Bersimbah Peluh Di Ranah Etik

291 Views

BERSIMPAH PELUH DI RANAH ETIK

Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.


Menjadi Penyelenggara Pemilu khususnya sebagai Pengawas Pemilu, tentu sebelumnya tidak terpikirkan oleh sebagian orang. Ada pengumuman, menyiapkan berkas pendaftaran lalu mendaftar, dilanjutkan ikut prosesi seleksi dan akhirnya diumumkan lulus menjadi anggota Bawaslu/Panwaslu.

Tulisan ini tidak diarahkan untuk mengurai suka-duka peserta mengikuti prosesi seleksi, tetapi lebih diarahkan saat setelah dilantik yakni menjabat sebagai Anggota Bawaslu/Panwaslu. Bawaslu/Panwaslu memiliki tugas, wewenang dan kewajiban sebagai Pengawas Pemilu, pejuang-pengawal demokrasi dan penegak keadilan Pemilu.

Pertanggal 15 November 2017 lalu, tanggal tersebut menandakan seluruh Panwaslu tingkat kecamatan di Provinsi Sulawesi Tengah telah dilantik dan diambil sumpah-janji oleh masing-masing Panwaslu Kab/Kota. Berbagai asa, cita dan harapan digantungkan pada mereka anggota pengawas pemilu ini, hingga pesan-pesan etika penyelenggara pemilu dan pentingnya integritas senantiasa disampaikan. Tanggal ini juga, menandakan masuknya orang-orang pilihan, yang telah diseleksi secara ketat berdasar kriteria dan ketentuan Undang-Undang hingga dapat menjadi Pengawas Pemilu yang profesional, mandiri dan berintegritas.

Melaksanakan pengawasan, penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses Pemilu telah menjadi tugas dan fungsi pokok di lembaga yang bernama Bawaslu ini. Bagi sebagian orang yang telah dilantik tersebut, ini adalah amanah baru, yang harus dikerjakan dengan sebaik-baik. Dituntut belajar cepat untuk memahami, berbarengan dengan bekerja cepat, tepat dan militan dengan senantiasa berpegang teguh pada kode etik Penyelenggara Pemilu.

Demikianlah, integritas dalam lembaga ini sering diingatkan sekaligus menjadi dasar pijak dalam bertugas. Perilaku dan kebijakan yang diambil juga harus senantiasa berdasar pada kode etik Penyelenggara Pemilu yang menjadi pedoman perilaku berupa kewajiban atau larangan, tindakan dan/atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.

Sehingga, integritas para penyelenggara ini menjadi sebuah keharusan untuk melahirkan Pemilu yang demokratis dan berkualitas. Jika penyelenggara tidak mampu berpedoman pada nilai-prinsip dan kode etik, maka secara otomatis akan menciderai nilai-nilai demokrasi dan kepemiluan, bahkan berdampak pada pelanggaran kode etik dan dapat berujung pada pengenaan sanksi yang berat.

Secara normatif, arah dan kualitas Pemilu bertumpu pada sistem Pemilu (struktur, substansi, kultur dan prasarana) yang harus terpenuhi secara maksimal. Jika satu bagian (sub-sistem) dalam sistem ada yang tidak terpenuhi atau terganggu maka mempengaruhi hasil Pemilu secara keseluruhan.

Satu perubahan mendasar dalam sistem kepemiluan ini tergantung pada Penyelenggara Pemilu. Jika Penyelenggara Pemilu bekerja dengan profesional dan memegang prinsip jujur-adil dan nilai integritas, maka harapan untuk mendapatkan Pemimpin (Pemerintahan) yang amanah, dan konstitusional dapat terealisasi.

Sebaliknya, jika Penyelenggara Pemilu ini tidak mampu bekerja dan berpegang teguh pada prinsip kode etik yang di dalamnya juga terdapat prinsip juju-adil dan integritas, maka Penyelenggara Pemilu turut andil melahirkan Pemimpin (Pemerintahan) tidak berkualitas, dan berkontribusi dalam meruntuhkan tatanan demokrasi yang telah dibangun selama ini.

Kiranya pesta demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu serentak, merupakan ujian terberat bagi Penyelenggara Pemilu, karena dilaksanakan serentak dan saling beririsan untuk memilih presiden dan wakil presiden serta memilih anggota legislatif. Untuk itu, peran Bawaslu juga harus mampu menjawab tantangan ini, dengan bekerja profesional dan menjunjung tinggi prinsip dan nilai integritas, sehingga KPU yang secara teknis menjalankan fungsi penyelenggaraan tahapan pemilu bisa terawasi dengan baik, termasuk penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses Pemilu oleh Bawaslu dapat tertangani.

Dengan demikian, KPU dan Bawaslu harus mampu bersinergi bekerja bersama, menjalankan tugas pokok dan fungsi dengan berpegang teguh pada prinsip jujur-adil dan nilai integritas. Sinergi ini telah lama dilakukan, tinggal melanjutkan dan kreatif dalam mempertahankan keberlanjutan.

Kita berharap, pelaksanaan pemilu nasional serentak tahun 2019 dapat menjadi momentum seluruh Penyelenggara Pemilu bekerja lebih profesional lagi guna melahirkan Pemimpin (Pemerintahan) berkualitas, dan terus berupaya membangun demokrasi bermartabat di Negara ini. Walau penyelenggara pemilu bersimbah peluh di ranah etik, karena pelaksanaan pesta demokrasi ini akan menjadi cerminan untuk pelaksanaan pemilu berikutnya dan indikator kedewasaan-kematangan bangsa dalam berdemokrasi.

Sekaligus pemaknaan atas hasil pemilu sebagai representasi suara rakyat-sang pemilik kedaulatan. Satu suara dalam pemilu mewakili satu suara rakyat yang berdaulat. Perolehan angka suara tersebut harus diperoleh dengan cara yang benar sebelum pelaksanaan pemungutan suara, hingga setiap suara benar-benar mewakili aspirasi dan pilihan pemilih yang berdaulat. Angka jumlah suara akan ditrasformasikan menjadi kursi perolehan suara yang menentukan calon pemimpin duduk di kursi terhormat sebagai calon terpilih.

Termasuk realisasi pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban Pengawas Pemilu secara maksimal guna menjawab kegelisahan atas penguatan fungsi Bawaslu yang selama ini diminta hingga lahirnya UU Pemilu, atau malah menjadi ironis akibat kerja tidak maksimal menjadi penghapusan lembaga Pengawas Pemilu ini sebagai Penyelenggara Pemilu di etape berikutnya dengan fungsi Bawaslu dilaksanakan oleh lembaga lain. Misalnya, KPU sebagai penyelenggara tahapan pemilu sekaligus sebagai pengawas pemilu.***


Pernah dimuat di Harian Mercusuar edisi 17 November 2017.

File PDF dapat di download di sini.

Wajah Gakkumdu Pemilu 2019

278 Views

WAJAH GAKKUMDU PEMILU 2019
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.
( Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah )


Penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilu yang tepat dan cepat menjadi indikator keberhasilan Pemilu berintegritas dan bermartabat. Penanganan yang memberi efek jera pada pelaku dan pencegahan pada potensi pelanggaran lainnya. Upaya itu tentu tidak mudah, butuh kerja Tim yang profesional, dan integritas Tim Gakkumdu mewujudkan.

Sentra Penegakan Hukum Pemilihan Umum (Gakkumdu) merupakan wadah bersama tiga unsur negara, yakni Pengawas Pemilu, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk menangani dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu. Gakkumdu akan menindak-lanjuti laporan atau temuan Pengawas Pemilu yang mengandung unsur pelanggaran tindak pidana Pemilu.

Langkah ini menempatkan Gakkumdu memiliki peran signifikan dalam menindak pelaku dan aktor intelektual terjadinya pelanggaran tindak pidana Pemilu, apalagi sejak diundangkan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Beberapa norma telah ditancapkan guna memaksimalkan peran strategis ini. Sebab terdapat catatan yang kurang menyenangkan dari kiprah Gakkumdu sebelumnya, baik dalam perbedaan pandangan penanganan kasus, tafsir terhadap norma, dan koordinasi yang tak kunjung maksimal.

