Peradaban Alternatif dalam Model Keber-Islaman
Oleh : Mashur Alhabsyi, S.Pd
Banyaknya persoalan di kalangan umat Islam saat ini, baik dari sosial, ekonomi, dan politik membuat peradaban Islam tertinggal jauh dari barat, saat ini barat telah maju dari segi tekhnolgi dan Informasi. Kehadiran tekhnologi barat membuat ketertinggalan perkembangan Islam dalam dunia Ilmu pengetahuan.
Di samping itu, menjadi problem besar umat Islam saat ini yaitu model ber-Islaman ummat Islam. Keber-Islaman ummat Islam yang dipertontonkan secara individu atau sekelompok orang hanya dalam bentuk assesoris. Bahkan Keber-Islaman ini bisa dikatakan Islam assesoris yaitu Islam simbol, misalnya saat ini pandangan keber-Islaman dilihat dari sisi pakaian, jika sesorang telah mengenakkan jubbah, berkopiyah putih dan bersurban serta menggunakan assesoris pakaian sholeh maka itulah kesempurnaan keber-Islaman yang di imaninya.
Sedangkan pada dasarnya, keber-Islaman seseorang juga bisa dilihat dari berbagai aktivitas yang luas dan beraneka ragam. Yaitu, mulai dari sikap dan perilakunya terkait dengan ekonomi, hubungan-hubungannya dengan sesama, dalam berpolitik, berkeluarga, bertetangga, menyangkut terhadap orang lain yang sedang berkekurangan atau kesulitan, ilmu pengetahuan, pengabdian dan pengorbanannya, dan masih banyak lagi lainnya.
Demikian gambaran keber-Islaman saat ini, sehingga jangan heran tampak keber-Islaman kita dapat dikatakan dengan keber-Islaman yang borjuistik. Yaitu keberIslaman yang selalu melanggengkan egoisme dan kepentingan pribadi. Bahkan menipiskan solidaritas, menampakkan kebanggaan atas kemewahan materiil di atas ketimpangan sosial. KeberIslaman kita menjadi seperti ini, karena hegemoni pemahaman terhadap keIslaman hanya sekedar tekstual dalam memahami ayat-ayat Qur’anik tanpa memaknai makna kontekstual dari ayat-ayat suci tersebut sehingga yang terjadi adalah ber-Islam dengan sekedar memahami ajarannya tanpa secara sungguh-sungguh mengaplikasikan kondisi-kondisi konkret nilai kebenaran ilmu pengetahuan di dalalamnya.
Jika keber-Islaman ini yang selalu tampak dalam prespektif umat, maka yakin dan percaya peradaban Islam akan selalu tertinggal dibandingkan dengan peradaban barat. Saat ini kita semua sudah merasakan bagaimana peradaban telah dimonopoli oleh barat sehingga penulis berusaha menawarkan secara singkat salah satu solusi alternative dari hasil bacaan terkait Peradaban Alternatif dalam Model Keber-Islaman
Adanya judul sederhana ini, berdasarkan hasil fenomenologi lingkungan dan kondisi yang dirasakan oleh penulis, dengan demikian dari judul tersebut akan diuraikan secara singkat terkait Peradaban Alternatif dalam Model Keber-Islaman dengan beberapa uraian yaitu Pertama, paradigma ber-Islam, model ini akan dijelaskan bagaimana kondisi rill pada umumnya cara ber-Islamnya umat saat ini. Kedua, ber-Islam Model Kontekstual, model yang kedua ini sebagai gambaran dan dorongan kepada umat Islam agar mengedepankan Ilmu Pengetahuan dalam Ber-Isam dengan meneladani model Ilmuan Islam terdahulu. Ketiga, mengulas Peradaban Alternatif dalam model keber-Isaman, sub judul yang ketiga ini akan menjadi pembahasan utama tentang Peradaban Al-ternatif dalam model keber-Isaman yang akan memberi penjelasan terkait solusi berislam dalam memajukan peradaban. Sehingga harapan dari ketiga sub judul tersebut menjadi solusi bagi ummat Islam dalam menjalankan nilai-nilai keberislaman.
