Mengukur demokratis atau tidaknya penyelenggaraan pemilu melalui electoral laws dan electoral procces pelaksanaan pemilu. Berkaitan dengan electoral laws, pemilu dikatakan demokratis apabila peraturan penyelenggaraan pemilu tidak bertentangan dengan UU Pemilu dan UUD NRI tahun 1945. Sedangkan dalam electoral proccess, pemilu dikatakan demokratis apabila tidak terjadi pelanggaran dan permasalahan hasil pemilu itu sendiri. Jika terjadi pelanggaran pemilu dan perselisihan hasil pemilu, tersedia mekanisme hukum yang dapat digunakan agar mampu menyelesaikan permasalahan secara demokratis dan proporsional.[1]
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan memutuskan perselisihan hasil pemilu dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sebelum memutus permohonan pemohon, MK terlebih dahulu mencari kebenaran formil dan materil melalui hierarki bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak (termohon, pihak terkait dan Bawaslu), dengan urutan alat bukti; surat atau tulisan; keterangan saksi; keterangan ahli; keterangan para pihak; petunjuk; dan alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Catatan Pembuktian
Proses pemeriksaan persidangan agenda pembuktian yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK), tidak jarang menemui kritikan dan pertanyaan seputar penerapan hukum acara di persidangan. Mereka bisa berasal dari berbagai kalangan, yang disampaikan para pihak di dalam persidangan maupun mereka sampaikan di luar agenda persidangan, yang turut memperkaya khasasnah intelektual proses pembuktian di MK.
Pertama, waktu pembuktian yang terlalu singkat. Kritikan dan pertanyaan ini biasanya disampaikan pihak pemohon, yang menganggap kurang waktu dan pembatasan MK untuk memberi ruang saksi dan ahli pemohon membuktikan dalil-dalil permohonan dalam uraian persoalan yang dalam, dan tersebar di wilayah yang luas. Singkatnya batas waktu membuat Pemohon kesulitan membuktikan dalil-dalil permohonannya demi menggali kebenaran, baik secara materil maupun formil. Sebab, kualitas pembuktian juga dipengaruhi faktor keleluasan bagi para pihak untuk membuktikan argumentasi secara detil, khususnya ketika menghadirkan sejumlah saksi ataupun ahli.
Terhadap batas waktu penyelesaian PHPU telah ditetapkan dalam UU Pemilu, MK tinggal menjalankan sesuai produk legislasi pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden). Yakni, batas waktu 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) dalam penyelesaian PHPU Pilpres 2019 dan batas waktu 30 hari kerja dalam penyelesaian PHPU Pileg 2019. Pembatasan waktu ini merupakan ketentuan UU Pemilu, bukan ketentuan yang dibentuk oleh MK sendiri. MK tinggal melaksanakan dengan menyiapkan perangkat teknis, kendati dengan pemeriksaan persidangan dengan metode panel agar efektif dan pembatasan jumlah saksi dan ahli yang dihadirkan para pihak.
Kedua, anggapan mahkamah kalkulator. Sempitnya pemaknaan hasil pemilu berupa perselisihan mengenai penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh KPU membuat MK disebut “mahkamah kalkulator”. Ini karena dalam menyelesaikan sengketa PHPU, MK dibatasi untuk menilai benar atau tidaknya perhitungan suara yang telah ditetapkan secara nasional oleh KPU dan tidak lebih dari itu.
Mahkamah Konstitusi dalam PHPU merupakan lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir, sehingga erat kaitan dengan hasil secara kuantitatif. Namun, merujuk putusan MK Nomor: 062/PHPU-B-II/2014 diuraikan, selain menyelesaikan sengketa terkait dengan angka signifikan hasil akhir pemilu, MK juga mengadili konstitusionalitas pelaksanaan pemilu. Artinya, perkara yang bersifat melanggar kualitas pemilu terutama melanggar prinsip-prinsip pemilu yaitu “langsung, umum, bebas, rahasia dan adil” (luber dan jurdil) sebagaimana digariskan dalam ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tetap akan menjadi perhatian MK. Sehingga MK memutus penyelesaian PHPU tidak sekedar angka-angka hasil pemilu yang diperoleh peserta pemilu, melainkan juga terkait dengan kualitas pelaksanaan pemilu berupa meneliti pelanggaran yang tidak bisa dihitung dengan jumlah.