Perbedaan pemahaman jajaran Gakkumdu dalam penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilu kadang terjadi, yang berimbas pada tindak dan sikap masing-masing lembaga. Disatu sisi, Pengawas Pemilu memandang telah terjadi pelanggaran tindak pidana Pemilu dan kasusnya perlu ditindaklanjuti ke tingkat Pengadilan, namun disisi lain pihak Penyidik-Kepolisian dan/atau Penuntut Umum-Kejaksaan menganggap belum cukup bukti dan tidak terpenuhi unsur tindak pidana, hingga kasus tidak dapat diteruskan ke Pengadilan.

Masalah lain, tidak jarang terjadi perbedaan pemahaman, multi-tafsir dan adanya norma kabur di dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar rujukan pelanggaran tindak pidana Pemilu. Ini juga kadang menjadi batu sandungan proses penanganan pelanggaran pidana Pemilu, membuat pelaku-aktor intelektual masih bebas melakukan aksi pelanggaran berikutnya.

Keberadaan Gakkumdu yang seharusnya mempermudah kerja-kerja penanganan tindak pidana Pemilu justru seringkali menghambat penanganan tindak pidana Pemilu. Pengawas Pemilu sering tidak sependapat dengan Tim Kepolisian dan Tim kejaksaan yang ada di Gakkumdu, pada akhirnya membuat laporan atau temuan dugaan tindak pidana Pemilu tidak dapat ditindaklanjuti.

Kenyataan seperti ini sering terjadi, jika dilihat dari banyak-tidaknya pelanggaran tindak pidana pada pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah yang urung dilimpahkan ke Pengadilan dengan alasan unsur pelanggaran yang tidak memenuhi, koordinasi yang tidak efektif, alat bukti minim dan/atau daluarsa penanganan kasus. Sehingga pelaku pelanggaran belum dapat dijerat dan dikenai sanksi pidana.

Berkaca dari pengalaman penanganan pelanggaran Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah sebelumnya, Gakkumdu perlu dievaluasi sekaligus dikuatkan dalam penindakan pelanggaran. Jangan lagi ada pelaku dengan bebasnya melakukan politik uang (money politic) untuk mempengaruhi Pemilih, manipulasi suara, ujaran kebencian, merusak alat peraga kampanye milik Kontestan lain dan melakukan kecurangan lain yang mengurangi kualitas demokrasi yang terus dibangun di Negara ini.

Paling tidak, penguatan kelembagaan Gakkumdu beserta jajaran Kesekretariatan untuk menindak pelanggaran pidana Pemilu kiranya mendesak dilakukan. Secara teknis, Sekretariat resposif memberi dukungan teknis dan operasional pada Tim Gakkumdu. Dukungan staf yang handal, cekatan dalam menindaklanjuti setiap laporan temuan yang disampaikan. Serta rapat koordinasi-teknis secara berkala untuk membahas dan menyatukan pemahaman atas dinamika isu hukum yang dihadapi.

Muatan Pembeda

Penindakan Gakkumdu diarahkan agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan mencegah kepada pihak lain untuk melakukan pelanggaran pidana Pemilu. Semangat ini yang terus ditumbuhkan dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hingga beberapa bagian pembeda Gakkumdu untuk pelaksanaan Pemilu 2019 dapat ditemui dari uraian berikut. Pertama,  dasar pengaturan Gakkumdu menurut UU 10/2016 yakni Peraturan Bersama Bawaslu RI Nomor 14 Tahun 2016, Kepolisian RI Nomor : 01 Tahun 2016, dan Jaksa Agung RI Nomor : 013/A/JA/11/2016.

Sedangkan dalam UU No. 7 tahun 2017, Gakkumdu didelegasikan pengaturannya pada Peraturan Bawaslu Nomor 9 tahun 2018 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Peraturan Bawaslu dimaksud disusun secara bersama oleh Kepala Kepolisian Negara RI, Jaksa Agung RI, dan Ketua Bawaslu. Peraturan Bawaslu tersebut, ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dalam forum rapat dengar pendapat.

Kedua, Penyidik dari Kepolisian dan Penuntut dari Kejaksaan dalam menjalankan tugas secara penuh waktu dalam penanganan tindak pidana Pemilu. Secara teknis, Penyidik dan Penuntut ini diperbantukan sementara di Kantor Bawaslu dan tidak diberikan tugas lain dari Instansi asalnya selama menjalankan tugas di Gakkumdu.

Keterlibatan Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut di Gakkumdu kini bisa lebih awal, yakni saat register hari pertama atas laporan atau temuan dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu pada Bawaslu. Yakni, membantu Bawaslu melakukan klarifikasi dan pengumpulan barang bukti hingga menjadi terang perbuatan untuk diajukan ke Pengadilan.

Demikian pula dalam proses pra-penuntutan, tidak ada lagi bolak-balik berkas pada tahap P19 atau pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi dari Kejaksaan ke Penyidik Polri. Sejak awal telah terlibat secara bersama-sama, ketika ada kekurangan akan langsung diberikan petunjuk untuk dilengkapi.

Ketiga, Peradilan in absensia. Konsep ini awalnya tidak dikenal dalam penindakan pelanggaran untuk Pemilihan Kepala Daerah maupun Pemilu tahun 2014, namun norma UU 7 tahun 2017 telah menyebutkan lain. Berawal dari penindakan yang terkendala limitasi waktu yang singkat, sementara terlapor atau tersangka tidak menghadiri undangan klarifikasi Pengawas Pemilu hingga akhir waktu penanganan, dan menjadikan kasus tidak dapat ditindak-lanjuti karena daluarsa.

Konsep peradilan in absensia ini mulai dianggap penting dilakukan, jika terlapor atau tersangka tidak hadir dalam klarifikasi atau pemeriksaan persidangan, maka Pengawas Pemilu menyampaikan kajian atas bukti-bukti yang ada. Penyidik dapat menyampaikan hasil penyidikan disertai berkas perkara kepada Penuntut Umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak diregisternya laporan atau temuan. Demikian pula, Pengadilan Negeri yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu yang diberikan waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara, dapat dilakukan dengan tanpa kehadiran terdakwa.

Ketidakhadiran terlapor, tersangka, atau terdakwa dalam proses ini menandakan Ia tidak menggunakan hak yang diberikan untuk membela diri. Lantas Tim Gakkumdu dan Pengadilan dapat melanjutkan pemeriksaan dan proses Pengadilan dengan mengacu pada keterangan dan bukti yang sudah diperoleh sebelumnya.

Proyeksi

Harapan akan produktifitas Gakkumdu dalam menindak pelanggaran pidana Pemilu terus diupayakan. Mulai rapat koordinasi dan teknis secara berjenjang terus digalakkan guna membangun sinergi dan kesamaan pola penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilu, sampai pada penguatan sumber daya manusia yang berintegritas dan profesional.

Kesepakatan awal dan komitmen personil Gakkumdu dalam penuntasan tindak pidana Pemilu akan cenderung membuahkan hasil, berupa pelaku dan aktor intelektual dapat dikenai sanksi dan menjadi pembelajaran kepada publik untuk tidak melakukan perbuatan serupa atau menyerupai. Kesepakatan dan komitmen yang lahir dari semangat penegakan hukum yang adil dan berintegritas.

Kesatuan personil Gakkumdu bisa saling bahu-membahu memperlihatkan prestasi dan kinerja maksimal dalam menjawab tuntutan publik terhadap kelemahan selama ini yang kurang tertangani atas setiap laporan atau temuan tindak pidana Pemilu. Kesatuan dalam melahirkan kepastian hukum dan keadilan Pemilu yang akan berperan dalam pembangunan demokrasi yang bermartabat dan berintegritas.***


File PDF dapat di downloads di sini.

Menyoal Negara Islam

301 Views

MENYOAL NEGARA ISLAM
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.


Bulan Mei 2017 lalu, organisasi kemasyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan oleh Pemerintah berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. HTI juga dilarang oleh Pemerintah melakukan kegiatan atas nama organisasi ini. HTI dianggap sebagai organisasi terlarang, karena dinilai ingin mengganti ideologi Pancasila, UUD 1945, dan mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tujuan mendirikan sistem negara yang bernama khilafah. Tidak sampai pada pembubaran saja, para pengurus dan simpatisan HTI yang terus mengkampanyekan sistem negara khilafah turut diancam dengan sanksi pidana. Mereka dianggap melakukan tindakan makar yang membahayakan eksistensi dan kedaulatan NKRI. Sudah organisasi dibubarkan, para personil-pun terancam sanksi pidana penjara.

