Demokrasi Tidak Akan Benar-Benar Mati

582 Views

Demokrasi Tidak Akan Benar-Benar Mati
Oleh : Saeful Ihsan, S.Pd., M.Pd.
(Penulis Muda Sulteng)

Ketika Anies Baswedan menampilkan fotonya memegang buku bersampul hitam, “How Democracies Die”, dan dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan sikap: Indonesia menghadapi ancaman kematian demokrasi. Lalu, itu lebih tepatnya ditujukan kepada siapa?

Kepada pemerintah (pusat) kah? Yang selama ini terkesan antikritik, tidak mendengar suara rakyat, lalu berupaya membatasi kebebasan? Ataukah pihak yang aktif mengkritik pemerintah? Utamanya, PA 212 atau para simpatisan Habib Rizieq Shihab (HRS), serta FPI. Di mana, mereka kerapkali dinilai melakukan aksi-aksi yang mengguncang demokrasi.

Dari sudut pandang kita sebagai penonton, sudah pasti yang dituju adalah yang pertama disebutkan. Soalnya Anies terlihat lebih dekat kepada kelompok yang disebut “Umat Islam” itu. Sebaliknya, terkesan berhadap-hadapan dengan pihak pemerintah pusat, salah satu bentuknya, kebijakan lokal DKI sering tidak mendapat respek dari pusat.

Matinya demokrasi menurut buku yang dipegang Anies itu “How Democracies Die” karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, didasarkan pada empat indikator:

“1) rejects, in words or action, the democratic rules of the game, 2) denies the legitimacy of opponents, 3) tolerates or encourages violence, or 4) indicates a willingness to curtail the civil liberties of opponents, including the media.” (Levitsky and Ziblatt, 2018: 18)

Indikator itu sendiri adalah pengembangan dari karya Juan Linz, ‘The Breakdown of Democratic Regimes’, tentang tokoh otoriter, yang kalau mereka berkuasa, cenderung akan mematikan demokrasi. Hal itu dibuktikan oleh sejarah terjadi pada Italia dengan berdirinya rezim fasis Benito Mussolini; Adolf Hitler di Jerman; Hugo Chavez di Venezuela, dan beberapa lainnya.

Mereka, para tokoh otoriter itu memang naik ke tampuk kekuasaan bukan dengan jalan kudeta militer–meski sebagiannya mencoba jalan kudeta di awal hingga akhirnya memilih jalan konstitusional setelah percobaannya gagal, dan setelah mereka berkuasa, cenderung melakukan keempat indikator di atas.

Untuk konteks Indonesia saat ini, setidaknya rezim cenderung menggunakan cara keempat–membatasi kebebasan lawan, dan pers. Walau tidak begitu keras. Rezim menjadikan Anies sebagai lawan, dan kelihatan berupaya membatasi pergerakannya lewat apresiasi yang minim terhadap program pemprov DKI. Juga narasi-narasi miring yang diembuskan oleh para simpatisan istana.

Juga bagaimana istana memandang HRS beserta simpatisannya sebagai lawan. Terlihat dari bagaimana istana menyoroti kumpul-kumpul di bandara dalam penyambutan HRS. Sementara pilkada di Solo yang juga kumpul-kumpul tak disoal. Padahal, kata kunci dari pencegahan penularan wabah korona adalah ‘jangan berkumpul!’

Namun, jika kita mengikuti logika buku “How Democracies Die”, yang berpeluang untuk menjadi tokoh otoriter dan mematikan demokrasi adalah HRS beserta kroni-kroninya. Secara, HRS adalah tokoh populer, tetapi seruan-seruannya juga lebih kepada memilih jalan kekerasan untuk menegakkan keadilan.

Juga bagaimana cara HRS merespons kritikan arau protes terhadap dirinya. Frase ‘Lonte’ dalam ceramah di maulid nabi beberapa waktu lalu, membuat kita bisa berkesimpulan singkat, bahwa HRS akan bersikap frontal terhadap lawan-lawannya, seandainya saja kekuasaan itu sudah dipegangi.

