Kader Pengawasan Partisipatif

315 Views

Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.
(Ketua Bawaslu Provinsi Sulteng)

Proses dan hasil pemilihan kepala daerah (pemilihan) berintegritas dan bermartabat merupakan tujuan ideal dari pembentukan UU Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir kali dengan UU Nomor 6 Tahun 2020 (UU Pemilihan). Yakni proses pelibatan semua pihak dalam penyelenggaraan pemilihan, termasuk aktif mencegah dan menindaklanjuti setiap pelanggaran secara jujur dan adil, hingga lahir pemimpin pilihan rakyat (pemilih) untuk realisasi janji-janji politik saat kampanye lalu. Dikatakan sebagai pemilihan berintegritas dan bermartabat jika pelaksanaan pemilihan memenuhi standar prinsip transparansi proses, prinsip akuntabilitas, dan akses publik menguji kebenaran proses dan hasil, serta prinsip partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip ini menjadi satu-kesatuan sistem yang berkolaborasi dalam pencapaian tujuan dari pelaksanaan pemilihan.

Kedudukan dari prinsip partisipasi masyarakat dalam negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem politiknya, adalah mutlak. Dikatakan demokratis jika secara langsung maupun tidak langsung masyarakat terlibat dalam pengambilan kebijakan politik termasuk mengawal pelaksanaan kebijakan. Dalam penyelenggaran pemilihan, bentuk partisipasi masyarakat dapat diidentifikasi lewat giat sebagai pemilih menggunakan hak memilihnya di tempat pemungutan suara, menyatakan sikap atau dukungan, mencegah terjadinya kecurangan, dan melaporkan kecurangan kepada instansi berwenang, dan menjadi pemantau pemilihan.

Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dimaksud sejatinya dipupuk, dibina dan diberdayakan hingga menjadi kekuatan sosial yang turut mendukung pencapaian tujuan pemilihan berintegritas dan bermartabat. Partisipasi masyarakat akan berkolaborasi dengan kegiatan penyelenggara pemilihan dan pemerintah, sekaligus menjadi kontrol sosial penyelenggaraan yang efektif hingga turut menjadi sebab legitimasi proses dan hasil pemilihan.

Khusus di lembaga pengawas, Bawaslu melaksanakan program pusat pengawasan partisipatif. Program ini terdiri: Pengawasan Berbasis Teknologi Informasi (Gowaslu), Pojok Pengawasan, Forum Warga, Satuan Karya Pramuka (Saka) Adhyasta Pemilu, Pengabdian Masyarakat dalam Pengawasan Pemilu, Pengawasan Media Sosial, Gerakan Pengawas Partisipatif Pemilu (GEMBAR), dan Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif.

Khusus sekolah kader pengawasan partisipatif, Bawaslu merekrut, mendidik dan memberdayakan individu potensial yang tidak berafiliasi dengan kepentingan politik praktis, dalam wadah “sekolah”. Peserta terlebih dahulu diberi pendidikan khusus dalam waktu tertentu, dalam sebuah forum sekolah hingga berdaya dan dapat kembali ke tengah masyarakat menerapkan ilmu dan pengetahuan pengawasan, berkolaborasi dengan stakeholders pemilihan. Ini menjadi bagian upaya mendorong partisipasi pemilih terlibat dalam penyelenggaraan pemilihan.

Sekolah kader digagas untuk mengajak dan memberdayakan potensi partisipasi masyarakat dalam mencegah dan menindak pelanggaran pemilihan. Sekaligus mereka kader-kader pengawasan, akan bertindak sebagai perpanjangan tangan memberikan pendidikan politik, menjadi tangan dan telinga dari pengawas dalam pelaksanaan tahapan pemilihan. Serta dipersiapkan sebagai kader-kader potensial melanjutkan estafet penyelenggara pemilihan di masa mendatang, terutama di tingkatan daerah.

