi kondisi-kondisi yang tidak normal ini. Misalnya dalam penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), sebagai akibat banyak warga yang meninggal dunia atau status hilang. Ditambah lagi dengan eksodus pengungsi ke luar daerah bencana sampai mengungsi ke wilayah Provinsi sekitar.

Masalah lain, relokasi pengungsi pada hunian-hunian sementara/tetap yang dapat mempengaruhi kebijakan penetapan Daerah Pemilihan (Dapil) dan penempatan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jika relokasi pada wilayah Dapil yang sama tentu besar-kemungkinan tidak ada permasalahan, tinggal penempatan TPS di wilayah relokasi tersebut. Namun yang perlu diantisipasi adalah, jika relokasi masyarakat ditempatkan pada wilayah yang berada di luar Dapil alamat Pemilih sebelumnya, bercampur baur dengan Pemilih yang lebih dahulu bermukim disitu. Mereka terancam tidak dapat menggunakan hak suaranya.

Perlindungan Hak Konstitusional Pemilih

Warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dan tercatat sebagai Pemilih, memiliki hak konstitusional untuk menyalurkan hak suaranya dalam Pemilu 2019. Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu harus memberikan dukungan dan perlindungan agar hak konstitusional Pemilih tadi dapat tersalurkan dengan baik dan dilaksanakan tanpa diskriminatif. Termasuk Pemilih yang menjadi korban bencana alam, yang mereka saat ini di relokasi dan menempati hunian-hunian sementara bantuan para pihak.

Bencana adalah ketetapan sang Pencipta, tidak ada kekuatan yang dapat mencegah dan mengetahui kapan kedatangannya. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah prediksi dan berdoa agar terhindar dari mala-petaka bencana yang selalu mengintai. Dan, Pemilu sebagai kontestasi dalam kehidupan bernegara juga harus terlaksana, dan dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia termasuk di NTB, Sulteng, dan wilayah sekitar Selat Sunda yang mengalami bencana.

Secara praktis tidak mudah menghilangkan trauma masyarakat yang menjadi korban bencana. Awalnya mereka memiliki keluarga, lantas kehilangan anggota keluarga. Awalnya mereka memiliki tempat tinggal yang nyaman, lantas menempati hunian-hunian sederhana. Awalnya mereka memiliki pekerjaan, lantas habis terlibas bencana.

Tetapi dengan pendekatan dan metode yang tepat, pemulihan psikologi dan semangat untuk bangkit perlu terus digelorakan dan diupayakan oleh semua pihak. Termasuk dalam hal ini, disela-sela pemulihan sosial agar dititipkan informasi Pemilu, bahwa kita akan menyelenggarakan pesta demokrasi yang hanya dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali yakni Pemilu serentak tahun 2019. Dengan pendekatan dan metode yang tepat, disela-sela aktifitas pemulihan dan semangat untuk bangkit, akan muncul kesadaran untuk bersama-sama menyukseskan dan berpartisipasi dalam pelaksanaan pesta demokrasi ini.

Perlu kesadaran dan semangat terus-menerus, bahwa suara milik Pemilih sangat berharga dan menentukan tampuk kepemimpinan nasional dan daerah mendatang. Kita menginginkan lahir Pemimpin yang berintegritas dan berlaku adil dalam memimpin, Pemimpin yang berjuang untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dan, semua itu dapat tercapai dengan partisipasi masyarakat datang ke TPS untuk menyalurkan hak suaranya, memilih calon terbaik yang telah ditetapkan sebagai peserta Pemilu. Dengan diikuti kesadaran mendukung proses Pemilu yang jujur dan adil, mencegah segala bentuk pelanggaran, dan melaporkan kepada pihak berwenang untuk penindakan atas pelanggaran Pemilu.

Upaya ini terkait dengan perlindungan hak konstitusional Pemilih sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), yakni hak yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia semata-mata karena Ia manusia yang bermartabat, sekalipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. Hak ini tidak boleh dilanggar, dicabut, atau dikurangi. Hak ini adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak kodrati kepada setiap manusia.

Negara dalam menjalankan tugasnya harus melindungi hak asasi dari setiap warga negara. Produk hukum yang dibuat oleh negara dalam menjalankan tugasnya juga harus melindungi dan menjamin penegakannya. Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai Pemilih harus terfasilitasi dengan baik untuk menyalurkan hak pilihnya. Dan, Penyelenggara Pemilu bersama Pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan agar hak pilih warga negara itu dapat tersalurkan dengan adil tanpa diskriminasi.

Strategi Perlindungan

Esensi Pemilu di negara demokrasi adalah mendorong dan melindungi partisipasi seluruh lapisan masyarakat, dimulai dengan jaminan kebebasan dalam menggunakan hak pilih secara demokratis. Maka dari itu, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Bawaslu dituntut untuk pro-aktif dalam mengidentifikasi dan memantau hambatan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.