Berkaca dari pengalaman itu, begitu kuat otoritas kekuasaan negara. Massa HTI bisa saja protes selama berbulan-bulan, melakukan aksi-aksi yang tidak putus. Terus menjastifikasi bahwa HTI sebagai organisasi yang didirikan atas dasar Konstitusi, dalam negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan jaminan dan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dan pendapat, dan membuat justifikasi rasional bahwa HTI tidak seburuk seperti yang dituduhkan oknum Pemerintah. Tetapi Pemerintah mengenyampingkan semua pembelaan itu dan hanya bermodal surat penetapan pembubaran, langsung bubar organisasi masyarakat ini, tidak lagi bisa melakukan kegiatan atas namanya. Pro-kontra-pun terjadi, antara yang membela HTI dan menganggap langkah pemerintah keliru, demikian pula sebaliknya.

Penulis menguraikan dinamika pembubaran HTI di atas, bukan bermaksud mengurai perdebatan pro-kontra legalitas dan argumentasi pembubaran organisasi massa ini. Masing-masing pihak pasti memiliki dasar dan argumentasi logis. Penulis lebih menitik-beratkan pada eksistensi kekuasaan negara yang strategis bagi berkembang atau tidak berkembang suatu organisasi massa bahkan ideologi. Kekuasaan negara memiliki kekuaatan untuk membubarkan organisasi massa dan mencegah berkembang ideologi tertentu, bahkan Pemerintah sendiri bisa menjadi pihak pendukung berkembang dan majunya suatu gerakan massa dengan ideologinya.

Negara yang disebut, Indonesia ini menempatkan kekuasaan negara dilaksanakan oleh kekuasaan Pemerintahan yang dibagi ke dalam cabang-cabang kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tiga cabang kekuasaan ini saling kontrol dan saling sinergi di antara satu dengan lain. Walaupun dalam sistem pemerintahan Indonesia, kekuasaan eksekutif yang di jabat kekuasaan tertinggi “Presiden” lebih menonjol superior. Tidak jarang Presiden bersama para partai politik pendukung menentukan arah kebijakan tatanan kehidupan bermasyarakat-bernegara. Kekuasaan negara menjadi alat rekayasa tatanan sosial-politik, dengan memunculkan nilai dan pesan baru demi kepentingan penguasa.

Demikian pula kinerja cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif secara langsung maupun tidak langsung dapat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif-Presiden. Walau ada norma tekstual, kekuasaan legislatif dan yudikatif sebagai kekuasaan mandiri, independen dan profesional. Tetapi, kenyataan tidak se-ideal teks norma terbaca. Loyalitas, balas budi dan aroma desain memuluskan kebijakan politik tertinggi tidak bisa ditepis. Jadilah cabang kekuasaan lain sebagai perpanjangan tangan kepentingan pragmatis eksekutif-Presiden.

Kenyataan ini berangkat dari desain regulasi yang mengatur tata kehidupan bernegara, regulasi yang dirumuskan oleh anggota legislatif (DPR) bersama Pemerintah. Sebagai tokoh partai politik yang berhasil duduk di gedung Senayan lewat sistem pemilihan umum, produk regulasi bisa dipastikan tidak lepas dari arahan internal partai politik asalnya. Regulasi sebagai hasil kompromi politik dan lobi-lobi pragmatis antar partai.

Hampir tidak ada alias minim keberanian-idealisme anggota legislatif untuk keluar dari bingkai kebijakan partai dengan ekspektasi keadilan dan kepentingan subtantif masyarakat, untuk mengambil sikap politik yang berbeda dengan kebijakan internal partai. Kalaupun ada yang nekat-berani maka siap-siap bernasib tragis, dicari kesalahan-kesalahan walau kadang sangat politis terus diganti dengan status pengganti antar waktu (PAW) karena tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota partai politik.

Ada lingkaran kekuasaan. partai politik sebagai pengusung Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum, dan peran mengusung calon legislatif, hingga terpilih menjadi anggota legislatif dan duduk di Senayan. Dengan kenyataan ini, “pimpinan partai politik” menjadi pihak yang potensial mengarahkan dan menentukan kebijakan kekuasaan negara yang dijalankan oleh Presiden, demikian juga dengan produk regulasi yang dihasilkan Parlemen.

 

Universalitas Ajaran Islam

Islam, agama Ilahiyah yang holistik. Segala sisi kehidupan manusia telah ada tuntunan dalam ajaran Islam, yang ditemukan dalam Alquran, Hadits Nabi maupun Ijtihad para Ulama. Memahami, mengamalkan dan menyebarkan kepada masyarakat menjadi tanggung-jawab setiap muslim sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi. Refleksi tuntunan beragama yang disarikan dari nilai-nilai ajaran Islam menjadi sikap-perilaku seorang muslim yang terinternalisasi menjadi ajaran agama Islam. Ajaran yang yang memberi arah dalam menjawab dinamika seputar Tuhan, manusia dan alam semesta.

Sisi kehidupan dari terkecil sampai yang terbesar telah diatur dalam Islam. Prinsip-prinsip ajaran Islam menjadi dasar pijak sikap-tingkah laku seorang muslim. Dari masuk toilet sampai pada kehidupan bernegara, ada tuntunannya. Sehingga kurang tepat, menganggap ciri seorang muslim sejati adalah mereka yang senantiasa memakai sorban dan baju gamis, dengan rutinitas ibadah yang lekat. Tetapi, malah minim perhatian pada kehidupan sosial-politik bernegara, bahkan mengharamkan politik dibahas di masjid. Kegiatan politik di masjid sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW biasa dilakukan, masjid merupakan pusat kegiatan umat Islam, termasuk dalam melakukan konsolidasi politik.

Membolehkan masjid sebagai sarana membahas seputar politik sepanjang dilakukan secara objektif, berperspektif kemanusiaan universal, dan tidak untuk kepentingan pragmatis dukung-mendukung peserta pemilu tertentu (kepentingan kekuasaan jangka pendek).

Agama akan tegak, ideologi Islam akan diterima secara masif atas dukungan kekuasaan negara. Agama menjadi pondasi, sementara kekuasaan negara menjadi pengawal. Negara tanpa agama akan hancur, sementara kekuasaan negara tanpa tuntunan agama menjadi sia-sia. Agama memerlukan agama agar dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama untuk mendapatkan bimbingan moral dan etika. Dengan kekuasaan politik, aspek kehidupan dapat diarahkan. Sebab kekuasaan negara memiliki sumber daya, fasilitas dan dukungan rakyat. Walaupun tidak jarang kekuasaan negara juga represif terhadap rakyatnya sendiri.

Menjadi pertanyaan, apa sistem pemerintahan ideal dalam konteks Indonesia untuk diterapkan, sistem yang bisa diterima oleh semua komponen anak bangsa ini. Apakah sistem pemerintahan yang dijalankan, sudah menjamin tegak ajaran Islam, atau malah perlu dipertimbangkan wacana penggantian sistem pemerintahan, dengan menawarkan konsep pemerintahan khilafah, seperti ditawarkan oleh HTI, atau malah menawarkan sistem kepemimpinan imamah seperti yang dijalankan oleh Republik Islam Iran. Atau malah menekankan, prinsip-prinsip substansi ajaran Islam harus terinternalisasi ke sistem pemerintahan, dengan tidak terbatas pada penamaan sektoral wilayah dan sejarah tertentu.

Pemerintahan khilafah

Khilafah secara etimologis, adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminologi, khilafah diartikan sebagai kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Sistem pemerintahan khilafah adalah sistem pemerintahan Islam global yang tidak dibatasi oleh teritorial dengan tujuan menerapkan hukum Allah-Tuhan yang diperuntukkan bagi manusia, sehingga khilafah Islam meliputi berbagai suku dan bangsa di dunia. Pada intinya khilafah merupakan kepemimpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan memikul misi “rahmat  bagi semesta alam” ke seluruh dunia.