Sejak tahun 2016, HRS sudah mengampanyekan konsep NKRI Bersyariah. Ide itu direspons oleh Denny JA dengan narasi tandingan, ‘NKRI Bersyariah, atau Ruang Publik yang Manusiawi?’ Denny JA menuliskannya dalam sebuah esai. Lalu tulisan itu ditanggapi oleh 16 orang (yang dinilai sebagai) pakar–salah seorang di antaranya adalah pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra–menjadi sebuah buku.

Buku itu memang tidak menyinggung demokratis atau tidaknya, tetapi bagi Denny JA, ruang publik manusiawi itu sudah sesuai dengan Islam, tak perlu NKRI Bersyariah. Agaknya, penggunaan istilah Bersyariah kurang demokratis, sebab syariah selalu dimaknai dengan rigid, berdasarkan tafsir yang tekstual.

Lagipula menurut Denny JA, indikator NKRI Bersyariah harus jelas. Kalau standar keadilan dan ketentraman suatu negara mengambil indikator sesuai Alquran dan Sunnah, negara-negara paling mempraktikkan standar-standar Islami menurut survei justru adalah negara-negara yang di dalamnya sedikit umat islamnya: Selandia Baru, Belanda, Swedia, Irlandia, Swiss, Denmark, Kanada, dan Australia.

Tetapi memang wajar, jika ada tawaran sistem lain untuk suatu negara. Termasuk di Indonesia. Soalnya, Dr. Satrio Arismunandar dalam memberikan pengantar buku kompilasi 16 pakar menanggapi Denny JA, menampilkan data tingkat pro-Pancasila, yang berarti juga pro demokrasi–soalnya Pancasilais berarti juga demokratis, dari tahun ke tahun terus menurun. Dalam kurun 13 tahun, pro-Pancasila turun 10%.

Penurunan tersebut disebabkan oleh tiga hal: kesenjangan ekonomi, paham alternatif,
dan sosialisasi. Jadi, kegagalan-kegagalan yang terdapat dalam praktik pemerintahan sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepercayaan publik terhadap (demokrasi) Pancasila, dan akhirnya mencari alternaif yang dianggap lebih bisa memperbaiki nasib bangsa daripada sistem demokrasi itu sendiri.

Namun, betapapun misalnya rezim saat ini dianggap mewarisi watak otoriter Orde Baru, ataukah HRS dianggap sebagai tokoh demagog, demokrasi hanya akan menurun menjadi kurang demokratis, tidak sepenuhnya akan mati. Dari beberapa indikator negara demokrasi Abraham Lincoln dalam pidatonya di Pettysburg tahun 1863, “peran media yang bebas” sebagai aktualisasi kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat menjadi, dominan dalam tafsiran kita.

Sementara, manusia secara individual adalah satu-satunya makhluk yang dianugerahkan demokrasi di dalam kepalanya. Yaitu, bebas berpikir, memilih jalan, dan menentukan nasibnya sendiri. Anugerah itu tidak akan benar-benar hilang, tetapi bisa dibatasi, sampai tak terbatas, oleh pemerintahan yang berusaha membunuh demokrasi, lewat watak otoritariannya.
____

Referensi:

Levitsky, Steven & Daniel Ziblatt. 2018. “How Democracies Die”, New York: Crown Publishing. Edisi bahasa Indonesia, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. 2019. “Bagaimana Demokrasi Mati”, Alih Bahasa oleh Zia Anshor, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Arismunandar, Satrio (Ed.). 2019. “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi, Cerah Budaya Indonesia

Diplomacy, Humanitarian Action and Development

840 Views

Oleh : Noorwahid Sofyan, MA
(Akademisi IAIN Palu)

Secara sederhana aksi kemanusiaan dimaknai sebagai kegiatan yang bertujuan mengurangi penderitaan sesama manusia -termasuk membantu, menolong, mengadvokasi- yang disebabkan oleh bencana alam atau konflik dan peperangan. Aksi ini berlandaskan pada prinsip kemanusiaan (humanity), independensi, kesukarelawanan, imparsialitas dan netralitas juga didasarkan pada rasa empati, keikhlasan serta solidaritas sebagai mahluk Tuhan yang menghuni muka bumi.