Dengan kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah bencana, terkhusus di lokasi hunian-hunian sementara/tetap, Penyelenggara Pemilu perlu merumuskan kebijakan untuk mengatasi masalah ini dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, khususnya memudahkan Pemilih untuk menggunakan hak politiknya dalam Pemilu tahun 2019.

Bentuk kebijakan tersebut, Pertama, sinkronisasi data kependudukan. Pasca bencana, banyak masyarakat yang tidak ingin lagi bermukim di daerah rawan bencana utamanya rawan liquifaksi berdasarkan data Pemerintah. Mereka lantas mencari tempat hunian baru yang lebih aman dari bencana, misalnya aman dari bencana tsunami dan liquifaksi tentunya. Perpindahan masyarakat ini, dapat mengubah data kependudukan, selanjutnya dapat mempengaruhi akurasi DPT yang telah ditetapkan sebelumnya.

Di samping itu, ada juga masyarakat yang ingin menjadi penduduk di wilayah bencana yang secara faktual wilayah tersebut menjadi tempat terjadinya bencana, liquifaksi. Motivasinya pragmatis, mengejar bantuan kemanusian yang diperuntukkan bagi masyarakat korban bencana liquifaksi, misalnya di Petobo (Palu), dan Jono Oge (Sigi). Ini perlu dicegah.

Sehingga, Pemerintah yang mengelola data kependudukan perlu selektif mengambil langkah dan kebijakan. Perlu dipertimbangkan, agar elemen data kependudukan masyarakat di wilayah terdampak langsung bencana agar tidak diubah data alamatnya (Misal, dari atau ke alamat Petobo). Elemen data lainnya dapat saja berubah, tetapi elemen data alamat untuk dipertimbangkan, tidak diubah sampai dengan selesai tahapan Pemilu tahun 2019. Sebab jika banyak penduduk yang elemen data kependudukan yakni alamat berubah dapat mengubah kebijakan penetapan Dapil dan penempatan TPS nantinya.

Kedua, penempatan TPS di sekitar wilayah hunian. Pemerintah Daerah telah menetapkan kebijakan untuk masyarakat terdampak langsung bencana di relokasi ke wilayah-wilayah yang relatif aman. Tujuannya, untuk memudahkan kontrol, koordinasi dan penyaluran bantuan kemanusian.

Penyelenggara Pemilu dalam penempatan TPS di wilayah bencana tentu harus memperhatikan domisili sesuai identitas kependuduk masyarakat yang bermukim di hunian-hunian sementara/tetap itu. Artinya, sangat memungkinkan kebijakan khusus berdasarkan data yang akurat untuk diambil langkah penambahan TPS-TPS di wilayah relokasi pengungsi tadi. Yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian Dapil dengan penempatan jumlah TPS yang akan dibangun.

Sekali lagi, semua berawal dari ketersediaan data akurat. Masyarakat yang menempati wilayah-wilayah pengungsi (relokasi) harus dipastikan keberadaannya, Ia sebelumnya tercatat di alamat mana atau TPS mana ?, untuk diambil langkah kebijakan penempatan TPS baru. Termasuk, antisipasi bagaimana penempatan TPS di sekitar hunian sementara/tetap pengungsi yang lokasinya berada di luar dari wilayah Dapil.

Ketiga, maksimalisasi kegiatan sosialisasi urgensi Pemilu. Secara psikologis, masyarakat di wilayah bencana tidak mudah menghilangkan trauma dan ketakutan. Tetapi penyelenggaraan Pemilu juga tidak bisa menunggu, Pemilu tetap dilaksanakan sesuai tahapan. Sehingga stekeholders Pemilu perlu mengambil peran strategis dalam sosialisasi kepada masyarakat di wilayah hunian-hunian sementara/tetap pengungsi.

Metode yang digunakan tidak serta merta radikal, langsung masuk menjelaskan urgensi Pemilu. Perlu ada pendekatan emosional-kultural, yang dapat diterima oleh masyarakat pengungsi tadi. Ketika sudah tersentuh kesadarannya, Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemerintah sudah diterima dengan baik, selanjutnya pendataan dan sosialisasi urgensi Pemilu dapat dilakukan dengan berbagai macam pola-metode. Upaya-upaya konkrit senantiasa perlu dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu, sebab tidak ada jaminan hasil Pemilu ini tidak ada yang mempersoalkan, apalagi jika selisih perolehan suara tipis, maka cenderung akan di gugat di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah perlu terus mengagendakan program dan kegiatan yang dikhususkan melindungi hak konstitusional Pemilih di wilayah bencana, yang dapat beriringan dengan upaya meningkatkan partisipasi Pemilih sebagai ukuran proses keberhasilan Pemilu.


Catatan : Opini, pernah dimuat di Harian Sulteng Raya, Edisi 3 Januari 2019

[sdm_download id=”671″ fancy=”0″] [sdm_download_counter id=”671″]