Beranjak dari semangat dan tujuan sekolah kader pengawasan partisipatif, lantas memunculkan pertanyaan sebagai fokus bahasan tulisan ini. Bagaimana cita idealitas kader pengawasan partisipatif di tengah kelompok masyarakat? Mereka telah memberoleh pendidikan khusus, penajaman ilmu dan pengetahuan sebagai bekal menunjang kerja-kerja pengawas dan berkolaborasi dengan stakeholders pemilihan. Sehingga  eksistensi kader pengawasan partisipatif di tengah kontestasi pemilihan dapat terlihat.

Konsep Partisipasi Masyarakat

Partisipasi secara harfiah berarti keikutsertaan. Keikutsertaan dimaknai sebagai ikut serta dalam suatu kegiatan yang bersifat formal maupun informal. Dalam konteks politik, keikutsertaan warga negara dalam politik tidak hanya mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan, melainkan juga ikut memilih dalam penentuan calon pimpinan melalui proses pemilihan secara demokratis.

Konsep partisipasi politik, menurut Miriam Budiardjo adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Kegiatan ini mencakup tindakan memberikan suara dalam pemilihan, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan aksi nyata dan sebagainya.[1]

Lebih lanjut, pandangan Huntington dan Nelson memberi tafsiran yang lebih luas dengan memasukkan secara eksplisit tidakan ilegal dan kekerasan. Menurut mereka, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir maupun spontan, mantap atau sporadis, secara damai maupun dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.[2]

Atas pengertian partisipasi yang dikemukakan di atas, dapat diambil batasan soal partisipasi masyarakat yang lekat dengan kegiatan politik. Partisipasi masyarakat dimaknai tindakan nyata bersifat fisik seperti menyalurkan suara di TPS, dan partisipasi masyarakat bersifat non-fisik seperti buah pikiran, ide, keterampilan serta keterlibatan individu dalam kegiatan demokrasi dan proses bernegara.

Proses demokratisasi telah menggiring pandangan akan adanya keterlibatan masyarakat secara partisipatif. Sehingga penyelenggaraan pemilihan dimaknai sebagai rutinitas politik yang bukan hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara saja, tetapi juga menegaskan partisipasi masyarakat agar ambil bagian mewujudkan tujuan dan keadilan pemilihan. Pada posisi ini, masyarakat sebagai pemilih, bukan hanya sebagai pihak yang selalu diperebutkan suaranya menjelang hari pemungutan suara, tetapi masyarakat juga berperan dalam pelaksanaan penyelenggaraan sesuai porsi kedudukan masing-masing. Misalnya melakukan pengawasan pemilihan, menyatakan sikap, menyampaikan himbauan, mencegah terjadinya pelanggaran, dan melaporkan jika terjadi pelanggaran kepada pihak berwenang.

Partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilihan menurut Gunawan Suswantoro bertujuan agar masyarakat tidak hanya menjadi objek pemilihan yang suaranya diperebutkan oleh kontestan peserta pemilihan, tetapi masyarakat juga berperan aktif sebagai subjek dengan terlibat dalam menjaga integritas penyelenggaraan pemilihan.[3] Dalam posisi ini, masyarakat memahami arti hak pilih yang disalurkan secara rasional, termasuk menjaga kontestasi pemilihan agar tidak ternodai-terciderai dengan kecurangan. Mereka memiliki sikap dan tindakan menolak kecurangan dan siap menjadi pihak yang aktif memberikan laporan atau informasi awal terjadinya pelanggaran pemilihan kepada pihak berwenang.

Partisipasi masyarakat dalam pengawasan akan melintasi batas-batas pihak, artinya masyarakat dapat mengawasi tahapan penyelenggaraan yang dilaksanakan KPU dan Bawaslu beserta jajarannya, dan dapat juga mengawasi kontestasi dari peserta pemilihan, mengawasi netralitas ASN dan aparat birokrasi, termasuk kontrol pencegahan dengan sesama pemilih untuk senantiasa taat pada koridor norma/ketentuan hukum. Pengawasan masyarakat ini lahir dari rasionalitas-kolektif dengan cara mencegah, melaporkan atau memberikan informasi awal terjadinya pelanggaran kepada pihak berwenang.[4]

Menurut Gunawasan Suswantoro[5] terdapat tiga model partisipatif masyarakat dalam pemilihan. Model-model ini dapat dikolaborasikan dengan kondisi dan nilai-nilai kearifan lokal, yang pada intinya masyarakat dengan rasionalitas terlibat aktif dalam menyukseskan penyelenggaraan proses dan hasil dari pemilihan.