Paradigma KeberIslaman
Istilah berislam secara bahasa berasal dari kata Islam, yang diambil dari bahasa arab dengan di awali kata fiil madhi, yaitu Aslama-Yuslimu yang berakar dari kata Salima dan memiliki arti selamat. Sedangkan Al-Islam dalam qaidah Ilmu bahasa arab sebagai kata Masdhar yang memiliki arti kedamaian dan ketentraman.[1] Dengan demikian dapat didefenisikan bahwa berislam yaitu cara menjalankan ajaran Islam dengan kesadaran menuju suatu kedamaian dan ketentraman.
Paradigma keberislaman merupakan suatu keragaman berpikir, bertindak, dalam melaksanakan ajaran-ajarannya. Paradigma Keberislaman juga dapat menjadi barometer seseorang dalam menjalankan kehidupan. Dewasa ini, berbagai macam paradigma keberislaman yang muncul di kehidupan ummat Islam utamanya di Indonesia, mulai dari cara berpikir yang Fundamentalis, Tradisional, Moderen hingga yang Radikal. Dengan demikian keragaman berpikir itulah yang akan mewarnai dimensi kehidupan ini. Namun, apakah dengan berbagai macam cara berpikir seperti itu umat Islam sudah dapat merealisasikan nilai-nilai keber-Islaman? Dan sudah sejauh manakah praktek keber-Islaman yang sebenarnya?, jawaban dari pertanyaan tersebut, ada di diri masing-masing umat Islam.
Ada sebuah riset yang dilakukan tahun 2010 dan tahun 2014 oleh Scherazade S Rehman dan Hossein Askari dari George Washington Universty dengan judul risetnya How Islamic are Islamic Countries? Suatu riset yang menjawab tentang seberapa besarkah keber-Islaman umat Islam itu, dan hasilnya sangat mengejutkan ternyata hasil riset itu memposisikan Selandia Baru pada tahun 2010 berada pada posisi pertama dengan di nobatkan sebagai negara paling Islami sedangkan pendudukanya minoritas Islam dan di tahun 2014 Irlandia baru. Sedangkan Indonesia yang mayoritas Muslim berada pada posisi 140 di tahun 2010 dan 130 di tahun 2014, bahkan Arabsaudi yang notabenenya sumber utama agama Islam tidak pernah menduduki sepuluh besar dari 208 negara yang diteliti.[2]
Setuju atau tidaknya dengan penelitian di atas, itulah fakta yang terjadi di lapangan, itulah gambaran serta paradigma mayoritas keberislaman umat saat ini, ajaran-ajaran Islam hanya berada dalam teks-teks suci sedangkan nilai-nilainya belum teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal ajaran Islam adalah ajaran yang paling kompleks yang mengatur semua aspek kehidupan. Bahkan salah satu tokoh Islam, yang dikenal dengan hujjatul Islam di zamanya yaitu Imam Al-Gazali telah mencantumkan dalam sebuah bukunya yang berjudul Bidayatul Hidayah, terkait budaya dan paradigma keberislaman, mulai dari bangun hingga tidur kembali bagaimana Islam mengatur para penganutnya. Namun yang terjadi di zaman modern ini tidak sekompleks apa yang ada, saat ini umat Islam memang makin berkembang namun ajarannya belum maksimal terealisasikan.
Muhammad Abduh salah satu tokoh pembaharu Islam dari Mesir, saat berpergian ke Prancis dan bertemu filosof prancis hingga terjadi dialog yang begitu panas. Dalam dialog tersebut Abduh menegaskan bahwa Islam adalah agama unggul, cinta ilmu, pro-kemajuan, dan seterusnya. Dalam menanggapi pemaparan tersebut, tokoh Prancis yang bernama Renan begitu tenang melihat pemaran Abduh tentang Islam, sembari memberikan tanggapan, “Saya tahu persis semua kehebatan Islam melalui Al-Qur’an. Tetapi, tolong tunjukkan kepada saya satu saja komunitas Muslim di dunia yang membuktikan semua ajaran mulia sebagaimana anda gambarkan barusan,” Abduh terdiam. Merenung. Benar, Islam memang penuh ajaran mengagumkan. Tetapi, Islam bukan hanya komitmen, melainkan kesungguhan. Dalam Islam, tujuan hidup bukan sekadar pernyataan, namun perwujudan. Islam juga mengajarkan bahwa kebaikan tidak cukup diamalkan, tetapi harus pula didakwahkan. Tanpa itu, ajaran Islam akan hampa makna.
Oleh karena itu, sudah saatnya berislam bukan sekedar memahami teks-teks saja melainkan mengamalkan dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam teks tersebut. Nabi Muhammad SAW di nobatkan oleh Michel H Hart sebagai 100 Tokoh yang berpengaruh di dunia, pada esensinya bukan banyak menghafal teks-teks Qur’an yang di turunkan kepadanya, melainkan Nabi Muhammad SAW mengamalkan teks-teks itu dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga paradigma Keberislaman saat itu di rasakan oleh kaum Musyrikin. Begitu pula para Ilmuan di Abad 11 hingga 14 memahami Islam bukan hanya sekedar teks melainkan mengaplikasikan ajaran-ajarannya.
Ber-Islam Model Kontekstual
Model ber-Islam tidak seharusnya bersifat tekstual melainkan harus memahami dari sisi kontekstualnya. Pembahasan terkait ber-Islam model kontekstual ini akan lebih mengarah pada cara pandang berIslam dengan model pemahaman terhadap al-Qur’an secara kontekstual. Hal ini dikarenakan al-Qur’an pada esensinya memiliki sumber pengetahuan yang luas. Di dalamnya banyak tersirat nilai-nilai ilmu pengetahuan, jika dikaji atau dipahami makna kontekstualnya maka akan mengembalikan peradaban umat Islam. Seperti halnya peradaban umat Islam di masa 14 abad silam. Menurut Raghib As-Sirjani dalam bukunya Madza Qaddamal Muslimuna Lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadrahah al-Insaniyah (membangan peradaban Islam pada dunia ) yang diterjamahkan oleh Sonif bahwa, “peradaban Islam merupakan kepanjangan dari asas serta nilai Al-Qur’an dan Sunnah, kemudian membukanya kepada seluruh masyarakat di seluruh dunia tanpa membedakan bentuk, jenis atau agama”.[3]
Pandangan tersebut secara gamblang menyatakan bahwa pengaruh nilai-nilai al-Quran dalam dimensi kehidupan sangat baik, sehingga ulama-ulama pada saat itu menjadikan al-Quran sebagai sumber pertama dan utama dalam perkembangan Ilmu pengetahuan. Dewasa ini umat Islam sudah seharusnya berpikir kritis dan lebih terbuka dalam memahami nilai Islam, teks-teks al-Qur’an sudah seharusnya dimaknai dan dipahami secara universal. Keterblakangan umat Islam saat ini adalah terlalu kaku dalam memahami teks al-Qur’an sehingga dalam memajukan peradaban umat sangat tertinggal.
Berbeda halnya dengan barat, jika kita melihat para orientalis barat, mereka bukanlah umat Islam tetapi perhatiaanya terhadap kajian al-Quran sangat antusias, misalnya Andrew Rippin, salah satu orientalis barat yang mengkaji asbab-annuzul al-Quran, Prof. Theodore Noldeke yang mengkaji terkait kritik sejarah terhadap teks al-Quran, yang pada esensinya mereka bertujuan ingin membantah kebenaran al-Quran. Seperti yang dicontohkan oleh Imam Muchlas dalam bukunya pandangan Al-Qur’an terhadap Agama Kristen beliau mengemukakan bagaimana perdebatan diantara orientalis barat sesama orientalis barat terhadap kebenaran teks al-Qur’an misalnya Ignaz Goldziher, Papa H.A Lammens, Theodore Noldeke mengatakan al-Qur’an itu adalah plagiat dari kitab Bybel atau asal dari ajaran pendeta nasrani bahierah atau Waraqoh bin Naufal yang pernah bertemu muka dengan Nabi Muhammad Al-Amien. Muhammad saw telah diajar oleh pendeta Nasrany Bahieroh atau Waroqah. Tetapi menurut Muchlas bahwa tuduhan ini dibantah langsung oleh orientalis barat kembali seperti Monsigneur Seddilio dalam buku sejarah arab, juz 1,p. 59 dan Filosof Inggris Thomas Carlyle dalam buku ‘Pahlawan-Pahlawan”, dan Hendry de Castry dalam buku “Al-Islam” mereka mengemukakan bahwa Muhammad itu tidak tahu tulis baca, tidak berguru kepada siapapun juga selama-lamanya, ini disaksikan oleh orang-orang yang semasa dengan dia”.[4]
Melihat giat dan antusias kajian orientalis barat terhadap kebenaran al-Qur’an dan terjadinya perdebatan tentang al-Qur’an dikalangan mereka menjadi pembelajaran bagi ummat Islam. Lantas bagaimana dengan umat Islam saat ini? sudah sejauhmana al-Qur’an dikaji dan difahami nilai-nilai esensialnya? Maka dengan demikian sebagai stimulasi awal untuk mendorong cara berpikir serta model berIslam secara kontekstual maka akan diberikan deskripsi sederhana terkait kajian al-Qur’an secara kontekstual melalui ulama terdahulu.
BerIslam di masa keemasan atau kejayaan ummat Islam merupakan cara berislam yang mengedepankan Ilmu pengetahuan. Sebagaiman di masa Bani Abbasiyyah yaitu masa Khalifah Alma’mun (813-833 H) yang mana banyak melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan, baik dari segi ilmu tafsir yang dikenal dengan tokoh utamanya yaitu Al-Farra dan At-Thabari, Ilmu hadits dengan menghasilakn pembukuan hadits ke dalam kitab-kitab yang hingga saat ini masih digunakan yang sangat popular yaitu “Kutub as-Sittah” yang disusun langsung oleh ulama hadits yang terkemuka yaitu Imam Muslim, Imam Bukhari, Imam Turmudzi, Imam Annasa’i, Ibnu Majjah, dan Abu Daud, Ilmu Fiqih dengan tokoh Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahamd bin Hambal, serta di bidang tasawuf yaitu Al-Ghazali, Al-Qusyairi, dibidang Filsafat yaitu Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-farabi, dan di bidang sain dan tekhnologi yaitu Al-Biruni, Jabir Bin Hayyan dan Arrazi.[5] Dan masih banyak tokoh sain yang terkemuka saat itu.
Kehadiran para tokoh ilmuan Islam terdahulu, seharusnya menjadi Spirit of Power bagi ummat Islam sekarang, untuk memajukan peradaban. Ulama-ulama terdahulu menjadikan Ilmu pengetahuan sebagai aspek kebutuhan hidup bukan sekedar habis di ruang perdebatan. berIslam ulama-ulam terdahulu, yang tanpa disadari cara berIslam mereka bukan hanya terpaku pada kajiaan tekstual akan tetapi mereka juga mengedepankan nilai-nilai kontekstual di dalamnya. Misalnya di dalam ayat suci al-qura’an surah al-Ghasyiah ayat 20 Allah Swt berfirman yang artinya :
“Dan bumi bagaimana ia dihamparkan”?
Secara tekstual kita akan memahmi contoh ayat tersebut bahwa dengan kekuasaan Allah SWT apapun yang Allah SWT ciptakan maka hal tersebut mudah bagi Allah, berbeda halnya dengan para Ilmuan Islam dimasa silam, ketika firman Allah bertanya tentang bagaimana Bumi dihamparkan, maka secara kontekstual mereka merenungi dan memahami ayat tersebut, dengan memaknai apakah maksud dari ayat tersebut , apa makna kontekstual yang tercantum di dalamnya. Serta ilmu pengetahuan apakah yang bisa dikaji di dalamnya. Maka dengan begitu tak heran jika dari hasil perenungan dan pembacaan kontekstual itu lahirlah ilmuan Geografi dan Astronom yaitu al-Biruni.
Tokoh ini dijabarkan model penelitiannya oleh Mujammil Qomar dalam bukunya Pemikiran Islam metodologis.[6] Mujammil menjelaskan bahwa Al-biruni seorang ilmuan Multidispliner abad ke 11 yang dalam pandangannya DE.Smith menyatakan bahwa Al-Biruni adalah matematikawan paling cemerlang pada zamanya. Dia membahas pembagian sudut menjadi tiga bagian yang sama besarnya, dan ia adalah penemu prinsip menggambar di atas permukaan benda yang bulat. Pada akhirnya, al-Biruni berusaha untuk mengukur bumi, dan usaha pengukuran bumi yang dilakukan al-Biruni menunjukkan kuatnya semangat menggali ilmu pengetahuan terutama terkait dengan georgrafi dan astronomi, dengan keadaan alat yang masih sederhana itu, pengukuran bumi itu dilakukan dan hasilnya benar-benar spektakuler. Sehingga al-Biruni berhasil menemukan luas bumi yang hanya selisih sedikit dengan temuan yang dihasilkan melalui alat yang paling canggih.
Kemudian contoh pada surah Alhadid ayat 25 Allah SWT berfirman yang artinya :
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.
Pada surah berikut, secara kontekstual menggambarkan tentang ilmu kimia yaitu apa makna besi yang Allah maksudkan di ayat tersebut, maka dalam memahami ayat tersebut dengan perenungan dan kajian eksperimennya maka lahirlah seorang ilmuan Islam yaitu Jabir bin Hayyan (721-815) seorang ilmuan kimia yang diakui oleh ilmuan barat yang penemuan awalnya bernama alkemi dan diganti dengan para ilmuan barat dengan kimia bahkan hingga namanya pun diganti dengan sebutan geber. Menurut ilmuan barat bahwa Jabir bin Hayyan merupakan orang pertama yang melakukan eksperimen dengan mendirikan bengkel dan mempergunakan tungku untuk mengolah mineral-mineral dan mengekstrasi dari mineral-mineral itu zat-zat kimiawi serta mengklasifikasikannya. Dia melakukan Intizhar, Sehingga dia dinobatkan sebagai bapak kimia pertama. Prestasi ini dilakukan dengan perenungan awal, pengamatan dan percobaan. Sehingga berhasil penemukan penelitiannya.[7]
Contoh model kontekstual ber-Islam yang di gambarkan di atas, seharusnya menjadi idola bagi ummat Islam saat ini, model yang mereka lakukan adalah salah satu cara untuk memajukan peradaban Islam, mereka memiliki karakter-karakter utama yang dapat diadaptasikan dibudayakan oleh generasi muslim sekarang ini, terutama kalangan intelektualnya sebagai penyambung lidah intelektualisme. Dengan demikian peradaban umat Islam saat ini dapat mengimbangi barat. bahkan dapat melebihi dari barat.
Peradaban Alternatif dalam Model Keber-Islaman
Kata peradaban pada dasarnya berasal dari kata adab, yang berarti tingkah laku atau perbuatan yang melekat pada setiap manusia. Sedangkan secara terminology peradaban lebih disandarkan pada kemajuan suatu bangsa ataupun agama. Misalkan peradaban Islam, maka di dalamnya akan membahas tentang perjalanan kemajuan agama Islam baik dari ekonomi, social maupun ilmu pengetahuan.
Pada tulisan ini akan dibahas terkait peradaban alternatif dalam model keberislaman. Perdaban alternatif yang dimaksudakan yaitu akan mengarahkan pada aspek moralitas yang dilandaskan pada spritualitas sehingga menghasilkan nilai-nilai kemanusiaan yang baik terhadap peradaban. Hal ini mencoba diulas atau di gagas oleh penulis karena melihat bahwa sisi ini yang menjadi kekurangan dari peradaban barat. mereka boleh diunggulkan dalam bidang ilmu pengetahuan berupa tekhnologi dan sains tetapi dalam nilai spritualitas agama dalam wujud hakikat kebertuhanan mereka lemah. Sebagaimana dinyatakan oleh Mujammil Qomar, “peradaban barat ini mengalami kegagalan sangat fatal terkait dengan persoalan spiritual, kejiwaan dan kemanusian. Peradaban ini memupuk arogansi dan menjauhkan manusia dari Tuhannya”.[8]
Mengunggulkan spritualitas agama yang dimaksud yaitu spritualitas agama yang dibangun di atas moralitas. Sehingga dalam mewujudkan suatau peradaban tidak hanya berfokus pada materil, namun, peradaban non materil berupa moralitaslah yang menjadi peradaban utama dalam membangun peradaban alternative model keberislaman umat saat ini, baik itu moralitas dalam bertindak mapun berpikir. Karena tujuan moralitas itu bukan sekedar memajukan prestasi ilmu, melainkan tujuan moralitas itu mewujudkan kedamain terhadap umat manusia.
Sebagaimana disampaikan Abudin Nata dalam bukunya pemikiran pendidikan Islam bahwa “ naluri dasar manusia baik secara individu, maupun social menginginkan sebuah kehidupan yang tertib, aman, damai dan nyaman. Sehingga memungkinkan mereka dapat mengaktualisasikan seluruh potensinya, berupa cipta, rasa, dan karsanya secara optimal, dalam bentuk kebudayaan dan peradaban”.[9] Nabi Muhammad saw mampu membawa kemajuan umat Islam dikarenakan mengedepankan moralitas, serta membawa ajaran Islam dengan prinsip kedamain dan bukan kekerasan, serta mempertontonkan ajaran Islam sebagai ajaran Rahmatan Lil ‘alamin.
Dewasa ini sudah seharusnya mulai mensinergikan antara peradaban moral dengan peradaban materil inilah yang menjadi perwujudkan dari peradaban alternatif dalam berislam. Umat Islam saat ini bukan lagi menjadi penikmat tekhnologi melainkan harus menjadi pemeran tekhnologi yang dilandaskan moralitas. Keberadan lembaga pendidikan Islam yang mengsinergikan antara iman dan takwa (imtak) dan ilmu pengetahuan tekhnologi (Iptek) sudah menjadi loncatan awal bagi generasai saat ini dalam memajukan peradaban.
Dengan demikian, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam membangun peradaban alternative dalam dimensi keberagaman. Pertama, menjadikan moralitas sebagai podasi awal peradaban keberagaman, karena bagi umat islam bahwa moralitas di atas segalanya, kemajuan ilmu pengetahuan jika tidak di landaskan moralitas yang kuat, maka tidak akan mewujudkan suatu peradaban yang baik.
Kedua, mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Islam. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa kelemahan umat Islam adalah kurangnya menerapkan nilai-nilai ajarannya, sehingga dalam mewujudkan peradaban alternative dalam keberislaman harus mengedepankan nilai-nilai ajaranya.
Ketiga, kreatif dan Produktif dalam mengembangkan Ilmu pengetahuan. Berpikir kreatif dan produktif menjadi landasan bagi umat islam dalam mewujudkan model baru terhadap suatu peradaban keberagaman. Kreatifitas yang dimaksud bukan kreatif dalam mengikuti peradaban yang telah ada, namun dapat membuat suatu hal yang baru dan selalu produktif terhadap hal-hal yang baru itu.
Kempat, peradaban yang dilandasi Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Model keempat inilah pondasi paling dasar dalam membangun suatu peradaban, tidak akan terwujud ke tiga peradaban di atas tanpa menghadirkan nilai-nilai keTuhanan di dalam diri umat manusia. Suatu bangsa boleh maju peradabannya, tapi jika tidak berlandaskan nilai-nilai ketuhanan maka bangsa itu akan hancur. Sebagaimana Allah swt menegaskan dalam surah Al-A’arf ayat 96 yang artinya; menegaskan :
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Jelaslah, bahwa tidak ada artinya kemajuan peradaban suatu bangsa tanpa dilandasi keberimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dengan demikian suatu keberagamaan umat Islam dapat diwujudkan jika menerapkan konsep peradaban alternative.
Kesimpulan
Peradaban alternatif dalam keberagaman merupakan suatu konsep keberislaman yang mengedepankan nilai keimanan dan ketaqwaan, menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan selalu memberikan kontribusi pemikiran kreatif dan produktif dalam bertindak serta mengaplikasikan dalam kehidupan nilai-nilai dan ajaran islam, sehingga peradaban ummat Islam dapat terwujudkan. Sebab, saat ini untuk mewujudkan peradaban harus dilandasi keimanan dan ketaqwaan serta moralitas yang kuat. Bangsa ini akan maju jika dikedepankan moralitas, begitu perkataan orang bijak. Jika moralitas dibiarkan dan tidak dibangun makan akan menghancurkan suatu perdaban.
Daftar Bacaan
Ahmad Warson Munawwir, 1997, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya.
M Husnaini, 2020, Hidup Bahagia dengan Energi Positif, Solokuro, Lamongan.
Raghib As-Sirjani, 2009, Madza Qaddamal Muslimuna Lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadrahah al-Insaniyah, Mu’asasah Iqra, Penerjamah, Sonif, 2011. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Pustaka Al-Kautsar.
Imam Muchlas, 1982, Pandangan Al-Qur’an terhadap Agama Kristen, Al-Ihsan, Surabaya.
Zakki Fuad, 2016, Sejarah Peradaban Islam (Paradigma Teks, Reflektif dan Filosofis), CV. Indo Pramaha, Surabaya.
Mujamil Qomar, 2015, Pemikiran Islam Metodologis, Kalimedia, Yogyakarta.
Abudin Nata, 2012, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Raja Grafindo, Jakarta.
Catatan Kaki
[1] Ahmad Warson Munawwir, 1997, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya, hal. 654 – 655.
[2] Di sadur dari Artikel M Husnaini, 2020, Penulis Buku “Hidup Bahagia dengan Energi Positif” Tinggal di Takerharjo, Solokuro, Lamongan.
[3] Raghib As-Sirjani, 2009, Madza Qaddamal Muslimuna Lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadrahah al-Insaniyah, Penerbit ; Mu’asasah Iqra, Penerjamah, Sonif, 2011. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Pustaka Al-Kautsar, hal.17.
[4] Imam Muchlas, 1982, Pandangan Al-Qur’an terhadap Agama Kristen, Al-Ihsan, Surabaya, hal.9.
[5] Zakki Fuad, 2016, Sejarah Peradaban Islam (Paradigma Teks, Reflektif dan Filosofis), CV. Indo Pramaha, Surabaya, hlm. 115-122.
[6] Mujamil Qomar, 2015, Pemikiran Islam Metodologis, Kalimedia, Yogyakarta, hal 100.
[7] Mujamil Qomar, ibid, hal 99.
[8]Mujammil Qomar, ibid, hal 104.
[9] Abudin Nata, 2012, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Raja Grafindo, Jakarta, hal 205.