Ketika Nabi Muhammad saw meninggal dunia, beliau tidak mewasiatkan penunjukkan pengganti kepemimpinan secara spesifik. Para sahabat kemudian berdiskusi yang kemudian menghasilkan keputusan untuk mengangkat Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad Saw dalam urusan kepemimpinan. Masa kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Umar bin Khatthab saat Ia ditunjuk langsung oleh Abu Bakar. Selanjutnya, kepemimpinan dipegang oleh Usman bin Affan yang terpilih melalui diskusi dewan khusus yang dibentuk oleh Umar bin Khatthab sebagai bagian dari proses pergantian kepemimpinan berikutnya. Kepemimpinan kemudian beralih ke Ali bin Abi Thalib yang dipilih secara aklamasi oleh para sahabat.

Ciri yang menonjol dari sistem pemerintah yang mereka jalankan terletak pada mekanisme musyawarah, bukan dengan sistem warisan pemerintah kepada keturunan. Tidak ada satupun dari keempat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaannya kepada sanak-kerabaanya. Musyawarah menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan.[1] Prinsip musyawarah mampu mendialogkan perbedaan-perbedaan pandangan dan sikap yang dibangun diatas toleransi, guna mencari alternatif terbaik.

Kepemimpinan Imamah

Imamah secara etimologi, yaitu kepemimpinan. Setiap orang yang menduduki kursi kepemimpinan suatu kelompok manusia disebut sebagai imam. Menurut terminologi, Imamah ialah kepemimpinan umum atas segenap umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat spiritual maupun duniawi. Dicantumkan kata “duniawi” untuk mempertegas betapa luasnya cakupan Imamah, bahwa pengaturan masalah-masalah dunia bagi umat Islam merupakan bagian dari agama Islam.

Mazhab Syi’ah meyakini bahwa persoalan Imamah ini merupakan urusan Allah. Dialah yang berhak memilih dan mengangkat hamba-hamba-Nya yang saleh untuk menduduki jabatan imamah. Peristiwa pengangkatan imam ini telah terjadi pada masa hidup Nabi, yaitu tatkala Allah Swt memilih dan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai imam dan khalifah muslimin sepeninggal beliau. Pemilihan dan pengangkatan Ali tersebut dilakukan oleh Rasul Muhammad SAW secara langsung dan di hadapan umat Islam. Beliau pun memilih dan menentukan 11 orang lainnya dari keturunan Ali sebagai imam kaum muslimin setelah wafatnya.

Konsep politik Syi’ah yang berpusat pada imam, dikontekstualisasi dalam bentuk wilayah al-faqih yang dalam periode modern dipraktekkan di Republik Islam Iran. Iran menjadi penjelmaan konsep ini setelah Revolusi Islam Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini. Ada lima lembaga penting yang ditafsir oleh Dewan Ahli dan disetujui oleh Imam Khomeini, yakni faqih, presiden, perdana menteri, parlemen dan dewan pelindung konstitusi. Kekuasaan terbesar dipegang oleh faqih yang dipilih oleh dewan ahli dengan syarat-syarat tertentu.[2]

 

Sistem Pemerintahan Indonesia

Sistem pemerintahan khilafah dan imamah merupakan sebagian dari khazanah kekayaan identitas dan sistem politik yang dipraktekkan oleh umat Islam dalam konteks negara bangsa (nation state). Masing-masing khazanah itu sampai saat ini terus berkembang melewati batas sekat wilayah negara. Tetapi selain sistem tersebut, sistem politik demokratis juga banyak dipraktekkan oleh sejumlah negara-negara muslim di dunia, atau setidaknya dipraktekkan di negara yang mayoritas berpenduduk agama Islam. Walaupun diakui sistem politik demokratis ini tidak menjamin negara akan mencapai kemakmuran, sebab banyak juga negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi berhasil mencapai tingkat kemakmuran.

Kembali ke topik utama, bahwa Khilafah dan Imamah menjadi bagian referensi sistem politik Islam untuk diterapkan di negara bangsa. Pilihan untuk menentukan sistem pemerintahan masing-masing menjadi kedaulatan pendiri negara dan kedaulatan rakyat. Islam tidak menggariskan secara tegas bentuk sistem pemerintahan, tetapi menekankan pada aspek subtansi, prinsip dan nilai yang harus ada dalam setiap sistem pemerintahan. Jadi sekali lagi, setiap bangsa bebas menentukan bentuk sistem pemerintahan yang ingin dianut dengan catatan dibangun di atas pondasi agama Islam yang kokoh.

Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar lebih memilih dan menjadikan demokrasi sebagai alternatif sistem politik pemerintahan. Pergulatan pemikiran, idealisme, toleransi dan orentasi dari para pendiri bangsa (the founding fathers) lantas menjatuhkan pilihan pada sistem demokrasi yang menempatkan rakyat berdaulat atas menempatkan wakil-wakilnya di pemerintahan melalui mekanisme pemilihan umum.

Demokrasi menempatkan kedaulatan tertinggi pada tangan rakyat, rakyat yang berdaulat memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di pemerintahan. Demokrasi dilaksanakan melalui mekanisme pemilihan umum untuk periode tertentu masa pemerintahan. Pemilu dijalankan oleh Lembaga independen yang memperlakukan semua peserta pemilu secara jujur dan adil serta mendorong partisipasi masyarakat secara aktif.

Pembukaan alinea IV UUD 1945 berbunyi, “bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Bentuk negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya ialah Republik. Selain bentuk pemerintahan republik dan bentuk negara kesatuan, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Pemerintahan adalah kekuasaan negara yang dilakukan oleh badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara.  

Fungsi Pemerintahan dalam suatu negara yang meminjam ajaran Montesqieu, dibedakan menjadi tiga fungsi, yakni Eksekutif sebagai kekuasaan untuk menjalankan undang undang, Legislatif sebagai kekuasaan untuk membentuk undang undang, dan Yudikatif sebagai kuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang undang. Dari sistem Pemerintahan Indonesia mulai tahun 1945 hingga saat ini, telah terjadi banyak perubahan. Perubahan yang menjadi sejarah perjalanan ketatanegaraan negara Indonesia. Perubahan itu antara lain, adanya pemilihan umum secara langsung serentak-nasional, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan, pembahasan undang-undang dan fungsi anggaran.

Walaupun diakui proses demokratisasi dalam kerangka penyelenggaraan kekuasaan negara masih menemui sejumlah masalah, hambatan, dan tantangan. Terutama akibat perbedaan pandangan ideologi, aliran dan kepercayaan yang tajam, kadang turut mempengaruhi stabilitas negara, yang pada satu kesempatan berujung pada terjadinya konflik sosial yang membawa malapetaka bagi kehidupan masyarakat, berupa kerugian harta-benda hingga hilangnya nyawa. Mengatasi hal semacam ini, maka semangat dan bangun toleransi antar umat beragama maupun dalam sesama umata beragama sangat penting digalakkan kembali, guna merawat dan merajuk persatuan dan kesatuan bangsa yang berbudaya dan religius.

 

Penutup

Islam merupakan agama yang sempurna dan lengkap (holistik) mengatur semua sisi sendi kehidupan manusia, meliputi tuntuan moral dan peribadatan, serta petunjuk-petunjuk mengenai segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik, ekonomi dan sosial. Islam meliputi aspek materi dan non material menyangkut Tuhan, manusia dan alam semesta.

Termasuk soal politik dan tatanan pemerintahan juga tidak lepas dari tuntunan ajaran Islam. Adapun aspek sejarah dan wilayah penerapan sistem pemerintahan Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan gemilang, suka-duka umat Islam. Dalam konteks ke-Indonesiaan, para pendiri bangsa dan rakyat Indonesia yang mayoritas adalah umat Islam berkewajiban menjalankan ajaran agama Islam secara penuh dan konsekwen, dengan memperhatikan lokalitas-kearifan setempat. Islam juga tidak menegaskan, bahwa sistem pemerintahan negara-bangsa harus berbentuk khilafah atau imamah. Penting untuk dilaksanakan dan menjiwai sistem pemerintahan manapun dalam konteks negara-bangsa adalah penerapan ajaran, prinsip dan norma ajaran Islam ke dalam regulasi dan praktek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu, Konstitusi dan UUD 1945 disusun oleh para pendiri bangsa dan dilanjutkan oleh pemerintah dan wakil-wakil rakyat, idealnya sebagai orentasi dan cita-cita menjalankan ajaran Islam sebagai ajaran rahmatan bagi semesta alam. Dalam kehidupan demokrasi dan pengejawantahan sistem pemilu dengan menempatkan rakyat berdaulat, jika ingin mempertahankan atau ingin melakukan perubahan atas Konstitusi dengan memasukkan nilai dan prinsip universalitas ajaran Islam ke dalam Konstitusi, maka kekuasaan atas pembentukan undang-undangan dalam negara harus diisi oleh orang-orang yang paham akan agama Islam dan bersedia berjuang dalam menyampaikan dan menyebarkan ajaran Islam, dan tidak terjebak pada heroisme sistem pemerintahan yang pernah diterapkan dalam catatan sejarah umat Islam.