Model Pengawasan Partisipasi Terbatas, melibatkan kelompok atau organisasi masyarakat yang telah memiliki rekam jejak dan pengalaman dalam melakukan pemantauan, juga jaringan Perguruan Tinggi yang memiliki Fakultas Ilmu Politik dan Fakultas Ilmu Hukum. Sinergi terbangun karena masing-masing pihak saling membutuhkan, pengawas membutuhkan keterlibatan masyarakat secara luas guna mencegah dan penindakan segala bentuk pelanggaran. Demikian pula dengan organisasi dan Perguruan Tinggi, membutuhkan brand image dan penunjang akreditasi institusi yang ditujukan untuk peningkatan kapasistas SDM. Lingkup kerjasama model ini diformalkan dalam bentuk Nota Kesepahaman (MoU) antar Instansi yang dapat ditindaklanjuti dengan perjanjian kerjasama dengan rinci memuat bagian-bagian yang disepakati.

Model Pengawasan Partisipasi Meluas, mensyaratkan pelibatan masyarakat dalam pengawasan secara luas. Model ini tidak memperhitungkan latar belakang dan status kelompok yang terlibat dalam pengawasan. Mereka difasilitasi pengawas pemilihan dengan diberi pembekalan untuk mengetahui tujuan pengawasan, cara kerja pencegahan dan pelaporan pelanggaran. Sehingga yang dilibatkan bukan saja organisasi masyarakat, tetapi bisa juga komunitas siswa-mahasiswa, kelompok ibu-ibu, kalangan profesi dan masyarakat umum lainnya.

Model Pengawasan Partisipasi Berbasis Isu. Model ini mensyaratkan pelibatan organisasi masyarakat yang memiliki perhatian terhadap isu-isu demokrasi, konstitusi dan pemilu yang disinergikan dengan kerja-kerja pengawas pemilihan. Selama mereka dapat berpartisipasi sesuai dengan keahlian dengan isu strategis yang terus mereka kampanyekan, maka selama itu sinergi-kolaborasi dengan pengawas dapat terus dibangun. Organisasi yang dilibatkan dalam model pengawasan ini, akan sinergi dengan kerja-kerja pengawasan, karena mereka memiliki sumber daya manusia dengan keahlian-spesifikasi linear dengan regulasi. Tentu pola jaringan dan komunikasi yang positif sehingga mampu menggerakkan organisasi dalam model ini akan menjadi indikator keberhasilan pengawasan pemilihan.

Jika dicermati, inisiasi melahirkan kader pengawasan partisipatif lebih cenderung dengan model pengawasan partisipasi meluas. Berupa mengajak kelompok-kelompok potensial yang ada di tengah masyarakat untuk bersama-sama berdaya dalam isu pengawasan pemilu yakni mencegah potensi pelanggaran dan menindak pelanggaran. Bahkan pada tataran tertentu, dapat memantik lahirnya bibit-bibit potensi penyelenggara, atau mereka yang konsen dalam isu demokrasi, dan pemilihan.

Secara praktek, partisipasi masyarakat dalam pemilihan dapat berupa kolaborasi dalam kegiatan penyelenggaraan yakni sosialisasi, diskusi, pernyataan dukungan, dan himbauan. Kegiatan semacam ini, cepat atau lambat akan disambut, yang pada giliran akan melahirkan individu dan komunitas yang memiliki visi searah dengan kerja-kerja penyelenggara pemilihan. Dengan kesadaran kolektif mereka ikut berkontribusi menyukseskan tahapan pemilihan, mendorong lahirnya pemimpin berintegritas dan memiliki kapasitas handal lewat proses penyelenggaraan pemilihan yang jujur dan adil.

