Sistem Pemeritahan dan Kebijakan Luar Negeri Arab Saudi

557 Views

Oleh : Nadia.S.Sy. M.H
(Dosen Universitas Islam Negeri Datokarama Palu)

Pendahuluan

Islam awal mulanya lahir dan berkembang di Mekkah dan Madinah yang kemudian menyebar hampir keseluruh jazirah Arab pada masa Nabi. Cakupan wilayah dunia Islam pada masa Nabi hanya meliputi yang saat ini kita kenal dihuni oleh negara-negara monarki seperti Arab Saudi, Qatar, Oman, Bahrain, Uni Emirat Arab, Yaman dan Kuwait. Sedangkan pada Sahabat di bawah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali berhasil mengembangkan Islam ke arah utara. Abu Bakar dalam masa kepemimpinannya telah memperluas Islam hingga ke sebagian Suriah melalui Amru bin Ash dan Irak melalui Khalid bin Walid.

Pada masa Umar perkembangan Islam mengalami kemajuan yang luar biasa hingga ke seluruh wilayah Irak, Palestina, dan Mesir. Masa Utsman perluasan wilayah Islam telah mencapai Cyprus dan Tripoli. Dalam kepemimpinan Ali perluasan wilayah Islam hampir tidak memngalami perkembangan yang berarti karena terjadinya konflik internal umat Islam yang secara otomatis menghentikan agresifitas perluasan wilayah Islam. Cakupan wilayah Islam pada masa sahabat telah mencakup wilayah yang cukup luas yang membentang dari Iran hingga sebagian Arab Barat. Wilayahnya meliputi yang saat ini dihuni oleh semua negara Teluk, semua negara Arab Timur dan Iran, negara-negara Delta Nil dan sebagian Arab Barat.[1]

Masa bani Umayyah perluasan Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat dibanding sebelumnya, karena pada masa ini perluasan Islam telah meliputi berbagai penjuru terutama Barat, Timur dan Utara. Ke arah Barat, perluasan Islam telah mencapai samudra Atlantik dan menyebrang ke Granada dan kota-kota lainnya di Spanyol dan Bordeuox Perancis. Ke Timur, perluasan wilayah hingga mencakup Irak bagian Timur, Turkistan dan Sindh. Sementara ke wilayah Utara  Islam telah mencakup Wilayah konstantinopel (Istanbul), dan Asia kecil. Jika dibandingkan dengan imperium-imperium besar dalam sejarah dunia seperti Romawi dan Persia maka Islam tidak kalah dengan kedua imperium ini.[2]

Setelah masa ini, perluasan wilayah Islam tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Seperti halnya imperium-imperium besar lainnya setelah mengalami masa-masa kejayaan dan perkembangan pasti mengalami masa kemunduran dan keruntuhan. Demikian pula halnya Islam, setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani yang menjadi simbol kekuatan terbesar umat Islam pada tahun 1924, kekuatan atau kepemimpinan politik umat Islam secara otomatis menjadi terpecah belah ke dalam berbagai kawasan salah satunya adalah kawasan Arab teluk yang di dalamnya dihuni oleh negara-negara Monarki seperti Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, kuwait dan juga Iran.

Arab Teluk adalah satu kawasan yang sangat kaya dengan dengan limpahan minyaknya, sehingga perekonomian negara-negara yang berada di wilayah Arab Teluk mempunyai kekuatan ekonomi yang benar-benar kuat yang dapat dikatakan hampir tidak ada negara-negara Muslim yang berada di kawasan lainnya yang dapat menyamai kekayaan negara-negara ini. Barakah minyak yang dimiliki negara-negara yang berada di kawasan Arab Teluk telah menjadikan negara ini mampu memberikan kesejahteraan secara ekonomis terhadap penduduknya, walaupun sistem pemerintahan negara yang berada di kawasan ini seuruhnya menganut sistem monarki Absolut terkecuali Iran.

Makalah ini, penulis memfokuskan pembahasan pada negara Arab teluk yaitu Arab Saudi. Ada dua alasan mengapa Arab Saudi menjadi pembahasan yang menarik dan perlu untuk dikaji lebih lanjut. Pertama, Arab Saudi adalah negara yang kita kenal menjadi awal mula munculnya Islam yang di bawa oleh Nabi, yang di dalamnya terdapat dua kota suci Mekkah dan Medinah atau yang dikenal dengan istilah Al-Haramain yang menjadi sental penyebaran agama Islam pada masa itu. Ini menjadi dasar bagi kita untuk mengetahui bagaimana sistem pemerintahan Arab Saudi, baik dari segi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatifnya.

Kedua, hal yang menarik dalam membahas Arab Saudi adalah ditinjau dari politik hubungan luar negerinya. Kita ketahui Arab Saudi dalam hubungan luar negerinya awalnya mempunyai hubungan yang erat dengan Inggris pada masa perang dunia I tahun (1901-1930) bahkan mereka sempat membuat kesepakatan atau perjanjian. Akan tetapi, dalam perjalannya perjanjian ini dibatalkan dan Arab Saudi lebih memilih untuk mempunyai hubungan yang erat dengan Amerika Serikat yang dimulai dari raja Abdul aziz ibn Saud   hingga sekarang pangeran Abdullah yang menggantikan raja Fahd. Selain mempunyai hubungan yang erat dengan Amerika, Arab Saudi juga mempunyai hubungan yang erat dengan negara-negara lain termasuk Indonesia yang tidak hanya berkutat pada hubungan ketenegakerjaannya (TKI dan TKW) tetapi juga persoalan politik.

Kerangka Teori

Menjelaskan problematika tulisan ini, penulis menggunakan teori sistem dan teori hubungan internasional. Menurut David Easton Teori sistem adalah suatu model yang menjelaskan hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit (yang bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat buruh, organisasi soial, lembaga swadaya masyarakat dan  organisasi pemerintah).

Sedangkan teori sistem menurut Michael Rush dan Philip Althoff menyatakan bahwa gejala sosial merupakan bagian dari politik tingkah laku yang konsisten, internal dan reguler dan dapat dilihat serta dibedakan, karena itu kita bisa menyebutnya sebagai: sistem sosial, sistem politik dan sejumlah sub-sub  lainnya.[3] Teori sistem digunakan untuk menjelaskan sistem pemerintahan Arab Saudi dan hubungan-hubungan yang ada di dalamnya.

Teori hubungan internasional adalah suatu teori yang menjelaskan bagaimana negara-negara berhubugan satu sama lain dalam politik dunia. Dalam teori hubungan internasional pendekatan kebijakan luar negeri selalu menjadi hal yang tidak dipisahkan dan selalu memuat penjelasan tentang kebijakan luar negeri.[4] Karena, itu dalam melihat hubungan luar negeri Arab Saudi dengan negara lain teori hubungan internasional dengan pendekatan kebijakan luar negeri sangat relefan untuk menjelaskan permasalahan tersebut.

Pembahasan

1.  Sistem Pemerintahan Arab Saudi

Tulisan ini tidak akan menjelaskan tentang sejarah terbentuknya kerajaan Arab Saudi yang dipengaruhi oleh paham Wahabi yang di bawa oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dan detail perkembangannya mulai raja pertama dari raja Abdul Aziz Ibn Saud hingga sampai kepada raja Abdullah sekarang yang menggantikan raja Fahd mulai dari tahun 2005 hingga sekarang. Pembahasan makalah ini lebih berfokus pada persoalan sistem pemerintahan Arab Saudi yang ada pada saat ini, dan hubungan luar negeri yang dibangunnya khususnya dengan Amerika dan Indonesia.

Arab Saudi adalah sebuah negara yang berbentuk monarki atau kerajaan. Selain itu, Arab Saudi juga terkenal sebagai negara Islam yang kaya karena memiliki kekayaan alam berupa minyak bumi. Walaupun Arab Saudi merupakan negara Islam, Arab Saudi tidak menggunakan sistem pemerintahan Islam dalam menjalankan roda pemerintahannya.  Sistem pemerintahan yang berlaku di Arab Saudi adalah sistem pemerintahan Monarki atau kerajaan. Arab Saudi yang menjalankan sistem pemerintahan monarki dengan beberapa penyesuaian yang diputuskan berdasarkan kondisi negara itu sendiri.

Raja Arab Saudi menyandang gelar sebagai penjaga dan pelayan umat Islam. Pada prakteknya, gelar itu hanya untuk menegaskan posisi moral otoritas raja Arab Saudi yang diklaim untuk dirinya sendiri dalam kaitannya dengan dunia Islam. Sehingga tidak heran bila hukum yang berlaku di Arab Saudi adalah hukum syariat Islam yang berdasarkan pada ajaran agama Islam yang bersumber dari Al-qur’an dan Hadits Nabi. Selain sebagai pelayan umat Islam raja Arab Saudi juga mempunyai peran sebagai kepala negara, perdana menteri, panglima angkatan perang, penjaga dua kota suci atau Khadim Al-Haramain, raja mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan dewan menteri dan juga raja mempunyai otoritas untuk menfsirkan hukum setelah melalui sejumlah konsultasi dan konsensus. [5]

Banyak negara-negara di dunia yang memandang sistem pemerintahan monarki atau kerajaan yang dijalankan di Arab Saudi merupakan sistem pemerintahan monarki yang kuno dan reaksioner. Bahkan menurut nasionalis Arab Saudi yang revolusioner, Arab Saudi adalah negara buatan yang dibentuk oleh kekuatan kolonial dalam rangka memenuhi kepentingan impreialisme barat. Walaupun pada kenyataannya pandangan sinis tersebut tidak sepenuhnya benar.