Wallahu a’lam bi shawwab.


Catatan Kaki:

[1] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008, Fiqih Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 208.
[2] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Ibid, hlm. 213-214.


File pdf silahkan download di sini:
Menyoal Negara Islam

Tesis: Efektivitas Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah

335 Views

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan pengawasan pengelolaan keuangan daerah Propinsi Sulawesi Tengah dan mengetahui konsekwensi yuridis apabila ditemukan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah. Metode penelitan menggunakan penelitian hukum empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Sumber data berasal dari data primer dan data sekunder. Adapun populasi penelitian terdiri dari pihak pengawas internal dan pengawas ekternal pengelola keuangan daerah, serta pihak pengelola keuangan daerah Provinsi Sulawesi Tengah. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling, yang diartikan pengambilan sampel dengan jumlah dan tujuan tertentu. Adapun analisa data dengan cara pemeriksaan, penandaan dan penyusunan sistematika data untuk selanjutnya menarik kesimpulan melalui proses berfikir induktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1). Efektivitas pengawasan keuangan daerah ditentukan oleh hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana prasarana, dukungan masyarakat dan nilai budaya. Sehingga efektifnya pengawasan keuangan daerah Provinsi Sulawesi Tengah dapat memudahkan dalam menyusun, melaksanakan, melaporkan dan memeriksa kegiatan-kegiatan dalam APBD. 2). Konsekwensi yuridis apabila ditemukan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah dengan Pemberian Sanksi Administrasi, Perdata Pidana. Konsekwensi ini dilakukan untuk meminimalkan resiko terjadinya kebocoran anggaran dalam pengelolaan keuangan daerah.

Kata Kunci:  Efektivitas Pengawasan, Pengelolaan Keuangan Daerah.

Selengkapnya Tesis dapat didownload:

1. Sampul Tesis_

2. Tesis_Efektivitas Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah

3. Lampiran_

PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA

264 Views
Oleh : Ruslan Husen
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam pelembagaan kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Khusus dalam sistem kekuasaan kehakiman (yudikatif) di samping Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, telah muncul Mahkamah Konstitusi.
Kelahiran Mahkamah Konstitusi pada pasca-amandemen UUD 1945 telah membawa Indonesia ke arah demokrasi yang lebih baik. Hal ini karena adanya suatu lembaga tersendiri yang secara khusus menjaga martabat UUD 1945 sebagai norma tertinggi di Indonesia, sehingga setiap tindakan yang berkaitan dengan konstitusi dapat ditanggapi secara khusus pula di Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan 2 kewajiban konstitusional (constitutional obligation) sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah: (1) menguji undang-undang terhadap UUD, (2) memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (3) memutuskan sengketa hasil pemilihan umum, dan (4) memutuskan pembubaran partai politik.
Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi terdiri (1) Memeriksa apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7A UUD 1945). (2) Pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945 (Pasal 24C ayat (2) UUD 1945).
Berdasarkan hal tersebut, jalan hukum yang tersedia bagi warga negara yang hak-hak konstitusionalnya dilanggar atau dilalaikan oleh pejabat publik atau pemerintahan hanya dapat mempertahankan dan memperoleh perlindungan konstitusional melalui proses peradilan konstitusional di Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 24C UUD 1945.
Sehingga saat ini dapat diasumsikan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara hanya terjadi karena pembentuk undang-undang membuat undang-undang yang ternyata telah melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Padahal pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara bukan hanya dapat terjadi melalui undang-undang saja, tetapi bisa juga melalui peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.
Sepanjang sejarah Mahkamah Konstitusi, ada beberapa permohonan yang pada dasarnya berupa kerugian konstitusional individual atau cenderung bersifat individual atau diskriminasi kelompok misalnya kasus SKB tiga menteri terhadap Jamaah Ahmadiyah. Selain itu, ketika terdapat seseorang yang divonis melalui putusan Peninjauan Kembali, tetapi putusan tersebut salah dalam penerapan hukumnya dan jika terpidana itu memiliki novum (bukti-bukti baru), perkaranya bisa dipertanyakan atau diajukan kembali. Terkait dengan kasus tersebut, oleh mantan wakil ketua Mahkamah Konstitusi, Leica Marzuki, dipandang termasuk atau tergolong pengaduan konstitusional (Constitutional Complaint).
Akan tetapi, mekanisme untuk memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara yang berlaku saat ini sebagaimana dijelaskan sebelumnya hanya dapat dilakukan melalui pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Padahal berbagai persoalan tersebut tidak atau belum termasuk pada ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus constitusional complaint.
Oleh karena itu, penting untuk dilakukan suatu kajian terhadap mekanisme constitutional complaint melalui studi perbandingan dengan negara yang juga mengadopsi sistem atau prosedur hukum terhadap perlindungan hak konstitusional warga negara melalui peradilan konstitusi khususnya negara yang mengadopsi mekanisme constitusional complaint tersebut.
Disamping itu, kebutuhan akan kewenangan constitutional complaint perlu diberikan kepada Mahkamah Konstitusi yang dapat dipandang sebagai Ius Constituendum. Hal ini semata-mata ditempuh untuk memberikan perlindungan konstitusional secara penuh (fully constitutional protection). Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi harus mulai memikirkan kemungkinan terciptanya instrumen constitutional complaint dengan juga melihat studi perbandingan sistem sejenis yang sudah di terapkan negara lain.

 

MEWUJUDKAN PEMILU DAMAI

232 Views

Oleh : Ruslan Husen

Jika diamati secara seksama judul tulisan ini merupakan harapan dan cita-cita untuk konteks ke Indonesiaan, karena Pemilu kadang berlangsung tidak damai dan tertib, itulah antara idealiatas dengan realitas (harapan dengan kenyataan) kadang berbeda. Tapi, dengantidak mengurangi semangat, tulisan ini mencoba meramaikan pemikiran-diskursus demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu sebagai aktualisasi kedaulatan rakyat.

Dalam Pemilu, terdapat kegiatan kampanye untuk meyakinkan pemilih agar menggunakan haknya dengan cara tertentu dengan menawarkan visi, misi dan/atau citra diri dari peserta Pemilu. Kampanye konstestan Pemilu berlangsung gencarnya seakan tidak kenal lelah guna mencari simpatik publik secara luas, walaupun pengumuman resmi mulai kampanye dari KPU belum dilakukan. Kampanye disini boleh dikata melakukan curi star kampanye, yang kegiatan telah di bungkus sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat seperti, halal bihalal, pertandingan sepak bola, peresmian gedung, pelantikan pengurus, sumbangan pembangunan fasilitas umum dan berbagai macam agenda lainnya yang tujuannya adalah mencari dan mendapatkan simpati dari masyarakat.

Fedomena tersebut, jika di lihat dari sisi peserta kontestan Pemilu, sudah menjadi kebiasaan yang dianggap sesuatu yang normal dan semua konstenstan telah melakukannya, walaupun kampanye secara resmi belum diumumkan dan diperbolehkan oleh KPU, sehingga masing-masing konstestan saling berlomba-lomba mencari simpati publik. Pembiasaan politik ini-pun dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar untuk mencari simpati. Bahkan masyarakat pun dengan sangat antusias mengikuti kegiatan-kegiatan seperti ini, yang jelas mereka beranggapan ada keuntungan pragmatisyang di dapatkan.