Ketiga, tidak adanya tolak ukur yang dapat digunakan hakim sebagai acuan dalam membuktikan unsur-unsur “Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM)” dalam pembuktian persidangan PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini membuat tafsir TSM menjadi “liar” dan berimplikasi pada perbedaan dasar pertimbangan bagi setiap hakim dalam memutus perkara di MK.
Perlu ada kesepakatan tegas yang dituangkan dalam kodifikasi ketentuan UU Pemilu, bahwa pelanggaran pemilu dapat dikatakan bersifat terstruktur, sistematis, dan masif ketika pelanggaran tersebut dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara pemilu, telah direncanakan secara matang dan berdampak sangat luas, serta terjadi secara merata di hampir semua wilayah yang menjadi cakupan dari penyelenggaraan pemilu. Selain itu, unsur TSM menjadi satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, MK hanya dapat membatalkan hasil pemilu apabila unsur tersebut terpenuhi secara kumulatif di dalam fakta persidangan.
Keempat, adanya kebutuhan perlindungan saksi. Perlindungan saksi tersebut bahkan tidak saja ditujukan bagi saksi semata, namun kepada semua pihak yang berpotensi mendapatkan ancaman atau intimidasi. Bahkan bukan hanya dalam sengketa hasil Pemilu, tetapi juga dalam pengujian undang-undang, ataupun perkara lain yang menjadi kewenangan MK.
Kondisi saat ini, belum terdapat formula sistem yang mampu menyediakan perlindungan saksi tersebut secara terintegrasi. Sebab, ancaman atau intimidasi itu justru berpotensi terjadi di luar gedung MK, bukan di dalam ruang sidang MK. Sehingga, kerjasama lebih lanjut perlu dibangun antara MK, LPSK, Kepolisian, dan para penegak hukum lainnya guna menemukan formulasi perlindungan saksi dan pihak lain yang terkait, agar tidak ada keraguan untuk hadir dan memberikan kesaksian dan kontribusi terkait di muka persidangan.
Catatan Putusan
Tahapan pelaksanaan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk pemilihan anggota DPR DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2019 telah usai yang ditandai dengan pengucapan putusan/ketetapan atas perkara yang diterima, diperiksa dan diadili Mahkamah Konstitusi (MK). Mayoritas amar putusan MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima sebagai akibat permohonan tidak jelas atau kabur (obscuur libel) yang berarti ada syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) dan syarat-syarat kejelasan permohonan yang tidak terpenuhi. Melalui catatan ini, diuraikan penyebab putusan MK yang pada pokoknya menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima, dan ketetapan MK yang menyatakan permohonan gugur atau mengabulkan penarikan permohonan pemohon.
Pertama, perubahan (renvoi) permohonan bersifat substantif. Pada kasus ini terdapat renvoi permohonan dilakukan sebelum dan selama sidang pendahuluan bahkan ada renvoi dalam sidang lanjutan agenda jawaban termohon dan keterangan pihak terkait dan keterangan Bawaslu. Pada posisi ini pemohon melakukan renvoi permohonan karena terkait dengan objek substansi permohonan, jika tidak dilakukan renvoi jelas materi permohonan menjadi tidak jelas atau kabur, demikian pula saat melakukan renvoi akan dicatat Mahkamah sebagai ketidakpatuhan atas hukum acara persidangan (cacat formil).
Seharusnya renvoi permohonan yang bersifat substantif dilakukan oleh pemohon dalam tenggang waktu perbaikan permohonan yang ditentukan dalam hukum acara MK. Ketentuan Pasal 13 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya ditulis PMK 2/2018) menyatakan “Pemohon atau kuasa hukum dapat menyerahkan perbaikan Permohonan dalam jangka waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak APBL diterima Pemohon”.
Akibat hukum renvoi substansial setelah lewat jangka waktu perbaikan permohonan, sebagaimana tergambar dalam putusan MK nomor: 147-02-26/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 atas Pemohon Partai Gerindra dalam Perkara Pemilihan Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah yang pada pokonya renvoi bersifat substansial dilakukan pemohon saat pemeriksaan pendahuluan. Atas hal ini, Mahkamah Konstitusi menganggap renvoi tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum sehingga menyebabkan permohonan cacat formil dan berakibat permohonan menjadi kabur. Selanjutnya MK memutus perkara yang dimohonkan pemohon dalam amar putusan, permohonan tidak dapat diterima.
Kedua, kedudukan hukum (legal standing) pemohon tidak terpenuhi. Pada kasus ini terdapat permohonan pemohon yang tidak ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal Partai Politik atau permohonan pemohon yang merupakan calon anggota legislatif yang tidak melampirkan persetujuan tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal Partai Politik yang bersangkutan.