Sebagai negara berbentuk kerajaan dengan sistem pemerintahan absolut berdasarkan agama Islam, semua hukum yang berlaku di Arab Saudi dibuat berdasarkan syari’at Islam. Sampai pada tuntunan atau panduan raja sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara di Arab Saudi juga dibuat berdasarkan ajaran agama Islam. Di Arab Saudi, sistem pemerintahan monarki yang dijalankan adalah sistem pemerintahan monarki yang absolut dimana kekuasaan raja tidak terbatas. Raja juga memegang kekuasaan kepala negara dan kepala pemerintahan. berada di tangan raja.[6]

Negara Arab Saudi walaupun sistem pemerintahannya berdasarkan monarki absolut, negara ini juga memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagaimana yang ada pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan republik, walaupun lembaga-lembaga tersebut masih berada dalam kontrol raja dan belum mempunyai fungsi independensi sebagaimana yang berlaku di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan republik yang dalam hal ini termasuk Indonesia.

a.  Cabang Eksekutif

Pemimpin eksekutif di Arab Saudi adalah raja dan Perdana menteri yaitu Abdullah bin Abdul-Aziz Al Saud sejak 1 Agustus 2005 sampai sekarang. Arab Saudi merupakan salah satu negara di dunia dimana raja memegang dua peran utama yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Arab Saudi dipimpin oleh seorang raja yang dipilih berdasarkan garis keturununan atau orang yang diberi kekuasaan langsung oleh raja.

Hal ini berdasarkan pasal 5 Basic Law of Government yang menyatakan kekuasaan kerajaan diwariskan kepada anak dan cucu yang paling mampu dari pendiri Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al-Saud, dimana raja merangkap perdana menteri dan panglima tinggi angkatan bersenjata Arab Saudi. Pada tanggal 20 Oktober 2006 Raja Abdullah telah mengamandemen pasal ini dengan mengeluarkan UU yang membentuk lembaga suksesi kerajaan (Allegiance Institution) terdiri dari para anak dan cucu dari Raja Abdul Aziz Al-Saud. Dalam ketentuan baru, raja tidak lagi memilki hak penuh dalam memilih Putera Mahkota. Raja dapat menominasikan calon Putera Mahkota. Namun, Komite Suksesi akan memilih melalui pemungutan suara. Selain itu, bila Raja atau Putera Mahkota berhalangan tetap, Komite Suksesi akan membentuk Dewan Pemerintahan Sementara (Transitory Ruling Council) yang beranggotakan lima orang.[7]

Dalam pemerintahan Arab Saudi para dewan Menteri-Menteri ditunjuk langsung oleh raja yang mayoritas berasal dari keturunan dan kaum kerabat raja. Tetapi, semenjak oktober 2003 ada upaya perbaikan terhadap sistem pemilihan ini  dengan mengumumkan niat untuk mengadakan pemilu dari setengah anggota wakil pemerintah lokal dan propinsi dan sepertiga dari anggota dewan al-syura dalam waktu empat sampai lima tahun.[8]

b.  Cabang Legislatif

Negara Arab Saudi memiliki badan legislatif atau disebut Majlis Al-Shura.  Raja Fahd Pelayan Dua Kota Suci telah memperkokoh sendi-sendi Syura di Saudi Arabia dengan mengeluarkan sistem yang baru untuk Majelis Syura tertanggal 27/8/1412 H sebagai ganti sistem yang lama tahun 1347 H yang lebih menjadikan raja sebagai penafsir tunggal dalam persoalan undang-undang dan seluruh persoalan sosial lainnya, dan mengesahkan Peraturan Intern Majelis dan ketentuan-ketentuan umum yang menyertainya pada tanggal 3/3/1414 H, kemudian pada Sidang Majelis I menetapkan untuk Majelis seorang ketua dan 60 anggota.

Sedang pada Sidang II, Majelis menjadi teridiri dari seorang ketua dan 90 anggota. Pada Sidang III, Majelis berubah terdiri dari seorang ketua dan 120 anggota. Lalu pada Sidang IV terdiri dari seorang ketua dan 150 anggota yang mereka itu berasal dari para ulama, pakar dan spesialis dalam bidangnya Majelis Al-Shura menasihati Raja dan juga Dewan Menteri-Menteri tentang isu-isu terkait program-program serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Peran utama majllis ini untuk mengevaluasi, menafsirkan dan memperbaiki hukum pemerintah, hukum kecil, kontrak dan perjanjian internasional.[9]

Pada tanggal 26/6/1426 H = 1/8/2005 M Pelayan Dua Kota Suci raja Abdullah bin Abdul Aziz yang menggantikan raja Fahd, beliau memberikan perhatian yang sangat penuh terhadap Majelis ini dengan mendukung langkah-langkahnya dan memperkuat tujuan-tujuannya sejak beliau menjadi Putra Mahkota, dimana beliau menyampaikan pidato mewakili raja pada permulaan tugas tahunan Majelis dalam Sidang Majelis III dan IB, di samping dukungan yang beliau lakukan kepada Majelis melalui revisi beberapa materi Undang-undang Majelis agar sesuai dengan berbagai perubahan positif yang senantiasa muncul, yang dialami oleh Arab Saudi untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Para elit yang menjadi anggota dalam Majelis yang baru, selama keempat sidangnya, telah menunjukkan kualifikasi mereka dengan menghasilkan pekerjaan-pekerjaan besar dan keputusan-keputusan penting dalam waktu yang cukup singkat.[10]

Adanya lembaga legislatif atau Majlis Al-Shura ini yang kemudian terus dikembangkan oleh raja Fahd maupun raja Abdullah yang memerintah sekarang, Arab Saudi mulai mengalami perkembangan ke arah monarki konstitusional. Kekuasaan atau wewenang raja mulai mengalami pergeseran walaupun lembaga ini prosedur kinerjanya belum sepenuhnya independen karena masih mempertimbangkan pendapat dari raja dan masih berada dalam kontrol raja Arab Saudi.

c.  Cabang Kehakiman atau Lembaga Yudikatif

Lembaga yudikatif Arab Saudi memiliki lembaga Pengadilan tertinggi yakni Dewan Kehakiman Agung, yang membicarakan hal-hal yang disebut oleh Raja. Ia juga merupakan makhamah banding tertinggi dan menimbang banding dan juga merevisi kasus yang melibatkan hukuman mati atau mutilasi yang dijatuhkan oleh pengadilan rendah. Pengadilan Tingkat kedua terdiri dari dua pengadilan yang mendengar rayuan dan yang tertinggi adalah Pengadilan Banding yang terdiri dari lima atau lebih hakim. Pengadilan ini bisa mendengar semua rayuan kecuali kasus-kasus dari badan administratif dan pengadilan atau konflik antara pengadilan syariah rendah dengan pengadilan yang lain. Setelah itu adalah Pengadilan Terbatas yang mendengar kasus-kasus kecil melibatkan hal perdata atau pidana. Sedangkan pengadilan terendah adalah Pengadilan Umum yang mendengar kasus pribadi, sipil, keluarga dan kriminal.[11]

d.  Administrasi Pemerintahan

Adapun yang berkaitan dengan Administrasi pemerintahan Arab Saudi, negara ini telah membentuk kabinet yang berkaitan dengan tata pemerintahan pada tahun 1373H/1953M. Majelis ini sekarang mencakup sejumlah departemen yang berkompeten, seperti: Pertahanan, Luar Negeri, Dalam Negeri, Keuangan, Ekonomi dan Perencanaan, Perminyakan dan Pertambangan, Kehakiman, Urusan Islam, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan, Pendidikan dan Pengajaran, Pendidikan Tinggi, Kebudayaan dan Informasi, Perdagangan dan Perindustrian, Air dan Listrik, Pertanian, Pekerjaan, Urusan Sosial, Komunikasi dan Teknologi Informasi, Urusan Kota dan Pedesaan, Haji, dan Layanan Sipil.[12]

e.  Pemerintah Daerah

Ada 13 mintaqah atau daerah propinsi di Arab Saudi dan setiap area adalah dipimpin oleh seorang gubernur yang disebut Amir yang ditunjuk oleh raja. Amir ini pula adalah dibantu oleh seorang wakil gubernur dan juga majelis daerah. Dewan ini terdiri dari ketua-ketua departemen pemerintah tingkat daerah. Disamping itu, acara ini juga dibantu oleh suatu majelis 10 anggota orang-orang ternama di masyarakat masing-masing yang ditunjuk setiap empat tahun.[13]

Adapun mintaqah atau propinsi dalam kerajaan Arab Saudi sekarang terdiri dari 13 propinsi sebagai berikut:

  1. Propinsi Daerah Riyadh Ibukota: Riyadh
  2. Propinsi Daerah Makkah Al-Mukarramah Ibukota: Mekkah Al-Mukarramah
  3. Propinsi Daerah Madinah Al-Munawwarah Ibukota: Madinah Al-Munawwarah
  4. Propinsi Daerah Al-Qashim Ibukota: Buraidah
  5. Propinsi Daerah Timur Ibukota: Damam
  6. Propinsi Daerah Asir Ibukota: Abha
  7. Propinsi Daerah Tabuk Ibukota: Tabuk
  8. Propinsi Daerah Hail Ibukota: Hail
  9. Propinsi Daerah Perbatasan Utara Ibukota: Ar-ar
  10. Propinsi Daerah Jizan Ibukota Jizan
  11. Propinsi Daerah Najran Ibukota: Najran
  12. Propinsi Daerah Al-Baahah Ibukota: Al-Baahah
  13. Propinsi Daerah Al-Juf Ibukota: Sakaka[14]

f.  Pemerintah Lokal

Ada 178 Dewan  pembuangan  kota di sini dan setiap acara memiliki anggota antara empat sampai empat belas orang tergantung pada ukuran nya. Kota yang utama  seperti Riyadh, Dammam, Jeddah, Mekah dan Madinah memiliki 14 orang anggota dalam pemerintahan lokal. Pemerintah lokal di Taif, Al-Ahsa, Buraidah, Abha, Hail, Tabuk, Jizan, Bahaah, Najran, Al-Juf dan Wilayah Perbatasan Utara memiliki 12 orang anggota dan majelis di Khamis Mushait, Unaizah, Alkharj, Hafr Al-Baten dan Yanbu ada 10 orang anggota. Pada 2005, separuh dari Dewan ini dipilih melalui cara demokratis yaitu secara pemilu. Sedangkan sisanya lagi ditunjuk oleh pemerintah.[15]

2.  Hubungan Luar Negeri Arab Saudi

Arab Saudi dalam hubungan luar negeri dengan negara-negara lain dan masyarakat internasional bertitik tolak dari prinsip, dasar, dan fakta geografi, sejarah, agama, ekonomi, keamanan, dan politik, serta dalam kerangka utama yang terpenting di antaranya menjaga hubungan baik dengan negara tetangga dan menghindari segala bentuk intervensi dalam urusan dalam negeri negara-negara lain, memperkuat hubungan dengan negara-negara Teluk dan Jazirah Arabia; dan mendukung hubungan dengan negara-negara Arab dan Islam melalui segala hal yang membantu kepentingan bersama dan melindungi permasalahannya. Saudi Arabia mengikuti kebijakan nonblok, dan membangun hubungan kerjasama dengan berbagai negara sahabat, serta memainkan peran aktif melalui berbagai organisasi regional dan internasional. Kebijakan ini digalakkan melalui berbagai lingkup (Teluk, Arab, Islam dan internasional).[16]

Pembahasan ini penulis tidak menjelaskan secara detail mengenai hubungan luar negeri Arab Saudi dengan negara-negara lain, baik yang berada di kawasan Arab Teluk maupun negara-negara Islam secara umum, mengingat luasnya pembahasan tersebut ditambah referensi yang kurang memadai, sehingga penulis hanya membahas hubungan luar negeri Arab Saudi yang berkaitan dengan Amerika dan Indonesia.

a.  Hubungan Arab Saudi dengan Amerika

Jika kita menganalisa dasar hubungan Arab Saudi dengan negara-negara lain yang didasarkan pada berbagai aspek, maka hubungan Arab Saudi dengan    Amerika didasarkan pada persoalan ekonomi dan keamanan. Kepentingan Arab Saudi terhadap adalah dalam dua hal, yang pertama persoalan eksplorasi minyak yang ada di Arab Saudi, dan juga persoalan keamanan yaitu Arab Saudi meminta bantuan dari Amerika untuk melindungi kerajaan Arab Saudi dari kekuatan oposisi maupun negara lain yang mencoba merongrong dan meruntuhkan kerajaan Arab Saudi.

Hubungan Saudi-Amerika telah terbentuk pada masa Perang Dunia II, dan pada tanggal 18 Februari 1943, Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt mengumumkan bahwa “membela Arab Saudi adalah sangat vital bagi pertahanan Amerika Serikat,” sementara perusahaan-perusahaan minyak Amerika Serikat telah merintis jalan untuk mengukuhkan hubungan ini sepuluh tahun sebelum Roosevelt mengumumkannya, ketika perusahaan Standard Oil of California mendapatkan monopoli untuk pengeboran minyak di wilayah Kerajaan Arab Saudi.[17]

Pada bulan juni 1974 tercapailah kesepakatan yang dikenal dengan istilah jual-beli Militer Amerika-Saudi. Selanjutnya pada waktu itu dibentuk badan bersama Amerika-Saudi untuk kerjasama bidang ekonomi dan bisnis, dan badan kerjasama untuk urusan keamanan. Ketua badan ini dibentuk oleh Menlu Amerika Henry Kissinger seorang Yahudi dan raja Fahd bin Abdul Aziz (yang pada saat itu belum dilantik menjadi raja).[18]

Selama masa 70 tahun, keseimbangan antara perlindungan terhadap rezim Saudi dan aliran minyak dengan harga yang bagus diterapkan. Meskipun hubungan-hubungan ini menghadapi beberapa kali ketidaksepahaman satu sama lain dan bahkan ketegangan, namun kasus-kasus demikian tidak terlalu dianggap penting. Namun, belakangan ini keharmonisan tersebut tidak lagi dalam bentuk yang sama seperti sebelumnya, dan lebih cenderung terguncang.

Akhir-akhir ini, komplain dari pejabat resmi Saudi terdengar karena kepentingan-kepentingan dari aliansi kuat antara dua negara ini telah terguncang. Hal ini membuat Menteri Luar Negeri AS, John Kerry mengadakan kunjungan darurat ke Riyadh pada bulan November 2013, ia bertemu dengan Raja Abdullah, Menteri Luar Negeri Saud Al Faysal, dan beberapa pejabat resmi Saudi lainnya; namun diragukan apakah Kerry sukses untuk membatasi atau mencegah lebih jauh kemerosotan hubungan dua negara.[19]

Setelah pengumuman tercapainya perjanjian Jenewa 24 November 2013 pada persoalan Nuklir Iran antara kelompok negara P5+1 dan Iran, frustasi Arab Saudi kepada pemerintah Obama mencapai puncaknya. Hal ini bukan semata-mata karena penandatanganan perjanjian, namun lebih pada jalan yang dicapai, bahwa perjanjian itu disiapkan di bawah kerahasiaan total dengan negosiasi melalui jalur samping antara utusan Amerika Serikat dan Iran melalui beberapa tahap, setidaknya delapan bulan sebelum akhirnya penandatanganan perjanjian di Jenewa.[20]

Setelah kepercayaan keluarga Kerajaan Saudi terhadap Washington terguncang dan mengekspresikan perasaan tidak senangnya yang mereka mampu tunjukkan secara maksimum, akankan Saudi berpisah dengan Amerika Serikat? Nampaknya ini tidak akan terjadi, karena Saudi tidak memiliki tempat lain untuk pergi – berdasarkan beberapa analis asal Amerika.Duta besar Amerika Serikat untuk Riyadh tahun 2001-2003, Robert Jordan, mengatakan: “Tidak ada negara di dunia ini lebih mampu memberikan perlindungan pada ladang minyak dan ekonomi mereka selain dari Amerika Serikat, dan Arab Saudi menyadari itu.[21]

b.  Hubungan Arab Saudi dengan Indonesia

Hubungan Diplomatik Indonesia dan Arab Saudi telah terbina dalam kurun waktu yang cukup lama dan telah menghasilkan banyak bentuk kerjasama yang telah disepakati, hal ini tidak terlepas dari latar belakang Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia meskipun secara resmi bukanlah negara Islam. Pola interaksi hubungan internasional kedua Negara juga telah lama berkembang. Hubungan Diplomatik Indonesia–Arab Saudi baru secara resmi tercatat didirikan pada tanggal 1 Mei 1950 atau tepatnya 5 tahun setelah Indonesia meraih kemerdekaan dan menjadi Negara yang berdaulat. Awal mula hubungan diplomatik resmi ini sangat terkait dengan usaha rakyat Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan yang selalu mendapat dukungan dan simpati dari Negara-Negara di Timur Tengah khususnya Arab Saudi.

  • Kerjasama Politik Indonesia-Arab Saudi

Dalam kerjasama politik, Indonesia dengan Arab Saudi telah melakukan kerjasama politik pada tanggal 24 November 1970, yaitu dalam bentuk Treaty of Friendship Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of Saudi Arabia. (Perjanjian Persahabatan Antara Republik Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi). Dalam hal ini kedua negara tidak mengintervensi atau memaksa kehendak politik masing-masing. Karena dalam kerjasama politik umumnya cenderung pada upaya untuk mempererat hubungan bilateral kedua negara berdasarkan sistem politik luar negeri kedua negara.[22]

  • Kerjasama Ekonomi Indonesia-Arab Saudi

Pada 7 Agustus 2003, kedua negara sepakat dalam kerjasama Agreed Minutes yang berisikan butir-butir Kesepakatan di bidang ekonomi dan perdagangan pada Pertemuan Ketujuh Komisi Bersama Antara Republik Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi, Jakarta, 6-7 Agustus 2003. Pada tanggal 18 Desember 2011, Delegasi Kemenko Perekonomian Indonesia telah melakukan kunjungan kerja ke Riyadh yang dipimpin oleh Rizal Affandi Lukman, Delegasi RI telah melakukan serangkaian pertemuan dengan Dr. Ahmad Habib, Deputi Menteri Ekonomi dan Perencanaan, Kementerian Ekonomi Arab Saudi.[23]

 

Kesimpulan

Arab Saudi adalah sebuah negara yang berbentuk monarki atau kerajaan. Selain itu, Arab Saudi juga terkenal sebagai negara Islam yang kaya karena memiliki kekayaan alam berupa minyak bumi. Walaupun Arab Saudi merupakan negara Islam, Arab Saudi tidak menggunakan sistem pemerintahan Islam dalam menjalankan roda pemerintahannya.  Sistem pemerintahan yang berlaku di Arab Saudi adalah sistem pemerintahan Monarki atau kerajaan. Arab Saudi yang menjalankan sistem pemerintahan monarki dengan beberapa penyesuaian yang diputuskan berdasarkan kondisi negara itu sendiri. Namun pada masa raja Fahd dan sekarang raja Abdullah monarki Arab Saudi telah mengarah kepada monarki konstitusional karena dengan pengembangan Majelis Al-Shura oleh kedua raja tersebut.