Begitu pula ketika kampanye secara resmi boleh dilakukan, simak saja kejadiaan-kejadian yang terjadi dari akibat kampanye konstestan tersebut, seperti pelemparan sekretariat pemenangan konstestan tertentu, perkelahian massa pendukung sampai pembunuhan. Disini mulai berlaku hukum rimba dimana yang kuat akan memangsa yang lemah demi kepentingan dan kelompoknya. Semangat emosional tentang ras, agama, daerah, golongan, satu tempat kerja menjadi pertimbangan utama untuk melakukan dukungan, tanpa melihat isi konstestan memiliki kapasitas atau tidak untuk memimpin.

Peristiwa berdarah-darah dan pengrusakan fasilitas tertentu terus saja terjadi sampai pengumuman pemenang hasil Pemilu dilakukan secara resmi oleh KPU. Motif bisa macam-macam, ada karena dipicu kekalahan, ketidak-puasan atau kecurangan salah satu pihak konstestan Pemilu terhadap yang lain. Tentu yang lagi-lagi menjadi korban utama adalah masyarakat secara umum.

Persoalan yang paling mendasar kenapa tindak kekerasan dalam setiap Pemilu maupun dalam kehidupan sehari-hari terus saja terjadi adalah karena keahlian dalam berdemokrasi kita belum melembaga sampai ditingkatan paling bawah lapisan masyarakat (akar rumput). Pengetahuan, pemahaman dan perilaku demokrasi cenderung masih hanya dimiliki oleh sebagaian kecil warga saja. Meskipun dalam penyelenggaraan bernegara kita berdasar asas demokrasi, namun masih sebatas pada formalisme, yaitu dengan tersedianya institusi demokrasi politik seperti partai politik, lembaga legislatif, yudikatif, eksekutif dan lain-lain. Begitu pula demokrasi dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat belum melekat dengan baik dan masih mementingkan diri sendiri.

Persyaratan-persyaratan baik yang bersifat normatif maupun empiris harus terpenuhi dalam rangka mewujudkan Pemilu yang damai. Demokrasi yang hanya di pahami oleh elit politik cenderung akan mewujudkan anarki massa, sedangkan demokrasi yang hanya dipahami di kalangan bawah tidak akan mewujudkan ruang artikulasi luas di kalangan publik.

Ada empat persyaratan untuk mewujudkan harapan tentang Pemilu yang damai. Pertama, nilai-nilai demokrasi yang menjadi acuan utama. Harus kita akui bahwa paham demokrasi sesungguhnya tidak berasal dari Indonesia, demokrasi ini berasal dari pencerahan politik yang menjelma dalam revolusi Prancis yang kemudian menjadi nilai universal dan mengglobal. Dalam demokrasi pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat dihasilkan melalui mekanisme kebebasan berpendapat baik oleh individu, kelompok maupun partai. Pembentukan kekuasaan tersebut melalui pertandingan dan yang memperoleh suara yang terbanyak akan lahir sebagai pemenang dan mendapat legitimasi dai publik secara luas. Sementara yang kalah bersedia bekerja sama atau menjadi oposisi untuk mengentrol jalannya pemerintahan.

Kedua, kesadaran berdemokrasi yang ada disetiap benak individu. Nilai-nilai demokrasi sudah lama berkembang secara baik, tetapi kesadaran berdemokrasi perindividu belum merata di masyarakat, kalau-pun ada hanya dimiliki oleh sebagaian kecil saja. Ini dapat dilihat dari kampanye dan pengumuman hasil Pemilu yang cenderung menimbulkan ketidakpuasan salah satu pihak dan menempuh jalan anarkis sebagai akibat politik yang identik dengan pertumpahan darah. Kalau tindak kekerasan dan mematikan potensi lawan masih tetap ada, maka kesadaran berdemokrasi hanya kesadaran semu dan lahirlah secara terus-menerus yang namanya kemunafikan politik, mengaku demokratis tetapi otoriter.

Ketiga, perilaku obyektif individual dan sosial. Nilai-nilai dan wacana demokrasi sudah ada di masyarakat, tetapi belum dapat diaktualkan secara baik dan konkret. Demokrasi masih dipahami sebagai sarana untuk menyalurkan pendapat dan aspirasi, tetapi tidak pernah dipahami mendengar aspirasi dan pendapat lawan politik. Sehingga yang terjadi adalah melembaganya sifat egosime untuk menang tanpa perduli dengan keadaan pihak lawan. Kalau paradigma ini masih tetap ada, maka kebencian antar kelompok yang berbeda akan terus ada, dan pendidikan politik tidak akan berjalan dengan baik.

Keempat, keberadaan institusi-institusi sosial-politik yang mendorong demokrasi. Pendidikan politik untuk demokrasi harus tetap dilakukan lewat partai politik, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan maupun lembaga-lembaga formal lainnya, tetapi juga harus dipraktekkan oleh elit politik secara langsung. Sebab perilaku para elit politik akan cenderung ditiru oleh masyarakat luas terutama oleh pendukungnya. Di samping itu perilaku untuk siap kalah juga harus dimiliki, dengan bersedia bekerja sama atau melakukan oposisi terhadap pemerintahan yang akan berkuasa. Dari berbagai kasus yang telah terjadi utamanya di daerah, yang menang akan mengejek yang kalah, sehingga yang kalah akan berusaha semaksimal mungkin untuk juga bisa menang, maka tidak heran jika sering terjadi perkelahian massa pendukung.

Berbagai tindak kekerasan yang terjadi dalam Pemilu, mulai dari saat kampanye, pengumuman pemenang dan pasca pengumuman akan terus mewarnai hari-hari kita, apabila kemampuan dan keahlian berdemokrasi kita masih rendah. Untuk dapat mewujudkan Pemilu yang damai ke depan, maka setiap individu, kelompok dan institusi-institusi politik harus memiliki kesadaran dan keahlian politik yang handal dan terpuji. Kalau ini tidak ada, maka jangan bermimpi bahwa Pemilu yang dilaksanakan akan damai dan yang terjadi pasti akan berujung pada kerusakan dan kekacauan.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

299 Views

Oleh : Ruslan Husen (Universitas Tadulako, Palu)

A. Latar Belakang
Sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini telah mengalami perubahan yang sangat penting dan mendasar. Perubahan tersebut merupakan hasil amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang telah dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999 yang merupakan hasil amandemen pertama hingga 2002 (amandemen ke-IV). Perubahan tersebut dilatarbelakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan check and balances yang setara dan seimbang di antara cabang-cabang kekuasaan negara, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia.
Seiring bergulirnya waktu, rakyat Indonesia menghendaki adanya reformasi. Isu amandemen UUD 1945 yang dirasa penuh dengan kekurangan menjelma menjadi isu sentral dan sarat dengan krusialisme ditengah pengaruh era orde baru. Dengan dalih perlunya restrukturisasi perkembangan dan tuntutan perubahan dari masyarakat, maka upaya mewujudkan konstitusi yang dinamis dan responsif dengan perkembangan ketatanegaraan yang dipengaruhi dari luar maupun tuntutan dari dalam negeri maka UUD 1945 haruslah diubah.
Salah satu hasil amandemen UUD 1945 itu yang menjadi perubahan yang signifikan dalam wajah struktur ketatanegaraan Indonesia adalah pembentukan lembaga negara baru yang disebut Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara. Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah di jamin dalam konstitusi.

Selain itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan dalam UUD 1945. Hal ini disebabkan UUD 1945 merupakan konstitusi sederhana dan perlu adanya pengaturan lebih detail guna mengantisipasi problematika ketatanegaraan yang kian hari semakin rumit dan kompleks. Hal mana telah ditegaskan oleh Nurudin Hadi sebagai berikut :
“Amandemen Konstitusi Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar melalui perubahan ketiga yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada sidang tahunan MPR tahun 2001, akhirnya menyepakati pembentukan Mahkamah Konstitusi. Sebuah lembaga baru yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh kalangan pakar hukum tata negara, mengingat eksistensinya dipandang sangat urgen dalam membangun sistem ketatanegaraan Indonesia.”