Namun dalam kenyataannya, aksi kemanusiaan tidak cukup hanya dengan niat tulus tanpa pamrih untuk membantu mereka yang membutuhkan (Anderson, 1999). Diperlukan lebih dari sekedar keikhlasan agar bantuan yang diberikan sebagai bagian dari respon kemanusiaan itu bisa tepat sasaran. Dalam beberapa kasus, ditemukan ada indikasi bahwa bantuan yang diberikan oleh para donor melalui organisasi kemanusiaan tidak menyentuh basic need mereka yang dibantu. Kalau pun kebutuhan mendasar itu dapat dipenuhi, tidak bertahan begitu lama alias hanya bersifat temporer atau tidak berkelanjutan. Sebatas memberi “ikan” bukan “kail”.

Tentu tidak mudah bagi aksi kemanusiaan untuk memberikan sumbangsih yang berkelanjutan kepada para korban. Diperlukan pendekatan yang sistematis dan komprehensif untuk melakukan itu. Dalam tulisan Nell Gabiam yang mengutip Ferguson mengungkapkan “development relies on two meanings that are often conflated: on the one hand, development means a process of transition “toward a modern, capitalist, industrial economy modernization, capitalist development, the development of the forces of production, etc. On the other hand, it can be understood as any form of intervention aiming to improve quality of life and alleviate poverty”.

Hal ini menjadi perhatian Koddenbrock dan Büttner yang melihat ada peluang untuk menghubungkan dan mengsinergikan aksi kemanusiaan yang diidentikkan  dengan  independensi, netralitas  dan  bebas  dari  politik  dengan developmentaslism sebagai sebuah metode perubahan sosial yang menyeluruh untuk menghantarkan pada kehidupan yang lebih baik secara ekonomi, sosial dan politik.

Developmentalism  memang  menjadi kemestian dalam sudut  pandang  ideal kemanusiaan bahkan dalam salah satu kesepakatan global, kata development telah dituangkan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1986 dalam Declaration of the Right to Development (Deklarasi tentang Hak terhadap Pembangunan). Dan PBB mendefenisikannya sebagai “a comprehensive economic, social, cultural and political process, which aims at the constant

improvement of the wellbeing of the entire population and of all individuals … in which all human   rights  and   fundamental   freedoms   can   be   fully   realized”.   Dalam   pada   itu pembangunan (development) menjadi sarana perbaikan kesejahteraan seluruh penduduk dan individu yang memungkinkan terwujudnya semua hak dan kemerdekaan dasar manusia yang dipandang sejalan dengan tujuan dasar dalam kegiatan kemanusiaan di seluruh dunia.

Lantas bagaimana mengsinergikannya? Bukankah usaha-usaha pembangunan adalah langkah politik sedangkan aksi humanitarian adalah kegiatan yang seringkali sensitif dengan hal yang berbau politis. Koddenbrock dan Büttner mencoba menjawab keraguan itu dengan nada optimis bahwa kemungkinan itu terbuka lebar apabila dibangun pondasi konseptual, institusional dan operasional  yang  dapat  mengsinergikan relief,  rehabilitasi dan pembangunan.

Pada level konseptual, pembangunan dan kegiatan kemanusiaan harus dipahami sebagai kategori yang tidak selamanya bertentangan dan tidak mungkin disatukan. Pada level institusional harus ada jaminan pertanggungjawaban agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dapat menghancurkan semangat dan prinsip utama kemanusiaan dalam upaya pembangunan sedangkan pada tingkatan operasional adalah kepastian berjalannya program jangka panjang yang dilakukan dengan melibatkan pihak- pihak yang mendukung pembangunan (Koddenbrock dan Büttner).