Arab Saudi dalam hubungan luar negeri dengan negara-negara lain dan masyarakat internasional bertitik tolak dari prinsip, dasar, dan fakta geografi, sejarah, agama, ekonomi, keamanan, dan politik, serta dalam kerangka utama yang terpenting di antaranya menjaga hubungan baik dengan negara tetangga dan menghindari segala bentuk intervensi dalam urusan dalam negeri negara-negara lain, dan mendukung hubungan dengan negara-negara Arab dan Islam melalui segala hal yang membantu kepentingan bersama. Hubungan luar negeri Arab dengan Amerika didasarkan atas kepentingan ekonomi dalam hal ini adalah minyak dan persoalan keamanan negara. Sedangkan hubungan Arab Saudi dengan Indonesia dibangun atas dasar  kesamaan agama dalam hal ini adalah Islam.


Catatan Kaki

[1]Ibnu Burdah, “Islam Kontemporer, Revolusi dan Demokrasi” (Malang; Intrans Publishing, 2014), hlm 2-3
[2]Ibid,.
[3]Taufik Nurohman, “Teori Sistem David Easton”, http://taufiknurohman25.blogspot.com, Diakses tanggal  10 Agustus  2020.
[4]Jhon T. Ishiyama dan Marijke Breuning (ed),  “Ilmu Politik  Dalam Paradigma Abad ke-21”, (Jakarta: Kencana, 2013), Jilid 1, hlm. 555.
[5]Ilma Nurhidayati, “Sistem Pemerintahan Saudi Arabia”, http://ilmakribooo.wordpress.com, diakses tanggal 10 Agustus 2020
[6]Usman Kari Linge Bin Abdul Wahab, “Demokrasi Dalam Pemikiran Politik : Negara Arab Saudi”, http://usmankari.blogspot.com, diakses tanggal 10 Agustus 2020
[7]Angga Diharja Firdaus, “Politik Pemerintahan Arab Saudi”, http://diharjaangga.blogspot.com, diakses tanggal 10 Agustus 2020
[8]Usman Kari Linge Bin Abdul Wahab, “Demokrasi Dalam Pemikiran Politik…, Op Cit.
[9]Abu Khansa Salma, “Sisi Lain Arab Saudi”, http://saudi-tauhid-sunnah.blogspot.com, diakses tanggal 10 Agustus 2020
[10]Ibid,.
[11]Usman Kari Linge Bin Abdul Wahab, ” Demokrasi Dalam Pemikiran Politik…., Op Cit.
[12]Angga Diharja Firdaus, “Politik Pemerintahan Arab…, Op Cit.
[13]Usman Kari Linge Bin Abdul Wahab, ” Demokrasi Dalam Pemikiran Politik…., Op Cit.
[14]Abu Khansa Salma, Sisi Lain Arab Saudi” Op Cit.
[15]Usman Kari Linge Bin Abdul Wahab,” Demokrasi Dalam Pemikiran Politik…., Op Cit.
[16]Angga Diharja Firdaus, “Politik Pemerintahan Arab…, Op Cit.
[17]Ahmad Malli, “Hubungan Saudi Amerika”, http://www.islamtimes,  diakses tanggal 10 Agustus 2020
[18]Abu Muhammad Al-Maqdisi, “Saudi di Mata Seorang Al-Qa’idah: Mengkritisi Praktik Hukum Islam di  Kerajaan Arab Saudi” Penerjemah Abu Sulaiman , (Solo: Jazera, 2005), hlm 115
[19]Ahmad Malli, “Hubungan Saudi Amerika….,
[20]Ibid,.
[21]Ibid,.
[22]Manuel Marbun, “Hubungan Diplomatik Indonesia Arab Saudi”, http://www.slideshare.net,  diakses tanggal 10 Agustus 2020
[23]Ibid,


DAFTAR PUSTAKA
Al-Maqdisi, Abu Muhammad, “Saudi di Mata Seorang Al-Qa’idah: Mengkritisi Praktik Hukum Islam di  Kerajaan Arab Saudi”, Solo: Jazera, 2005
Burdah, Ibnu, “Islam Kontemporer, Revolusi dan Demokrasi” Malang; Intrans Publishing, 2014
Firdaus, Angga Diharja, “Politik Pemerintahan Arab Saudi”,  http://diharjaangga.blogspot.com, akses tanggal 10 Agustus 2020
Jhon T. Ishiyama dan Marijke Breuning (ed),  “Ilmu Politik  Dalam Paradigma Abad ke-21”, Jakarta: Kencana, 2013
Kari Linge Bin Abdul Wahab, Usman, ” Demokrasi Dalam Pemikiran Politik : Negara Arab Saudi “, http://usmankari.blogspot.com, akses tanggal 10 Agustus 2020
Malli, Ahmad, “Hubungan Saudi Amerika”, http://www.islamtimes,  akses tanggal 10 Agustus 2020
Marbun, Manuel “Hubungan Diplomatik Indonesia Arab Saudi”, http://www.slideshare.net,  akses tanggal 10 Agustus 2020.
Nurhidayati, Ilma, “sistem pemerintahan saudi arabia” http://ilmakribooo.wordpress.com, akses tanggal 10 Agustus 2020.
Nurohman, Taufik, “Teori Sistem David Easton”, http://taufiknurohman25.blogspot.com, Diakses tanggal  10 Agustus 2020.
Salma , Abu Khansa, “Sisi Lain Arab Saudi”, http://saudi-tauhid-sunnah.blogspot.com, akses tanggal 10 Agustus 2020.

Dinamika Penerapan Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer di Indonesia

2.040 Views

Oleh :  Muhammad Taufik,S.Sy., M.Sos
(Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu)

Setiap negara dalam menjalankan pemerintahannya, memiliki sistem yang berbeda-beda meskipun dengan nama yang sama seperti sistem presidensial atau sistem parlementer. Baik sistem presidensial maupun sistem parlementer, sesungguhnya berakar dari nilai-nilai yang sama yaitu ”demokrasi”.[1] Penerapan demokrasi dalam setiap negara mengambil bentuk yang berbeda-beda antara negara yang satu maupun negara lain, terkadang dalam sebuah negara dalam menjalankan demokrasi mengambil bentuk sistem parlementer, demikian pula terkadang suatu negara menjalankan sistem presidensial demi untuk mewujudkan demokrasi.

Terkadang muncul anggapan bahwa sistem pemerintahan presidensial lebih unggul dan cenderung lebih stabil daripada parlementer. Anggapan ini merupakan anggapan yang tidak sepenuhnya benar, persoalan sebenarnya adalah tergantung bagaimana demokasi dijalankankan dalam sebuah negara. Tarik- menarik antara dua teori sistem pemerintahan tersebut mempunyai implikasi apakah suatu negara lebih dominan menyelenggarakan sistem presidensial atau parlementer.

Setiap negara dalam menjalankan demokrasi memiliki cara yang berbeda-beda. Dua model alternatif utama yaitu sistem pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer menjadi hal yang selalu diperdebatkan. Kelebihan dan kekurangan dari kedua bentuk pelaksanaan demokrasi (presidensial dan parlementer) telah lama diperdebatkan. Bahkan lebih lama dari pelaksanaan demokrasi modern itu sendiri, yang belum dijalankan sepenuhnya di seluruh penjuru dunia hingga awal abad ke-20. Sehingga tidaklah mengherankan perhatian yang besar terhadap sistem pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi, yang tentunya tidak pernah semarak atau seluas seperti sekarang ini. Perdebatan yang muncul terkait persoalan ini, umumnya dipelopori dua negara yaitu Inggris raya dan Amerika serikat, yang menjadi model utama pemerintahan parlementer dan presidensial yang kemudian menyebar ke negara-negara lainnya termasuk Indonesia.[1]

Sementara untuk Indonesia sendiri, menjadi suatu perdebatan sampai sekarang dikalangan para pakar hukum tata negara dan politik bahwa sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem pemerintahan yang berbentuk apa. Hanta yuda, mengemukakan bahwa ketika UUD 1945 belum diamandemen, corak pemerintahan Indonesia sering dikatakan sebagai sistem semipresidensial. Namun dalam prakteknya sistem pemerintahan Indonesia justru lebih mendekati corak parlementer seperti halnya dalam masa konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan UUDS tahun 1950. Dan setelah amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan Indonesia menjadi sistem presidnesial murni. Sedangkan Bagir manan menyebutkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial karena berpendapat pertanggungjawaban presiden kepada MPR bukan merupakan pertanggungjawaban kepada badan legeslatif. dalam hal ini menambahkan, petanggungjawaban Presiden kepada MPR tidak boleh disamakan dengan pertanggungjawaban kabinet  kepada parlemen (dalam sistem parlementer).[2]

Dari permasalahan ini, sehingga menjadi hal sangat penting untuk menelusuri pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia hingga sekarang ini, apakah menganut sistem presidensial murni atau campuran sistem presidensial dan parlementer.