Sebagaimana diketahui bahwasanya pemilihan umum merupakan salah satu instrumen terpenting dalam kehidupan negara demokratis, dengan melakukan pergantian kekuasaan dari pihak yang satu kepada pihak lainnya yang merupakan pemegang tongkat estafet dari mandat yang diberikan oleh rakyat. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi kepadanya sehingga pemilihan umum menjadi sangatlah penting dalam proses pembangunan yang berkesinambungan dengan kesejahteraan rakyat. Selain itu menurut Abdul Mukthie Fadjar, fungsi pemilihan umum juga berorientasi sebagai pranata terpenting bagi pemenuhan tiga prinsip pokok demokrasi dalam pemerintahan yang berbentuk Republik yaitu, kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan dan pergantian pemerintahan secara teratur.
Dilematis yang diketemukan dalam praktek ketatanegaraan pada proses pemilu sebelum amandemen ialah masih banyaknya sengketa yang tidak terselesaikan dengan baik disebabkan belum adanya lembaga otoritas yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk menjadi penengah dan pemutus penyelesaian pemilihan umum. Sehingga cara-cara penyelesaiannya dilaksanakan dengan cara politis. Sebab, jika penyesaian ketatanegaraan lebih diselesaikan dengan cara politik hal mana akan berdampak buruk terhadap mekanisme hubungan kelembagaan negara kedepannya.
Selain itu, perbedaan interpretatif (tafsiran) antara pihak eksekutif dengan legislatif turut menyumbangkan problematika yang sulit dipecahkan sampai dilakukannya amandemen UUD 1945. Oleh karena titik sentral pembuatan Undang-Undang yang menjadi jalan keluar biasanya sarat dengan kepentingan politik.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi diletakkan sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, Memutus pembubaran Partai Politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditegaskan kembali kewenangan Mahkamah Konstitusi disebutkan sebagai berikut :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Sejalan dengan amandemen UUD 1945, maka pemilihan umum Presiden diatur dalam Konstitusi UUD 1945 pada amandemen ketiga, tepatnya dalam pada pasal 22E ayat (1) sampai dengan ayat (6). Dimana pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung demi penegasan sistem Presidensial sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 hasil amandemen.
Hal tersebut kembali ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang menyatakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kemudian dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Kaitannya dengan perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada Pasal 201 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, disebutkan :
“Terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan keberatan hanya oleh Pasangan Calon kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU”

Selanjutnya dalam Pasal 201 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008, kaitannya dengan perselisihan hasil pemilihan umum tersebut:
“Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi”

Sebagaimana diketahui dalam Pasal 24C ayat (1) Mahkamah Konstitusi yang setiap putusan dalam sengketa konstitusional pada semua kewenangan yang diberikan kepadanya akan berimplikasi pada putusan yang bersifat final dengan kedudukan mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir. Dalam artian, bahwa putusan yang diucapkan oleh hakim konstitusi pada rapat pleno memperoleh kekuatan hukum tetap dengan persidangan yang terbuka untuk umum dapat mempunyai daya berlaku dan mengikat umum.
Dengan kata lain tidak akan terbuka kemungkinan untuk menempuh upaya hukum seperti layaknya pada putusan badan peradilan dalam lingkungan Mahkamah Agung, yang diberikan untuk hal tersebut apabila pihak yang memohonkan sengketanya diputus pada peradilan tingkat pertama dikalahkan ataupun tidak dikabulkannya apa yang dimohonkan untuk diputus.
Begitu pula pada proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang tidak membuka ruang bagi calon Presiden dan Wakil Presiden untuk menempuh upaya hukum setelah Putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan. Dengan demikian akan terjadi kepastian hukum yang tegas guna menciptakan rasa keamanan dan ketentraman dalam sistem demokrasi Indonesia. Sehingga dengan konteks demikian, bagi seseorang Calon Presiden/Wakil Presiden wajib mematuhi dan menerima hasil dari pemeriksaan Mahkamah Konstitusi yang diputus dalam sidang yang dihadiri oleh 9 Majelis Hakim Konstitusi atau sering disebut sebagai rapat pleno.
Sehingga proses hukum dalam Pasal 24C ayat (1) jo Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaaan Kehakiman jo Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi dalam frasa “final” dalam penamaan putusan Mahkamah Konstitusi seringkali dijadikan sebagai salah satu dari berbagai karakteristik Mahkamah Konstitusi yang merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Adanya perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada perhelatan pesta demokrasi pada tahun 2009 menguji tugas dari Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal dan penafsir konstitusi. Dalam perselisihan tersebut Pasangan JK-Wiranto dan Megawati-Prabowo mengajukan keberatan terhadap hasil rekapitulasi perolehan suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 yang telah ditetapkan KPU ke Mahkamah Konstitusi, masing-masing dengan perkara nomor 108/PHPU.B-VII/2009 dan 109/PHPU.B-VII/2009. Isi keberatan yang diajukan kedua pasangan antara lain sebagai berikut:
1. Kekacauan masalah penyusunan dan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT)
2. Regrouping dan/atau pengurangan jumlah TPS
3. Adanya kerjasama atau bantuan IFES
4. Adanya spanduk buatan KPU mengenai tata cara pencontrengan
5. Beredarnya formulir ilegal model “C-1 PPWP”
6. Adanya berbagai pelanggaran administratif maupun pidana
7. Adanya penambahan perolehan suara SBY-Boediono serta pengurangan suara Mega-Prabowo dan JK-Wiranto
KPU berikut KPUD seluruh Indonesia menjadi termohon dan Bawaslu serta pasangan SBY-Boediono menjadi pihak terkait. Sidang kedua perkara ini digabungkan oleh Mahkamah Konstitusi karena melihat adanya kesamaan pokok perkara. Persidangan terbuka dilaksanakan sebanyak 4 kali yaitu pada tanggal 4 Agustus 2009 (pemeriksaan perkara), 5 Agustus 2009 (mendengar keterangan termohon, pihak terkait, keterangan saksi, dan pembuktian), dan 6-7 Agustus 2009 (pembuktian). Pada tanggal 12 Agustus 2009, majelis hakim konstitusi membacakan putusannya, dimana dalam amar putusan menyatakan bahwa permohonan ditolak seluruhnya. Putusan ini diambil secara bulat oleh seluruh hakim konstitusi, tanpa dissenting opinion.
Dengan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi diuji tentang kredibilitas, kapasitas maupun indepedensi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang diciptakan untuk memutus sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden sebagai salah satu rezim pemilihan umum. Dari itulah Penulis tertarik untuk mengangkat Judul Skripsi “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang dapat dirumuskan masalah dalam penulisan ini adalah:
1. Apakah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2009 sudah sesuai dengan UUD 1945?
2. Bagaimana kekuatan memaksa keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat atas perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yang merupakan satu kesatuan dengan rumusan masalah adalah:
1. Untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2009 sudah sesuai atau tidak dengan UUD 1945.
2. Untuk mengetahui kekuatan memaksa keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat atas perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

D. Kegunaan Penelitian
1. Dari sisi akademis dapat memberikan sumbangsih bagi pengembangan ilmu hukum kedepannya khususnya dari segi teoritis agar dapat memberikan khasanah dalam ilmu hukum khususnya dalam melihat struktur ketatanegaraan dalam memutus perselisihan Pemilihan Presiden dan wakil presiden.
2. Untuk menambah wawasan penulis di bidang ilmu hukum khususnya Hukum Tata Negara.
3. Dari sisi pelaksanaan diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemegang kebijakan daerah khususnya kepada DPR dan Pemerintah untuk merumuskan kembali konsep yang sesuai dengan kondisi Negara Republik Indonesia.

E. Kerangka Teori
Perjalanan lahirnya peradilan sebagai sebuah kekuasaan yang mengimbangi kekuasaan lain dalam konsep pemisahan kekuasaan negara tidak terlepas dari konsep negara hukum. Hal ini menjadi sebuah tindakan perlindungan terhadap warga negara yang dilindungi secara konstitusionalitas dalam UUD 1945 bukan hanya mengatur tentang struktur lembaga negara saja akan tetapi yang paling utama adalah pengaturan tentang hak-hak asasi warga negara.
Secara tataran teoritis, pengertian yang mendasar dari “negara hukum” sebagaimana yang dikatakan Mochtar Kusumaatmaja adalah “kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang tunduk pada hukum”. Sedangkan menurut Muhammad Yamin :
“Indonesia ialah negara hukum (rechstaat, government of law) tempat keadilan tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintahan dan keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (machstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan dan melakukan sewenang-wenang.”