Dilihat dari sudut pandang diplomasi kemanusiaan, aktivitas kemanusiaan seperti yang digambarkan  di atas  bukanlah  hal  yang  sederhana  dan  aktor  kemanusiaan  yang  bekerja sebagai relawan maupun profesional dalam bidang kemanusiaan merupakan diplomat yang tidak terlepas dari kehidupan diplomasi. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghadapi,  membangun dan  memanfaatkan ragam aktor  yang  ada  di lapangan.  Dalam multitrack diplomacy  secara jelas ditekankan arti pentingnya pelibatan setiap elemen -baik pemerintah,  profesional,  bisnis,  private  citizen,  penelitian, training  dan  edukasi,  aktivis, agama,  funding,  dan  media dalam  membantu  dan  memperlancar serta  mensukseskan aktivitas kemanusiaan (McDonald and Diamond, 1996).

Untuk itu dibutuhkan kemampuan negosiasi dan diplomasi yang handal menentukan kesuksesan aktivitas kemanusiaan yang dilakukan. Seperti yang diutarakan Larry Minear bahwa setiap aktor kemanusiaan harus memahami fungsi, trik, dan keahlian diplomasi. “Those functions include negotiation of humanitarian access to vulnerable populations, promoting respect for international law and norms, combating a culture in which violations occur with impunity, supporting indigenous counterpart individuals and institutions, and engaging in advocacy with political authorities at the local, national and international levels” (Minear, 2000).

Jika aktivitas kemanusiaan dan pembangunan (development) ini diterima sebagai sesuatu yang dapat bersinergi maka menjadi keharusan bagi aktor kemanusiaan untuk memahami sekaligus mempraktekkan aktivitas diplomasi dalam menjalankannya.

**

Bahan Bacaan

Anderson, Mary B, Do No Harm: How Aid Can Support Peace-or War, London: Lyenne Rienner Publisher Inc. 1999.
Diamond, Dr. Louise and Ambassador John McDonald, Multitrack Diplomacy: A System Approach to Peace, West Harford USA: Kumarian Press. 1996.
Gabiam, Nell, When “Humanitarianism” Becomes “Development”: The Politics of International Aid in Syria’s Palestinian Refugee Camps, American Anthropologist, vol. 114,  American Anthropological Association,                , 2012.
Koddenbrock, Kai and Martin Büttner, The Will to Bridge? European Commission and U.S. Approaches to Linking Relief, Rehabilitation and Development, Chapter 8,
                                    ,                  :                  . Smith, Hazel, Humanitarian Diplomacy : Practitioners and Their Craft, New York : United Nations University Press. 2007.

Gagasan Pengawasan dan Penegakan Hukum Pilkada

269 Views

Bawaslu dalam pengawas tahapan pemilihan kepala daerah ditemui sebagai pengawas untuk memastikan tata cara, prosedur, dan mekanisme tahapan pemilihan tidak dilanggar. Pada kesempatan lain, Bawaslu dijumpai sebagai penemu atau penerima laporan pelanggaran hingga menghasilkan rekomendasi pelanggaran administrasi, dan pelanggaran hukum lainnya, serta mengadukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan, dan menindak pelanggaran pidana. Bahkan wujud Bawaslu ditemui sebagai ‘hakim’ dalam penyelesaian sengketa proses pemilihan.

Melalui bahasan buku ini diurai tiga klaster kelembagaan, pengawasan, dan penegakan hukum pemilihan kepala daerah. Ulasan diperkuat lewat pengalaman penulis melaksanakan tugas dan kewenangan sebagai pelaksana pengawasan pilkada maupun pemilu.

Melihat dinamika substansi bahasan, dan sistematika penyajian, menjadikan buku ini penting dibaca penyelenggara pemilihan, pasangan calon kepala daerah, mahasiswa, dan pemerhati pemilu, serta pihak yang menaruh perhatian terhadap isu demokrasi, dan penegakan hukum pemilihan.