PEMBAHASAN

1.  Pengertian Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer

Sebelum menjelaskan dan memaparkan secara lebih luas terkait persoalan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer dari sisi perbedaan, kelemahan dan kelebihan, terlebih dahulu akan dijelaskan secara singkat mengenai pengertian dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem parlementer.

Sistem pemerintahan presidensial atau disebut juga dengan sistem kongresional adalah sistem pemerintahan dimana badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah. Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai ”Trias Politica” oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan konstitusi. Konsentrasi kekuasaan ada pada presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden.[3]

Sistem pemerintahan presidensial merupakan bagian dari sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif atau Presiden dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif atau anggota DPR. Menurut Rod Hague sebagaimana yang dikutip Anita Rahmawati, pemerintahan presidensial terdiri dari 2 unsur yaitu:

  1. Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
  2. Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.[4]

Sistem pemerintahan parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial, di mana sistem pemerintahan parlemen dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem pemerintahan parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja. Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif.[5]

Secara sederhana perbedaan anatara sistem pemerintahan presidensial dan parlementer adalah persoalan wewenang dan kekuasaan kepala negara. Dalam sistem pemerintahan presidensial kekuasaan kepala negara relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan oleh lembaga legislatif, kekuasaan kepala negara sekaligus kekuasaan pemerintahan terpusat kepada presiden. Sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer Presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Kekuasaan Presiden atau kepala negara dapat dijatuhkan oleh lembaga legislatif dengan memunculkan mosi tidak percaya yang dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan.

2.  Perbedaan Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer

Sistem pemerintahan presidensial dan parlementer memiliki ciri-ciri khusus dan terdapat diantara keduanya. Secara umum dan lebih luas antara Sistem pemerintahan presidensial dan parlementer menurut Arend Lijphart terdapat perbedaan setidakya dalam tiga hal: pertama, dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan bisa dijabat oleh perdana menteri sedangkan kepala negara dijabat oleh presiden. Keduanya bergantung pada mosi atau kepercayaan badan legislatif dan dapat diturunkan dan dilengserkan dari jabatan melalui mosi tak percaya dari legislatif. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan juga merangkap sebagai kepala negara yang dipegang oleh presiden, dan dipilih untuk masa jabatan tertentu sesuai dengan UUD dan dalam keadaan normal tidak dapat diturunkan oleh anggota legislatif.

Kedua, dalam sistem parlementer kepala pemerintahan dan kepala negara dipilih oleh badan legislatif. Sementara dalam sistem presidensial kepala pemerintahan atau kepala negara dalam hal ini adalah presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui badan pemilihan.

Ketiga, dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki pemerintah atau eksekutif kolektif atau kolegial, posisi perdana menteri dalam kabinet bisa berubah-ubah, yaitu lebih tinggi hingga sama dengan menteri-menteri yang lain, tetapi selalu ada tingkat kolegalitas yang relatif tinggi dalam pembuatan keputusan. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial memiliki eksekutif non kolegial atau satu oang yang berpusat pada presiden, dimana para anggota kabinet presidensial hanya merupakan penasihat dan bawahan presiden.[6]

Saldi Isra mengatakan bahwa sistem parlementer berbeda dengan sistem presidensial, karena dalam sistem presidensial presiden tidak hanya sebagai kepala eksekutif tetapi sekaligus sebagai kepala negara. Artinya presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintahan tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan rentang kekuasaan presiden yang begitu luas, maka perbedaan lain yang dari sistem pemerintahan presidensial dan parlementer adalah terletak pada objek utama yang diperebutkan. Dalam sistem parlementer objek utama yang yang diperebutkan adalah parlemen, sedangkan dalam sistem presindesial objek utama yang diperebutkan adalah presiden. Karena itu dalam sistem presidensial posisi presiden sebagai kepala ekesuktif dan lembaga legislatif cenderung berhadap-hadapan (vis a vis).[7]

Dari penjelasan ini, secara umum kita telah memiliki gambaran terkait perbedaan antara sistem presidensial dan parelementer. Namun, untuk lebih memperjelas perbedaan terkait dua sistem tersebut, penulis akan menjelasakan secara spesifik dari sistem presidensial dan parlementer baik dari ciri-cirinya, maupun terkait dengan kelemahan dan kelebihannya.

a.  Sistem Presidensial

Sistem pemerintahan presidensil ini bertitik tolak dari konsep pemisahan sebagaimana dianjurkan oleh teori Trias Politika. Sistem ini menghendaki pemisahan secara tegas, khususnya antara badan pemegang kekuasaan eksekutif dan badan legislatif.[8] Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial antara lain: Amerika Serikat, Myanmar, Filipina, Indonesia.

a) Ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial

  1. Kedudukan Presiden di samping sebagai Kepala Negara juga sebagai Kepala Eksekutif (pemerintahan).
  2. Presiden dan Parlemen masing-masing dipilih langsung oleh Rakyat melalui Pemilihan Umum. Jadi tidaklah mengherankan jikalau ada kemungkinan terjadi komposisi Presiden berasal dari partai politik yang berbeda dengan komposisi meyoritas anggota partai politik yang menduduki kursi di parlemen.
  3. Karena Presiden dan Parlemen dipilih langsung oleh Rakyat melalui pemilihan umu, maka kedudukan antara kedua lembaga ini tidak bisa saling mempengaruhi (menjatuhkan seperti halnya di sistem parlementer.
  4. Kendati Presiden tidak dapat diberhentikan oleh parlemen di tengah-tengah masa jabatannya berlangsung, namun jika Presiden malakukan perbuatan yang melanggar hukum, maka presiden dapat dijatuhi Impeachment (Pengadilan DPR).
  5. Dalam rangka menyusun Kabinet (Menteri), Presiden wajib minta persetujuan Parlemen. Di sini Presiden hanya menyampaikan nominasi anggota kabinet, sedangkan parlemen memberi persetujuan personil yang telah diajukan oleh Presiden.
  6. Menteri-menteri yang diangkat oleh Presiden tersebut tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden.[9]

b) Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial

  1. Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
  2. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.
  3. Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
  4. Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.[10]

c)Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial

  1. Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
  2. Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
  3. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.[11]

b.  Sistem Pemerintahan Parlementer

Pada prinsipnya sistem pemerintahan parlementer menitik beratkan pada hubungan antara organ negara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem ini merupakan sisa-sisa peninggalan sistem Monarkhi. Dikatakan demikian karena kepala negara apapun sebutannya, mempunyai kedudukan yang tidak dapat diganggu gugat. Sedangkakan penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Perdana Menteri.[12] Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan parlementer: Inggris, India, Malaysia, Jepang, dan Australia.

a)Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer

  1. Terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan legislatif (parlemen), bahkan antara keduanya saling ketergantungansatu sama lain.
  2. Eksekutif yang dipimpin oleh Perdana Menteri dibnetuk oleh parlemen dari partai politik atau organisasi peserta pemilu yang menduduki kursi mayoritas diparlemen.
  3. Kepala Negara (apapun sebutannya) hanya berfungsi ataupun berkedudukan sebagai Kepala Negara. Tidak sebagai kepala eksekutif atau pemerintahan.
  4. Dikenal adanya mekanisme pertanggungjawaban Menteri kepada Parlemen yang mengakibatkan parlemen dapat membubarkan ataupun menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet, jika pertanggungjawaban atas pelaksanaan pemerintahan yang dilakukan oleh Menteri baik dibidangnya masing-masing ataupun atas dasar kolektifitas tidak dapat diterima oleh parlemen.[13]

b)Kelebihan sistem pemerintahan parlementer

  1. Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
  2. Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
  3. Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.[14]

c)Kekurangan sistem pemerintahan parlementer

  1. Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
  2. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
  3. kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
  4. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.[15]

 

3.  Dinamika Penerapan Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer Di Indonesia

Sejarah ketatanegaraan Indonesia, negara Indonesia pernah menggunakan konstitusi tertulis selain UUD 1945, dan masing-masing mengatur sistem pemerintahan Indonesia berbeda-beda. Bahkan menurut UUD 1945 sebelum amandemen maupun setelah amandemen pun mengalami perbedaan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada bagian ini akan disampaikan sistem pemerintahan Indonesian menurut konstitusi yang pernah dan sedang berlaku.

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut Konstitusi RIS.

Secara singkat Sistem Pemerintahan Indonesia menurut Konstitusi RIS adalah Sistem Pemerintahan Indonesia Parlementer yang tidak murni. Karena pada pasal 118 Konstitusi RIS  antara lain menegaskan:

  1. Presiden tidak dapat diganggu gugat.
  2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

Ketentuan pasal ini menunjukkan bahwa RIS mempergunakan sistem pertanggungjawaban Menteri. Kendatipun demikian dalam pasal 122 Konstitusi RIS juga dinyatakan bahwa DPR tidak dapat memaksa kabinet atau masing-masing Menteri untuk meletakkan jabatannya.[16]

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUDS 1950

Sistem pemerintahan Indonesia menurut UUDS 1950 masih malanjutkan Konstitusi RIS. Hal ini disebabkan UUDS 1950 pada hakikatnya merupakan hasil amandemen dari konstitusi RIS dengan menghilangkan pasal-pasal yang bersifat federalis. Di dalam pasal 83 UUDS 1950 dinyatakan:

  1. Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
  2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya

sendiri-sendiri.