Konsep negara hukum tidak akan terlepas dari sistem konstitusi yang pada dasarnya akan berorientasi pada prinsip untuk membatasi kekuasaan. Kekuasaan tersebut tidak boleh diberikan pada satu orang/penguasa saja, hal mana akan terjadinya kecenderungan dengan potensial yang sangat besar untuk menyalahi ataupun menggunakan kekuasaannya tersebut demi kepentingan perseorangan, golongan maupun kelompoknya. Hal mana telah dijelaskan oleh Lord Acton “power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (semakin besar kekuasaan, akan semakin besar pula untuk disalahgunakan).
Lebih lanjut A. Hamid S. Attamimi mengemukakan, diabad sekarang ini tidak ada suatu negara pun yang menganggap sebagai negara modern tanpa menyebut dirinya sebagai negara hukum . Lebih lanjut Ismail Sunny menyebut pula bahwa suatu masyarakat disebut berada dibawah rule of law apabila telah memiliki syarat-syarat esensial tertentu, diantaranya adanya kondisi-kondisi minimum dari suatu sistem hukum dimana hak-hak asasi manusia dan human dignity dihormati.
Sebelum amandemen UUD 1945, tidak dapat diketemukan dalam batang tubuh UUD 1945 bahwasanya Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum. Penegasan tersebut hanyalah dapat diketemukan pada penjelasan UUD 1945 bahwasanya Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat) nanti setelah adanya amandemen UUD 1945 pada tahun 1999 hingga tahun 2002 telah ada bentuk penegasan oleh MPR sebagai otoritas untuk mengubah UUD bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu: Perlindungan hak asasi manusia, Pembagian kekuasaan, Pemerintahan berdasarkan undang-undang dan Peradilan tata usaha Negara. Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: Supremacy of Law, Equality before the law dan Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah Negara harus tunduk pada hokum, Pemerintah menghormati hak-hak individu dan Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Menurut konteks historikal bilamana melihat konstitusi sebagai wadah perjuangan rakyat dalam menentang absolutisme kekuasaan Raja maka konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunya fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan melawan golongan penguasa. Sejak itu setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi telah bergeser kedudukan dan perannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pamungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarkis dan oligarki.
Hampir dapat dikatakan konstitusi di semua negara tergambar keberadaan suatu pembagian kekuasaan yang sudah dikenal yaitu kekuasaan membuat aturan/undang-undang (legislatif), kekuasaan melaksanakan aturan/undang-undang (eksekutif/administratif) dan kekuasaan peradilan (yudikatif). Gagasan dari Montesquieu mengajarkan dalam suatu negara harus ada pemisahan kekuasaan antara satu dengan kekuasaan yang lain (Separation Of Power). Pada abad 18 John Locke dalam buku karangannya “Two Treaties Of Government” membela gagasan Montesquieu dalam bentuk yang lain, yaitu Kekuasaan perundang-undangan, Kekuasaan melaksanakan sesuatu hal (eksekutif) urusan dalam negeri yang mencakup pemerintahan dan peradilan, dan Kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir/unsur asing guna kepentingan negara atau warga negara, disebut sebagai kekuasaan negara “Federative power” sebagai gabungan dari berbagai orang-orang atau kelompok.
John Locke melihat nama federatif mungkin kurang tepat, yang ia pentingkan bukan nama tetapi isi kekuasaan yang olehnya dianggap berbeda sifatnya dari dua kekuasaan yang lain. Mengacu pada kalimat “Melaksanakan sesuatu hal urusan dalam negeri” kiranya Locke lebih tepat dibanding dengan Montesquieu. Urusan dalam negeri yaitu pemerintahan dan peradilan pada dasarnya adalah melaksanakan hukum atau aturan yang berlaku. Locke menyebutkan urusan pkerjaan pengadilan sebagai “pelaksanaan” undang-undang. Mengenai urusan pemerintah tidak hanya melaksanakan hukum yang berlaku, tetapi juga dalam keadaan tertentu (tak terduga) tidak termasuk dalam suatu peraturan/undang-undang. Pada sisi lain kelihatan Montesquieu lebih luas dalam memahami kata “melaksanakan”, artinya mencakup pelaksanaan hak-hak negara terhadap luar negeri yang disebutkan sebagai tindakan kekuasaan pemerintahan suatu negara.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, sejak reformasi hukum pada tahun 1998 dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat perubahan UUD 1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali, yakni tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Hasil perubahan UUD 1945 melahrkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan (control and balances). Kesetaraan dan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah negara demokrasi dan negara hukum.
Dari rumusan tersebut dapat dipahami bahwa saat ini konsep kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Keduanya berkedudukan sederajat atau setara sebagai lembaga negara yang independent dan hanya dibedakan dari segi fungsi dan wewenang. Mahakamah Konstitusi juga sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya karena telah terjadi pemaknaan ulang terhadap pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat dan bergesernya sistem kekuasaan yang berdasarkan pembagian kekuasaan (distribution of power) menjadi sistem yang berlandaskan pemisahan kekuasaan (separation of power).
Hal itu ditandai diletakkan pula sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat untuk presiden dan wakil presiden (eksekutif) dan Mahkamah Konstitusi sebagai sarana kontrol bagi cabang kekuasaan lainnya guna menciptakan check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pemilihan umum dalam konteks yang akan dibicarakan dalam tulisan ini ialah pemilihan umum sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 22E UUD 1945, yang diantaranya munguraikan tentang pelaksanaan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Disamping itu, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat tetap, nasional dan mandiri.
Kewenangan yang dimiliki oleh organ negara (institusi) pemerintahan atau lembaga negara dalam melakukan perbuatan nyata (riil) tersebut mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan yang dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar UUD 1945 atau ketentuan hukum tata negara. Pada kewenangan delegasi harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintah yang lain. Adapun mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti wewenang, tetapi pejabat yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain bertindak atas nama pemberi mandat.
Kaitannya dengan konsep atribusi, delegasi ataupun mandat JG. Brouwer berpendapat pada :
“Atribusi” kewenangan diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau “lembaga negara” oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya.
“Delegasi” adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institus) pemerintah atau “lembaga negara” kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya.
Pada “mandat” tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan pada organ lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil satu tindakan atas namanya.

Kewenangan harus dilandasi oleh suatu ketentuan hukum yang ada (konstitusi) sehingga kewenangan merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian pejabat dalam mengeluarkan putusan didukung oleh sumber kewenangan.

F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis untuk menelaah dalam masalah yang menjadi titik pembahasan dalam karya tulis ilmiah ini adalah tipe penelitian Normatif dengan menggunakan intrumen analisis interprestasi hukum yang komperherensif.
2. Pendekatan Penelitian
Penulis dalam memecahkan masalah menggunakan pola pendekatan penelitian peraturan perundang-undangan , yakni dengan menelaah semua aturan tertulis yang bersangkut paut dengan isu hukum yang di angkat pada penulisan ini. Dengan memadukannya pada pola pendekatan konseptual , yakni pola pendekatan penelitian dengan beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang akan dibahas ; dan
b. Bahan sekunder terdiri dari literatur, jurnal, makalah dan karya ilmiah lainnya yang akan digunakan sebagai bahan pustaka dalam pembahasan perumusan masalah
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Prosedur yang dilakukan dalam pengumpulan bahan hukum yakni bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan isu hukum atau permasalahan yang telah dirumuskan dan diklasifikasi menurut sumber untuk mendapatkan jalan keluar dari pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Catatan Kaki :
Nurudin Hadi, Wewenang Mahkamah Konstitusi (Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu), Prestasi Pustaka (Cet.I), Jakarta, 2007, Hal. 1
Abdul Muktie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Yogyakarta, 2006, Hlm. 89.
Jimly Assiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Press (Cetakan Ke III), Jakarta, 2006, Hlm. 3.
Risalah sidang perkara nomor 108/PHPU.B-VII/2009 dan 109/PHPU.B-VII/2009 Perihal Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2009. Mahkmah Konstitusi, Jakarta, 2009.
Mochtar Kusumaatja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan masa Yang Akan Datang, makalah, Jakarta, 1995, Hal. 1.
Muhammd Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Hal. 72.
A. Hamid S. Attamimi dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, Hal. 5
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta, 2000, Hal. 24
Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, 23 Maret 2004, hlm 1.
Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, 2005, Hal. 17-18
Montesquieu dalam Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni Bandung, 1987, hlm 77.
Mirza Nasution, Negara dan Konstitusi, Bahan Ajar Ilmu Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm 217
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 96.