Cita Kader Pengawasan Partisipatif

Bagi masyarakat, keterlibatan dalam penyelenggaraan pemilihan berdimensi mengikuti dinamika politik, dan secara langsung belajar dari proses penyelenggaraan hingga menjadi kontrol sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi antara penyelenggara dengan masyarakat pemilih. Kelompok masyarakat yang memberikan perhatikan terhadap pelaksanaan pemilihan yang jujur dan adil, sangat penting berkolaborasi dengan penyelenggara. Peningkatan kolaborasi inilah menjadi kunci partisipasi masyarakat.

Sementara bagi penyelenggara, partisipasi masyarakat secara psikologis akan mengawal dan mengingatkan mereka untuk senantiasa berhati-hati, jujur dan adil dalam menyelenggarakan event pemilihan. Ada mata publik yang senantiasa mengamati gerak-gerik dan kebijakan, serta keputusan yang diambil. Pada posisi ini, sejatinya baik penyelenggara, peserta, dan pihak terkait dalam pemilihan dapat berperan dan berkontribusi positif sesuai latar belakang masing-masing.

Pada posisi inilah, pengawasan partisipatif melalui kegiatan sekolah kader yang digagas Bawaslu atas masukan Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) akan berdimensi ganda manfaat, yakni mendorong gerak masyarakat terlibat dalam mengawal proses penyelenggaraan dan hasil pemilihan, dan peningkatan kapasitas sumber daya masyarakat sendiri. Peran masyarakat ini tidak lagi sebatas memberikan hak pilih di TPS semata, tetapi cakupan lebih luas yakni ingin menjamin pelaksanaan taat asas dan hasilnya berupa pemimpin yang memperoleh legitimasi rakyat daerah. Ketika pengawasan partisipatif di kampanyekan, terlebih dahulu belajar, menguasai materi muatan lalu menyampaikan ke sesama masyarakat. Dalam konteks ini, pengetahuan seputar pemilihan bukan hanya menjadi konsumsi penyelenggara saja, tetapi telah menjadi pengetahuan para pihak (masyarakat) yang akhirnya ikut membantu pembangunan demokrasi.

Bahwa potensi kecurangan dalam proses kontestasi bisa saja terjadi di segala titik wilayah, sementara jumlah sumber daya manusia penyelenggara masih sangat terbatas dengan wilayah kerja yang luas. Cita kader dari individu dan komunitas yang lahir dari sekolah kader pengawasan partisipatif, untuk berkolaborasi dengan kerja-kerja pengawas melakukan pencegahan pelanggaran, dan melaporkan jika ditemukan pelanggaran pemilihan kepada Bawaslu atau jajarannya di daerah.

Pertama, mendekatkan pengawasan pemilihan dalam kehidupan sosial. Berupa menciptakan kantong atau simpul pengawasan potensial di lapisan masyarakat, yakni menjadi mata dan telinga pengawas pemilihan. Pasalnya pengawas merupakan potensi kekuatan masyarakat yang dilembagakan dan dibiayai negara, sehingga pengawas tidak boleh lupa dari mana berasal dan bekerja untuk apa. Hingga pengawas pemilihan merupakan satu kesatuan entitas yang menyatu dengan kekuatan masyarakat, yang menjamin proses pergantian pemimpin berlangsung secara jujur dan adil.

Individu dan komunitas sosial jika dikonsolidasikan secara tepat akan menjadi kekuatan besar membantu kerja-kerja penyelenggaraan, khususnya Bawaslu sebagai bagian penyelenggara. Sebab, pengawas pemilihan memiliki jumlah sumber daya terbatas, ditambah waktu penanganan pelanggaran yang singkat, serta wilayah pengawasan yang luas, tentu menyulitkan kegiatan pengawasan langsung dan melekat. Tetapi ketika kehadiran stakeholders yang terdiri dari individu dan komunitas potensial tadi, menjadi kekuatan besar yang sinergi dengan kerja-kerja pengawasan pemilihan.

Kedua, mempertahankan integritas dan kapasitas pemilih. Melalui pola materi pendidikan yang diberikan kepada peserta, sekolah kader pengawasan partisipatif menghasilkan lulusan yang memiliki potensi menjadi kader pengawas pemilihan di daerah masing-masing. Dengan spesifik, memiliki integritas dan kapasitas memadai dalam pelaksanaan kerja-kerja penyelenggaraan pemilihan, khususnya berkolaborasi dengan pengawasan pemilu mewujudkan keadilan pemilu. Atas integritas dan kapasitas individu yang telah dibina, diharapkan menjadi bibit kristal untuk menyebar hingga membentuk kekuatan sosial masyarakat. Minimal sosialisasi dilakukan pada keluarga terdekat, lalu menggelinding ke komunitas, dan masyarakat.

Ketiga, perluasan jaringan sosialisasi. Peserta sekolah kader mengutamakan pegiat dan aktivis sosial yang bergelut pada komunitas tertentu, sehingga ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan dapat terdistribusi langsung ke tengah komunitas mereka. Secara teknis kerja kader pengawasan partisipatif bisa dilakukan melalui media-media yang akrab dan digemari khalayak ramai. Bentuknya bisa di media elektronik maupun media cetak termasuk media sosial. Pesan dapat disampaikan langsung, misalnya lewat selebaran, stiker, dan brosur saat pelaksanaan momen kegiatan. Jaringan (networking) personal dan kelembagaan yang selama ini sudah terbangun, sangat potensial digunakan. Kerjasama saling menguntungkan titik temunya. Pesan pengawasan pemilihan ini perlu akomodatif sesuai dengan segmen sasaran. Kreatifitas guna merangkai materi dan substansi pesan sangat menentukan keberhasilan, agar pesan diterima secara baik. Selain itu, pesan perlu memperhatikan kultur masyarakat setempat, agar pesan diterima dan tidak menimbulkan bumerang yang kontra produktif dengan kerja-kerja pengawasan.

Keempat, estafet penyelenggara pemilihan. Para kader pengawasan dalam jangka panjang dilatih menjadi pemimpin di masa depan, baik di jajaran penyelenggara sendiri maupun di dalam komunitas struktur sosial masyarakat. Dengan jaringan kader yang sudah terbentuk, apalagi dengan jaringan komunitas yang telah mereka bangun sebelumnya, akan menjadi modal sosial calon pemimpin. Tinggal saat ini, terus mengasah dan menempah diri meningkatkan integritas dan kapasitas hingga layak menjadi pemimpin dan layak menjadi tumpuan koordinator penyelesaian masalah sosial.

***

Pengawasan partisipatif digerakkan jajaran pengawas pemilihan yang berkolaborasi dengan masyarakat, yakni individu dan komunitas yang ambil bagian dalam pencegahan pelanggaran dan melaporkan jika ada pelanggaran kepada instansi berwenang. Individu dan komunitas ini bekerja dengan semangat kerelawanan, sehingga disebut dengan “relawan”. Menjadi relawan bisa lahir dari kesadaran internal maupun campur tangan pihak tertentu pembentuk jiwa kerelawanan.

Bawaslu lewat kegiatan sekolah kader pengawasan, berobsesi melahirkan relawan yang merupakan kader-kader pengawasan partisipatif. Relawan atau kader ini memiliki pengetahuan memadai menyangkut urgensi dan tujuan pengawasan guna suksesi penyelenggaraan pemilihan, secara teknis mampu mengisi alat kerja pengawasan. Relawan ini bergerak dengan rasionalitas mencegah potensi pelanggaran, memberikan informasi awal dan melaporkan jika ada pelanggaran pemilihan. Relawan perlu diberi porsi nyata melalui sikap dan tindakan ambil bagian dalam penyelenggaran rutinitas kontestasi pemilihan.