Berkaitan dengan pasal di atas, pasal 84 UUDS 1950 menyatakan bahwa Presiden berhak membubarkan DPR. Keputusan Presiden yang menyataka pembubaran itu memerintah pula untuk mengadakan pemilihan Presiden baru dalam 30 hari. Konstruksi pasal semacam ini mengingatkan pada sistem parlementer yang tidak murni.[17]

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen

Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut:

  1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
  2. Sistem Konstitusional.
  3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  7. Kekuasaan kepala negara tidak terbatas.[18]

Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan.[19]

Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antarpejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya.[20]

Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi:

  1. Adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif
  2. Jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.[21]

Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia sekarang ini.

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sesudah Amandemen

Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan dapat berjalan dengan baik setelah dilakukannya Pemilu 2004.

Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia setelah amandemen UUD 1945 adalah sebagai berikut:

  1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
  1. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
  2. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Untuk masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
  3. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
  4. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
  5. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.[22]

Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut.

  1. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
  2. Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  4. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran).

Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral atau adanya dua kekuatan dalam legislatif (DPR dan DPD), lembaga-lembaga negara yaitu eksekutif dan legislatif yang mempunyai fungsi sama dan saling mengendalikan dan mengawasi melalui mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.[23]

KESIMPULAN

Mengacu pada penjelasan dalam pembahasan tulisan ini, maka penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  1. Secara umum perbedaan antara sistem pemerintahan Parlementer dan presidensial dalam tiga hal: pertama, dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan bisa dijabat oleh perdana menteri sedangkan kepala negara dijabat oleh presiden. Keduanya bergantung pada mosi atau kepercayaan badan legislatif dan dapat diturunkan dan dilengserkan dari jabatan melalui mosi tak percaya dari legislatif. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan juga merangkap sebagai kepala negara yang dipegang oleh presiden, dan dipilih untuk masa jabatan tertentu sesuai dengan UUD dan dalam keadaan normal tidak dapat diturunkan oleh anggota legislatif. Kedua, dalam sistem parlementer kepala pemerintahan dan kepala negara dipilih oleh badan legislatif. Sementara dalam sistem presidensial kepala pemerintahan atau kepala negara dalam hal ini adalah presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui badan pemilihan. Ketiga, dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki pemerintah atau eksekutif kolektif atau kolegial, posisi perdana menteri dalam kabinet bisa berubah-ubah, yaitu lebih tinggi hingga sama dengan menteri-menteri yang lain, tetapi selalu ada tingkat kolegalitas yang relatif tinggi dalam pembuatan keputusan. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial memiliki eksekutif non kolegial atau satu oang yang berpusat pada presiden, dimana para anggota kabinet presidensial hanya merupakan penasihat dan bawahan presiden.
  2. Dalam proses pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia, baik dalam masa konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS tahun 1950 Indonesia menjalankan sistem parlementer tidak murni hal ini mengacu pada pasal 118 konstitusi RIS dan pasal 83 dan 84 UUDS. Sementara pelaksanaan pemerintahan di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 menggunakan sistem presidensial, dan sesudah amandemen UUD 1945 dari tahun 1999,2000, 2001 dan 2002 dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut sistem campuran antara presidensial dan parlementer sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dari sistem presidensial. Ini dapat dilihat dalam pokok-pokok pemerintahan Indonesia diantaranya: bahwa presiden dipilih oleh rakyat dalam pemilihan langsung, dan menteri-menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab terhadap presiden hal ini menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial. Dalam hal lain disebutkan bahwa: Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung dan Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR, dua hal inipula merupakan penegasan bahwa Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer.

Catatan Kaki

[1]Arend Lijphart, “Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial” saduran Ibrahim dkk, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm 3-4

[2]Resa Indrawan Samir, “Tinjauan Terhadap Sistem Presidensial Indonesia”,  dalam https://resaindrawansamir.wordpress.com/2012/01/13/tinjauan-terhadap-sistem-pemerintahan-presidensial-indonesia/, diakses tanggal 19 April 2020

[3]Anita Rahmawati, “Makalah Sistem Pemerintahan Presidensial…..,

[4]Ibid.,

[5]WikiPedia Ensiklopedi Bebas, “Sistem Parlementer”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial, diakses tanggal 19 April 2020

[6]Arend Lijphart, “Sistem Pemerintahan Parlementer dan….., hlm. 5-6

[7]Saldi Isra, “Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 38

[8]B. Hestu Cipto Handoyo, “Hukum Tata Negara Indonesia”, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), hal. 134

[9]Ibid., hlm. 134-137

[10]Azan Sumarwan dan Dianah, “Sistem Pemerintahan”, dalam http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/sistem-pemerintahan, diakses tanggal 19 April 2020.

[11]Ibid.,

[12]B. Hestu Cipto Handoyo, “Hukum Tata Negara…., hal. 132.

[13]Ibid., hlm. 133

[14]Azan Sumarwan dan Dianah, “Sistem Pemerintahan…,

[15]Ibid.,

[16]B. Hestu Cipto Handoyo, “Hukum Tata Negara…., hal. 153

[17]Ibid., hlm. 152

[18]Ema Sundari, Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum Dan Sesudah  Amandemen, dalam http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_11893/title_sistem-pemerintahan-indonesia-sesudah-dan-sebelum/, diakses tanggal 19 April 2020

[19]Ibid.,

[20]Ibid.,

[21]Ibid.,

[22]Ibid.,

[23]Ibid.,


DAFTAR PUSTAKA

Cipto Handoyo, B. Hestu, “Hukum Tata Negara Indonesia”, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009

Indrawan Samir, Resa, “Tinjauan Terhadap Sistem Presidensial Indonesia”,  dalam https://resaindrawansamir.wordpress.com/2012/01/13/tinjauan-terhadap-sistem-pemerintahan-presidensial-indonesia/, diakses tanggal 19 April 2020

Isra, Saldi, “Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia”, Jakarta: Rajawali Press, 2010

Lijphart , Arend Lijphart, “Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial” Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995

Rahmawati, Anita, “Sistem Pemerintahan Presidensial”, dalam http://anitaunty.blogspot.com/2013/07/makalah-sistem-pemerintahan-presidensial.html, diakses tanggal 19 April 2020

Sumarwan, Azan dan Dianah, “Sistem Pemerintahan”, dalam http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/sistem-pemerintahan, diakses tanggal 19 April 2020.

Sundari, Ema, Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum dan Sesudah  Amandemen, dalam http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_11893/title_sistem-pemerintahan-indonesia-sesudah-dan-sebelum/, diakses tanggal 19 April 2020

WikiPedia Ensiklopedi Bebas, “Sistem Parlementer”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial, diakses tanggal 19 April 2020.

Peran Advokat, Berikut Penjelasan Ketua LPAH KI

786 Views

Palu-Jati Centre. Jaringan Advokasi Untuk Keadilan (JATI) kembali menggelar kegiatan seri diskusi yang digelar di Palu, pada Sabtu (24/7/2021).

Menurut Direktur Jati Centre Mashur Alhabsyi, kegiatan ini dilaksanakan sebagai upaya peningkatan kapasitas pekerja hukum dalam melakukan advokasi kasus dan kebijakan. Menunjang hal itu, dia menghadirkan advokat muda untuk memberikan penguatan soal peran Advokat.

Kegiatan yang menghadirkan advokat muda tersebut bertemakan “Strategi dan Aksi Bantuan Hukum” dengan fokus  kajian “Peran Advokat dalam Sistem Penegakkan Hukum di Indonesia”

Ketua Lembaga Penelitian dan Advokasi Hukum Kanoana Indonesia (LPAH KI) Idris Mamonto, menjelaskan terkait  peran advokat dalam sistem penegakan hukum di Indonesia memiliki kedudukan yang setara dengan penegak hukum lainnya.

“Sebagai penegak hukum mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (Hakim, Jaksa dan Polisi) dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan,”Jelasnya.

Searah dengan penjelasan di atas, dia juga menjelaskan perbedaan antara peran advokat sebagai penegak hukum dan sebagai profesi hukum dalam membela kepentingan klien.

“Advokat sebagai penegak hukum akan menegakkan hukum dan keadilan. Sedang Advokat sebagai profesi  hukum  akan  membela  kepentingan  klien  dengan  tidak  secara  membabi  buta,  membantu melancarkan penyelesaian  perkara  dengan  membantu  hakim dalam  memutuskan  perkara  melalui data dan informasi yang ada untuk disampaikan di pengadilan, sesuai kode etik profesi,  menjunjung tinggi Pancasila, hukum dan keadila,” Terang Idris.

Selanjutnya dia menyimpulkan, peran seorang advokat yang terpenting dari secara keseluruhan yaitu membela harkat dan martabat manusia di dalam proses peradilan.

“Advokat akan bertindak untuk membela harkat dan marbatabat manusia didalam proses peradilan pidana termasuk tersangka atau terdakwa yang berhak didampingi Penasehat Hukum, hak diadili secara terbuka untuk umum, hak mengajukan saksi-saksi, melakukan upaya hukum,  asas praduga tak bersalah, menghindari error in persona.” tutupnya.

Lebih lanjut untuk diketahui, kegiatan ini dihadiri oleh para Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Hukum Keluarga Islam, S1 Hukum Tatanegara Islam (HTNI), Hukum Ekonomi, Ekonomi dan Bisnis dan Bimbingan Konseling Islam dari Universitas Islam Negeri  (UIN) Datokarama Palu.

Peningkatan Kapasitas Pekerja Hukum

867 Views

Seri Diskusi, Seri Diskusi  “Peningkatan Kapasitas Pekerja Hukum”  yang digelar Jaringan Advokasi Untuk Keadilan (JATI) Centre mengangkat tema Strategi dan Aksi Bantuan Hukum. Dengan Fokus Pembahasan Peran Advokat dalam Sistem Penegakan Hukum di Indonesia.