Pengertian pemohon diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf a dan b PMK 2/2018, yang menyatakan “Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a adalah :
a. Partai Politik Peserta Pemilu untuk pengisian keanggotaan DPR dan DPRD.
b. Perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu Partai Politik yang sama yang telah memeroleh persetujuan secara tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari Partai Politik yang bersangkutan.” Selanjutnya
Permohonan dari Partai Politik mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) PMK 2/2018, yang menyatakan “Pengajuan Permohonan oleh DPP Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya”. Hal ini berbeda untuk permohonan perseorangan untuk pemilihan calon anggota DPD, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) PMK Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang menyatakan “Pemohon dalam perkara PHPU anggota DPD adalah perseorangan Peserta Pemilu untuk pengisian keanggotaan DPD”.
Akibat hukum atas kedudukan hukum (legal standing) pemohon yang mengajukan permohonan PHPU tidak terpenuhi, MK menjatuhkan putusan yang dalam amarnya, permohonan gugur.
Ketiga, objek permohonan keliru. Pada kasus ini terdapat permohonan pemohon yang mempermasalahkan (objek permohonan) keputusan KPU Provinsi atau keputusan KPU Kabupaten/Kota yang menetapkan perolehan suara hasil pemilu anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.
Padahal seharusnya objek permohonan adalah keputusan KPU RI yang menetapkan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR dan DPRD secara nasional yang memengaruhi perolehan kursi Pemohon dan/atau terpilihnya calon anggota DPR dan/atau DPRD di suatu daerah pemilihan. Ketentuan terkait ditemukan dalam Pasal 5 PMK 2/2018 yang menyatakan “Objek Perkara PHPU anggota DPR dan DPRD adalah keputusan Termohon tentang penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR dan DPRD secara nasional yang memengaruhi perolehan kursi Pemohon dan/atau terpilihnya calon anggota DPR dan/atau DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) di suatu daerah pemilihan”.
Akibat hukum atas objek permohonan pemohon yang keliru, MK menilai permohonan tidak jelas atau kabur hingga menjatuhkan putusan yang dalam amarnya, permohonan pemohon tidak dapat diterima.
Keempat, pertentangan petitum, kecuali petitum pemohon disusun alternatif. Pada kasus ini petitum pemohon disusun secara komulatif, artinya meminta kepada Mahkamah untuk mengabulkan secara keseluruhan petitum permohonan. Kejelian dan ketelitian pemohon dan kuasa hukumnya harus menguasai teknis dan struktur permohonan, saat mana disusun secara alternatif (ada kata “atau”) dan saat mana disusun secara komulatif.
Pada perkara tersebut MK mencermati petitum permohonan pemohon yang dirumuskan secara kumulatif, telah terjadi pertentangan antara yang satu bagian petitum dengan bagian petitum yang lainnya. Konsekuensi yuridisnya, jika dikabulkan petitum yang satu maka akan bertentangan dengan petitum yang lainnya. Berbeda halnya jika petitum pemohon dirumuskan secara alternatif. Atas dasar ini Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan pemohon tidak jelas atau kabur.
Akibat hukum atas penyusunan petitum permohonan yang bertentangan satu dengan yang lainnya, MK menilai permohonan tidak jelas atau kabur hingga menjatuhkan putusan yang dalam amarnya, permohonan pemohon tidak dapat diterima.
Kelima, pokok permohonan tidak menguraikan secara jelas atas selisih perhitungan suara, penyebab terjadi selisih perhitungan suara dan perhitungan suara yang benar menurut pemohon serta tidak ada permintaan untuk membatalkan penetapan suara termohon. Atas permohonan seperti ini, MK menilai permohonan tidak jelas atau kabur hingga menjatuhkan putusan yang dalam amarnya, permohonan pemohon tidak dapat diterima.
Sejatinya syarat formil mendasar permohonan pemohon ketika mengemukakan dasar-dasar atau alasan-alasan mengajukan permohonan (fundamentum petendi) adalah keharusan persandingan perolehan suara pemilu menurut termohon dengan perolehan suara yang benar menurut pemohon. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Junto Pasal 9 ayat (1) huruf b angka 4 dan angka 5 PMK 2/2018 yang menyatakan “Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:
a. kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan
b. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.”
