Meneguhkan (Pembubaran) Sentra Gakkumdu

245 Views

MENEGUHKAN (PEMBUBARAN) SENTRA GAKKUMDU
Oleh: Ruslan Husen, SH., MH.

 

Pendahuluan

Mewujudkan kontestasi pemilihan kepala daerah serentak yang jujur dan adil, menjadi harapan sekaligus tanggung jawab semua pihak. Pemilihan jujur dan adil harus didukung dengan sistem penegakan hukum yang ditujukan mengatasi masalah hukum seputar pemilihan. Masalah hukum pemilihan menurut Syamsudin Haris didefinisikan segala perbuatan hukum yang menyimpang, bertentangan, atau melanggar peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan pemilihan, termasuk adanya pihak yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan kontestasi tersebut.[1]

Masalah hukum dikategorikan menjadi pelanggaran dan sengketa proses pemilihan. Jenis pelanggaran terdiri dari atas pelanggaran administrasi, tindak pidana, pelanggaran hukum lainnya, dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan. Sedangkan jenis sengketa terdiri dari atas sengketa proses antarpeserta dan/atau sengketa peserta dengan penyelenggara pemilihan, sengketa tata usaha negara, dan perselisihan hasil pemilihan. Mengatasi masalah hukum itu, menuntut eksistensi perangkat sistem hukum menyangkut regulasi yang progresif, pelaksana yang profesional dan berintegritas, peran aktif masyarakat, serta dukungan sarana prasarana.

Terhadap penindakan pelanggaran pidana pemilihan kepala daerah, peran strategis Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) sangat strategis selaku pelaksana kewenangan atribusi UU Pemilihan. Sentra Gakkumdu harus diapresiasi ketika menindak pelanggaran pidana terhadap pelaku yang melakukan kejahatan demokrasi, misalnya penggunaan dokumen palsu pencalonan, kampanye di luar jadwal, praktek politik uang, dan penyalahgunaan kewenangan petahana.

Namun pada sisi lain, Gakkumdu harus dikritisi ketika urung melakukan penindakan terhadap fakta yang terang terjadi sebagai pelanggaran pidana. Sudah berulang kali kontestasi pemilihan dilakukan, sejatinya penegakan hukum pemilihan sudah semakin matang. Lewat kerja-kerja dan dukungan sekretariat yang mapan. Tetapi capaian harapan tersebut masih jauh, hingga sering terdengar kritikan “bubarkan Gakkumdu”.

Pertama, apa yang menjadi permasalahan penindakan pelanggaran pidana pemilihan tidak efektif di Gakkumdu? Tidak efektif, ditandai banyak temuan atau laporan dugaan pelanggaran pidana pemilihan yang urung ditingkatkan ke proses penyidikan hingga ke persidangan. Kinerja Gakkumdu belum bisa menggapai harapan pembentuk undang-undang akan penindakan pelanggaran pidana yang tegas dan adil.

Kedua, bagaimana strategi mengatasi permasalahan tersebut, hingga menjadi solusi mewujudkan penegakan hukum pemilihan yang adil. Terutama memberi efek jera kepada pelaku, dan memberi tanda peringatan terhadap mereka yang mencoba melanggar.

Kajian Teoritik

Penegakan hukum sebagai proses untuk tegak dan berfungsinya norma hukum yang secara nyata sebagai pedoman perilaku hubungan hukum kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lawrence Meir Friedman[2] mengungkapkan bahwa penegakan hukum ditentukan dan dipengaruhi oleh unsur-unsur dalam sistem hukum (elements of legal system) yakni: struktur hukum meliputi institusi dan aparat penegak hukum; substansi hukum meliputi aturan, norma dan perilaku nyata manusia; budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Selanjutnya Soerjono Soekamto mengembangkan teori tersebut dengan menyebutkan masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi, yakni hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat dan kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat sebagai kesatuan sistem, dan merupakan esensi dari penegakan hukum yang juga merupakan tolok ukur dari pada efektivitas penegakan hukum.[3]

Mengacu pada teori sistem hukum tersebut, menjadikan penegakan hukum pemilihan harus mendapatkan dukungan sumber daya profesional dan berintegritas, regulasi yang progresif, peran serta masyarakat, dan sarana-prasarana yang lengkap.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juncto Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015, telah mengatur keberadaan Sentra Gakkumdu dalam penanganan tindak pidana pada pemilihan. Ketentuan dalam Pasal 152 Ayat (1) Undang-Undang ini menyebutkan, “Untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilihan, Bawaslu provinsi, dan/atau Panwas kabupaten/kota, kepolisian daerah dan/atau kepolisian resor, dan kejaksaan tinggi dan/atau kejaksaan negeri membentuk penegakan hukum terpadu.”

Sentra Gakkumdu merupakan kelompok kerja yang terdiri dari 3 (tiga) lembaga, yaitu lembaga pengawas, kepolisian, dan kejaksaan. Ketiga lembaga tersebut nantinya menyatu menindaklanjuti dugaan tindak pidana. Berupa tindaklanjut atas laporan atau temuan yang mengandung unsur pelanggaran tindak pidana pemilihan. Langkah ini menempatkan Gakkumdu memiliki peran signifikan dalam menindak pelaku dan aktor intelektual terjadi pelanggaran tindak pidana.

Meskipun pada dasarnya ketiga lembaga memiliki fungsi dan tugas yang berbeda, yaitu lembaga pengawasan berfungsi melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran, kepolisian berfungsi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta kejaksaan berfungsi untuk melakukan penuntutan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pembahasan

Keberadaan Gakkumdu seharusnya mempermudah kerja-kerja penanganan tindak pidana pemilihan, namun kenyataan sering mengalami hambatan proses penanganan. Bawaslu sering kali tidak sependapat dengan unsur kepolisian dan unsur kejaksaan dalam tubuh Gakkumdu, hingga laporan atau temuan dugaan pelanggaran tidak dapat ditindaklanjuti. Kenyataan seperti ini sering terjadi, jika dilihat dari banyak tidaknya pelanggaran yang urung dilimpahkan ke pengadilan dengan alasan unsur pelanggaran tidak terpenuhi.

Sepanjang pengalaman pelaksanaan kontestasi perebutan suara rakyat, ditemukan permasalahan dalam penegakan hukum pemilihan yang turut menyita perhatian. Masalah ini dapat menjadi sandungan dalam penanganan pelanggaran pidana pemilihan, sehingga perlu antisipasi dengan menyiapkan strategi krisis penyelesaian masalah.

Pertama, perbedaan pemahaman unsur pelanggaran. Proses penegakan hukum pemilihan sering kali tidak tuntas karena persoalan perbedaan pemahaman masing-masing unsur Gakkumdu. Masih sering penanganan pelanggaran pidana dihentikan (dismiss) karena unsur dari Bawaslu, Kejaksaan, dan Kepolisian tidak sepaham dengan keterpenuhan unsur pelanggaran pidana pemilihan.

Senada Luky Sandra Amalia menyebutkan, sering terjadi dalam kajian Bawaslu kasus ditemukan atau dilaporkan merupakan pelanggaran pidana, tetapi ketika dilakukan gelar perkara pihak kepolisian atau pihak kejaksaan menyatakan unsur pelanggaran tindak pidana tidak terpenuhi. Implikasinya, temuan atau laporan pelanggaran berhenti di dalam kajian Bawaslu sesuai tingkatan.[4] Terutama terhadap ketentuan norma yang kabur dan multitafsir untuk disandarkan kepada dugaan pelanggaran hingga disimpulkan terbukti atau tidak terbukti.

Perbedaan pemahaman dapat dipicu lewat kebijakan atasan institusi masing-masing Gakkumdu yang menaruh kepentingan pragmatis terhadap kasus yang ditangani. Tidak jarang kasus yang telah dibahas, ketika dilaporkan ke atasan lantas mengubah peta penanganan kasus berupa keterpenuhan unsur pelanggaran. Misalnya, dalam pembahasan pertama dan/atau kedua terpenuhi unsur pelanggaran pidana, namun setelah dilaporkan dan dibahas di tingkatan atasan menjadi berubah tidak terpenuhi unsur pelanggaran. Faktor independensi terutama penyidik, dan penuntut rawan dipengaruhi oleh atasannya dalam menentukan keterpenuhan unsur pelanggaran pidana.

Atas keadaan ini dapat diminimalisir lewat perubahan regulasi, dengan sumber daya manusia penyidik dan penuntut dibebas tugaskan dari institusi asal untuk bekerja penuh waktu di Bawaslu (Gakkumdu). Atau alternatif lain dengan membuka peluang masuknya penyidik dan penuntut independen di luar institusi kepolisian dan kejaksaan. Sebab, sepanjang bentuk kelembagaan Gakkumdu masih terdiri dari tiga institusi, maka perbedaan pemahaman akan terus dialami hingga meneguhkan opini “bubarkan Gakkumdu”.

Kedua, waktu penanganan singkat. Sentra Gakkumdu harus mempergunakan waktu penanganan pidana selama lima hari kalender dengan efesien. Melihat desain jangka waktu, dapat dikatakan aturan penyelesaian hukum yang cepat (fast track) karena jangka waktu yang diberikan memproses juga singkat.

Penanganan pelanggaran pemilihan memang perlu dibatasi waktunya, mengingat pelanggaran terjadi dalam pelaksanaan tahapan yang sudah terjadwal. Jika tidak terselesaikan dikhawatirkan mempengaruhi tahapan berikutnya. Namun demikian, tidak semua jenis pelanggaran perlu dibatasi waktunya, selain karena sifat pelanggaran yang membutuhkan waktu lama untuk membuktikan, juga terhadap pelanggaran yang tidak mempengaruhi pelaksanaan tahapan pemilihan.

Terutama terhadap ada tidaknya pelanggaran pidana yang perlu dilakukan penyelidikan dan penyidikan karena hukum acara pidana pemilihan membutuhkan bukti dan saksi kuat agar keterpenuhan unsur tindak pidana bisa dibuktikan. Selain itu, sanksi tindak pidana biasanya jatuh ke perorangan, sehingga tidak perlu dikhawatirkan jatuhnya sanksi akan mengganggu pelaksanaan tahapan pemilihan.

Misalnya, dalam tahapan pencalonan terdapat perkara pidana yang menjerat seorang calon, maka biarkan saja kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan memproses perkara tersebut, tanpa terpengaruh oleh jadwal tahapan. Katakanlah pelaksanaan terus berlanjut hingga sampai tahapan penetapan hasil, yang mana calon tersebut ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Kemudian datang putusan pengadilan yang menyatakan calon terbukti melanggar ketentuan pidana sehingga dijatuhi sanksi. Dengan dinyatakan bersalah atas perkara yang muncul pada tahapan pencalonan, maka pasangan calon bersangkutan tidak bisa dilantik. Statusnya sebagai pasangan calon terpilih otomatis gugur dan diganti oleh pasangan calon lain berikutnya yang memperoleh suara terbanyak.

Ketiga, masalah koordinasi. Terhadap wilayah kepulauan dan wilayah pemekaran daerah otonomi baru yang keberadaan kejaksaan negeri dan kepolisian resort masih menyatu di daerah induk, akan menyulitkan koordinasi penanganan pidana pemilihan di daerah pemekaran. Dalam penanganan pidana atas temuan atau laporan yang diterima Bawaslu sudah harus didampingi oleh penyidik dan penuntut umum sejak awal. Atas masalah jarak di atas, menyulitkan kehadiran langsung unsur Gakkumdu dalam penanganan awal kasus di Bawaslu.

Melengkapi masalah koordinasi dimaksud, ditambah alokasi ketersediaan anggaran di Bawaslu yang tidak mengakomodir anggaran perjalanan rutin penyidik dan penuntut menuju kantor Bawaslu ketika penanganan kasus. Serta ketersediaan sumber daya manusia penyidik dan penuntut di kantor masing-masing yang masih membutuhkan, sehingga sulit untuk dibebas-tugaskan pada instansi asal untuk rutin masuk piket di kantor Bawaslu setempat.

Alternatif Solusi

Secara historis, masalah Bawaslu pada fungsi terbatas dan sempat diwacanakan dibubarkan karena hanya menjadi “lembaga pelengkap.” Saat itu, keberadaan lembaga pengawas ini dianggap membebani keuangan negara, dan ketika lembaga ini tidak ada maka dipastikan proses pemilu tetap berjalan. Sejak pemilu 1982 hingga pemilu 2014, fungsi Bawaslu tidak banyak berubah, yakni: (1) mengawasi tahapan pelaksanaan pemilu; (2) menerima laporan pelanggaran; (3) meneruskan laporan pelanggaran ke instansi berwenang, ke KPU bila terjadi pelanggaran administrasi, dan ke kepolisian bila terjadi pelanggaran pidana pemilu; serta (4) menyelesaikan sengketa proses pemilu.

Sekaitan dengan fungsi Bawaslu tersebut, Didik Supriyanto menyebutkan fungsi pertama tidak ubah fungsi pemantauan sebagaimana dijalankan lembaga pemantau pemilu, karena lembaga pengawas hanya mengeluarkan pernyataan tentang ada tidaknya masalah dalam pelaksanaan tahapan. Fungsi kedua dan ketiga, memposisikan lembaga pengawas sebagai petugas kantor pos, karena hanya mengantarkan hasil kajian tentang adanya pelanggaran ke KPU atau kepolisian. Sedang fungsi keempat, disayangkan keputusan lembaga pengawas tidak mempunyai kekuatan mengikat. [5]

Seiring dengan dinamika ketatanegaraan dan urgensi kontestasi demokrasi yang jujur dan adil mengharuskan penguatan fungsi Bawaslu. Harapan itu terwujud lewat pembentukan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang menempatkan kelembagaan Bawaslu menemukan performa kinerja pengawas dan penegak keadilan pemilu. Khususnya dalam penanganan pelanggaran administrasi, dan penyelesaian sengketa proses pemilu. Termasuk berhasil menekan jumlah sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi lewat penyelesaian masalah selama tahapan proses pemilu berlangsung.

Lalu dalam kontestasi pemilihan kepala daerah tahun 2020, kembali keberhasilan Bawaslu diuji apakah mampu mempertahankan kinerja seperti dalam pelaksanaan pemilu 2019 lalu, atau malah terpuruk hingga menggiring opini pembubaran. Sebab ada bentuk kewenangan yang berbeda dalam tahapan pemilu dengan kewenangan dalam tahapan pemilihan kepala daerah.

Sekaitan kinerja penindakan pelanggaran pidana baik pada tahapan pemilu maupun pemilihan sering terdengar opini “bubarkan” Gakkumdu karena dinilai kinerja tidak efektif. Hubungan dengan fokus tulisan ini, atas permasalahan sering terjadi perbedaan pemahaman, tantangan waktu penanganan yang singkat, dan koordinasi yang tidak maksimal di Gakkumdu sehingga dugaan pelanggaran urung ditindaklanjuti ke proses penyidikan hingga pengadilan.

Atas permasalahan dimaksud penting dirumuskan strategi penanganan minimal alternatif solusi atas permasalahan yang telah diidentifikasi sebelumnya. Agar memperlihatkan kinerja meneguhkan eksistensi Gakkumdu dalam penegakan keadilan pemilihan. Namun jika ini tidak diatasi atau gagal diterapkan, maka hakikatnya turut berkontribusi membuarkan Gakkumdu.

Pertama, penegasan rumusan delik formil atau delik materil. Memastikan penanganan secara cepat, norma pidana dalam UU Pemilihan telah ditancapkan sebagai “delik formil” yang dihasilkan lewat pembahasan dan kesepakatan Sentra Gakkumdu Pusat. Mengapa ini perlu? Masih sering ditemui perbedaan pemahaman atas pasal-pasal pidana, dalam kategori delik formil atau delik materil. Atas pembahasan dan kesepakatan Gakkumdu Pusat tersebut, sejatinya mengurangi perbedaan tajam dalam menilai keterpenuhan unsur pelanggaran pidana yang sementara ditangani.

Masalah lain, sering terjadi perbedaan pemahaman, multitafsir dan adanya norma kabur di dalam peraturan perundang-undangan. Ini menjadi batu sandungan proses penanganan, membuat pelaku (aktor) intelektual masih bebas melakukan aksi pelanggaran berikutnya. Gakkumdu perlu dievaluasi sekaligus dikuatkan dalam penindakan pelanggaran. Jangan lagi ada pelaku dengan bebas melakukan politik uang (money politic) untuk mempengaruhi pemilih, manipulasi suara, ujaran kebencian, merusak alat peraga kampanye milik kontestan lain, dan melakukan kecurangan lain yang mengurangi kualitas demokrasi.

Kedua, peningkatan kapasitas personil. Harapan atas kinerja Gakkumdu dalam menindak pelanggaran pidana secara tegas dan adil terus diupayakan. Mulai dari rapat koordinasi dan teknis secara berjenjang yang digalakkan guna membangun sinergi dan kesamaan pola penanganan pelanggaran tindak pidana, dengan tidak lupa menegaskan arti penting integritas dan profesional.

Komitmen personel Gakkumdu yang diharapkan sudah terbangun, dalam semangat menegakkan keadilan pemilihan bisa menjadi modal awal. Kepada pelaku dan aktor intelektual pembuat pelanggaran dapat dikenai sanksi dan menjadi peringatan bagi pihak yang ingin mencoba melanggar. Kesatuan personel Gakkumdu bisa saling bahu-membahu menjawab tuntutan publik terhadap kelemahan penanganan kasus selama ini. Kesatuan melahirkan upaya memberi kepastian hukum yang berperan dalam pembangunan demokrasi bermartabat dan berintegritas.

Ketiga, dukungan teknis kelembagaan Gakkumdu. Secara teknis, sekretariat harus resposif memberi dukungan teknis dan operasional dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan penindakan pelanggaran pidana. Dukungan staf yang handal dan cekatan dalam menindaklanjuti setiap laporan dan temuan pelanggaran akan sangat membantu. Serta fasilitasi kegiatan berupa rapat koordinasi, rapat kerja teknis, dan supervisi secara berkala untuk membahas dan menyatukan pemahaman atas dinamika isu hukum yang dihadapi.

Dukungan teknis sangat terkait dengan ketersediaan anggaran yang cukup dan mencukupi membiayai penyelenggaraan teknis. Anggaran lekat dengan kebijakan politik anggaran yang dibahas bersama tim anggaran pemerintah daerah untuk hibah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Dalam pembahasan tidak jarang mengalami masalah berupa ketidak sepahaman penyelenggara dengan tim pemerintah daerah, hingga harus difasilitasi penyelesaiannya oleh pemerintah pusat. Ke depan, sejatinya anggaran penyelenggaraan pemilihan kepala daerah ditetapkan dari pemerintah pusat agar lebih menegaskan independensi penyelenggara. Agar tidak ada kesan, penyelenggara meminta-minta anggaran kepada pemerintah daerah.

Keempat, penguatan fungsi Bawaslu. Penguatan sekaligus dimaknai sebagai perubahan struktur kewenangan Bawaslu sebagaimana disebutkan undang-undang. Penguatan fungsi Bawaslu lebih sebagai norma yang dicita-citakan (ius constituendum), berupa perubahan kewenangan yang dilengkapi fungsi kehakiman. Berupa putusan Bawaslu bersifat eksekutorial dalam pelanggaran tindak pidana pemilu dengan kewenangan menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran tindak pidana dengan karakter putusan final dan mengikat. Sehingga otomatis tidak dibutuhkan lagi wadah bersama tiga institusi bernama Gakkumdu.

Penguatan fungsi Bawaslu tersebut dalam penegakan hukum pemilu dapat dikatakan sebagai embrio peradilan khusus pemilu dengan merubah struktur dan kewenangan pengawasan dan penindakan pelanggaran. Secara khusus peradilan khusus pemilu terwujud lewat desain perubahan regulasi penegakan hukum pemilu. Disadari upaya itu tidaklah mudah, butuh kajian mendalam dan politik hukum yang kuat mewujudkan.

Penutup

Permasalahan penindakan pelanggaran pidana pemilihan tidak efektif ditandai banyak temuan atau laporan yang urung ditingkatkan ke proses penyidikan hingga ke persidangan disebabkan beberapa faktor. Faktor tersebut di antaranya, perbedaan pemahaman dalam Gakkumdu akan keterpenuhan unsur pelanggaran. Ditambah lagi waktu penanganan lima hari yang singkat, serta masalah koordinasi yang tidak efektif antar sesama tim Gakkumdu karena jarak dan anggaran yang terbatas.

Mengatasi masalah tersebut perlu strategi tepat, agar penindakan pelanggaran pidana dapat mewujudkan keadilan pemilihan, terutama soal perbedaan pemahaman yang sering muncul. Sehingga perlu penegasan rumusan delik formil atau delik materil dari ketentuan pidana pemilihan, yang pada prinsipnya berhubungan dengan upaya peningkatan kapasitas personil. Selain itu, dibutuhkan strategi dalam bentuk memaksimalkan dukungan teknis kelembagaan Gakkumdu terutama dari sekretariat.

Daftar Pustaka

Achmad Ali. 2005. Keterpurukan Hukum di Indonesia; Penyebab dan Solusi, Bogor: Ghalia Indonesia.
Didik Supriyanto, Veri Junaidi, Devi Darmawan. 2012. Penguatan Bawaslu; Optimalisasi Posisi, Organisasi, dan Fungsi dalam Pemilu 2014, Jakarta: Perludem.
Luky Sandra Amalia dkk. 2016. Evaluasi Pemilu Legislatif 2014; Analisis, Proses, dan Hasil, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soerjono Soekanto. 2011. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syamsudin Haris (Editor). 2016. Pemilu Nasional Serentak 2019, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Catatan Kaki

[1] Syamsudin Haris (Editor). 2016. Pemilu Nasional Serentak 2019, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 145.
[2] Lawrence Friedmann dalam Achmad Ali. 2005. Keterpurukan Hukum di Indonesia; Penyebab dan Solusi, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm 1.
[3] Soerjono Soekanto. 2011. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm 5.
[4] Luky Sandra Amalia dkk. 2016. Evaluasi Pemilu Legislatif 2014; Analisis, Proses, dan Hasil, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 116.
[5]Didik Supriyanto, Veri Junaidi, Devi Darmawan. 2012. Penguatan Bawaslu; Optimalisasi Posisi, Organisasi, dan Fungsi dalam Pemilu 2014, Jakarta: Perludem. hlm. 54-55.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.