Peningkatan Kualitas Demokrasi Melalui Penataan Partai Politik

650 Views

PENINGKATAN KUALITAS DEMOKRASI MELALUI PENATAAN PARTAI POLITIK
Oleh: Ruslan Husen

Kehidupan Demokrasi Indonesia sangat tergantung pada penataan Partai Politik (Parpol) saat ini. Dengan memiliki Parpol yang tertata baik, para pihak dan masyarakat tidak lagi berdebat terkait adanya tersangka korupsi atau mantan terpidana korupsi yang menjadi calon Kepala Daerah atau dicalonkan sebagai anggota DPR, DPR, dan DPRD. Parpol ideal, telah memiliki desain manajemen, pola rekrutmen, dan kaderisasi Parpol yang ketat dalam menyeleksi calon-calon yang diusulkan mengikuti kontestasi Pemilihan atau Pemilu. Parpol itu juga memiliki basis massa di masyarakat secara memadai dengan didukung oleh hubungan jaringan (networking) luas di berbagai Daerah.

Parpol dibentuk dengan tujuan sebagai sarana komunikasi dan sosialiasi politik. Kepentingan kelompok, golongan, dan kepentingan masyarakat secara luas, kemudian diperjuangkan melalui wakil-wakil yang duduk di lembaga legislatif, hingga lahir kebijakan Pemerintah berupa akses pelayanan publik berkualitas, peningkatan kualitas pembangunan Daerah, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, Parpol berfungsi untuk mendesiminasikan kebijakan Pemerintah kepada publik, agar diketahui, dilaksanakan, tumbuh rasa rasa memiliki dan sikap kolaborasi dalam mendukung kemajuan Bangsa dan Negara.

Parpol melakukan kegiatan berkesinambungan, penyambung aspirasi politik masyarakat, dan mengusulkan kebijakan publik. Kegiatan tersebut terus dilakukan, baik sebelum pelaksanaan pesta Demokrasi maupun telah selesai pelaksanaan Pemilihan atau Pemilu. Adapun rutinitas pergantian kepengurusan Parpol hendaknya tidak mengenyampingkan tugas dan fungsi Parpol tersebut.

Masalah Parpol

Pembentukan Parpol dimaksudkan sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi politik serta rekrutmen politik. Pada posisi ini Parpol hadir memberikan pendidikan politik kepada semua pihak, terutama bagi internal Parpol itu sendiri, kemudian kepada pihak masyarakat. Namun, pada banyak sisi fungsi ini belum berjalan dengan baik, bahkan Parpol belum menjalankan fungsinya. Lebih Nampak, orientasi pragmatis berupa kontestasi memperebutkan kekuasaan dengan menggunakan segala macam cara. Kadang mengkritik Pemerintah dengan sangat fulgar atau mendukung Pemerintah dengan sangat loyal, demikian pula dengan etika dan perilaku para Elit Parpol lebih banyak pada pencitraan belaka, hingga kepercayaan dan dukungan publik kepada Parpol terus menurun.

Menurut Arbi Sanit, Parpol gagal dalam memperbarui dan mendemokratisasikan diri sesuai dengan tuntutan reformasi. Kegagalan itu nampak dari, organisasi dan institusi, kepemimpinan, ideologi, dan taktik dan strategi.[1] Selanjutnya permasalahan kepartaian dalam hasil penelitian P2P-LIPI mengenai Pelembagaan Partai Politik Pasca Orde Baru, dapat dilihat pada enam aspek, yakni ideologi, kaderisasi, demokrasi internal partai, kohesivitas internal, otonomi keuangan, dan hubungan dengan konstituen.[2]

Membaca pemikiran dan hasil penelitian tersebut, Penulis menguraikan masalah Parpol terutama setelah era reformasi dalam fungsinya sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi politik serta kaderisasi calon pemimpin di lembaga eksekutif maupun di legislatif. Pertama, Institusi Parpol. Pendirian Parpol bukan perkara mudah, butuh banyak tenaga dan biaya serta kesamaan visi pendirinya. Apalagi saat Parpol tersebut berhasil lolos verifikasi dan ditetapkan sebagai peserta Pemilu oleh KPU. Dalam proses pendirian dan perkembangan Parpol, di internal Parpol akan muncul pemimpin kharismatik, tokoh sentral yang menentukan platfon dan kebijakan strategis Parpol.

Permasalahannya, saat institusi internal Parpol tidak membangun budaya demokratis di internalnya. Ini ditandai saat pengambilan keputusan atau pilihan politik yang sentralistik di pengurus pusat, ditentukan secara sepihak dan sebahagian kecil pengurus bahkan seorang pimpinan Partai saja. Pilihan-pilihan politik strategis diambil tanpa menyerap dan mendengar aspirasi dari jajaran pengurus lainnya serta kepentingan konstituen, yang tidak jarang menimbulkan dampak bumerang bahkan memicu konflik di internal Parpol.

Kedua, Ideologi Parpol. Ideologi Parpol di Indonesia pada garis besarnya menganut ideologi nasionalis (Pancasila), nasionalis religius, dan Islam. Walaupun jumlah Parpol itu cenderung banyak, namun garis ideologi yang dibangun adalah pada seputar tiga ideologi besar tadi. Ideologi Parpol menentukan ciri khas yang melekat pada diri Parpol terutama pengurus, dan menentukan sikap dan tindakan serta garis perjuangan partai.

Permasalahannya, pada internalisasi ideologi yang tidak holistik, hal ini dapat dilihat dari sikap dan tindakan anggota Parpol yang tidak konsisten, dan sering kali menjadikan ideologi untuk kepentingan kekuasaan belaka, kepentingan pribadi dan kelompok. Pada umumnya Parpol  terperangkap pada upaya memperjuangkan kekuasaan jabatan publik semata dari pada memperjuangkan kebijakan publik.

Ketiga, Sistem rekrutmen dan kaderisasi Parpol. Berbagai Parpol memiliki sistem rekrumen dan pembinaan kader yang berbeda. Pada umumnya, rekrutmen dan kaderisasi berangkat dari bawah, ditempa dan dibina hingga loyal, militan dan potensial menduduki jabatan strategis di internal Parpol atau diusung sebagai calon legislatif dan calon kepala daerah. Parpol harus di desain agar orang yang melalui proses kaderisasi di Parpol dapat memiliki komitmen dan fokus dalam membangun demokrasi. 

Permasalahannya, saat Parpol cenderung merekrut calon dengan cara instan dan pragmatis. Misalnya, beberapa anak pemimpin partai masuk dengan mudah menjadi calon anggota legislatif. Contoh lain, saat Parpol merekrut artis untuk dijadikan pendulang suara dengan kepopuleran dan kemampuan finansial yang artis miliki. Hal ini akan menimbulkan kekecewaan bagi para kader, terutama yang sudah lama mengabdi dan meniti karier di partai. Terhambat karier politiknya karena tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan petinggi pengurus Parpol atau kalah populer dengan kalangan artis.

Keempat, Etika kepemimpinan elit Parpol. Seorang pemimpin hendaknya mampu menjadi panutan bagi anggota atau bawahannya, mencegah dari penyimpangan moral dan hukum. Pemimpin memiliki kewajiban moral yang disebut dengan etika kepemimpinan. Etika kepemimpinan merupakan nilai-nilai yang harus dimiliki pemimpin agar kepemimpinannya dapat berjalan efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi atau institusi.

Permasalahan kepemimpinan Parpol, dapat dilihat dari orientasi sikap, tingkah laku, dan kemampuan elit partai. Pada posisi ini pemimpin Parpol terkadang mempertahankan dan membela kadernya, walaupun nyata-nyata bersalah. Atau mencari dan memberi argumentasi pembenar atas masalah yang dialami oleh kadernya. Penampakan ini terjadi saat elit Parpol tersandung masalah hukum atau terlibat skandal kasus etika-moral, yang dikhawatirkan menggerus kepercayaan publik terhadap eksistensi Parpol.  

Kelima, Otonomi keuangan Parpol. Sebagian besar Parpol masih bergantung pada bantuan Pemerintah untuk membiayai kegiatan dan operasional Parpol, belum ada kemandirian lewat sistem pendanaan Parpol. Sumber keuangan partai pada umumnya dapat berasal dari uang pangkal anggota, iuran bulanan anggota, dan infaq, namun belum berjalan efektif serta kurang mencukupi membiayai kebutuhan partai.

Munculnya kasus-kasus korupsi selama ini, tidak jarang terbukti melibatkan pimpinan Parpol sebagai pihak yang melakukan, membantu melakukan, atau turut serta dalam tindak pidana korupsi tersebut. Kadang terdapat hubungan benang merah, antara perilaku korupsi dengan tuntutan membiayai operasional Parpol. Parpol dalam melaksanakan rutinitas organisasi apalagi turun ke konstituen di wilayah, membutuhkan anggaran yang besar. Bantuan dari Pemerintah sangat minim dan pendanaan dari sumber internal juga tidak mencukupi, sementara kebutuhan aktifitas organisasi dan membangun brand positif Parpol membutuhkan anggaran yang besar. Sangat disayangkan jika perilaku pelanggaran hukum (korupsi) sebagai pilihannya.

Inisiasi penataan Parpol sebaiknya juga memperhatikan penataan sumber penerimaan dan pengeluaran dana Parpol. Jika perlu, kegiatan rutinitas Parpol dibebankan pada APBN, tapi dengan syarat dikelola sesuai dengan prinsip pengelolaan keuangan negara.

Keenam, Relasi Parpol dengan konstituen. Parpol yang ideal, ketika pada sisi massa-konstituen dapat terpelihara dan berkembang lewat kolaborasi politik. Parpol membutuhkan dukungan pemilih dalam bentuk hak suara saat voting day Pemilihan atau Pemilu, dan konstituen juga mengharap terjembataninya aspirasi politik untuk diperjuangkan agar menjadi kebijakan publik. Menurut Luky Sandra Amalia, kegiatan yang berkesinambungan sebagai kriteria Parpol yang ideal, baik untuk mengontrol kekuasaan, menyuarakan aspirasi politik, maupun dalam mengusulkan suatu kebijakan. Kegiatan tersebut tidak berhenti meskipun Pemilu berakhir dan tidak terpengaruh oleh pergantian kepengurusan partai.[3]

Saat ini, relasi Parpol dengan konstituen lebih bersifat hubungan temporer bahkan cenderung pragmatis. Para pemilih mempertimbangkan memilih calon atau Parpol, karena secara pragmatis ketika calon tersebut terpilih akan ikut berdampak baik terhadap eksistensinya. Lebih mempertimbangkan aspek kedirian, yang biasanya diikat dengan isu kesamaan, senasib, dan seperjuangan. Walhasil isu-isu aktual tentang suku, agama, ras, dan antar golongan masih efektif digunakan mendapatkan simpati dan dukungan publik.