Penulis: Ruslan Husen, S.H., M.H.
Penerbit: Bandung; Ellunar, 2020
465 hlm., 14,8 x 21 cm
ISBN: 978-623-204-615-3
Cetakan pertama, September 2020

Global State Of Democracy

356 Views

GLOBAL STATE OF DEMOCRACY


Lanskap dipengaruhi oleh globalisasi, perubahan kekuatan geopolitik, perubahan peran dan struktur organisasi dan lembaga (supra) nasional serta perkembangan teknologi komunikasi modern.

Fenomena transnasional seperti migrasi dan perubahan iklim mempengaruhi dinamika konflik dan pembangunan, warganegara dan kedaulatan negara. Meningkatnya kesenjangan, dan polarisasi sosial serta eksklusi yang dihasilkannya, mendistorsi representasi dan suara politik, mengurangi pemilih moderat yang vital.

Dinamika-dinamika tersebut berkontribusi pada munculnya pandangan yang diperdebatkan secara luas bahwa demokrasi sedang menurun. Sejumlah peristiwa yang terjadi di berbagai penjuru dunia menantang gagasan ketahanan demokrasi dan membuat sistem demokrasi tampak rapuh dan terancam. Namun, nilai-nilai demokrasi di antara warga negara, dan di dalam lembaga-lembaga, baik di tingkat nasional maupun internasional, terus diekspresikan dan dipertahankan.

Ikhtisar Global State of Democracy 2017: Mengkaji Ketahanan Demokrasi International IDEA menguraikan tantangan-tantangan utama terkini yang dihadapi demokrasi dan kondisi-kondisi yang memungkinkan bagi terciptanya ketahanan demokrasi. Berdasarkan indeks Global State of Democracy yang baru dikembangkan sebagai sebuah basis bukti kunci untuk menginformasikan intervensi kebijakan dan mengidentifikasi pendekatan-pendekatan solutif, publikasi ini menyajikan penilaian global dan regional atas status demokrasi dari tahun 1975—pada awal gelombang ketiga demokratisasi—hingga tahun 2015, dilengkapi dengan analisis kualitatif mengenai tantangantantangan demokrasi hingga tahun 2017.

Sumber: https://www.idea.int/publications/catalogue/global-state-democracy-exploring-democracys-resilience-overview?lang=id

RESTATEMENT; Kumpulan Kajian Hukum Pemilu

373 Views

Menghadapi kompleksitas penyelenggaraan tahapan Pemilu dan modus pelanggaran yang terus mengalami perkembangan dan dinamika yang cukup signifikan, Bawaslu perlu memiliki konsep yang komprehensif dan mendalam supaya dapat menyeragamkan pemahaman bagi jajarannya sampai dengan Pengawas TPS terhadap pelaksanaan serta penerapan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 masing-masing sesuai dengan tingkatannya. Penyeragaman konsep ini diharapkan mampu meminimalisasi perbedaan penafsiran terhadap penerapan hukum dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan jajaran pengawas Pemilu di masing-masing tingkatan.

Dalam rangka membangun konsep sebagaimana tersebut di atas, Bawaslu sebagai induk dari lembaga pengawas Pemilu mencoba melakukan analisis dan kajian hukum terhadap isu krusial yang terdapat dalam tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang atau akan berjalan. Kajian dan analisis hukum yang dilakukan oleh Bawaslu dalam buku ini adalah kajian dan analisis hukum terhadap isu krusial.

Selengkapnya download di sini: Restatement, Kumpulan Kajian Hukum Pemilu

 

Dinamika Pengawasan Pemilu

915 Views

Bawaslu merupakan lembaga negara yang bertugas dan berwenang dalam pengawasan tahapan Pemilu, penindakan pelanggaran Pemilu, dan penyelesaian sengketa proses Pemilu. Pada posisi ini, Bawaslu dapat dijumpai di lapangan sebagai Pengawas Pemilu untuk memastikan tata cara, prosedur, dan mekanisme tahapan Pemilu berjalan sesuai ketentuan.