Menghadirkan Narasumber Idris Mamonto, SH, MH  Advokat muda dan  kini menjabat Ketua Lembaga Penelitian dan Advokasi Hukum Kanoana Indonesia (LPAH KI). Kegiatan Diskusi  dipandu Moderator Muhammad Qadri, S.Ip (Tenaga Ahli Jati Centre)

Merenungi Ajaran Bapak Para Nabi Mengasah Hati di Tengah Pandemi

402 Views

Pagi ini, ketika dalam perjalanan menuju kantor sembari mendengarkan Radio di Chanel Voice Of America (VoA), terdengar hal yang menarik dalam pemberitaan mengenai Negara Prancis. informasinya bahwa Negara Prancis menghentikan serta menghapuskan aturan mengenai pembunuhan ayam jantan pada peternakan dinegaranya yang selama ini ayam jantan dari sisi tubuh, dan tingkat produktifitas dianggap tidak sebanding dengan Ayam betina  yang dapat bertelur dan menghasilkan daging, tentu saja aksi ini dipelopori oleh organisasi kesejahteraan hewan di negara tersebut.

Hal di atas  sangat mengusik dan membuat jiwa  kemanusiaan ini berontak, karena dibagian negara lain betapa pedulinya dengan kesejahteraan hewan jika dibandingkan dengan kepedulian kita pada kemanusiaan, di negara kita yang seakan akan telah terkikis kepedulian pada sesama. Menengok kembali melihat wajah negeri tercinta yang saat ini mendapati ujian begitu dahsyat dengan meningkatnya Covid 19  membuat Ibu pertiwi tidak berhenti meneteskan air mata.

Merujuk pemberitaan dari Kompas.com, pemerintah resmi menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 3 Juli hingga 20 Juli 2021 di berbagai kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali, penerapan kebijakan ini berkaitan dengan masih tingginya angka kasus Covid-19 di Indonesia. Kebijakan ini secara tegas diumumkan oleh Presiden Jokowi setelah mendapat masukan dari sejumlah pihak antara lain, Para menteri, ahli kesehatan, dan kepala daerah. Selain itu, Jokowi juga menyatakan bahwa pandemi Covid-19 memang berkembang sangat cepat, terutama adanya variant of concerns atau varian baru virus corona. Di kota Palu pun diberlakukan pembatasan aktivitas dengan membatasi pusat perbelanjaan, menutup seluruh akses dan tempat berkumpulnya warga Kota Palu hingga Pukul 21.00 WITA.

Kebijakan pemerintah pusat dan derah terkait PPKM tentu menimbulkan riak-riak di masyarakat, karena belum pulih perekonomian mereka setelah penerapan PSBB tahun lalu, kini mulai lagi dengan menahan diri untuk tidak beraktivitas sebagaimana biasanya. Dan ini berdampak pada  supir taksi, angkot, ojol,  pengamen, dan pemulung, Dengan pendapatan yang menurun drastis.

Berbagai problematika yang melanda bangsa ini, tentu sudah seharusnya kita untuk memulai inisiatif saling bahu membahu dan membantu, sebab pemerintah memang mempunyai kelengkapan Instrumen, baik itu sistem maupun alat negara. Namun jika mengharapkan hal itu tentu akan menyita waktu, mengingat pemerintah juga taat pada prosedur administrasi birokrasi yang begitu panjang, di tengah kebutuhan yang tidak dapat menunggu lama, maka siapa lagi kalau bukan kitalah yang bergerak untuk itu. Indonesia bukan negara Agama namun warga negara Indonesia sudah pasti beragama  maka sudah saatnya kita kembali pada nilai-nilai ajaran kemanusiaan dalam agama guna bersama menghadapi pendemi yang kini merebak.

Nabi Ibrahim selaku Bapak Para Nabi yang juga merupakan Bapak dari agama-agama Samawi telah mengajarkan sebuah hikmah yang dapat diambil pelajaran serta keteladanannya. Dimana beliau mengalami pergolakan batiniah antara mengikuti perintah Allah atau tetap pada kepentingan pribadinya yang mengutamakan keluarga dalam hal ini anak satu-satunya yaitu Ismail, Pada malam tanggal 8 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim mendapatkan wahyu melalui mimpinya bahwa Allah memerintahkan kepadanya untuk menyembelih anak yang paling ia sayangi. Nabi Ibrahim merenung panjang, “Haruskah ia mengikuti perintah Tuhannya untuk melepaskan hal yang paling ia sayangi, hal yang paling ia sukai? Apakah mimpi ini benar dari Allah atau bukan?” Kegalauan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendapatkan jawabannya pada malam hari berikutnya, yakni pada malam hari 9 Dzulhijjah, bahwa ia benar-benar diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anak kesayangannya yang bernama Isma‘il.  Kisah tersebut kemudian diabadikan Allah SWT dalam Al-Quran:

Artinyan :

“Ketika anak itu memasuki usia dewasa, sudah berkembang, sudah bisa bepergian dan berjalan, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepada anaknya: Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu? Isma‘il anak Ibrahim menjawab: Wahai bapakku, lakukanlah apa yang diperintah (Allah) kepadamu, insyaallah engkau akan mendapatiku bagian dari orang-orang yang sabar” (QS Ash-Shâffât 102).

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk membangun harmoni dengan sesama. Sebab, Islam diturunkan dengan sempurna dalam mengatur tatanan kehidupan manusia di muka bumi. Sejatinya, bukan hanya keharmonisan dengan manusia (hamblun minannas), akan tetapi dilandasi harmoni dengan Allah SWT (hablun minallah) yang berbuah kemesraan terhadap lingkungan alam (hablum minal ‘alam). Ketiganya merupakan kesatuan yang tak bisa dipisahkan dan mesti dijaga keseimbangannya. (QS 3: 112).

Nabi Ibrahim mengajarkan pertama, beriman atau beragama pada dasarnya melawan hawa nafsu atau kesenangan yang ada di dalam diri kita masing-masing. Setiap manusia cenderung mengikuti keinginan nafsunya, yakni ingin melakukan hal yang enak, menikmati segala kesenangan tanpa batas, merasakan segala keindahan dan yang lainnya tanpa mempedulikan hal tersebut menyakiti, merugikan atau membahayakan diri sendiri maupun orang lain atau tidak. Di sinilah agama hadir memberikan seperangkat aturan, yakni mengatur perbuatan ini haram dan perbuatan itu halal, tindakan ini boleh dan tindakan itu tidak boleh, hal ini baik dan hal itu buruk, dan seterusnya. Dengan demikian masing-masing dari orang yang beragama seharusnya mematuhi aturan agama, bukan mengikuti kesenangan atau kehendak nafsunya.

 Dalam kisah Nabi Ibrahim, kenikmatan tertinggi disimbolkan dengan memiliki anak, tapi Nabi Ibrahim berhasil mengalahkan hawa nafsu kecintaan kepada putranya dengan mengikuti perintah Allah subhanahu wata’ala.  Pelajaran atau ‘ibrah yang kedua dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam di atas yaitu penegasan bahwa hak asasi manusia harus dijunjung tinggi, dalam hal ini hak hidup. Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk menyembelih putranya bertujuan untuk menguji keimanannya atau ibtilâ` (إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ), sehingga ketika beliau tulus hendak menunaikannya, Allah subhanahu wata’ala mengganti objek sesembelihannya dengan binatang. Penggantian “objek kurban” dari manusia ke binatang mengandung makna bahwa manusia memiliki hak untuk hidup yang seorang pun atas nama apa saja tidak boleh menghilangkannya.

Pelajaran yang penuh dengan Makna Spiritualitas yang dijalani oleh Nabi Ibrahim AS dapat diterjemahkan dimasa kini adalah dengan mengenyampingkan keinginan dirinya dengan mengikuti Perintah Allah SWT,  dimasa Covid saat ini seluruh komponen masyarakat mengalami kesusahan namun saat kita sudah dan masih mau berbagi disitulah letak kemanusiaan yang tertinggi. Begitu juga Rasulullah pernah menjelaskan tentang keutamaan bersedekah di masa sulit:

“Wahai Rasulullah, sedekah yang mana yang lebih besar pahalanya?” Beliau menjawab, “Engkau bersedekah pada saat kamu masih sehat disertai pelit (sulit mengeluarkan harta), saat kamu takut menjadi fakir, dan saat kamu berangan-angan menjadi kaya. Dan janganlah engkau menunda-nunda sedekah itu hingga apabila nyawamu telah sampai di tenggorokan, kamu baru berkata, “Untuk si fulan sekian dan untuk fulan sekian, dan harta itu sudah menjadi hak si fulan.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1419 dan Muslim no. 1032).

Perancis bukan Negara Islam tidak sedikit pula penduduknya yang tidak meyakini Tuhan, namun perancis masa kini telah menjadi negara yang bukan hanya menjujung Hak Asasi Manusia namun hak dan kesejahteraan Hewanpun  mereka perjuangkan. Seharusnya umat Islam Indonesia yang mayoritas muslim dapat melakukan hal yang demikian karena nilai dan ajaran Islam adalah untuk memuliakan manusia dengan jalan saling tolong menolong, Rasulullah SAW telah menyampaikan hal ini dalam sabdanya:

“Wahai sekalian manusia, dengarkanlah perkataanku. Sesungguhnya aku tidak tahu, barangkali setelah tahun ini aku tak bisa lagi berjumpa dengan kalian selama-lamanya. Wahai umat manusia, sesungguhnya darah kalian, harta dan harga diri kalian itu mulia, sebagaimana mulianya hari ini dan bulan ini. Kalian kelak akan bertemu Tuhan, dan Ia akan bertanya kepada kalian tentang perbuatan yang kalian lakukan. Ingatlah, setelah aku wafat janganlah kalian kembali ke dalam kesesatan, di mana sebagian di antara kalian memukul atau membunuh sebagian yang lain.”