Peningkatan Kualitas Demokrasi

Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik dari berbagai pilihan lainnya di dalam sistem politik dan ketatanegaraan.[4] Secara universal, demokrasi memiliki empat prinsip utama, yaitu kesetaraan rakyat, kebebasan individual, pemerintahan konstitusional, dan pengawasan rakyat. Keempat prinsip utama ini saling terkait, jika satu prinsip saja lemah, maka demokrasi akan timpang.[5]

Demokrasi memberikan kesempatan bagi rakyat untuk berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Rakyat diberi kesempatan mendirikan Parpol untuk berkontestasi secara jujur dan adil  memperebutkan kekuasaan  pemerintahan melalui mekanisme Pemilu. Demokrasi memberi peran yang besar bagi Parpol untuk menjadi penyelengara negara, melalui orang-orang pilihan yang terpilih lewat proses demokratisasi Pemilihan atau Pemilu yang diusung Parpol. Di tangan elit politik/pemimpin terpilih inilah kemajuan dan kesejahteraan rakyat dipertaruhkan.

Rakyat yang berkumpul, berserikat dan membentuk sebuah Parpol seharusnya terdiri dari orang-orang yang memiliki integritas dan kesadaran tinggi untuk mempertahankan eksistensi negara. Mereka memiliki jiwa nasionalisme dan kesadaran membangun bangsa dan negara. Negara yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi keadilan dan kemakmuran rakyat melalui pemerintahan berintegritas dan bertangggung jawab.

Jika manajemen dan pola perjuangan Parpol telah berintegritas dan kredibel dalam struktur parlemen, dan peran masyarakat (civil society) senantiasa kritis-konstruktif terhadap jalannya pemerintahan, maka akan menghasilkan regulasi serta kebijakan yang responsif bagi sebesar-besarnya keadilan dan kemakmuran rakyat.

Tantangan saat ini, perlu ada langkah selalu mengingatkan dan mengontrol Parpol untuk senantiasa berbenah, mereformasi organisasi agar kembali ke tujuan dan fungsi Parpol sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi politik serta rekrutmen politik. Tujuannya agar Parpol sebagai pilar demokrasi memahami dan menginternalisasikan tugas dan fungsinya dalam mendukung sistem bernegara. 

Pada sisi lain, pendidikan politik, dan pengorganisasian masyarakat sebagai entitas politik non-parlement sangat diperlukan sebagai strategi penyeimbang Parpol. Masyarakat yang cerdas dan berdaya harus dianggap mitra-kolaborasi. Bahkan, kekuatan warga negara yang kritis dapat diolah sebagai daya dorong bagi Parpol untuk makin penguatan institusi Parpol yang berintegritas. Pada sisi ini akan menghasilan, Parpol dan masyarakat dengan fungsinya masing-masing sebagai syarat peningkatan kualitas demokrasi. 


[1] Arbi Sanit dalam Luki Sandra Amalia (Editor), 2017, Partai dan Sistem Kepartaian Era Reformasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 13.
[2] Luki Sandra Amalia, ibid, hal. 67.
[3] Luky Sandra Amalia, 2016, Evaluasi Pemilu Legislatif 2014; Analisis Proses dan Hasil, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 17.
[4] Ni’matu Huda dan M. Imam Nasef, 2017, Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, Kencana, Jakarta, hlm. 13.
[5] Sri Budi Eko Wardani dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Samsu Rizal Panggabean (Penyunting), 2012, Memperbaiki Mutu Demokrasi Di Indonesia: Sebuah Perdebatan, Pusad, Jakarta, hal. 134.

Eksistensi Bawaslu dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

255 Views

EKSISTENSI BAWASLU DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PROSES PEMILU
Oleh: Ruslan Husen, SH, MH.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) hanya dapat diselesaikan oleh Bawaslu RI, kini sesuai Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), PSPP selain dapat diselesaikan oleh Bawaslu RI, juga dapat diselesaikan oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota.  

Ini terkait dengan eksistensi Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota baik dalam hal kelembagaan dan kewenangan pasca penetapan UU Pemilu. Secara kelembagaan, Bawaslu saat ini telah menjadi lembaga parmanen (Badan) baik dari tingkat Pusat sampai dengan Kabupaten/Kota. Salah satu kewenangan yang diberikan UU Pemilu adalah PSPP yang diajukan oleh peserta Pemilu sesuai dengan struktur tingkatan wilayah, sebagai akibat ditetapkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU yang dinilai merugikan hak konstitusionalnya.  

Sengketa Proses Pemilu

Pasal 466 UU Pemilu mendefinisikan, sengketa proses Pemilu sebagai sengketa yang terjadi antar-peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/KPU Kota. Bawaslu menerima permohonan PSPP sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU. Arti Keputusan yang dimaksud, dalam bentuk Surat Keputusan dan/atau Berita Acara.[1]

Dari ketentuan Pasal 466 di atas, secara eksplisit menyebut bahwa potensi sengketa proses Pemilu hanya 2 (dua) yakni: sengketa Peserta Pemilu antar Peserta Pemilu, dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu, khususnya KPU. Pasal ini tidak membuka peluang adanya mekanisme hukum sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu lainnya, seperti Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Sehingga subyek hukum dalam PSPP hanya ada dua pihak, yakni Peserta Pemilu dan KPU. Kedudukan KPU sebagai pihak yang mempertahankan keabsahan keputusan yang dibuatnya. Adapun objek PSPP yang diajukan ke Bawaslu meliputi Surat Keputusan dan/atau Berita Acara yang dikeluarkan oleh KPU sesuai dengan tingkatan struktur (Pusat, Provinsi, atau Kab/Kota) yang dianggap merugikan kepentingan hukum peserta Pemilu tertentu.

Adanya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU di tingkat Provinsi dapat dimohon diadili dan diputus oleh Peserta Pemilu ke Bawaslu Provinsi. Keputusan dan/atau Berita Acara KPU yang merugikan peserta Pemilu di tingkat Kabupaten/Kota, bisa digugat ke Bawaslu Kabupaten/Kota. Dengan syarat formil, masih dalam rentang waktu tiga hari kerja sejak dikeluarkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU tadi sebagai objek sengketa. Dan, Bawaslu wajib menyelesaikan sengketa proses Pemilu itu dalam kurun waktu 14 hari kerja.

Bawaslu melaksanakan PSPP, dengan mempertemukan pihak yang bersengketa untuk didengar kepentingan hukumnya, guna mencapai kesepakatan melalui mediasi atau musyawarah dan mufakat. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa, Bawaslu menyelesaikan sengketa proses Pemilu melalui sidang adjudikasi. Produk adjudikasi berupa putusan.

Putusan Bawaslu terhadap sengketa proses Pemilu bersifat final dan mengikat, kecuali untuk tiga hal, yakni berkaitan dengan verifikasi calon Partai Politik peserta Pemilu, penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, dan penetapan calon. Jika ternyata putusan Bawaslu masih tetap menguatkan penetapan dari KPU (berarti menolak permohonan Pemohon), maka Partai Politik yang bersangkutan dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

PTUN ada di tiap Provinsi.  Jadi, kalau ada peserta Pemilu tidak puas dengan Putusan Bawaslu, bisa mengajukan gugatan ke ke PTUN setempat. Di PTUN, objek gugatan bukanlah Putusan Bawaslu, melainkan keputusan KPU yang belum diputus oleh Bawaslu. Putusan Bawaslu berfungsi sebagai salah satu syarat diterimanya berkas gugatan, karena PTUN tidak berwenang menerima dan memeriksa perkara sengketa proses Pemilu, saat perkara belum pernah diputus dalam sidang Adjudikasi Bawaslu.

Eksistensi Bawaslu Menegakkan Keadilan Pemilu

Eksistensi Bawaslu searah dengan harapan dan optimis publik yang didasarkan atas pengalaman Bawaslu dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2014 lalu. Sebelumnya Bawaslu sebagai lembaga Pengawas Pemilu tidak memiliki wewenang memadai, terutama lembaga Pengawas Pemilu yang hadir secara fungsional menegakkan keadilan Pemilu. Produknya lebih ditempatkan sebagai rekomendasi yang tidak jarang KPU enggan melaksanakannya.

Inilah yang menginisiasi penguatan kelembagaan Bawaslu, baik dari struktur dan kewenangan hingga lahir Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut Fritz Edward Siregar, transformasi krusial yang dilakukan pembentuk UU terhadap Bawaslu adalah menambahkan fungsi penyelesaian sengketa proses Pemilu, adjudikasi. Penambahan wewenang ini membuat Bawaslu tidak lagi sekedar pemberi rekomendasi, melainkan sebagai eksekutor atau pemutus perkara. Berdasarkan UU Pemilu, fungsi adjudikasi yang dimiliki Bawaslu dapat dilaksanakan untuk menerima, memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu, dan sengketa proses Pemilu.[2]

Selanjutnya, kehadiran Bawaslu beserta jajarannya sesuai UU Pemilu, dengan kewenangan PSPP diharapkan dapat berkontribusi mewujudkan pelaksanaan tahapan Pemilu yang jujur dan adil. Pemilu yang proses dan hasilnya memperoleh legitimasi publik, hingga lahir pemimpin pilihan rakyat-pemilik kedaulatan. Menurut Firmansyah, fungsi Bawaslu sangat dibutuhkan sebagai lembaga negara di bawah UU yang bersifat tetap dan mempunyai kewenangan dalam mengawasi jalannya Pemilu,[3] menindak pelanggaran dan menyelesaikan sengketa proses Pemilu.

Keadilan Pemilu (electoral justice) sebagai sarana dan mekanisme untuk menjamin bahwa proses Pemilu tidak dirusak oleh penyimpangan dan kecurangan. Termasuk dalam mekanisme keadilan Pemilu adalah pencegahan terjadinya sengketa Pemilu melalui serangkaian kegiatan, tindak, dan rekomendasi kepada pihak terkait apakah itu KPU ataupun Peserta Pemilu. Yang dilanjutkan dengan pelaksanaan kewenangan PSPP, dengan mempertemukan para pihak yang bersengketa (mediasi dan/atau adjudikasi) sebagai akibat ditetapkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU.

Jika penegakkan hukum Pemilu diartikan sebagai sarana untuk memulihkan prinsip dan aturan hukum Pemilu yang dilanggar sehingga dapat mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan Pemilu, maka sejatinya keadilan Pemilu berkaitan dengan proses penegakan hukum Pemilu. Proses yang menjamin Pemilu yang jujur dan adil (free and fair election), dengan menjamin hak konstitusional semua pihak secara proporsional dan berkeadilan.

Pada aspek normatif penegakkan keadilan Pemilu, desain dan mekanisme PSPP yang diamanatkan UU Pemilu terdapat kombinasi penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dan korektif. Sifat alternatif PSPP tergambar melalui metode “Mediasi”, yang mempertemukan para pihak yang bersengketa dengan difasilitasi Mediator dari Bawaslu. Sedangkan PSPP secara korektif tergambar melalui metode “Adjudikasi”, berupa Bawaslu menerima, memeriksa, dan memutus sengketa yang diajukan oleh pihak peserta Pemilu yang merasa dirugikan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU.[4]

Kombinasi penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dan korektif ini, selain terdapat dalam UU Pemilu, dipertegas lagi dalam Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Bawaslu Nomor 27 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu.