Keenam, pihak terkait tidak memiliki kedudukan hukum. Ini sebagai akibat atas tidak adanya permohonan Partai Politik peserta pemilu sebagai pihak terkait yang ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal, dan keterangan pihak terkait secara tertulis yang disampaikan paling lama dua hari sebelum sidang pendahuluan. Artinya, walaupun ada keterangan pihak terkait yang disampaikan, tetapi tidak ada permohonan yang ditandatangani oleh Partai Politik, maka syarat formil pengajuan pihak terkait tetap tidak terpenuhi. Akibatnya keterangan tertulis yang disampaikan tidak menjadi pertimbangan hakim lebih lanjut.
Demikian yang terbaca dalam putusan MK Nomor: 98-19-26/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 atas Pemohon PBB untuk Pokok Perkara Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Morowali Utara, yakni Partai Nasdem dan PPP telah menyerahkan keterangan pihak terkait kepada Mahkamah 2 (dua) hari sebelum Sidang Pemeriksaan Pendahuluan. Namun, surat permohonan menjadi Pihak Terkait Partai Nasdem dan surat permohonan untuk menjadi Pihak Terkait PPP yang diajukan ternyata tidak ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal Partai Politik yang bersangkutan. Sehingga, Mahkamah menilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pihak Terkait dalam permohonan tersebut serta keterangan yang diajukan tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah.
Ketentuan atas pihak terkait dalam PHPU diatur pada Pasal 3 ayat (3) huruf a dan b PMK Nomor 2/2018 yang menyatakan “Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c adalah:
a. Partai Politik Peserta Pemilu yang berkepentingan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
b. Perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu Partai Politik yang sama yang telah memeroleh persetujuan secara tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari Partai Politik yang bersangkutan yang berkepentingan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.”
Pihak terkait dalam memberikan keterangan tertulis harus memperhatikan Pasal 23 ayat (1) dan (2) PMK Nomor 2/2018 yang menyatakan “(1) Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dapat mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait dengan disertai Keterangan Pihak Terkait paling lama 2 (dua) hari sebelum sidang Pemeriksaan Pendahuluan. (2) Permohonan sebagai Pihak Terkait dan Keterangan Pihak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh DPP Partai Politik Peserta Pemilu yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya”.
Ketujuh, pemohon tidak menghadiri sidang pemeriksaan pendahuluan dan sidang pemeriksaan. Terhadap ketidakhadiran pemohon dan/atau kuasa hukumnya mengakibatkan konsekuensi yuridis yang berbeda. Ketidakhadiran pemohon dan/atau kuasa hukumnya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan berkonsekwensi pada permohonan gugur. Ketentuan ini merujuk Pasal 38 ayat (2) PMK Nomor 2/2018 yang menyatakan “Dalam hal Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir dalam Pemeriksaan Pendahuluan tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, Mahkamah menyatakan Permohonan gugur.”
Selanjutnya ketidakhadiran pemohon dan/atau kuasanya pada sidang pemeriksaan tanpa alasan yang sah akan berkonsekwensi pada permohonan tidak dapat diterima. Ketentuan ini merujuk pada Pasal 41 Ayat (2) PMK Nomor 2/2018 yang menyatakan “Dalam hal Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir dalam Pemeriksaan Persidangan tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, Mahkamah menyatakan Permohonan tidak dapat diterima”.
Penutup
Kepatuhan MK dalam penerapan hukum acara persidangan sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor 2/2018, mengindikasikan proses tahapan pemilu tahun 2019 telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu. Walaupun diakui masih banyak masalah yang menyelimuti pelaksanaan pemilu, sebagai bahan evaluasi pelaksanaan kontestasi pemilihan ke depan. Tapi, saluran-saluran penyelesaian masalah pemilu tadi, telah ada jalur dan prosedurnya dalam penyelesaian berjenjang dan per/tahapan pada masing-masing tingkatan sesuai dengan hukum pemilu.
Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan penyelesaian sengketa hasil pemilu, turut menerima, memeriksa dan mengadili permohonan pemohon yang bersinggungan dengan penetapan perolehan suara hasil pemilu, termasuk menilai penyelesaian masalah tahapan pemilu, tetapi tidak mengambil alih kewenangan lembaga lain. Terutama tergambar lewat pemeriksaan PHPU Pileg tahun 2019, MK sangat patuh terhadap terpenuhi syarat formil pemeriksaan perkara, yang kesemuanya menjadi satu kesatuan hukum acara pemeriksaan hingga mayoritas amar putusan, “permohonan pemohon tidak dapat diterima atau permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya.”
Catatan Kaki:
[1] Harry Setya Nugraha, 2015, Redesain Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 3 Vol. 22 Juli 2015, Yogyakarta, hlm. 428.