Pada kesempatan berikutnya, Bawaslu dapat dijumpai sebagai Penemu atau penerima laporan terjadinya pelanggaran, yang ditindaklanjuti dengan membahas dan merekomendasi pelanggaran administratif Pemilu, pidana Pemilu, kode etik Penyelenggara Pemilu, atau pelanggaran atas peraturan perundang-undang lainnya kepada Lembaga/Instansi berwenang.

Bahkan, wujud Bawaslu dapat ditemui sebagai “Hakim Pemilu” yang mengadili dan memutus pelanggaran administratif Pemilu dalam sidang pemeriksaan yang digelar terbuka untuk umum. Demikian pula dalam penyelesaian sengketa proses Pemilu, Bawaslu dijumpai sebagai “mediator” yang memfasilitasi para pihak, Pemohon dan Termohon untuk musyawarah-mufakat atas keputusan/berita acara yang ditetapkan oleh KPU. Ketika tidak tercapai kesepakatan musyawarah, Bawaslu ditemui sebagai Hakim Pemilu dalam sidang adjudikasi yang memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa proses Pemilu.

Melihat substansi bahasan, pengungkapan gagasan, dan sistematika penyajian materi, menjadikan buku ini sangat penting dibaca oleh Penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, Mahasiswa dan Dosen Fakultas Hukum dan FISIP, kalangan eksekutif dan legislatif, serta pihak yang menaruh perhatian pada demokrasi dan penegakan hukum dan keadilan Pemilu.

Penulis: Ruslan Husen, S.H., M.H.
Penyunting: Febriani Tabita Dara Ninggar
Penata Letak: Niken Hapsari Cahyarina
Penata Sampul: Hanung Norenza Putra
Penerbit: Bandung; Ellunar, 2019
xx+318hlm., 14.8 x 21 cm
ISBN: 978-623-204-119-6
Cetakan pertama, Mei 2019


PEMESANAN MELALUI PENERBIT:
Penerbit Ellunar Bandung
SMS/WA: 0896-8530-9651
LINE: (at)ellunar (dg @)
Harga: Rp.67.000 (belum termasuk ongkos kirim)


 

Tesis: Efektivitas Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah

334 Views

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan pengawasan pengelolaan keuangan daerah Propinsi Sulawesi Tengah dan mengetahui konsekwensi yuridis apabila ditemukan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah. Metode penelitan menggunakan penelitian hukum empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Sumber data berasal dari data primer dan data sekunder. Adapun populasi penelitian terdiri dari pihak pengawas internal dan pengawas ekternal pengelola keuangan daerah, serta pihak pengelola keuangan daerah Provinsi Sulawesi Tengah. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling, yang diartikan pengambilan sampel dengan jumlah dan tujuan tertentu. Adapun analisa data dengan cara pemeriksaan, penandaan dan penyusunan sistematika data untuk selanjutnya menarik kesimpulan melalui proses berfikir induktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1). Efektivitas pengawasan keuangan daerah ditentukan oleh hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana prasarana, dukungan masyarakat dan nilai budaya. Sehingga efektifnya pengawasan keuangan daerah Provinsi Sulawesi Tengah dapat memudahkan dalam menyusun, melaksanakan, melaporkan dan memeriksa kegiatan-kegiatan dalam APBD. 2). Konsekwensi yuridis apabila ditemukan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah dengan Pemberian Sanksi Administrasi, Perdata Pidana. Konsekwensi ini dilakukan untuk meminimalkan resiko terjadinya kebocoran anggaran dalam pengelolaan keuangan daerah.

Kata Kunci:  Efektivitas Pengawasan, Pengelolaan Keuangan Daerah.

Selengkapnya Tesis dapat didownload:

1. Sampul Tesis_

2. Tesis_Efektivitas Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah

3. Lampiran_