Penambahan kewenangan Bawaslu dalam PSPP, terlihat adanya politik hukum pembentuk UU untuk memperkuat sisi eksekutorial dari fungsi-fungsi Bawaslu. Putusan Bawaslu yang sebelumnya hanya bersifat rekomendasi, kini menjadi putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial layaknya putusan Pengadilan. Hal mentransformasikan Bawaslu menjadi lembaga quasi peradilan yang putusannya bersifat final dan mengikat kecuali ditentukan lain dalam UU Pemilu.

Karakter Putusan Bawaslu

Putusan merupakan produk yang dikeluarkan oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi kewenangan menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa yang diajukan kepada lembaganya. Putusan diucapkan di muka persidangan dengan tujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak.

Kewenangan PSPP yang dimiliki oleh Bawaslu berdasarkan UU Pemilu dalam mengeluarkan putusan final and binding. Pasal 469 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses Pemilu yang berkaitan dengan:

a. verifikasi partai politik peserta pemilu;

b. penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota; dan

c. penetapan pasangan calon.

Putusan Bawaslu bersifat final dan mengikat dan diterapkan pada sengketa yang terjadi antar peserta Pemilu. Sedangkan, putusan Bawaslu yang tidak final dan mengikat diterapkan pada sengketa antara peserta Pemilu dengan KPU. Terhadap putusan Bawaslu tersebut, dapat dilakukan upaya hukum berupa mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh Peserta Pemilu.

Lahirnya kewenangan Bawaslu menetapkan putusan final and binding tentunya akan membuat Bawaslu menjelma sebagai lembaga quasi yudisial. Pintu masuk adanya kewenangan ini bermula dari proses adjudikasi yang diatur oleh UU Pemilu, tepatnya dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa Bawaslu menyelesaikan sengketa proses pemilu melalui adjudikasi. Putusan final and binding oleh Bawaslu dimaksudkan agar putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan (self executing).

Dari aspek kekuatan berlakunya putusan, dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, dan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, merupakan putusan yang masih terbuka jalan untuk dilakukan upaya hukum selanjutnya. Sedangkan putusan inkracht merupakan putusan yang tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum biasa untuk melawannya (banding dan kasasi). Dengan demikian, putusan yang bersifat final and binding merupakan putusan akhir yang inkracht dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi.

Menurut Adam Muhshi dan Fenny Tria Yunita,[5] Putusan Bawaslu terkait PSPP memiliki karakter yuridis selayaknya sebuah putusan Pengadilan meskipun bukan dikeluarkan oleh lembaga yudisial. Hal ini dapat diidentifikasi melalui beberapa aspek. Pertama, segi tujuan, putusan Bawaslu memiliki tujuan sama dengan tujuan dikeluarkannya putusan Peradilan, yakni bertujuan untuk mengakhiri sengketa para pihak. Para pihak yang merasa dirugikan dengan berlakunya objek sengketa, berusaha memulihkan haknya dengan mengajukan sengketa ke Pengadilan, untuk diadili sesuai dengan hukum dan keadilan.

Kedua, segi substansi, putusan Bawaslu memiliki substansi yang sama dengan substansi putusan Badan Peradilan. Substansi sebuah putusan akhir memuat kepala putusan, berupa irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, identitas para pihak, jawaban/kesimpulan para pihak, pertimbangan hukum, dan amar putusan. Amar putusan dapat berupa gugatan / permohonan ditolak, dikabulkan, tidak dapat diterima atau gugur. Dan, substansi putusan seperti itu juga nampak dari produk putusan Bawaslu yang mengadili PSPP.

Ketiga, sspek prosedural. Sebuah putusan dapat dikeluarkan setelah melalui proses pemeriksaan berkas perkara, dan melalui mekanisme persidangan yang mendengarkan dan mempertimbangkan kedudukan serta kepentingan hukum para pihak. UU Pemilu secara eksplisit menyatakan Bawaslu berwenang untuk melakukan proses adjudikasi dalam menyelesaikan sengketa proses Pemilu, jika mediasi yang difasilitasi Bawaslu tidak mencapai kesepakatan.

Sifat putusan Bawaslu final and binding ini yang justru membedakan dengan putusan Badan Peradilan lainnya. Putusan dari Badan Peradilan umumnya masih terbuka upaya hukum misalnya banding, kasasi dan peninjauan kembali. Namun, putusan Bawaslu justru melampaui putusan Badan Peradilan tersebut. Terhadap putusan Bawaslu tidak terbuka upaya hukum yang dapat dilakukan para pihak yang keberatan atas hasil putusan tersebut.

Memaknai final dan mengikat tidak dapat dipisahkan dalam konteks putusan. Secara harfiah, kata “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan “tahap terakhir dari rangkaian pemeriksaan,”[6] sedangkan kata “mengikat” diartikan sebagai mengeratkan dan menyatukan.[7] Sifat final and binding ternyata tidak hanya dimiliki oleh putusan MK, tetapi juga dimiliki oleh Badan-Badan lain yang menyelenggarakan fungsi tertentu. Beberapa putusan final and binding diantaranya putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP).

Konsekwensi atas putusan final dan mengikat yang dikeluarkan oleh Badan-Badan tersebut, dapat menghilangkan atau menciptakan keadaan hukum baru, dan tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan untuk melawan putusan tersebut, baik melalui upaya hukum banding, kasasi, maupun Peninjauan Kembali. Demikian pula dengan putusan Bawaslu yang bersifat final dan mengikat, kecuali ditentukan lain dalam UU Pemilu.

Penutup

Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) merupakan kewenangan Bawaslu dalam penegakkan keadilan Pemilu (electoral justice), bagi peserta Pemilu yang hak hukum dan konstitusinya dilanggar oleh pihak lain, baik dari peserta Pemilu lainnya maupun Penyelenggaraan Pemilu (KPU). PSPP hakikatnya bertujuan mewujudkan proses dan hasil Pemilu yang dapat diterima oleh semua pihak. Proses yang berlangsung secara jujur dan adil, serta hasil Pemilu yang melegitimasi hadirnya pemimpin sesuai dengan pilihan rakyat.

Catatan Kaki :


[1] Pasal 4 ayat (1) dan (2) Perbawaslu Nomo 18 tahun 2017 Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu.
[2] Fritz Edaward Siregar, 2018, Bawaslu Menuju Peradilan Pemilu, Themis Publishing, Jakarta, hlm. 52.
[3] Firmansyah dalam Ni’matul Huda dan M. Imam Nasef, 2017, Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, Kencana, Jakarta, hlm. 110.
[4] Rahmat Bagja, 2018, Membangun Bawaslu Sebagai Lembaga Pengawas Pemilu dan Penyelesaian Sengketa Pemilu Yang Profesional, Transparan dan Akuntabel, Makalah Konferensi HTN Ke-5, Batusangkar, hal. 12.
[5] Adam Muhshi dan Fenny Tria Yunita, 2018, Karakter Yuridis Putusan Badan Pengawas Pemilu Dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu, Call Paper Konferensi HTN Ke-5, Batusangkar, Sumatera Selatan.
[6] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, hal. 414.
[7] Ibid, hlm. 571.

Penyelesaian Sengketa Antar Peserta Pemilu Melalui Sengketa Cepat

248 Views

PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR PESERTA PEMILU MELALUI SENGKETA CEPAT
Oleh: Ruslan Husen, SH, MH.

Salah satu kewenangan Bawaslu pasca penetapan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), adalah Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP). Pelaksanaan PSPP beriringan dengan pelaksanaan kewenangan dalam pengawasan/pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu. Dalam perkembangan, PSPP dapat dianggap sebagai kewenangan residu dari pelaksanaan kewenangan pencegahan dan pelanggaran Pemilu. Artinya, pemulihan hak dari peserta Pemilu yang belum dapat diselesaikan lewat pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu, dapat diselesaikan lewat jalur PSPP asal memenuhi syarat dan ketentuan pengajuan permohonan sengketa.

Sebagai residu, PSPP yang diselesaikan oleh Bawaslu harus benar-benar tuntas, agar terwujud keadilan Pemilu. Keadilan yang tergambar lewat proses dan hasil Pemilu yang dapat diterima oleh semua pihak, melalui kerja-kerja Penyelenggara Pemilu secara jujur dan adil.

Sejarah panjang perjalanan kewenangan Bawaslu dalam PSPP berawal dari pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Telah disebutkan dalam Undang-Undang Pilkada, bahwa sengketa Pemilihan terjadi antar peserta Pemilihan, atau antara peserta Pemilihan dengan KPU, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU.[1] Lalu muncul pertanyaan, siapa yang dimaksud dengan peserta Pemilihan dan bagaimana legal standing sengketa antar peserta Pemilihan ?

Akibat tidak jelasnya, pengaturan sengketa antar peserta Pemilihan, memunculkan polemik. Seperti yang pernah terjadi dalam Pilkada di Kota Makassar, di mana salah satu peserta Pemilihan mengajukan permohonan sengketa atas penetapan KPU yang meloloskan calon peserta lain sebagai kompetitornya. UU Pilkada dan Peraturan Bawaslu telah menyebutkan objek sengketa Pemilihan adalah Keputusan dan/atau Berita Acara KPU, dengan dasar itu maka Bawaslu lantas menerima permohonan sengketa tersebut. Dengan posisi, salah satu peserta Pemilihan bersengketa dengan KPU sebagai akibat penetapan KPU yang menetapkan calon lain.

Terjadilah polemik, Bawaslu tidak punya alasan kuat menolak pengajuan permohonan sengketa tersebut. Walhasil permohonan diterima, diperiksa, dan diputus setelah melalui proses adjudikasi, dengan-tanpa pelibatan calon peserta yang bersangkutan sebagai pihak terkait.

Dalam hal ini, ada potensi antar peserta Pemilihan saling gugat, sehingga perlu penekanan bahwa syarat diterimanya permohonan sengketa antar calon Pemilihan, adalah kerugian langsung yang diderita sebagai akibat ditetapkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU. Jika menguraikan kerugian, ditetapkannya calon peserta Pemilihan yang lain sebagai kompetitor adalah tidak logis. Sehingga permohonan sengketa Pemilihan yang diajukan harus digugurkan karena tidak terpenuhinya syarat kerugian langsung yang diderita.

Inisiasi Sengketa Cepat

Perlu kajian dan analisis tepat, terkait dengan perbedaan objek dan kasus yang menjadi ranah sengketa Proses Pemilu, dan mana yang menjadi ranah pelanggaran administrasi Pemilu. Jangan sampai objek masalah merupakan pelanggaran administrasi Pemilu, namun diselesaikan melalui jalur sengketa Pemilu. Demikian pula sebaliknya.