“Wahai umat manusia,  sesungguhnya Tuhan kalian satu, leluhur kalian juga satu. Kalian berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Sesungguhnya paling mulianya kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang Arab tidak lebih utama daripada Non Arab atau ‘ajam, Non Arab tidak lebih utama daripada orang Arab. Orang kulit merah tidak lebih utama daripada yang berkulit putih, orang kulit putih tidak lebih utama dari yang berkulit merah kecuali (disebabkan) tingkat ketakwaannya.” 

Nabi Ibrahim memberikan contoh atas dasar cinta kepada Allah yang melebihi segala-galanya, keluarga Nabi Ibrahim menjadi keluarga yang terberkati. Nabi Ibrahim diberi gelar “khalîlullah” atau kekasih Allah, dan dari keluarga ini lahirlah keturunan-keturunan para nabi seperti Nabi Ishâq, Nabi Ya‘qûb, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tentu sebagai Ummat yang beragama Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam di atas mengajarkan kepada kita bahwa beragama adalah pengorbanan melawan hawa nafsu yang ada di dalam diri kita masing-masing. Beragama adalah usaha menjadikan diri kita sebagai manusia seutuhnya, yakni manusia yang tidak diperbudak oleh nafsu atau manusia lainnya, melainkan manusia yang menghamba dengan seutuhnya di hadapan Allah subhanahu wata’ala.

 Semoga Spirit dan ajaran Bapak Para Nabi Ibrahim serta para nabi dan Rasul lainnya dapat memotivasi kita untuk saling tolong menolong sebagai wujud kepedulian bagi sesama, saling merigankan serta berdoa semoga pandemi yang sedang kita alami segera berakhir, kita semua selalu diberi kesehatan dan keselamatan, serta selalu berada di dalam lindungan Allah subhanahu wata’ala.

Perubahan IMB Menjadi PBG, Berikut Penjelasannya

2.570 Views

Pasangkayu-Jati Centre. Pemerintah telah resmi melakukan penghapusan kebijakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) lalu menetapkan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang lebih sederhana. Urgensi perubahan kebijakan ini berlandaskan pada turunan dari UU Cipta Kerja ketentuan Pasal 24 dan Pasal 185 huruf b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020.

Demikian penjelasan Akademisi UIN Datokarama Palu, Besse Tenriabeng Mursyid dalam Seminar Rancangan Peraturan Daerah Persetujuan Bangunan Gedung, yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Pasangkayu di Pasangkayu, Rabu (14/7/2021).

Dia mengatakan, perubahan ini terdapat pada sebelas klaster undang-undang, dan salah satunya membahas tentang kemudahan perizinan dengan konsekuensi penghapusan atas IMB dan menggantinya dengan PBG.

“Perubahan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, membawa konsekuensi pada IMB dihapuskan dan ditetapkan PBG melalui penetapan PP Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung”, jelas Tenri.

Peneliti Jati Centre ini juga mengatakan bahwa untuk menindaklanjuti Pasal 347 ayat (2) PP 16/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung, maka Pemerintah Daerah harus menyediakan Persetujuan Bangunan Gedung dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku.

“Adanya aturan tersebut konsekuensinya, pertama pemerintah harus membuat instrumen hukum  berupa Produk Hukum Daerah, dan Keputusan Tata Usaha Negara, dan  yang memuat layanan retribusi daerah dengan menerbitkan Perda sebagai dasar hukum ,” jelas Tenri.

Perda retribusi PBG akan menjadi dasar pemungutan layanan retribusi daerah. Dalam hal ini, selain sebagai pelaksanaan layanan publik, juga mendukung upaya peningkatan pendapatan asli daerah melalui retribusi daerah.

Bersamaan dengan hal di atas, Ia juga memberikan penjelasan terkait perbedaan kebijakan IMB dan PBG terutama muatan krusial perbedaannya.

Untuk diketahui seminar ini dilaksanakan tetap mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19, dengan setiap peserta diharuskan menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan sebelum memasuki ruangan kegiatan.

Galang Partisipasi Pihak Ketiga dalam Pembangunan Melalui Hibah

466 Views

Pasangkayu-Jati Centre. Pelaksanaan pembangunan daerah masih dipenuhi berbagai tantangan dan hambatan, di antaranya masih terbatasnya pendapat asli daerah (PAD) untuk membiayai kegiatan pembangunan daerah. Sehingga perlu terobosan yang legal untuk mencari, menggali, dan memanfaatkan potensi daerah maupun potensi yang ada di tengah masyarakat guna menunjang penyelenggaraan pemerintahan.

Hal ini beralasan, pelaksanaan pembangunan daerah bukan hanya tanggung jawab pihak pemerintah daerah semata. Pelaksanaan pembangunan sangat membutuhkan peran-serta dan partisipasi aktif semua pihak, mulai individu maupun badan usaha.

Dari itu, menjadi penting bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan dan mengelola lain-lain pendapatan daerah yang sah sebagai pundi-pundi pendapatan daerah. Dalam hal ini, menggali potensi penerimaan dari sumber hibah, yang dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi dan tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hal tersebut disampaikan Ketua Jati Centre Ruslan Husen dalam Seminar Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kabupaten Pasangkayu tentang Hibah kepada Pemerintah Daerah, di Pasangkayu pada Selasa (13/7/2021).

“Hibah kepada pemerintah daerah ini dimaknai penerimaan daerah yang berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah lain, maupun pihak ketiga baik perorangan maupun badan hukum, dalam bentuk uang atau yang dipersamakan dengan uang, barang, dan jasa untuk menunjang peningkatan fungsi pemerintahan dan pembangunan daerah,” terang Ruslan.

Lebih lanjut menurut Alumni Pascasarjana Universitas Tadulako ini, penerimaan tersebut sejatinya dapat dimaksimalkan guna membantu peningkatan pembangunan daerah yang tentu imbasnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, penerimaan melalui hibah ini juga dapat menambah pendapatan asli daerah (PAD), sehingga pundi-pundi pembiayaan pembangunan daerah dapat ditopang dari sumber tersebut.

“Perlu dilakukan pengaturan pelaksanaan penerimaan dan pengelolaan hibah kepada pemerintah daerah, sekaligus sebagai dasar hukum bagi pemerintah daerah untuk menggalang partisipasi pihak ketiga dalam pembangunan daerah. Pengaturan ini penting, agar memberi rambu sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.” pungkasnya.

Namun, patut dipahami tentang rambu-rambu pelaksanaannya agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. Yakni pemberi hibah melaksanakan secara sukarela, tidak ada batasan minimal, tidak ada paksaan, dan tidak mengikat. Demikian pula pelaksanaannya, tidak boleh berakibat menghambat laju perkembangan ekonomi daerah dan iklim investasi.

Ruslan Husen memaparkan materi. Foto : Mashur

Lebih lanjut Kepala Bagian Hukum dan HAM Kabupaten Pasangkayu, Mulyadi menyampaikan, Seminar  tentang Hibah kepada Pemerintah Daerah dimaksudkan mencari masukan, tanggapan, dan saran terhadap Ranperda sebelum dilanjutkan ke tahap pembahasan, dan penetapan.

“Seminar Ranperda ini untuk menindaklanjuti ketentutan keputusan DPRD Kabupaten Pasangkayu Nomor 16 Tahun 2020 tentang penetapan program pembentukan perda tahun 2021,” terang Mulyadi.

Mulyadi juga menjelaskan bahwa alasan Ranperda ini diinisiasi dikarenakan selama ini dasar hukum yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam melakukan penarikan terhadap sumbangan pihak ketiga masih Keputusan Bupati Mamuju. Dengan merujuk pada dasar hukum yang sudah dibatalkan yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1978 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah.

“Sumbangan pihak ketiga dasar hukumnya sudah dicabut. Sehingga sudah tidak diperbolehkan istilah sumbangan kepada pihak ketiga. Dengan demikian berdasarkan kajian tim penyusun maka ditawarkan judul “Hibah Kepada pemerintah Daerah” yang memiliki dasar hukum dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 2 tahun 2012 tentang Hibah Daerah,” paparnya.

Perda hibah kepada pemerintah daerah dibentuk selain harus bersesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, ketertiban umum, dan kesusilaan, juga harus memperhatikan lokalitas daerah terkait dengan kemudahan berusaha dan berinvestasi di daerah. Jangan sampai Perda menjadi ancaman dan beban biaya tinggi terhadap perkembangan ekonomi daerah. Jika seperti ini, Perda dimaksud dapat dievaluasi bahkan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dengan kewenangan yang melakat padanya.

Pada prinsipnya hasil penerimaan sumbangan pihak ketiga sama dengan penerimaan dalam pelaksanaan hibah kepada daerah, yang harus dilaksanakan dengan transparan dan tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Terhadap hasil penerimaan daerah tersebut untuk selanjutnya dimanfaatkan bagi pembangunan daerah.

Selain itu, terhadap sumbangan maupun hibah tidak mengurangi kewajiban pihak ketiga kepada negara dan daerah sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya adanya kewajiban membayar pajak daerah dan retribusi daerah, atas kewajiban itu tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya.