ASN di Pusaran Kontestasi Pemilihan

279 Views

Pendahuluan

Kontestasi pemilihan kepala daerah untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi tantangan besar dalam mewujudkan netralitas pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Persoalan netralitas pegawai ASN seperti tidak pernah terselesaikan secara tuntas, silih berganti pelaksanaan kontestasi politik tetapi pelanggaran netralitas dari oknum pegawai ASN masih terus terjadi. Sudah banyak rekomendasi sanksi moral dan sanksi disiplin dari KASN maupun sanksi dari Dewan Etik Pemerintah Daerah kepada mereka yang melanggar netralitas ASN, nyatanya tidak menimbulkan efek jera penghukuman.

Lebih parah lagi, surat sanksi malah digunakan oknum pejabat ASN untuk mendapatkan promosi jabatan, saat calon petahana berhasil mendapatkan suara mayoritas dan terpilih sebagai kepala daerah untuk periode kedua. Sanksi akibat ketidaknetralan mereka jadikan bukti yang menunjukkan loyalitas pegawai kepada atasan (petahana) terpilih. Sanksi akibat ketidaknetralan dalam pemilihan nyatanya tidak memiliki efek jera, hingga kecenderungan pelanggaran netralitas terus terjadi dan terus berulang sepanjang kontestasi pemilihan.

Buku yang ditulis S.F. Marbun dan M. Mahfud MD mengakui, salah satu persoalan besar bangsa ini dalam kehidupan bernegara adalah persoalan netralitas pegawai yang mendapatkan operasional dan gaji dari keuangan negara, karena secara teoritis sulit ditemukan landasan yang dapat memberikan alasan pembenar bagi pegawai negeri untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik praktis.[1] Dukung-mendukung, menggunakan kegiatan dan kebijakan menguntungkan salah satu peserta pemilihan jelas tidak dibenarkan dan diancam dengan sanksi moral, disiplin dan pidana bagi pegawai yang melanggar.

Padahal pembentuk undang-undang telah membuat regulasi untuk menjaga netralitas ASN dengan pembatasan keterlibatan dalam kegiatan politik praktis guna memperkuat fungsi ASN sebagai pelayanan publik secara adil dan tanpa diskriminasi. Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) tegas mengamanatkan penyelenggaraan kebijakan dan manajemen didasarkan pada prinsip netralitas. Netralitas artinya pegawai ASN tidak berpihak dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun, murni profesional dan berkinerja dalam memberikan pelayanan publik secara adil. Adanya UU ASN juga menandai terbentuknya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik dan kode perilaku ASN, serta penerapan meryt system yang mengedepankan keahlian dan pengalaman dalam manajemen ASN pada Instansi Pemerintah.

Pengalaman pelaksanaan pemilihan kepala daerah di berbagai daerah, dampak dari kegiatan politik praktis dukung-mendukung oleh pejabat birokrasi dan ASN telah membawa pengaruh terjadi penyalahgunaan wewenang jabatan untuk membantu proses pemenangan salah satu calon peserta pemilihan. Kerentanan ASN dalam politik praktis dengan melakukan tindakan menguntungkan salah satu peserta terutama petahana dengan didasarkan oleh loyalitas atau iming-iming pragmatis promosi jabatan.

Pegawai ASN sejatinya mampu menerapkan asas netralitas dalam bekerja dan tidak berpihak kepada partai politik atau peserta pemilihan tertentu. Pembatasan dilakukan untuk fokus memberi pelayanan publik secara adil dan netral. Sanksi ancaman telah disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur soal netralitas, norma dasar, kode etik dan perilaku ASN. Dari idealitas netralitas yang diperhadapkan pada fakta-kenyataan pelanggaran netralitas ASN di lapangan, ditarik permasalahan sebagai fokus bahasan tulisan ini. Yakni, bagaimana strategi pencegahan dan penanganan pelanggaran atas netralitas pegawasi ASN di kontestasi pemilihan kepala daerah?

Konsepsi Netralitas Pegawai ASN

Pengertian netralitas dalam Kamus Bahasa Indonesia[2] diartikan keadaan netral (tidak terikat, bebas). Menurut Marbun, netralitas adalah bebasnya pegawai ASN dari pengaruh kepentingan partai politik tertentu atau tidak memihak untuk kepentingan politik praktis tertentu atau tidak berperan dalam proses politik.[3] Dikaitkan dengan penyelenggaraan kontestasi demokrasi yang periodik dilakukan, netralitas pegawai ASN dapat didefenisikan sebagai perilaku tidak memihak, atau tidak terlibat baik secara diam-diam maupun terang-terangan yang ditunjukan birokrasi dan pegawai ASN dalam masa sebelum, selama dan sesudah tahapan pemilihan kepala daerah berlangsung.

Selanjutnya apa itu pegawasi ASN? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), Pegawai ASN adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (P3K) yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lain dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dari pengertian itu, ASN terdiri atas PNS dan P3K yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (Kepala Daerah).

UU ASN secara tegas telah mengamanatkan bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan prinsip antara lain “netralitas”. Pasal 2 huruf f UU ASN menyebutkan bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN didasarkan pada asas netralitas. Dalam penjelasan pasal disebutkan bahwa asas netralitas dimaknai agar setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Penerapan asas netralitas ini diarahkan untuk menciptakan pegawai ASN yang profesional dan berkinerja tinggi, sehingga dapat memberikan pelayanan publik secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa.

Pegawai ASN dari sisi hak pilih dalam kontestasi pemilihan, berbeda dengan anggota TNI dan Polri. Pegawai ASN memiliki hak memilih untuk menyalurkan hak suara saat pemungutan suara, sementara anggota TNI dan Polri tidak memiliki hak politik (memilih dan dipilih). Belum lagi secara sosiologis, ASN ditempatkan pada posisi orang berpendidikan, memiliki jabatan dan pengaruh, serta memiliki kemampuan finansial. ASN strategis digunakan sebagai basis massa dan mobilisasi massa untuk mendukung atau memilih salah satu peserta pemilihan.

Pembatasan hak politik bagi pegawai ASN masih dapat ditolerir sepanjang menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Atas dasar itu, maka pemaknaan terhadap netralitas adalah membatasi kewenangan dari ASN untuk tidak memihak dalam kegiatan politik praktis.[4]

Pegawai ASN dalam kontestasi politik sangat potensial untuk dimobilisasi terutama untuk kepentingan petahana. Hal ini berangkat dari struktur pemerintahan bahwa kekuasaan eksekutif tertinggi (Pusat dan Daerah) lahir dari proses kontestasi politik, yang membawahi birokrasi dan pegawai ASN. Mengantisipasi potensi mobilisasi ASN untuk kepentingan politik praktis, pembentuk undang-undang membuat pengaturan tentang pembatasan akivitas ASN yang disebut dengan asas netralitas. Pengaturan itu dimaksudkan untuk memperoleh kepastian, kegunaan dan keadilan hukum guna membatasi kekuasaan terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Permasalahan netralitas pegawai ASN berangkat dari dilema birokrasi dengan regulasi yang mengikat. Pegawai ASN diperhadapkan pada kondisi dilema, secara emosional struktur organisasi harus loyal dengan melakukan tindakan nyata mendukung berjalan proses pemerintahan. Ketika bertindak pragmatis terlibat dalam dukung-mendukung calon yang berkontestasi, dari sisi petahana akan dianggap loyal dan dapat diimingi dengan jabatan ketika calon yang didukung terpilih. Namun saat calon yang didukung ternyata kalah, maka teror dan demosi akan mengancam karier pegawasi ASN tersebut.

Saat selesai tahapan pemilihan dan pelantikan kepala daerah terpilih lebih nyata lagi, terutama dalam pengelolaan manajemen kepegawaian daerah yang tidak dilaksanakan sesuai norma standar dan prosedur, dalam bentuk:

  • penerimaan pegawai, terutama honorer untuk menampung tim sukses/pendukung yang sudah berkontribusi atas pemenangannya;
  • pola karir menjadi tidak jelas, karena munculnya kesewenang-wenangan dalam menempatkan orang dalam jabatan terutama untuk menampung tim sukses/pedukung, atau mutasi pejabat yang tidak mendukung (non job);
  • kinerja birokrasi pemerintahan tidak bertambah baik, karena jabatan dan pegawai diisi oleh orang yang tidak kompeten.

Selain faktor pragmatis pegawai ASN untuk mendapatkan promosi jabatan atau mempertahankan kedudukan jabatan yang telah diraih, faktor yang turut berpengaruh terhadap netralitas pegawasi ASN juga disebabkan oleh faktor eksternal atau dorongan dari luar struktural birokrasi. Pertama, Intervensi elit politik. Berkaitan dengan jabatan dalam lingkungan birokrasi semakin kental dengan aspek politis terutama saat memilih kepala daerah melalui mekanisme pemilihan langsung. Proses pemilihan rentan menjadikan birokrasi sebagai kekuatan politik untuk mendapatkan dukungan, karena jabatan karir di daerah sangat ditentukan oleh pejabat di atasnya yaitu kepala daerah. Pejabat dan pegawai ASN kadang terjebak dalam kegiatan politik praktis, walaupun dengan maksud kinerja profesional dan loyalitas kepada atasan. Tetapi tidak jarang mereka larut dalam kontestasi politik, secara sembunyi-sembunyi mendukung salah satu peserta pemilihan dengan harapan dan motivasi personal bersifat pragmatis.

Kedua, Birokrasi sebagai mesin partai politik. Birokrasi tidak dapat menghindar dari tekanan yang kuat dari kelompok kepentingan yaitu partai politik. Birokrasi secara sadar menjadi mesin politik serta sebagai bagian yang terlibat dalam koalisi politik dalam lingkungan pejabat struktural birokrasi. Beberapa bentuk keterlibatan partai politik seperti adanya intervensi terhadap kebijakan dengan membuat kebijakan menguntungkan pihak pasangan tertentu terutama petahana, selain itu pemanfaatan fasilitas negara/daerah untuk mobilisasi dukungan.

Ketiga, Intimidasi. Pegawai ASN menghadapi posisi dilema dan serba-salah, mereka sering dianggap memihak salah satu perserta pemilihan atau dianggap tidak loyal oleh petahana.  Bersikap netral dengan semata-mata profesional dalam bekerja, maka pegawai tersebut dianggap tidak loyal terutama oleh petahana. Tidak jarang mereka pegawai ASN menghadapi intervensi kekuatan politik agar ikut bergabung dalam pusaran politik praktis dan melakukan kegiatan-kegiatan menguntungkan salah satu peserta pemilihan.

Oleh karena itu, fungsi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pengelolaan manajamen kepegawaian oleh Komisi Aparatur Sipil Negara dan Badan Kepegawaian Negara, khususnya terkait dengan pengangkatan dalam jabatan, promosi dan mutasi perlu diperkuat. Dengan sistem yang memuat tindakan dan kebijakan yang menjamin syarat dan profesionalitas menduduki jabatan di Pemerintahan tetap dilakukan secara proporsional, dan tidak diintervensi oleh kepentingan pragmatis politis sebagai imbas kontestasi pemilihan yang bersifat balas budi.

Larangan dan Sanksi

Larangan-larangan dalam pelaksanaan kontestasi demokrasi hakikatnya mengatur proses dan hasil agar terwujud pemilihan berintegritas dan berkualitas, dengan menghindari tindakan-tindakan merugikan dalam kontestasi, serta sebagai inisiasi lahir pemimpin pilihan rakyat pemilik kedaulatan. Dari berbagai ketentuan hukum yang mengatur tentang netralitas, ditemukan beberapa larangan menjamin netralitas pegawai ASN agar tidak terlibat kegiatan politik praktis, dukung-mendukung peserta pemilihan. Agar mereka dapat fokus pada fungsi pelayan publik yang adil untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitas mencapai tujuan bersama.

Pertama, larangan menggunakan fasilitas jabatan untuk keperluan kampanye. Pegawai ASN menjalankan fungsi dibekali dan diberi fasilitas penunjang oleh negara, dengan tujuan menjamin kelancaran kerja-kerja pelayanan publik. Fasilitas jabatan yang melekat dilarang digunakan untuk kepentingan kampanye peserta pemilihan. Fasilitas dapat berupa sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas, gedung kantor, rumah dinas, dan fasilitas lainnya yang dibiayai oleh APBN atau APBD.

Kedua, larangan membuat keputusan dan/atau membuat tindakan yang mengarah keberpihakan pada peserta pemilihan. Birokrasi pegawai dapat saja memiliki kecenderungan kepada salah satu peserta pemilihan, apalagi melibatkan calon petahana, mereka dilarang membuat keputusan atau tindakan yang mengindikasi menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilihan. Larangan ini menekankan agar dalam pelaksanaan kontestasi politik, semua peserta pemilihan memiliki posisi dan kesempatan yang sama, dengan tidak memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh negara/daerah untuk kepentingan politik praktis kelompok tertentu.

Ketiga, larangan melakukan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilihan sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Waktu kampanye dalam tahapan pemilihan telah ditetapkan masa waktu, sehingga pegawai ASN selama proses kontestasi politik berlangsung tidak diperkenankan melakukan kegiatan bernuansa keberpihakan kepada salah satu pihak peserta pemilihan. Larangan itu meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan atau pemberian barang kepada ASN di lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Secara yuridis larangan-larangan bagi pegawai ASN melakukan perbuatan mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, baik yang mengatur soal Pemilu maupun Pemilihan termasuk turunan peraturan pelaksana. Larangan-larangan tersebut menjadi satu kesatuan agar pegawai ASN menegakkan prinsip netralitas dalam memberikan pelayanan publik secara adil tanpa diskriminasi dan tersekat oleh kepentingan politik praktis.

Larangan misalnya, ditemukan dalam ketentuan Pasal 4 angka 14 dan angka 15 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, yang menyebutkan setiap PNS dilarang:

memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundangundangan; dan

memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:

  • terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
  • menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
  • membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
  • mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Selanjutnya, lewat kebijakan kementerian/lembaga mengeluarkan surat yang menitikberatkan pada netralitas pegawai ASN dalam kontestasi demokrasi. Berikut contoh-contoh larangan bersifat teknis yang dimuat dalam surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tanggal 27 Desember 2017 sebagai tindak lanjut atas PP Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, sebagai berikut :

  • PNS dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
  • PNS dilarang memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
  • PNS dilarang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
  • PNS dilarang menghadiri deklarasi bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan atau tanpa menggunakan atribut bakal pasangan calon/atribut partai politik;
  • PNS dilarang mengunggah, menanggapi atau menyebarluaskan gambar/foto bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah melalui media onlinemaupun media sosial;
  • PNS dilarang melakukan foto bersama dengan bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan mengikuti simbol tangan/gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan;
  • PNS dilarang menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan partai politik.

Selain pembatasan aturan internal yang ditekankan oleh kementerian/lembaga yang menjadi leading sector masing-masing sebagai tindaklanjut peraturan perundang-undangan, UU Pemilu dan UU Pemilihan juga menekankan akan netralitas ASN selama proses kontestasi politik berlangsung, bahkan sebelum dan setelah kontestasi. Seperangkat larangan-larangan di atas menjadi norma dan ketentuan yang wajib ditaati oleh pegawai ASN (PNS maupun P3K) agar pelaksanaan pelayanan publik yang mereka berikan tidak diskriminatif dan terpengaruh dengan golongan dan haluan politik yang senantiasa membayangi. Namun jika melanggar dan terbukti melakukan pelanggaran, maka oknum pegawai bersangkutan harus menerima konsekwensi  menerima sanksi hukuman sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.[5]

Konsekwensi atas pelanggaran larangan ini, pelaku dapat dijatuhi dengan sanksi pidana pemilihan, sanksi moral dan sanksi disiplin. Dalam praktek, bisa saja sanksi pidana tidak dapat dijatuhkan dengan alasan tidak terpenuhi unsur pasal yang disangkakan, tetapi dari sisi sanksi moral dan sanksi disiplin dapat dijatuhkan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan.

* * * *

Ketentuan hukum menjamin netralitas ASN diarahkan terpelihara tata tertib dalam kelancaran pelaksanaan tugas, dari itu PNS wajib mematuhi kode etik dan disiplin sebagai PNS. Dari itu PNS wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara, penyelenggaraan pemerintahan, berorganisasi, bermasyarakat, dan terhadap diri sendiri serta sesama pegawai. Pelanggaran atas kewajiban menegakkan kode etik pegawai dapat dikenai sanksi moral dan/atau sanksi disiplin.

Pegawai ASN yang melanggar netralitas dapat dikenai sanksi moral, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2010 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, menyebutkan PNS yang melakukan pelanggaran Kode Etik dikenakan sanksi moral, yang dibuat secara tertulis dan dinyatakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Sanksi moral berupa : a. pernyataan secara tertutup; atau b. pernyataan secara terbuka. Dalam pemberian sanksi moral dimaksud harus disebutkan jenis pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PNS.

Selain sanksi moral, PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dapat dijatuhi hukuman disiplin. Ketentuan mengenai sanksi disiplin diatur dalam Peraturan Pemerintah.[6] Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin PNS, telah diatur dengan jelas kewajiban yang harus ditaati dan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh PNS. Juga diatur tata cara pemeriksaan, tata cara penjatuhan dan penyampaian hukuman disiplin, serta tata cara pengajuan keberatan apabila PNS yang dijatuhkan hukuman disiplin merasa keberatan atas hukuman disipilin yang dijatuhkan.

Tingkat hukuman disiplin sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010, terdiri dari:

  • hukuman disiplin ringan. Terdiri dari : a. teguran lisan, b. teguran tertulis, dan c. pernyataan tidak puas secara tertulis.
  • hukuman disiplin sedang. Terdiri dari : a. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun; b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.
  • hukuman disiplin berat. Terdiri dari : a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun; b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; c. pembebasan dari jabatan; d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

Secara umum sanksi menurut Dedi Mulyadi merupakan alat pemaksa yang bersifat publik sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum. Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang penting dalam hukum, dan tiap aturan hukum selalu ada sanksi pada akhir aturan hukum tersebut. Pembebanan sanksi tidak hanya terdapat dalam bentuk undang-undang, tetapi bisa dalam bentuk peraturan lain, seperti keputusan menteri ataupun bentuk lain di bawah undang-undang.[7]

Sanksi selalu ada pada ketentuan-ketentuan hukum yang dikualifikasikan sebagai aturan hukum yang memaksa. Sanksi menjadi akibat atas perbuatan yang melanggar ketentuan hukum. Hal ini sesuai dengan fungsi sanksi menegakkan hukum terhadap ketentuan yang berisi larangan atau kewajiban, serta memberikan penyadaran kepada pihak pelanggar. Dengan menempatkan sanksi memberi efek jera dan pemberi peringatan kepada pihak yang ingin mencoba melanggar.

Pengawasan

Pengawasan dalam perpektif hukum administrasi, dikemukakan J.B.J.M ten Berge bahwa pengawasan merupakan bagian penting dalam penegakan hukum administrasi (administrative rechtshandhaving) yang merupakan penegakan hukum preventif untuk mencegah terjadinya pelanggaran norma hukum administrasi[8]. Sementara dalam perpektif hukum tata negara, pengawasan merupakan bagian dari mekanisme check and balance antar lembaga negara, yang menurut Abdul Rasyid Thalib, pembatasan kekuasaan setelah kekuasaan dipisah-pisahkan, satu kekuasaan pemerintahan harus dianggap sebagai batas kekuasaan lain, hal ini untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa akibat menumpuk tiga kekuasaan dalam satu tangan.[9]

Sejatinya pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan terbuka, ada keterpaduan atau kebersamaan dalam koordinasi, pelaku pengawasan sendiri harus bersih, ada kemampuan teknis dan keberanian moral dan serta dilakukan dengan konsisten menegakkan aturan hukum. Melalui pengawasan diketahui lebih awal potensi pelanggaran sehingga dapat dihindarkan akibat yang lebih fatal. Sebelum timbul dampak lebih besar dari pelanggaran, dapat segera dihentikan melalui mekanisme pengawasan. Pengawasan dilakukan untuk menjaga pelaksanaan kegiatan sesuai rencana yang ditetapkan dalam rangka pencapaian tujuan. Melalui pengawasan dilakukan penilaian untuk memastikan apakah pelaksanaan telah sesuai dengan rencana, kebijakan dan ketentuan yang berlaku.

Pengawasan netralitas ASN merupakan salah satu tindakan penegakan disiplin ASN terhadap norma dan standar yang diselenggarakan oleh instansi berwenang (misalnya BKN dan Komisi ASN), sebagai tindakan preventif dan upaya meminimalkan pelanggaran atas disiplin, baik yang bekerja dalam lingkup Instansi Pusat maupun Daerah. Pengawasan ASN meliputi penegakkan disiplin ASN, pemberhentian ASN yang menjadi anggota dan pengurus partai politik, serta penanganan ASN yang terlibat tindak pidana korupsi. Adanya tindakan pengawasan diharapkan dapat memberikan pencegahan pelanggaran dan dapat mendorong terwujud netralitas dari pengaruh golongan dan/atau partai politik yang tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan publik.[10]

Mewujudkan netralitas ASN melalui profesionalitas dan kinerja tinggi, sangat dibutuhkan strategi pengawasan yang dimaknai sebagai langkah pencegahan pelanggaran. Strategi pengawasan mencakup desain pendekatan melakukan pengawasan netralitas ASN. Pertama, pemetaan risiko ketidaknetralan ASN. Sepanjang pelaksanaan kontestasi pemilu maupun pemilihan, salah satu target dari peserta berkontestasi adalah hak memilih dari pegawai ASN. Mereka ASN harus netral dalam penyelenggaraan kontestasi, tetapi memiliki hak memilih untuk menyalurkan hak suara di TPS saat pemungutan suara. Pegawai ASN menjadi kelompok pemilik hak suara yang dilirik peserta kontestan, ini bisa disebabkan ASN merupakan kalangan terdidik dan mampu memberikan pencerahan rasionalisasi di masyarakat, minimal di kalangan keluarga sendiri. Selain itu, pegawai ASN dianggap memiliki jaringan dan pengaruh sampai ke tingkatan bawah masyarakat, dan sangat potensial dimobilisasi untuk kepentingan politik praktis.

Pegawai ASN memiliki hak memilih saat pemungutan suara dengan berbagai potensi yang dimiliki, penting dipetakan sebagai kelompok potensial dimobilisasi apalagi saat ada calon petahana yang ikut sebagai peserta pemilihan. Pemetaan ditujukan untuk mengetahui faktual potensi dan segala kemungkinan pegawai ASN dimobilisasi dalam kegiatan politik praktis, menyangkut penggunaan keputusan atau tindakan yang menguntungkan salah satu peserta pemilihan, atau penggunaan fasilitas pemerintah daerah dalam kegiatan kampanye.

Kedua, koordinasi dan kerjasama dengan lembaga mitra. Setelah ada pemetaan potensi kerawanan netralitas pegawai dan birokrasi ASN dalam kegiatan politik praktis, maka diikuti dengan langkah pengawasan dalam bentuk kegiatan pencegahan potensi pelanggaran. Inisiasi kegiatan berbentuk kerjasama dengan lembaga mitra. Kerjasama dimaksud dilakukan dengan bentuk:

  • Membangun MOU dengan lembaga terkait. Lembaga/instansi yang memiliki perhatian dan kewenangan dengan pengawasan netralitas ASN untuk membangun kesepahaman dengan lembaga mitra yang memiliki misi sama.
  • Membuat program bersama dalam upaya pencegahan netralitas ASN. Tindak lanjut dari kesepahaman bersama adalah membuat kegiatan-kegiatan bersama dengan sasaran pegawai ASN menjaga netralitas dalam penyelenggaraan kontestasi demokrasi.
  • Membuat sinkronisasi kerja teknis antara masing-masing lembaga. Bahwa pencegahan dan penindakan pelanggaran netralitas sejatinya melibatkan peran serta banyak pihak, dari itu kelembagaan berwenang melakukan pengawasan terhadap netralitas pegawasi ASN sangat penting membangun mekanisme kerja teknis pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Misalnya ketika ada laporan atau temuan pelangggaran netralitas pegawai ASN yang ditangani pihak Bawaslu, lalu diteruskan ke Komisi ASN. Komisi ASN lantas menerima dan menindaklanjuti sesuai standar kerja kelembagaan, dengan sistem kontrol publik untuk mengetahui kemajuan tindaklanjut penanganan.
  • Mendorong penguatan kelembagaan dan efektifitas kerja Satgas Penegakan Integritas yang dibentuk Menteri PAN dan RB dan Menteri Dalam Negeri dalam rangka menghadapi setiap kontestasi politik pemilu maupun pemilihan yang rutin dilaksanakan.

Ketiga, membangun zona netralitas ASN. Membudayakan semangat netralitas dan profesionalitas ASN dalam bekerja, penting selalu dikampanyekan. Pesan-pesan moral dan etika akan kesejatian netralitas dan profesionalitas pelayanan publik tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik praktis penting dikampanyekan terus-menerus agar membekas dan menjadi budaya kerja. Walaupun harapan ini akan menghadapi tantangan pragmatis dan kerasnya arus mobilisasi pemilih kepada calon tertentu. Paling tidak ada upaya menjaga netralitas dalam zona tertentu, misalnya di wilayah kerja-kantor tidak diperkenankan melakukan kampanye dalam bentuk langsung maupun tidak langsung. Bentuknya dapat diikuti dengan kegiatan-kegiatan menjamin netralitas pegawai dan birokrasi ASN dalam pelaksanaan kontestasi pemilihan di wilayah zona integritas tempat bekerja.

Keempat, menyediakan akses informasi. Akses informasi terdiri dari sarana dan fasilitas penunjang guna memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi pengawasan, menyampaikan aduan, dan/atau laporan pelanggaran pada tahapan pemilihan kepala daerah. Dalam sajian informasi yang tersaji secara online maupun penyampaian informasi awal atau laporan dengan dukungan fasilitas online yang diakses melalui fasilitas website, diharap akan mempengaruhi tingkat kepercayaan publik untuk ikut bersama dalam pencegahan pelanggaran. Oleh karena itu, tindaklanjut atas permohonan informasi atau tindaklanjut informasi awal atau laporan pelanggaran pemilihan sangat penting yakni dilakukan secara profesional dan berintegritas.

Penanganan Pelanggaran

Pengawasan dan penanganan pelanggaran atas netralitas pegawai ASN di Indonesia dalam kontestasi pemilu maupun pemilihan ternyata telah melibatkan banyak instansi dan sudah berlangsung cukup lama. Penanganan bukan hanya menjadi kewenangan komisi ASN dan Pengawas Pemilu semata, juga ada kewenangan instansi lain yang turut berperan pengawasan dan penanganan pelanggaran atas netralitas pegawai ASN ini. Sebut ada kewenangan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara, Kementerian Dalam Negeri, dan Ombudsman Republik Indonesia.

Masing-masing instansi memiliki kewenangan yang bersentuhan dengan grand pencegahan dan penanganan pelanggaran netralitas ASN. Pada aspek pencegahan, ini tentu positif dengan keterlibatan banyak pihak, semakin banyak pihak terlibat pesan-pesan netralitas dapat tersebar secara masif. Namun pada sisi lain, banyaknya lembaga terlibat dalam penindakan akan berpotensi tidak efektif dan efesien proses penindakan pelanggaran. Kerja suatu instansi akan tergantung dengan koordinasi dan hasil kerja instansi lain.

Selanjutnya bagaimana sumber daya potensial ini berkolaborasi sesuai dengan kewenangan kelembagaan memastikan netralitas ASN dalam kontestasi demokrasi dapat terjaga, berupa hasil kerja instansi lain ditindaklanjuti oleh instansi lain juga. Misalnya, kajian dugaan pelanggaran pengawas pemilu ditindaklanjuti oleh Komisi ASN atau BKN atau instansi yang memiliki kewenangan dalam penindakan netralitas.

****

Kewenangan pengawas pemilu dalam melakukan penindakan pelanggaran atas netralitas pegawai ASN, perlu diuraikan sebagai bahan dalam pengawasan dan penindakan pelanggaran, khusus dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Agar tidak muncul keragu-raguan dalam menindaklanjuti setiap laporan atau temuan. Dengan mengacu UU 10/2016 (UU Pemilihan) dan Peraturan Bawaslu Nomor 14 tahun 2017 tentang Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, proses penanganan pelanggaran dilakukan saat tahapan penyelenggaran Pemilihan telah dimulai sebagaimana disebutkan dalam Peraturan KPU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2020.

Selanjutnya berdasarkan laporan atau temuan dugaan pelanggaran pemilihan, pengawas pemilu sesuai kewenangan melakukan tindaklanjut melaui serangkaian proses penanganan pelanggaran berdasarkan peraturan teknis Bawaslu. Pada intinya, proses dilakukan untuk mengumpulkan sejumlah data, bukti, dan bahan atas dugaan pelanggaran netralitas pegawai ASN untuk diteruskan kepada instansi berwenang serta pengawasan tindaklanjut rekomendasi.

Sesuai Peraturan Bawaslu Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pengawasan Netralitas Pegawai ASN, Anggota TNI, dan Anggota Polri, ditemukan beberapa ketentuan pasal sebagai dasar hukum dan rujukan pelaksanaan kewenangan penanganan pelanggaran saat tahapan pemilihan sudah dimulai. Perbawaslu ini tidak hanya berlaku dalam penyelenggaraan pemilu, tetapi juga menjadi rujukan pengawasan dan penanganan netralitas ASN di tahapan pemilihan kepala daerah.[11] Jadi jelas Perbawaslu ini menjadi dasar hukum bagi pengawas pemilu dalam pengawasan netralitas ASN di hajatan pemilihan kepala daerah.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 3 dan Pasal 7 Perbawaslu 6/2018 disebutkan bahwa, netralitas ASN dapat menjadi objek pengawasan Bawaslu dalam hal tindakan ASN berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan. Jika tahapan pemilihan sudah dimulai, maka pengawas pemilu sudah memiliki wewenang untuk melakukan pencegahan dan penindakan pelanggaran. Penindakan pelanggaran terhadap dugaan pelanggaran netralitas ASN pada setiap penyelenggaraan pemilihan dilakukan menurut mekanisme Peraturan Bawaslu Nomor 14 tahun 2017 tentang Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Terhadap hasil kajian pelanggaran netralitas pegawai ASN, pengawas pemilu meneruskan kepada instansi yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Namun, tidak semua kajian pelanggaran atas netralitas ASN diteruskan kepada Komisi Aparatur Negara (KASN) di Jakarta, tetapi ada juga kajian pelanggaran diteruskan ke Komisi Penegak Etik Pemerintah Daerah, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kebijakan internal dan peraturan perundang-undangan Terutama ASN yang berkategori P3K yang ditetapkan pengangkatan kepegawaian oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, penyelesaian pelanggaran netralitas cukup di daerah saja.

Sering ditanyakan, apakah Pengawas Pemilu memberi sanksi atas pelanggaran netralitas ASN? Pengawas Pemilu tidak memberi sanksi atau rekomendasi sanksi, Pengawas Pemilu cukup memberikan “rekomendasi pelanggaran hukum lainnya” kepada KASN atau Komisi Penegak Etik Pemerintah Daerah dengan melampirkan kajian pelanggaran dan bukti terkait atas pelanggaran netralitas ASN. Selanjutnya instansi yang dituju sesuai kewenangan melakukan serangkaian tindakan yang akhirnya dapat memberikan rekomendasi sanksi moral atau sanksi disiplin yang ditujukan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (Kepala Daerah) setempat.

Penutup

Masalah pelanggaran netralitas pegawai ASN bukan hal baru lagi, sudah berulang kali pelaksanaan kontestasi politik baik pemilu maupun pemilihan dilakukan, ditambah lagi dengan keterlibatan banyak instansi dalam pengawasan dan penindakan pelanggaran, tetapi fakta pelanggaran netralitas pegawai tetap saja terjadi. Sudah banyak pegawai ASN ditindak dan menerima sanksi hukuman moral maupun disiplin, tetapi tidak menimbulkan efek jera dan memberi peringatan efektif kepada pegawai lainnya.

Penindakan netralitas pegawai ASN akan efektif apabila ada perbaikan sistem pegawasan yang diikuti dengan mendorong deregulasi materi muatan, berupa Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) tidak lagi dipegang oleh pejabat politik (kepala daerah). Langkah lain, berupa penerapan sistem merit dalam manajemen ASN untuk mengurangi peluang pengangkatan dalam jabatan berdasarkan patronase politik dan politik balas budi, serta pemberian sanksi yang lebih berat kepada pegawai ASN yang melanggar netralitas.

Catatan Kaki:

[1] S.F. Marbun dan M. Mahfud MD, 1998, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Liberty, hlm. 69.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, hlm 1073.
[3] Marbun dalam Komisi Aparatur Sipil Negara, 2018, Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara, Jakarta, hlm. 6.
[4] Tedi Sudrajat dan Agus Mulya Karsona, 2016, Menyoal Makna Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Jurnal Media Hukum, hlm. 93.
[5] Ruslan Husen, 2019, Dinamika Pengawasan Pemilu, Ellunar, Bandung, hlm. 292.
[6] Lihat Pasal 86 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
[7] Dedi Mulyadi, 2013, Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif dalam Perspektif Hukum di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm.184-185.
[8] J.B.J.M ten Berge dalam Philipus M Hadjon, 2006, Penegakan Hukum Administrasi dalam Kaitannya dengan Ketentuan Pasal 20 Ayat (3) UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, No.1 Tahun XI, Januari 1996, hal 6.
[9] Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya, Bandung, hlm 284.
[10] Ajib Rakhmawanto, 2019, Strategi Penegakan Netralitas ASN Dalam Birokrasi Pemerintahan, Jurnal Civil Apparatus Policy Brief, Nomor: 033-Juli 2019, Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian, BKN Jakarta, hlm. 3
[11] Lihat Pasal 16 dan Pasal 1 angka 2 Perbawaslu Nomor 6 Tahun 2018.

File pdf dapat didowload di bawah ini:

ASN di Pusaran Kontestasi Pemilihan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.