Ketentuan PSPP senantiasa dinamis, yang dipicu oleh kontestasi dan kepentingan hukum dari masing-masing peserta Pemilu. Secara khusus fokus tulisan ini, khusus sengketa yang timbul antar peserta Pemilu sebagai akibat ditetapkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU yang merugikan kepentingannya, menjadi penting dipikirkan sebagai langkah strategis penjabaran lebih lanjut dari Pasal 466 UU Pemilu.

Dalam hal ini, desain sengketa antar peserta Pemilu dengan menggunakan sengketa cepat, kiranya perlu diinisiasi guna menjawab kebutuhan di lapangan. Mekanisme sengketa cepat ini menjadi alternatif PSPP yang dilaksanakan Pengawas Pemilu[2] dengan pertimbangan efektif dan efesiensi. Sengketa cepat dilakukan terhadap peristiwa hukum yang dialami oleh peserta Pemilu, bersifat mendesak dan sementara berlangsung di lapangan untuk diselesaikan pada hari yang sama dan di tempat kejadian.

Dalam proses sengketa cepat ini, Pengawas Pemilu pertama-tama mengarahkan pencapaian hasil pada  prinsip musyawarah mufakat. Namun, apabila tidak terjadi kesepakatan pada musyawarah mufakat, proses sengketa dilanjutkan dan diputus oleh Pengawas Pemilu atas nama Bawaslu Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan kepentingan hukum para pihak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan penyelesaian sengketa antar peserta Pemilu dilaksanakan oleh Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa atas nama Bawaslu Kabupaten/Kota. Dalam hal ini kewenangan sengketa cepat tetap menjadi kewenangan Bawaslu Kabupaten/Kota, yang selanjutnya dimandatkan kepada Pengawas Pemilu yang berada dalam struktur dibawahnya, yakni Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa.

Bawaslu Kabupaten/Kota wajib melakukan pengawasan dan pendampingan pada setiap proses penyelesaian sengketa antar peserta yang dilaksanakan oleh Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa. Tetap penanggungjawab utama ada di Bawaslu sebagai pemilik wewenang.

Desain Sengketa Cepat

Inisiasi sengketa cepat merupakan kebutuhan Pengawas Pemilu di lapangan dalam melaksanakan kewenangan penyelesaian sengketa. Permasalahan sengketa antar peserta Pemilu tidak menutup kemungkinan, dapat terjadi. Olehnya, inisiasi penyelesaiannya harus dengan koridor hukum yang tepat. Berikut beberapa inisiasi norma/ketentuan dalam mendesain sengketa cepat ini.

Pertama, Subjek para pihak. Subjek pemohon atau termohon adalah Partai Politik (Parpol), calon anggota DPD, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Para pihak PSPP acara cepat tersebut dapat menunjuk kuasa hukum untuk membela kepentingan hukum yang bersangkutan. Para pihak dalam sengketa antar peserta merupakan peserta Pemilu yang sejajar sesuai tingkatan wilayah.

Dalam sengketa antar peserta Pemilu yang berasal dari Parpol, pemohon PSPP adalah Parpol peserta Pemilu,[3] bukan calon anggota DPR, dan DPRD. Dalam pengajuan permohonan sengketa itu, diajukan oleh pengurus Parpol dalam hal ini ditanda-tangani Ketua dan Sekretaris berdasarkan tingkatan kepengurusan.[4]

Di sini terjadi dilema, antara calon anggota legislatif dan/atau Parpol yang mengajukan permohonan PSPP. Jika membuka ruang bagi subjek pemohon/termohon dari calon anggota legislatif, ini akan membuka pintu yang berpotensi banjir permohonan sengketa proses di Bawaslu. Apalagi kewenangan Bawaslu bukan hanya PSPP, kewenangan pengawasan dan penindakan pelanggaran juga membutuhkan tenaga ekstra melaksanakannya. Mahkamah Konstitusi (MK) saja menentukan syarat pengajuan sengketa Pilkada harus memenuhi selisih 2 sampai 0,5 persen dari jumlah suara sah Pilkada. Dampak syarat itu, menjadikan banyak sengketa Pilkada yang diajukan tidak dapat diperiksa pokok perkarannya oleh MK. Ini juga kiranya menjadi bahan pertimbangan UU Pemilu dalam menutup celah calon anggota legislatif dapat mengajukan PSPP, selain dari pintu Parpol.

Sementara di sisi lain, calon anggota legislatif yang dicurangi apalagi di tahapan pungut hitung, tentu terkorbankan kepentingan dan haknya, atau terdapat keadaan di mana kehadiran Pimpinan Parpol ke wilayah terpencil sangat sulit. Sementara pengajuan permohonan PSPP harus melalui Parpol. Di sinilah urgensinya, permohonan dapat diajukan oleh calon anggota legislatif yang dirugikan atas penetapan KPU, yang terpisah dari dikotomi pengajuan PSPP atas nama Partpol. Dengan menekankan pada perlindungan dan jaminan keadilan bagi calon anggota legislatif yang dicurangi dan menuntut pemulihan hak melalui proses PSPP.

Tinggal ditimbang dari dua opsi tersebut, mana yang lebih efektif dan efesien dengan pertimbangan utama legal standing pengajuan sengketa sebagaimana disebutkan dalam UU Pemilu. Dan, terpenting hak konstitusional dan kepentingan para pihak dapat terjamin melalui proses Pemilu yang jujur dan adil.

Adapun prinsipal dalam sengketa proses Pemilu yang melibatkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, terdiri atas prinsipal sendiri dan Badan pemenangan daerah/tim kampanye/tim pelaksana kampanye yang telah terdaftar di KPU. Prinsipal tersebut, pada proses sengketa dapat menunjuk kuasa hukum untuk membela kepentingannya.

Selanjutnya, dasar sengketa cepat antar peserta Pemilu sama dengan sengketa biasa, dengan objek sengketa berupa Keputusan dan/atau Berita Acara KPU yang dianggap merugikan salah satu pihak peserta Pemilu. Dalam proses sengketa, maka KPU harus diposisikan sebagai lembaga pemberi keterangan, untuk selanjutnya merubah atau tidak merubah penetapan KPU sebagai hasil dari sengketa cepat.

Kedua, Objek Sengketa. Objek sengketa diawali dengan dikeluarkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU. Objek sengketa tersebut bersifat konkrit, individual dan final, dan selanjutnya mengakibatkan kerugian langsung dari peserta Pemilu sebagai akibat :

a. perbedaan penafsiran atau ketidakjelasan tertentu mengenai suatu masalah kegiatan dan/atau peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan; dan/atau
b. Surat Keputusan dan/atau Berita Acara yang dikeluarkan KPU yang bersifat final, individual, dan konkrit.

Contoh kasus sengketa antar peserta Pemilu sebagai akibat dikeluarkan Keputusan dan/atau Berita Acara KPU, misalnya sengketa zona tempat dan waktu kampanye rapat umum. KPU menetapkan waktu pelaksanaan masing-masing kampanye rapat umum dari peserta Pemilu. Namun di hari pelaksanaan, ternyata ada kondisi yang tidak ideal, misalnya kampanye terkendala faktor cuaca (misalnya hujan). Hingga peserta Pemilu tersebut tidak dapat melaksanakan kampanye, dan ingin menggeser di hari berikutnya. Padahal di hari yang dituju, ada peserta Pemilu lain juga yang akan kampanye berdasar keputusan KPU.

Pada taraf inilah sengketa cepat ini dibutuhkan dengan difasilitasi Pengawas Pemilu. Sebab jika tidak diselesaikan dengan baik dapat memicu terjadi konflik. Masalah aktual itu dapat saja terjadi, hingga Pengawas Pemilu perlu hadir sebagai solusi konflik.

Ketiga, Mekanisme Penanganan. Sengketa cepat dapat diajukan oleh peserta  Pemilu, atau temuan Pengawas Pemilu di tempat kejadian. Pengajuan permohonan diajukan oleh peserta Pemilu kepada Pengawas Pemilu baik secara tertulis maupun lisan. Untuk diselesaikan pada hari yang sama atau paling lama 3 hari kerja, sejak diterima/diregisternya permohonan sengketa tadi.

Penyelesaian sengketa dilakukan melalui musyawarah cepat yang  dipimpin oleh Pengawas Pemilu melalui :

a.  memeriksa identitas para pihak yang bersengketa;
b. memeriksa permasalahan yang disengketakan;
c. menanyakan keinginan dari para pihak yang bersengketa;
d. meminta keterangan dari saksi;
e. memeriksa bukti atau meminta keterangan dari Lembaga Pemberi Keterangan (KPU)
f.   memeriksa bukti; dan
g. menawarkan kesepakatan kepada para pihak yang bersengketa.

Dalam hal musyawarah mencapai kesepakatan, Pengawas Pemilu menuangkan kesepakatan dalam berita acara kesepakatan musyawarah PSPP, dengan prinsip kesepakatan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Namun, saat sengketa Pemilu tersebut tidak mencapai kesepakatan, Panwaslu Kecamatan membuat rekomendasi kepada Bawaslu Kabupaten/Kota untuk membuat putusan. Selanjutnya Bawaslu membuat putusan. Putusan mengenai PSPP tersebut dibacakan secara terbuka dihadapan para pihak yang bersengketa. Putusan Bawaslu yang dihasilkan bersifat final dan mengikat.

Selanjutnya, salinan putusan disampaikan oleh Pengawas Pemilu kepada para pihak yang bersengketa, dan kepada KPU. Sekretariat Bawaslu mengumumkan putusan PSPP di Kantor/Sekretariat setempat.

Penutup

Sengketa cepat merupakan langkah progresif yang perlu diinisiasi Bawaslu. Sebab, jika memakai mekanisme sengketa biasa, Bawaslu akan menggunakan waktu dan tenaga yang besar. Sementara pengawasan dan penindakan pelanggaran juga tetap harus dilaksanakan. Sengketa cepat bisa menjadi solusi progresif bagi Bawaslu dalam menegakkan keadilan Pemilu.

Intrumen hukum mewujudkan inisiasi itu melalui perubahan Peraturan Bawaslu tentang Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu. Ini dilakukan jika proses perubahan itu dapat berlangsung secara cepat, mengingat pelaksanaan Pemilu tahun 2019 semakin dekat. Namun, jika itu membutuhkan waktu lama, maka alternatifnya adalah Bawaslu membuat “Surat Edaran” sebagai dasar Pengawas Pemilu ad hoc melaksanakan kewenangan Bawaslu tersebut.

Catatan Kaki :


[1] Pasal 3 Peraturan Bawaslu Nomor 14 tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
[2] Pengawas Pemilihan adalah Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS.
[3] Peraturan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Bawaslu Nomor 18 tahun 2017 tentang Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu, sebagaimana diubah terakhir kali dengan Peraturan Bawaslu Nomor 27 tahun 2018.
[4] Lihat Pasal 7A Peraturan Bawaslu Nomor 18 tahun 2018.