Akhirnya, peran masyarakat secara partisipatif melalui gerak kader bersama pengawas untuk memerangi praktik politik pragmatis-transaksional dapat dilakukan. Melalui kekuatan dan potensi tersebut, diharapkan perilaku pelanggaran seperti politik uang, manipulasi, pencurian suara, ujaran kebencian dan pelanggaran pemilihan lainnya dapat dicegah. Termasuk  ditindak agar memiliki efek jera pada pelaku dan sekaligus sebagai peringatan yang coba melanggar.

Eksistensi Kader Pengawasan

Eksistensi merujuk makna “hal berada; keberadaan.” Artinya eksistensi kader pengawasan dilekatkan pada keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat yang secara langsung dirasakan manfaatnya. Dalam bingkai idealitas, kader pengawasan sejatinya menjadi mata dan telinga pengawas pemilihan dengan cara memberikan informasi awal dan melaporkan dugaan pelanggaran, serta mampu berkolaborasi meningkatkan kualitas proses dan hasil pemilihan.

Selain itu, pada level tertentu kader pengawasan menjadi kekuatan sosial di tengah masyarakat untuk kontrol penyelenggaraan demokrasi melalui pemilihan. Tidak semata memberikan kritikan atas tahapan, tetapi memberikan solusi konstruktif penyelesaian masalah sosial. Mereka pada posisi ini aktif dan kritis memberikan sumbangsih ide dan gagasan kepada berbagai stakeholders hingga berkontribusi meningkatkan partisipasi masyarakat.

Tidak semata memberikan kritik dalam menjaga integritas proses tahapan pemilihan, kader pengawasan juga menjadi kekuatan sosial menjaga kualitas demokrasi saat ada pihak-pihak merongrong dan melakukan kecurangan merebut kekuasaan. Idealisme kekuatan sosial yang terkoneksi dan menyatu dalam barisan kekuasan sosial yang besar. Sehingga efektif memberi kontrol dan peringatan kepada penyelenggara kekuasaan negara dan peringatan kepada mereka yang ingin mencoba membajak demokrasi melalui kecurangan dan pelanggaran.

Penutup

Cita idealitas kader pengawasan partisipatif sejatinya turut memberi kontribusi peningkatan partisipatif masyarakat dalam penyelenggaraan pemilihan, yakni menjaga dan meningkatkan kualitas demokrasi lewat aksi nyata mencegah pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran maka memberikan laporan kepada instansi berwenang dalam hal ini pengawas pemilihan untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum. Selain itu, kader pengawasan dapat menjadi unsur kekuatan sosial melakukan kontrol (pengawasan) atas penyelenggaraan demokratisasi yakni memberi kritikan atau dukungan kepada instansi penyelenggara pemilihan.

Kader pengawasan partisipatif bergerak dengan semangat kerelawanan, tanpa dukungan anggaran dari negara. Semata-mata semangat dan idealisme menjaga kualitas demokrasi. Olehnya, komunikasi dan pemberdayaan untuk menjaga integritas dan meningkatkan kapasitas kader pengawasan perlu terus dilakukan baik oleh pemerintah maupun penyelenggara pemilihan sendiri. Dengan memberikan kepercayaan sebagai perpanjangan tangan pengawas pemilihan di dalam komunitas sosial, dan pelibatan kader dalam setiap kegiatan sosialisasi peningkatan partisipasi pemilih.

Catatan Kaki

[1]Miriam Budiardjo dalam Rio Sholihin dkk. 2014. Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan. Samarinda: Jurnal Administrative Reform, Vol.2 No.4, Desember 2014, hlm. 499.
[2] Ibid, 499.
[3]Gunawan Suswantoro. 2016. Mengawal Penegak Demokrasi di Balik Tata Kelola Bawaslu & DKPP. Jakarta: Penerbit Erlangga. hlm. 115.
[4]Ruslan Husen. 2019. Dinamika Pengawasan Pemilu. Bandung: Ellunar. hlm. 64.
[5]Ibid, hlm. 115-117.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.