Diskualifikasi Calon Sebagai Sanksi Politik Uang

267 Views

DISKUALIFIKASI CALON SEBAGAI SANKSI POLITIK UANG
Oleh: Ruslan Husen, SH, MH.

Politik Uang (money politic) ibarat benalu atau racun dalam kehidupan berdemokrasi. Saat suara rakyat pemilik kedaulatan menentukan lahirnya pemimpin berkualitas dan berintegritas, harus pupus oleh dampak politik uang. Akibat politik uang, rasionalitas pemilih menjadi hilang, berganti dengan sikap pragmatis, siapa yang memberi uang, barang atau materi lainnya itulah yang akan dipilih. Tidak ada lagi pertimbangan rasionalitas, memilih pemimpin terbaik karena memiliki kapasitas, memiliki integritas dan spiritualitas/moral yang terpuji.

Politik uang diartikan sebagai semua tindakan yang disengaja oleh seseorang atau kelompok orang dengan memberi atau menjanjikan uang, barang atau materi lainnya kepada pemilih supaya menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.

Sanksi Pidana dan Sanksi Administrasi

Desain penegakan hukum Pemilu, juga menekankan langkah-langkah strategis mencegah dan menindak praktek politik uang. Pelibatan masyarakat dan kegiatan-kegiatan pencegahan dari Penyelenggara Pemilu juga senantiasa digalakkan untuk menekan pelanggaran Pemilu ini. Demikian pula, dalam penindakan pelanggaran Pemilu, pelaku politik uang dapat dijerat dengan sanksi pidana berupa penjara dan denda.

Selain sanksi pidana, sanksi administrasi juga dapat diberikan kepada pelaku praktek politik uang ini. Sanksi administrasi atas praktek politik uang, perbuatan menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih yang terjadi secara tersruktur, sistematis, dan masif, dalam sidang pelanggaran administrasi Pemilu, Bawaslu dapat menjatuhkan Putusan “diskualifikasi” yakni merekomendasikan kepada KPU untuk membatalkan terlapor sebagai calon anggota legislatif, atau Pasangan Calon.

Dalam sidang pelanggaran administrasi ini, harus dibuktikan pelanggaran politik uang terjadi secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Unsur TSM harus dibuktikan secara komulatif, tidak terpenuhi atau terbukti salah satu unsur, maka pelaku politik uang tidak bisa dijerat dengan sanksi diskualifikasi. Unsur terstruktur terkait dengan kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun Penyelenggara Pemilu secara kolektif atau secara bersama-sama. Unsur sistematis artinya pelanggaran telah direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Adapun masif merupakan dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilu bukan hanya sebagian-sebagian, pelanggaran terjadi di lebih 50% jumlah Kabupaten/kota, jumlah kecamatan, atau jumlah desa/kelurahan dalam daerah pemilihan.

Diskualifikasi Calon Atas Pelanggaran Politik Uang

Telah disebutkan dalam UU Pemilu tentang larangan-larangan dan ancaman sanksi atas pelanggaran Pemilu, agar menjadi tanda peringatan para pihak baik peserta Pemilu, masyarakat, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu. Ketentuan-ketentuan tersebut menjadi bagian dari upaya melahirkan proses Pemilu yang berlangsung secara jujur dan adil, dan hasil Pemilu dapat diterima oleh semua pihak, agar lahir pemimpin berkualitas dan berintegritas sesuai dengan pilihan rakyat.

Ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf j UU Pemilu menyebutkan “Pelaksana, Peserta dan tim Kampanye Pemilu dilarang: menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu.” Inilah norma larangan akan praktek politik uang dalam Undang-Undang Pemilu, yang diancam dengan sanksi pidana. Norma larangan ini selanjutnya diturunkan ke dalam peraturan yang lebih teknis, baik dalam Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu.

Lalu, apa sanksi jika melanggar ketentuan larangan politik uang tersebut? Sanksi tentu berdasarkan putusan Pengadilan yang menerima, memeriksa, mengadili kasus praktek politik uang ini. Dasar putusan sanksi berdasarkan ancaman pidana dengan penjara dan denda, yang disebutkan dalam Pasal 521 UU Pemilu, yang pada garis besarnya menyebutkan bahwa “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan Kampanye Pemilu tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.OOO.OOO,0O (dua puluh empat juta rupiah).”

Ancaman sanksi dalam ketentuan pidana ini bersifat komulatif, ditandai diksi “dan”. Berarti terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan akan dikenai sanksi pidana penjara dan denda secara sekaligus (komulatif). Walaupun dalam praktek putusan Pengadilan selama ini, Hakim belum pernah menjatuhkan pidana maksimal sesuai muatan ketentuan pidana tersebut. Yang ada dalam praktek selama ini, putusan pidana penjara tidak perlu dijalani, kecuali kalau di kemudian ada perintah lain terdapat pada Putusan Hakim, karena Terdakwa melakukan tindak pidana sebelum waktu masa percobaan berakhir.

Bagaimana-pun bentuk sanksi atas putusan Pengadilan, jika pada intinya Terdakwa telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan lewat putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Lama masa hukuman dan besaran denda yang diputus Hakim adalah relatif, tetapi atas pembuktian di persidangan bahwa telah terbukti melakukan pelanggaran pidana Pemilu, sehingga dijatuhi sanksi hukuman penjara dan denda.

Penjatuhan sanksi tersebut, ternyata tidak hanya selesai pada pidana saja. Bagi peserta Pemilu yakni calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang berdasarkan putusan Pengadilan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan praktek politik uang, dilanjutkan dengan sanksi administratif yang dijatuhkan oleh KPU. KPU menindaklanjuti putusan Pengadilan tersebut dengan memberikan sanksi administrasi berupa “diskualifikasi”. Membatalkan penetapan dalam daftar calon tetap anggota legislatif, atau membatalkan penetapan sebagai calon terpilih jika perhitungan suara telah selesai dilakukan.

Secara garis besar tindaklanjut KPU atas putusan Pengadilan dengan memberikan sanksi administrasi diskualifikasi, disebutkan dalam ketentuan Pasal 285 yakni “Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 dan Pasal 284 yang dikenai kepada pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk mengambil tindakan berupa :

a. pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari daftar calon tetap; atau
b. pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagai calon terpilih.”

Ketentuan Pasal 285 di atas saat Terdakwa masih berstatus sebagai calon tetap anggota legislatif. Lalu bagaimana jika sudah selesai tahapan pemungutan dan perhitungan serta  penetapan calon terpilih? Sesuai dengan ketentuan UU Pemilu, status calon anggota legislatif yang melakukan praktek politik uang berdasarkan putusan Pengadilan, dinyatakan batal demi hukum. Konsekuensinya adalah hasil perolehan suara atas nama calon anggota legislatif tersebut, dinyatakan tidak pernah ada. Sehingga, apabila Ia mendapatkan suara terbanyak saat rekapitulasi dan perhitungan suara Pemilu, dilakukan pergantian calon anggota legislatif terpilih, yakni yang memperoleh suara terbanyak berikutnya.

Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 426 ayat (1) huruf d UU Pemilu menyebutkan “Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan : terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Jika calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota telah ditetapkan dengan Keputusan KPU, maka Keputusan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Selanjutnya yang ditetapkan sebagai calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak berikutnya.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu sebagai berikut, “Calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota. dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya.”

Jika dilihat sanksi pidana Pemilu yang dijatuhkan oleh Pengadilan adalah relatif ringan, apalagi selama ini Hakim hanya menjatuhkan pidana percobaan. Ternyata yang paling berat adalah sanksi administrasi berupa diskualifikasi calon tetap ataupun calon terpilih, atas konsekuensi terbuktinya praktek politik uang lewat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Kiranya, diskualifikasi calon tetap ataupun calon terpilih adalah tepat, sebagai konsekuensi praktek politik uang. Apalagi di tengah ancaman dan bahaya politik uang yang senantiasa mengintai dan mengancam pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Tinggal selanjutnya adalah, memperkuat stakeholders Pemilu untuk melakukan pencegahan politik uang. Sekaligus melakukan penindakan, jika pencegahan tidak lagi efektif dan praktek politik uang terus terjadi. Ini untuk memberi efek jera kepada pelaku, sekaligus memberi tanda peringatan kepada yang lain, yang berniat mencoba melanggar.

Penguatan Kelembagaan Pengawas Pemilu

623 Views

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGAWAS PEMILU
Oleh: Ruslan Husen, SH, MH.

Bawaslu sebagai lembaga Penyelenggara Pemilu yang mengawasi penyelenggaraan tahapan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bawaslu bersama KPU dan DKPP telah ditetapkan sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Bawaslu bertugas dan berwenang melakukan pengawasan, penindakan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa proses Pemilu.

Kelembagaan Bawaslu terdiri dua unsur pendukung pelaksanaan tugas dan kewenangan. Pertama, Individu yang memiliki kemampuan pengawasan Penyelenggaraan Pemilu, disebut dengan Komisioner. Komisioner terpilih ditetapkan setelah melalui proses seleksi administrasi, tes tulis (CAT), tes kesehatan, tes psikologi, wawancara, dan uji kepatutan dan kelayakan. Kedua, unsur sekretariat sebagai organ pendukung yang dipimpin oleh Kepala Sekretariat dengan membawahi sub-sub bagian sesuai bidangnya. Unsur sekretariat bertugas memberikan dukungan administrasi dan teknis operasional pengawasan Pemilu. Kesekretariatan harus melakukan fungsi koordinasi pelaksanaan tugas unit organisasi, pelaksanaan perencanaan, pengawasan internal, administrasi kepegawaian dan administrasi keuangan, dan kehumasan serta dukungan lainnya.

Pada tataran manajemen dan pengelolaan organisasi, kerja-kerja kelembagaan Bawaslu dibagi habis ke dalam tugas dan fungsi pokok Divisi, Bagian dan Unit kerja. Pembagian kerja ini secara hierarki membentuk piramida, semakin ke atas struktur Sumber Daya Manusia (SDM) yang digunakan semakin sedikit, atau sebaliknya semakin ke bawah struktur SDM yang digunakan semakin banyak. Pelaksana fungsi kelembagaan tertinggi secara hierarki dipegang top managerial dan diisi oleh Komisioner atau Koordinator. Dari Pimpinan teratas membagi habis pelaksanaan tugas dan fungsi pokok pekerjaan kepada jajaran yang berada dalam kendalinya, hingga terus ke bawah. Semakin ke struktur terbawah, jumlah SDM yang membantu dan bekerja semakin banyak.

Desain struktur kelembagaan Pengawas Pemilu bersifat hierarki yang terdiri dari Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kota/Kabupaten. Bawaslu memiliki jajaran yang bersifat ad hoc yakni Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Panwaslu Luar Negeri. Melangkapi struktur kelembagaan Bawaslu yang mengawasi peserta Pemilu yang sangat banyak dalam wilayah yang luas, dibentuk lagi Pengawas Pemilu yang berada di setiap TPS menjelang hari pemungutan suara, namanya Pengawas TPS.

Jajaran Pengawas Pemilu perlu senantiasa meningkatkan kapasitas, loyalitas dan integritas dalam menjalankan tugas dan kewenangan yang telah diamanahkan dan dipercayakan oleh Negara. Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan juga senantiasa perlu diajak dan berkolaborasi dalam pengawasan Pemilu, untuk mencegah potensi pelanggaran dan memberikan informasi awal atau laporan kepada Pengawas Pemilu.

Solidaritas dan Sinergi

Divisi, Bagian dan Unit Kelembagaan Bawaslu ditetapkan untuk maksimalisasi pelaksanaan tugas dan kewenangan, sekaligus didesain saling menguatkan, saling mengisi, dan saling mendukung. Kelemahan dan kekurangan divisi dan bagian tertentu, akan diisi dan dibantu oleh bagian dan divisi lainnya. Ibarat satu tubuh, kelemahan bagian tubuh lain akan dirasakan deritanya, sehingga diisi dan diobati oleh bagian lain. Hingga pelaksanaan fungsi keseluruhan kelembagaan berjalan optimal. Masalah dan tantangan kelembagaan, baik dari internal maupun eksternal akan dihadapi dan diatasi sebagai masalah bersama yang dicegah dan diselesaikan secara bertanggung-jawab. Tentu metodenya, tetap berpegang pada prinsip dan nilai hukum secara konsisten dan bertanggung-jawab.

Adanya tantangan dan hambatan kelembagaan secara eksternal, jika solidaritas internal telah terbangun, maka akan mampu dihadapi dan diatasi. Kelembagaan yang terbangun kokoh juga menjadi brand image yang turut meningkatkan kepercayaan publik dan legitimasi atas produktifitas kerja-kerja lembaga. Semua itu dapat diraih, dari sisi internal kelembagaan telah terbangun solidaritas, loyalitas, dan integritas Pengawas Pemilu dengan kapasitas yang handal.

Sebagai contoh, Divisi Hukum Bawaslu merupakan divisi yang relatif baru dari semua divisi di Bawaslu. Divisi Hukum seolah-olah menjadi divisi buangan, ketika Pleno Pimpinan penetapan divisi dari anggota Bawaslu. Ditambah lagi, dukungan anggaran yang minim dalam mendukung kerja-kerja divisi ini.

Proyeksi Bawaslu mengorbitkan divisi hukum sebagai divisi penghubung antar divisi. Divisi yang dapat mengisi kekurangan dan mengatasi kelemahan divisi lain. Divisi Pengawasan akan membuahkan hasil kerja maksimal pengawasan, jika didukung dengan analisis teknis dan normatif hasil kerja pengawasan. Divisi Sengketa, dalam menghasilkan putusan sengketa proses Pemilu akan maksimal menjamin keadilan Pemilu jika didukung oleh pertimbangan hukum yang ilmiah. Demikian pula, Divisi Penindakan Pelanggaran, akan maksimal jika kajian/rekomendasi didukung dengan aspek prinsip, asas dan norma hukum. Disinilah arti strategis divisi hukum Bawaslu. Penguatan dan menghadapi tantangan dari masing-masing divisi tadi, dapat diisi dalam divisi hukum untuk melahirkan konsep dan gagasan yang normatif sekaligus progresif dalam penyelesaian masalah.

Demikian pula, inisiasi bangun kelembagaan Pengawas Pemilu dengan instansi eksternal. Dinamisasi jaringan kerja terbangun ketika hubungan emosional antar pimpinan lembaga sudah terbangun. Sehingga kerja-kerja kelembagaan menjadi hubungan kerja profesional yang bernuansa kekeluargaan. Berdimensi kekeluargaan, bukan berarti tidak mengutamakan semangat dan budaya kerja profesional. Intinya bagaimana jajaran Pengawas Pemilu mencintai pekerjaan yang digeluti, hingga lahir sikap, komitmen dan tanggungjawab menyelesaikan pekerjaan secara tuntas dan bertanggung-jawab.

Adapun masalah internal, disharmonisasi hubungan Pimpinan, baik antar Komisioner maupun Komisioner dengan Sekretariat. Merupakan masalah yang harus segera diselesaikan dan diakhiri. Masalah ini biasanya berawal dari keinginan untuk diakui, eksistensi dan pengakuan personal. Selanjutnya, butuh paradigma bersama, dalam rangka kepentingan kelembagaan yang lebih besar, ketimbang mengurusi dinamika emosional personal, maka harus kembali ke janji dan sumpah Pengawas Pemilu saat pelantikan untuk menjalankan amanah secara berintegritas.

Peningkatan Kapasitas

Pembinaan Bawaslu terhadap kinerja jajaran Pengawas Pemilu di bawahnya, merupakan antisipasi terhadap kecenderungan lemahnya kapasitas SDM terutama bagi jajaran Pengawas Pemilu yang bersifat ad hoc. Pengawas Pemilu ad hoc relatif paling sering bersentuhan langsung dengan Peserta Pemilu, lewat komunikasi-konsultasi, kegiatan pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu di Desa/Kelurahan.

Penguatan kapasitas Kelembagaan dan SDM Pengawas Pemilu, perlu dilakukan Bimbingan Teknis (Bimtek) secara berkala, misalnya setiap tiga bulan sekali. Regulasi dan kebijakan penyelenggaraan Pemilu itu dinamis, terkadang suatu Peraturan belum dilakukan sosialisasi, malah sudah perubahan lagi. Dalam Bimtek perubahan kebijakan dan regulasi dapat disosialisasikan, termasuk menguatkan jajaran Pengawas Pemilu dalam menangani dan menjawab isu-isu hukum aktual yang sering muncul dalam penerapan hukum Pemilu di masyarakat.

Termasuk penguatan dari sisi manajemen organisasi dan pengelolaan keuangan. Sekretariat sebagai pendukung operasional dan teknis Komisioner harus handal dalam memberikan pelayanan. Jangan sampai, akibat pengelolaan keuangan yang melanggar hukum akan menjadi beban dan merusak citra lembaga.

Mengukur kemampuan dan produktifitas Pengawas Pemilu, secara berkala juga perlu dilakukan evaluasi kinerja. Misalnya setiap dua bulan sekali dilakukan evaluasi untuk memacu kinerja SDM. Menemukan dan mengaplikasikan metode-metode pembelajaran yang efektif, siapa melakukan apa, diskusi dan bedah kasus, guna memacu produktiftas pelaksanaan tugas dan kewenangan.

Sisi evaluasi ini, bukan hanya menyasar kapasitas yang harus ditingkatkan, tetapi komitmen menjadi Penyelenggara Pemilu yang berintegritas juga senantiasa diingatkan. Integritas merupakan kemampuan mempertahankan dan menjalankan prinsip dan nilai kebenaran dan keadilan. Walau banyak tantangan dan godaan, integritas tetap menjadi pegangan, sebagai amanah mulia menjaga dan melindungi hak konstitusional rakyat, hingga lahir pemimpin sesuai kehendak rakyat. 

Pembentukan Peraturan yang Responsif

239 Views

PEMBENTUKAN PERATURAN YANG RESPONSIF
Oleh: Ruslan Husen, SH, MH.

Sistem Pemilu merupakan instrumen untuk penegakkan hukum dan menjamin penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Sistem Pemilu dikembangkan untuk mencegah dan mengidentifikasi pelanggaran Pemilu, sekaligus sebagai sarana dan mekanisme menindak pelanggaran tersebut. Pada prinsipnya, sistem Pemilu ingin menempatkan suara rakyat sebagai pemilik kedaulatan harus dijaga dan dikawal hinggal lahir pemimpin pilihan rakyat.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Janedril M. Gaffar menganggap sistem Pemilu yang dipilih adalah sistem Pemilu yang paling mampu mengekspresikan dan melembagakan kehendak rakyat, baik dari sisi pemimpin yang dipilih maupun dari sisi kebijakan dan tindakan yang akan dilakukan oleh pemimpin tersebut. Sehingga, Pemilu harus mampu membangun dan menjalin ikatan tidak terputuskan antara rakyat dan para wakilnya yang duduk sebagai pemimpin.[1]

Merujuk pada teori sistem yang diungkapkan Lawrence Meir Friedman, bahwa sistem merupakan satu-kesatuan yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terpaut (elements of legal system), mendukung dan berkolaborasi dalam pencapaian tujuan sistem. Jika salah satu bagian komponen sistem terhalangi tidak bekerja maksimal, akan mengganggu produktifitas sistem secara keseluruhan. Sistem terdiri dari, struktur pelaksana, ketersediaan substansi regulasi, kultur masyarakat yang mendukung,[2] dan ketersediaan fasilitas pendukung yang memadai.[3] Dengan demikian, sistem Pemilu yang konstitusional dan demokratis sangat terkait dengan ketersediaan komponen-komponen, Penyelenggara Negara dan Penyelenggara Pemilu yang berintegritas, ketersediaan regulasi yang responsif, partisipasi masyarakat secara aktif, dan tersedia sarana dan prasarana pendukung pelaksana Pemilu.

Sistem Pemilu yang ideal, berangkat dari desain regulasi Pemilu, baik dalam bentuk Undang-Undang Pemilu, Peraturan teknis Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP). Ketersediaan regulasi utama dalam Undang-Undang Pemilu akan menjadi arah dan patron Penyelenggara Pemilu bekerja, bagaimana peran serta masyarakat secara partisipatif, sampai pada penyediaan alokasi anggaran untuk memenuhi sarana dan prasaran teknis Pemilu. Semua itu bisa dipenuhi dan dilaksanakan jika didukung oleh ketersediaan regulasi Pemilu yang responsif.

Peraturan yang Aplikatif

Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) disusun sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Perbawaslu dapat memuat teknis pelaksanaan pengawasan tahapan Pemilu, maupun yang terkait dengan teknis manajemen kelembagaan. Sebagai lembaga Penyelenggara Pemilu yang kewenangannya selalu berubah di setiap Pemilu, menjadikan Bawaslu harus cepat melakukan penataan kelembagaan dan penguatan kapasitas jajaran Pengawas Pemilu.

KPU telah menyusun peraturan yang berbasis pada tahapan Pemilu. Menguatkan peraturan yang dibuat, KPU kadang menguatkan dengan menetapkan Keputusan dan Surat Edaran. Respon serupa dari Bawaslu mutlak diperlukan dalam menyiapkan Perbawaslu untuk mengawasi tahapan Pemilu. Oleh karena itu, pembentukan Perbawaslu tidak berbasis rigid sesuai aturan tahapan yang dirumuskan dalam PKPU. Pembentukan Perbawaslu beranjak dari menyiapkan instrumen teknis dalam pengawasan tahapan Pemilu, dan pengawasan non tahapan Pemilu, serta regulasi teknis untuk mendukung Bawaslu melaksanakan tugas dan kewenangan, misalnya ketersediaan regulasi manajemen organisasi dan pengelolaan keuangan.

Sering kali ditemui peraturan dibentuk sebagai tindaklanjut peraturan yang lebih tinggi, misalnya dalam Peraturan Daerah, tidak aplikatif diterapkan oleh Organisasi Perangkat Daerah. Bisa jadi norma yang dirumuskan kabur dan multitafsir, ketidaktegasan menunjuk Perangkat Daerah yang melaksanakan, atau tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan Daerah, hingga Perda hanya menjadi dokumen pajangan saja, tidak bisa dilaksanakan.

Tentu, Perbawaslu yang dibentuk jangan sampai mengalami nasib serupa dengan Perda dimaksud. Perbawaslu harus aplikatif, dibentuk untuk menunjang pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban Pengawas Pemilu. Dibentuk responsive sesuai kebutuhan dan desain kelembagaan menegakkan keadilan Pemilu, dengan peran serta masyarakat secara kolaboratif.

Tahapan Pembentukan

Kekuatan hukum masing-masing peraturan perundang-undangan sangat ditentukan berdasarkan tingkatan hierarki. Bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pembentukan produk hukum harus mengacu ke Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang selanjutnya dijabarkan lebih lanjut ke dalam peraturan pelaksana.

Dalam pembentukan Perbawaslu, mengacu pada Peratuan Bawaslu Nomor 3 tahun 2017 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Bawaslu. Perbawaslu ini menjadi pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan di lingkungan Bawaslu. Tentu pembentukan dan norma di dalam Perbawaslu ini telah mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam UU 12 tahun 2011.

Dalam Perbawaslu ini, proses pembentukan Perbawaslu mencakup, Pertama, Tahap Perencanaan. Perbawaslu disusun sesuai dengan kebutuhan hukum baru dan tantangan lembaga, dalam pelaksanaan tahapan Pemilu. Pemilu serentak dilaksanakan berdasar UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu. UU ini dijabarkan lagi ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih teknis, untuk memberikan pedoman agar lebih aplikatif dan teknis dilaksanakan.

Perencanaan Perbawaslu dituangkan dalam program penyusunan Perbawaslu pada masing-masing tahun anggaran berjalan, yang memuat judul, pemrakarsa, urgensi, keterangan yang berisi pihak terkait dan penerima manfaat Perbawaslu. Hal ini penting mengingat pembentukan Perbawaslu berada dalam satu kesatuan atau terintegrasi dalam sistem hukum nasional. Keseluruhan materi yang diatur dalam perencanaan pembentukan regulasi, menurut Ahmad Yani harus melalui proses pengkajian dan penyelarasan untuk mengetahui keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya secara vertikal dan horizontal sehingga mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.[4]

Di tengah kesibukan pelaksanaan tahapan Pemilu, KPU dan Bawaslu juga berpacu melahirkan peraturan lembaga yang lebih teknis sebagai penjabaran dari UU Pemilu. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Penyelenggara Pemilu, di samping melaksanakan tahapan Pemilu, dengan cepat juga harus menyiapkan regulasi teknis. Setelah itu, harus diikuti dengan sosialisasi secara massif kepada stakeholders Pemilu.

Adanya ketidakpuasan atas kinerja Penyelenggara Pemilu, dan banyaknya pelanggaran yang ditindak oleh jajaran Bawaslu, diantara penyebab adalah sosialisasi regulasi teknis pelaksanaan Pemilu yang belum dipahami dengan baik oleh stakeholders Pemilu, terutama Peserta Pemilu. Setelah penetapan regulasi, Penyelenggara Pemilu harus segara melibatkan Peserta Pemilu untuk memahami dan melaksanakan regulasi Pemilu dengan cepat. Agar dimaklumi, pencegahan pelanggaran dalam bentuk sosialisasi telah dilaksanakan, sebagai langkah awal sebelum penindakan pelanggaran Pemilu.

Kedua, Tahap Penyusunan, Penetapan, dan Pengundangan. Penyusunan Perbawaslu didahului dengan dokumen pendukung yang merasionalkan urgensi Perbawaslu dimaksud, yakni “Naskah Kajian Rancangan Perbawaslu”. Dalam pembentukan Perda, mengharuskan Naskah Akademik Rancangan Perda, demikian pula dalam pembentukan Perbawaslu, juga menekankan ketersediaan Naskah Kajian. Walaupun pada naskah kajian, uraian substansi lebih singkat dan padat, yakni memuat : bagian pendahuluan, urgensi dan tujuan penyusunan, sasaran, pokok pikiran atau objek yang akan diatur, dan jangkauan serta arah pengaturan.

Setelah tersedia draf Naskah Kajian beserta lampirannya, yakni draf Perbawaslu siap dibahas. Sesuai dengan kesepakatan Penyelenggara Pemilu dengan DPR RI maka draf Perbawaslu yang telah siap tadi, selanjutnya diserahkan ke Pimpinan DPR untuk dikonsultasikan. Forum konsultasi diadakan untuk mendengarkan masukan-masukan dari DPR, sebagai lembaga pembentuk UU dan mitra Penyelenggara Pemilu. Namun kadang-kala, forum konsultasi DPR digunakan untuk mengkompromikan keinginan-keinginan pragmatis anggota DPR agar masuk dalam norma. Memang tidak ada keharusan KPU dan Bawaslu mengikuti keinginan pragmatis itu, lebih pada beban moril dan beban spekulatif. Intinya, Penyelenggara Pemilu mengikuti forum konsultasi, jika ada masukan sesuai dengan Undang-Undang dan mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang, tentu harus diakomodir. Tetapi, ketika masukan-masukan menjadi beban, apalagi berpotensi membuat citra lembaga tidak independen, maka masukan-masukan pragmatis tadi harus di tolak atau diabaikan. Kembali kepada khittah, eksistensi melaksanakan amanat UUD dan UU Pemilu secara jujur dan adil.

Ketiga, Tahap Autentifikasi dan Penyebarluasan. Ini lebih pada tahap harmonisasi norma dalam peraturan yang dibentuk. Memeriksa kembali norma-norma dalam Bab, Pasal dan ayat. Jangan sampai terdapat norma-ketentuan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, peraturan yang tidak sinkron dengan Perbawaslu dan PKPU lainnya. Disini letak pentingnya autentifikasi atau harmonisasi norma, biasanya ini dilakukan oleh mereka yang sudah memiliki sertifikat dan keahlian sebagai Perancang Peraturan Perundang-Undangan.

Setelah norma di dalam Perbawaslu siap, lalu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM. Ketentuan pengundangan, menegaskan peraturan yang telah diundangkan dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat sejak tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain.

Selanjutnya naskah salinan yang telah diundangkan tadi, disebarluaskan oleh Kesekretariatan Bawaslu RI untuk diketahui publik dan dilaksanakan. Hingga pihak yang membutuhkan dokumen Perbawaslu dapat mengunduh dalam laman website Bawaslu.

Peran Serta Masyarakat

Masyarakat dapat memberikan masukan baik lisan dan tertulis dalam setiap tahapan pembentukan Perbawaslu. Selain menerima masukan masyarakat, Bawaslu dapat menyelenggarakan kegiatan berupa disiminasi, uji publik, seminar, dan sosialisasi untuk menjaring masukan masyarakat dalam setiap tahapan pembentukan Perbawaslu. Masukan-masukan tersebut dapat diperoleh ketika ada partisipasi masyarakat.

Partisipasi masyarakat merupakan prasyarat dari terealisasinya pemerintahan yang demokratis. Tanpa partisipasi, niscaya demokrasi dalam sistem pemerintahan negara tidak akan terwujud. Partispasi masyarakat dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menurut Amir Santoso merupakan wujud penyelenggaraan pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip good governance (pemerintahan yang baik), diantaranya: keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, dan transparansi[5].

Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat adalah masyarakat itu sendiri, yang perlu dibangun adalah kesadaran berpartisipasi dan dukungan terhadap aktivitas partisipasi melalui pendidikan politik. Tetapi, hal itu tidaklah cukup, partisipasi masyarakat lebih dibutuhkan dalam memberi masukan pada proses pembentukan suatu Perbawaslu. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat sebagai Pemilih juga perlu dipertimbangkan, hingga Perbawaslu secara sosiologis memiliki daya berlaku di tengah masyarakat.  

Perbawaslu akan memiliki nilai tambah “legitimasi” rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Artinya masyarakat akan semakin siap menerima dan melaksanakan gagasan dalam proses penerapan hukum untuk mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. Termasuk, hubungan antara masyarakat dengan struktur kelembagaan Bawaslu akan semakin baik, hingga muncul kepercayaan dan partisipasi publik mencegah setiap potensi pelanggaran dan memberikan informasi/laporan kepada jajaran Bawaslu untuk ditindaklanjuti.

Catatan Kaki


[1] Janedril M. Gaffar, 2013, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 38
[2] Lawrence Friedmann dalam Achamd Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia; Penyebab dan Solusi, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 1.
[3] Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 5.
[4] Ahmad Yani, 2013, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Responsif, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 29.
[5] Amir Santoso, 1997, Demokrasi dan DPR: Agenda Masa Depan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 87.

Pengawasan dan Audit Coklit

698 Views

PENGAWASAN DAN AUDIT COKLIT
Oleh: Ruslan Husen

Semarak pengawasan penelitian dan pencocokan (coklit) data pemilih untuk pemilu tahun 2019 kembali dilakukan oleh lembaga Pengawas Pemilu. Setelah pada tanggal 20 Januari – 18 Februari 2018 konsen melakukan pengawasan coklit di daerah yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah, kini konsentrasi pengawasan diarahkan pada semua daerah yang melaksanakan Pemilu. Gerakan serentak awasi coklit, dengan seragam kaos putih khas Pengawas Pemilu turun ke kelurahan/desa kembali terlihat. Hanya dengan tujuan, memastikan hak konstitusional warga negara terlindungi, sekaligus memastikan keakuratan data pemilih dapat terjamin.

Pentingnya hak konstitusional ini, perancangan Undang-Undang Dasar tidak menginginkan ada warga negara yang terlanggar dan dibatasi hak konstitusinya. Hak konstitusional menurut I Dewa Gede Palguna adalah hak-hak yang dijamin oleh konstitusi atau undang-undang dasar, baik jaminan itu dinyatakan secara tegas maupun tersirat dan seluruh cabang kekuasaan negara wajib menghormatinya.[1] Hak konstitusinal juga menjadi pembatas tindakan pihak lain termasuk negara, dalam mengekang, mengurangi dan membatasi hak konstitusional seseorang.

Jaminan pelaksanaan hak konstitusional warga negara dalam Pemilu, yakni ada pelibatan individu secara langsung untuk menyalurkan hak suaranya dalam bilik suara saat pemungutan suara. Dan, institusi negara dan Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) harus memberikan jaminan, agar hak itu dapat tertunaikan. Termasuk mengawalnya sampai kepemimpinan hasil suksesi Pemilu ditetapkan sebagai pemenang.

Pengawasan Coklit

Pengawasan pada dasarnya untuk mengamati apa yang sungguh-sungguh terjadi (realitas) serta membandingkannya dengan apa yang seharusnya (idealitas). Bila ternyata ditemukan pelanggaran, maka akan segera dikenali untuk dilakukan koreksi dengan memberi catatan rekomendasi tindaklanjut. Melalui rekomendasi ini, maka pelaksanaan kegiatan diharapkan dapat mencapai tujuan maksimal. Salah satu aspek pengawasan, yakni pemeriksaan yang ditujukan untuk menilai apakah pelaksanaan kegiatan telah sesuai dengan yang seharusnya. Dengan demikian penekanannya lebih pada upaya mengenali pelanggaran di dalam pelaksanaan kegiatan itu.

Pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) sebagai bagian dari pelaksanaan tugas KPU, merupakan upaya melayani hak konstitusional warga negara dalam menggunakan hak pilihnya. Berikutnya, pengawasan pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh jajaran Pengawas Pemilu guna memastikan pelaksanaan tugas Pantarlih-KPU sudah sesuai dengan koridor, pedoman dan ketentuan yang berlaku. Semua ini dilakukan sebagai upaya menjamin Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akurat untuk memenuhi pemilu yang demokratis.

Menurut Ramlan Surbakti terdapat tiga parameter yang biasa digunakan untuk menilai DPT memenuhi Pemilu yang demokratis. Pertama, daftar pemilih bersifat komprehensif, yaitu semua warga negara yang berhak memilih terdaftar sebagai pemilih. Kedua, daftar pemilih bersifat mutakhir dalam arti DPT telah disesuaikan dengan perkembangan terkini, yang berhak memilih telah terdaftar sebagai pemilih, dan semua yang terdaftar yang tidak memenuhi syarat misalnya meninggal dunia, pindah domisili atau menjadi warga negara lain telah dikeluarkan dari DPT. Ketiga, daftar pemilih disusun secara akurat dalam artian penulisan identitas dan keterangan lain tentang pemilih dilakukan secara akurat, misalnya ada pemilih penyandang disabilitas.[2]

Pada tanggal 17 April – 17 Mei 2018, kembali dilaksanakan coklit data pemilih untuk pelaksanaan pemilu tahun 2019. Ini dilakukan guna menjamin masyarakat yang memiliki hak pilih agar dapat menyalurkan hak politiknya. Sesuai ketentuan dalam Pasal 4 Peraturan KPU Nomor 11 tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilu, untuk dapat menggunakan hak memilih warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih dengan persyaratan:

  • Genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih pada hari pemungutan suara, sudah kawin, atau sudah pernah kawin;
  • Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;
  • Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
  • Berdomisili di wilayah administratif pemilih yang dibuktikan dengan KTP-el;
  • Dalam hal pemilih belum mempunyai KTP-el, dapat menggunakan Surat Keterangan yang diterbitkan oleh dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil setempat; dan
  • Tidak sedang menjadi anggota TNI, atau Polri.

Tentunya Pantarlih sebagai bagian dari jajaran KPU sudah memiliki standar kerja dalam pelaksanaan tugasnya, mereka sudah dibekali dan diberikan peralatan kerja. Demikian juga dengan jajaran Pengawas Pemilu, khususnya Panwaslu Desa/Kelurahan juga tentu memiliki alat kerja pengawasan, yang digunakan mengukur kinerja, baik yang dilakukan sendiri maupun hasil pengawasan atas kerja-kerja Pantarlih.

Petugas coklit dibentuk/ditunjuk oleh PPS di tingkat kelurahan/desa. Sejak Pemilu tahun 2004 hingga pemilu tahun 2019 petugas coklit dilakukan oleh satu orang petugas pada setiap satu TPS. Dalam bekerja petugas coklit diberikan perlengkapan alat tulis, daftar pemilih per TPS untuk di coklit, form pemilih baru untuk menulis bila ada pemilih baru, surat tanda sudah terdaftar serta rumah pemilih ditempel stiker bila sudah terdaftar. Secara teknis kerja, Pantarlih memperbaiki dan mencoret data pemilih pada dokumen daftar pemilih yang telah diberikan. Dokumen daftar pemilih yang telah di coklit serta lembar form daftar pemilih baru diserahkan kepada PPS untuk kemudian diolah oleh PPS hingga KPU Kabupaten/Kota.

Ketentuan-ketentuan demikian, juga penting diketahui Pengawas Pemilu, agar terbangun sinergi dengan Pantarlih di lapangan. Dalam kerja-kerja pengawas pemilu pada tahapan coklit ini, ingin dipastikan kesalahan dalam elemen data pemilih dapat diminimalisir, misalnya :

  • Pemilih yang tidak memenuhi syarat masuk ke dalam daftar pemilih;
  • Pemilih yang memenuhi syarat tidak masuk ke dalam daftar pemilih;
  • Pemilih belum memiliki e-KTP;
  • Pemilih yang data dalam formulir A-KPU bermasalah;
  • Pemilih yang dalam formulir A-KPU berada jauh dari TPS; dan
  • Pemilih yang belum di coklit.

Arti penting fungsi pengawasan jajaran Bawaslu pada tahap pemutakhiran data pemilih, untuk memastikan bahwa tidak ada satupun warga negara yang memiliki hak pilih yang tidak terdata, demikian pula bisa dipastikan bahwa tidak ada satupun warga negara yang tidak memenuhi syarat memilih yang dicantumkan dalam DPS yang akan menjadi DPT.[3]

Upaya menghasilkan data tersebut, Pengawas Pemilu perlu memahami langkah-langkah strategis pengawasan coklit, mulai dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pasca pelaksanaan.

Tergambar alur kerja Pantarlih dan Panawas Kelurahan/Desa dengan tugas masing-masing. Pantarlih melaksanakan pemutakhiran data pemilih dengan cara memperbaiki, mencoret dan menambah data pemilih, dan Pengawas melakukan pengawas dan audit coklit. Mereka menjadi ujung tombak KPU dan Bawaslu guna memastikan data pemilih akurat dan minim kesalahan. Dari data inipulah yang dapat menjadi sebab gugatan sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi jika banyak kesalahan.

Selain itu, keterlibatan aktif Partai Politik peserta Pemilu, organisasi kemasyarakatan, NGO dan media massa untuk mengingatkan dan mendorong warga negara yang berhak memilih untuk memastikan nama mereka terdaftar dalam DPT secara akurat dengan cara mengecek dan mengajukan perbaikan.

Audit Coklit

Pengawasan coklit oleh jajaran Pengawas Pemilu khususnya Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kelurahan/Desa tujuan utamanya adalah memastikan seluruh pemilih yang memenuhi syarat terdata dan tercoklit dan masuk ke dalam daftar pemilih, dan memastikan Pentarlih mencoret pemilih yang tidak memenuhi syarat di dalam daftar pemilih.

Inilah yang dinamakan audit coklit untuk memeriksa proses dan hasil coklit termasuk pihak yang mencoklit. Panwaslu ingin memastikan Pantarlih-KPU telah melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan. Tentu diawal masa-masa pelaksanaan coklit belum kelihatan maksimalisasi pelaksanaan tugas Pantarlih. Tetapi menjelang 15 hari terakhir selesainya pencoklitan, maka audit coklit dari Panwaslu Kelurahan/Desa dengan supervisi Panwaslu Kecamatan sudah dapat dilakukan. Sekali lagi ini hendaknya dimaknai dalam rangka menjamin keakuratan data pemilih dan menjamin hak konstitusional warga negara untuk memilih.

Pedoman Panduan Pengawasan Coklit Bawaslu RI, disebutkan audit coklit yang dilakukan Panwaslu merekap data per/TPS dengan ikhtisar sebagai berikut :

  • Jumlah rumah yang tidak di coklit;
  • Jumlah rumah yang di coklit tapi tidak ditempel stiker dan pemilihnya tidak diberikan tanda bukti;
  • Jumlah Pantarlih yang tidak mencoklit setiap rumah;
  • Jumlah Pantarlih sebagai anggota/pengurus Parpol; dan
  • Jumlah Pantarlih melimpahkan tugas kepada orang lain.

Data-data dari Panwaslu Kelurahan/Desa tadi hasil pengawasan penyelenggaraan coklit, lalu direkap secara berjenjang di jajaran pengawas tingkat Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi untuk selanjutnya dilaporkan kepada Bawaslu RI.

Pos Pengaduan Data Pemilih

KPU secara serentak memulai coklit dengan menggelar ceremony apel siaga coklit data pemilih. Pejabat Daerah setempat bahkan Bawaslu/Panwaslu sendiri terlibat dalam apel siaga tersebut, yang dilanjutkan dengan coklit di hari pertama.

Keberadaan sumber daya Panwaslu Kelurahan/Desa memang terbatas, keberadaan mereka hanya 1 (satu) untuk setiap wilayah Kelurahan/Desa, sementara Pantarlih diadakan berdasarkan jumlah TPS. Dalam satu Kelurahan/Desa bisa puluhan TPS. Melakukan pengawasan melekat dan langsung tentu tidak bisa dilakukan secara merata kepada setiap Pantarlih. Maka menjawab keterbatasan ini, selain supervisi, monitoring dan keterlibatan langsung Panwaslu Kecamatan termasuk jajaran pengawas diatasnya menjadi mutlah dilakukan.

Selain itu, adanya Sekretariat yang dapat dituju oleh masyarakat menyampaikan pengaduan data pemilih, jika sekiranya ada prosedur yang dilanggar atau data mereka belum tercatat dalam daftar pemilih. Makanya penting dibentuk “Pos Pengaduan” data pemilih yang oleh pengawas pemilu diadakan pada setiap Kantor Panwaslu Kecamatan.

Pos pengaduan akan menindaklanjuti setiap laporan/aduan guna memastikan hak konstitusional warga negara terlindungi. Sebab secara normatif Panwaslu Kecamatan dapat menyampaikan rekomendasi tindaklanjut kepada PPK. Dan PPK berkewajiban untuk menindaklanjuti dengan segera rekomendasi dari Panwaslu kecamatan tadi. Demikian pula dengan rekomendasi Panwaslu Kelurahan/Desa, wajib ditindaklanjuti dengan segera oleh PPS.

Catatan Kaki

[1] I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional, Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 111.
[2] Ramlan Surbakti, dkk, 2008, Perekayasa Sistem Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis, Kemitraan, Jakarta, hlm. 159.
[3] Kasman Jaya Saad, 2018, Mahalnya Pilkada, Politik Uang dan Ajang Perjudian Elit Lokal, Yapansi, Jakarta, hlm. 45.