Transformasi Rule Of Ethics

382 Views

TRANSFORMASI RULE OF ETHICS
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.


Norma hukum saat ini tidak dapat bekerja dengan baik lagi, keterpurukan hukum turut mewarnai proses penegakan hukum. Hukum tidak berjalan sesuai cita-cita dan harapan reformasi yakni semangat menegakkan keadilan substansial. Potret buram proses penegakan hukum jauh dari semangat keadilan substansial, membuat masyarakat menjadi pesimis pada aparat penegak hukum dan ragu akan putusan pengadilan yang dihasilkan.

Keterpurukan hukum belakang ini, membuat masyarakat semakin galau menghadapi apa yang tengah dilakukan, jaminan kepastian hukum dan keadilan seakan menjadi barang langka dan mewah, tidak semua orang dapat mengakses. Hal ini dapat dipahami sebagai implikasi dari arus perubahan yang begitu cepat dalam kehidupan berdemokrasi. Dengan demikian, bisa dipahami kekacauan nilai-norma yang berimplikasi pada degradasi norma termasuk sistem nilai agama dan nilai adat yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dalam kaitan ini, hendak disadari bahwa agama sebagai pedoman hidup berkaitan dengan yang suci (sacred) yang dari awal memang mengandung kekuatan yang ambivalen. Kata “sacred” (latin, sacer) itu sendiri bisa berarti karunia atau kutukan, suci atau cercaan. Secara konkrit dicermati modus peribadatan yang berhenti sebagai pemujaan lahiriah formalitas peribadatan, tanpa kesanggupan menggali nilai spiritualitas dan moralitas. Belum lagi memisahkan antara kesalehan spiritual yang tidak imbang dengan kesalehan sosial atau sebaliknya. Hanya mementingkan aspek ritual peribadatan tanpa ada empati dan perbaikan terhadap kehidupan sosial-kenegaraan.

Kenyataan ini menurut Yudi Latif dalam bukunya-Makrifat Pagi, sangat berbahaya, sebab akar terdalam dari keterpurukan dalam kehidupan berbangsa adalah “dusta terhadap agama” dengan peribadatan yang keliru. Tanpa menyelami kedalaman pengalaman dan praktek spiritual secara hakiki, keberagamaan menjadi mandul, kering, dan keras, tidak memiliki empati-kontemplatif. Tanpa kedalaman spiritual dengan ketulusan bakti, peribadatan tidak akan membawa dampak konstruktif, melainkan menjadi deskruktif bagi kemanusiaan. Orang yang pura-pura mengabdi pada Tuhan akan berpura-pura pula mengabdi kepada kemanusiaan, yang selanjutnya melahirkan perilaku korupsi dan perilaku tidak terpuji lainnya. Orang seperti ini tidak pantas dipilih dan dijadikan sebagai pemimpin serta tidak dapat dipercaya memikul amanah.

Bangsa Indonesia adalah negara yang religius, dengan menempatkan agama sebagai bagian penting penopang kehidupan berbangsa. Tetapi menjadi suatu keprihatinan semua pihak, karena dalam suasana yang bersamaan, praktek korupsi masih tumbuh subur masuk dan meracuni semua tingkatan Pemerintahan dan sendi-sendi pelayanan publik. Indonesia sebagai negara yang agamais, tetapi di satu sisi koruptor pun berjalan dinamis. Padahal agama yang meresap dan menjadi karakter spiritual individu akan mencegah dari perbuatan terlarang dan tercela. Sehingga menjadi pertanyaan besar, apa yang salah dengan praktek keberagamaan kita.

Keberagaman yang dipraktekkan masih bersifat formalistik kering dengan substansi spiritual, dan ini jelas membutuhkan langkah perbaikan konstruktif dan holistik (menyeluruh). Inilah yang menjadi akar keterpurukan penegakan hukum yang turut mempengaruhi aspek kehidupan lainnya. Bangsa kita telah menghadapi goncangan nilai-norma yang luar biasa. Oleh karena itu, perlu dikembangkan tradisi yang menurut Jimly Asshiddiqie bukan hanya menjalankan amanat rule of law saja, tetapi perlu mentradisikan sikap kepatuhan pada rule of ethics. Artinya penegakan hukum dilaksanakan secara beriringan dengan penegakan kode etika melalui sikap dan perilaku yang berintegritas dan bermartabat dari aparatur pemerintahan.

Transformasi Sebagai Upaya Bersama
Praktek etika harus diartikulasikan dalam sistem norma hukum yang bila dicermati lebih jauh tentu sudah banyak beban penerapan. Misalnya, semua penjara di Indonesia sekarang hampir penuh bahkan mayoritas over kapasitas, karena penjara terus diisi terpidana pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum yang dilakukan itu sebetulnya tidak lepas dari pelanggaran etika. Jika melanggar norma hukum secara otomatis juga melakukan pelanggaran norma etika.

Dunia sekarang mengalami kekacauan norma hukum yang berdampak langsung pada penegakan hukum. Dalam konteks Indonesia, kekacauan sudah sangat parah dan meresahkan, karena itu tidak bisa lagi hanya mengandalkan sistem hukum yang ada. Tetapi perlu dibangun infrastruktur dan kesadaran ethics untuk mengontrol perilaku rakyat Indonesia ke depan, terutama para elit-elit yang melaksanakan tugas pelaksana pemerintahan di berbagai bidang. Paradigma yang dibangun adalah penegakan hukum yang diiringi dengan penegakan etika secara bersama-sama. Dicontohkan, ibarat kapal adalah hukum dan bahtera-lautan adalah etika, maka kapal dapat mencapai arah-tujuan ketika mengarungi bahtera-lautan yang memberi daya dukung. Demikian pula, kapal tidak akan bergerak, saat tidak menyentuh lautan.

Dengan demikian, tugas utama sebagai anak bangsa di antaranya ialah mengembalikan hakikat etika dalam kehidupan berbangsa termasuk membangun tradisi filsafat moral sebagai basis ilmiah dalam menjelaskan kebaikan dan segala tindakan keburukan. Majelis dan diskusi yang mengarah pada peningkatan kapasitas keilmuan dan spiritual dengan pokok bahasan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi penting digalakkan.

Dari kultur yang tumbuh dan berkembang dalam praktek hidup secara tidak tertulis, atau dengan hanya mengacu kepada teologis teks-teks kitab suci agama, lama-kelamaan muncul kebutuhan kodifikasi untuk menuliskan kaidah-kaidah etika ke dalam bentuk kode etik dan pedoman perilaku yang konkrit dan dapat difungsikan sebagai sarana pengendalian dan penuntut perilaku ideal dalam kehidupan bersama.

Lihat saja struktur profesi yang sudah memiliki struktur norma kode etik yang mengontrol anggotanya dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Situasi ini melahirkan berbagai organisasi negara yang memiliki kode etik sebagaimana kode etik Kedokteran, kode etik Aparatur Sipil Negara, kode etik Jurnalistik, kode etik Advokat dan lain-lain. Tetapi semua itu masih berjalan formalitas karena dalam penegakan hampir tidak terdengar gaungnya. Tidak ada ketegasan dalam penegakan kode etik baik bersifat struktural maupun individu yang ada di dalamnya. Yang lebih disayangkan saat kode etik dibuat seakan-akan untuk saling melindungi dan menutupi pelanggaran.

Perlu kesadaran politik yang bijak, di mana zaman sudah modern dan demokrasi substansial sudah menjadi pilihan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak berbuat secara terbuka. Harus ditunjukkan sikap transparan baik dari segi kelembagaan maupun dari sisi keanggotaan. Dengan cara ini akan tercipta mekanisme yang terbuka dan masyarakat bisa tahu mana yang benar dan mana yang salah. Termasuk memberi layanan publik prima, serta mengelola sumber daya secara akuntabel, dan bebas dari segala bentuk penyalahgunaan dan penyimpangan.

Disamping itu, sistem norma etika juga dapat difungsikan sebagai penyaring dan sekaligus penopang bagi bekerja efektifnya sistem hukum. Setiap kali terjadi perilaku menyimpang, sebelum memasuki ranah penegakan hukum, terlebih dahulu tersedia sistem etika yang melakukan koreksi. Seperti doktrin dalam ilmu hukum pidana, bahwa hukum pidana harus dilihat sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), sesudah upaya lain habis atau tidak lagi ampuh, secara keseluruhan maka hukum seharusnya dilihat sebagai upaya terakhir. Dengan demikian tidak semua perbuatan menyimpang dari norma langsung ditangani mekanisme hukum untuk mengatasi semua jenis penyimpangan perilaku manusia dalam kehidupan bersama.

Etika Politik dan Etika Pemilu
Mundurnya pejabat negara di Jepang dari jabatannya setelah skandal atau berita mengenai suatu kegagalan dalam melaksanakan tugas terpublikasi, sering diberitakan media massa. Mengapa “pengunduran diri” merupakan cara yang ditempuh oleh pejabat negara di Jepang tersebut. Ternyata orang Jepang terkenal memiliki nilai-nilai pengorbanan diri dan dedikasi yang tinggi terhadap komunitasnya, serta nilai loyalitas kepada keluarga, kampung halaman, komunitas, serta kepada negara.

Di era modern Jepang saat ini, nilai-nilai tradisional tersebut diwariskan dan diwujudkan dalam bentuk lain seperti: kerja keras, rasa hormat, pelayanan, kinerja nyata, serta moral yang tinggi. Nilai-nilai tersebut masih mendarah daging dan sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Jepang pada umumnya. Oleh karena itu, di dalam etika politik dan pemerintahan dapat dikatakan bahwa metode pengunduran diri seorang pejabat negara di Jepang dianggap sebagai bentuk rasa tanggung jawab, karena telah merugikan kepentingan bersama dan malah mengutamakan kepentingan pribadi.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia, sebenarnya memiliki nilai-nilai tradisional yang juga ditanamkan sejak dahulu, seperti nilai budaya, agama, dan adat istiadat yang bermacam-macam bentuk. Nilai-nilai itu mengandung kejujuran, keteladanan, toleransi, tanggung jawab, disiplin, etos kerja, dan gotong royong. Namun, jika menyoroti secara khusus etika politik dan pemerintahan di kalangan elite politisi dan pejabat negara di Indonesia, nilai-nilai tradisional yang tertanam tadi tidak nampak terlihat pada diri mereka seperti apa yang nampak terlihat pada kalangan pejabat negara di Jepang.

Melihat yang terjadi pada negara Jepang, sepertinya masih terasa jauh bagi politisi serta pejabat negara ini untuk menuju ke arah sana. Namun, selalu ada kesempatan bagi siapa pun yang memiliki keinginan kuat untuk maju demi kepentingan bangsa dan negara. Indonesia harus bisa mengejar untuk menjadi negara modern yang dapat berpolitik dengan nilai-nilai tradisional yang dibanggakan. Tentunya, semua berawal dari niat yang mulia dari para politisi dan pejabat negara Indonesia untuk selanjutnya diikuti oleh masyarakat-pemilik kedaulatan dalam negara.

Berangkat dari sini, harus dilakukan pembenahan terhadap etika kehidupan berbangsa yang dimulai dengan membenahi etika politik. Konsolidasi demokrasi menuntut etika politik yang memberikan kematangan emosional dan dukungan rasional untuk menerapkan prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanan pada pentingnya etika politik pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan etika politik yang tertanam kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut. Implikasinya, proses demokratisasi tanpa etika politik yang mengakar akan rentan dan bahkan mudah hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang rapuh.

Sekarang yang diharapkan adalah adanya pencerahan dari kembalinya akademisi, budayawan dan agamawan yang bermoral sehingga kita senantiasa kembali pada etika dan moralitas. Krisis dan keterpurukan hukum yang mempengaruhi berbagai lini kehidupan sedang dihadapi bangsa ini, antara lain karena persoalan etika dan perilaku kekuasaan. Silang pendapat, perdebatan, konflik, dan upaya saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elit, tanpa peduli dan menyadari bahwa seluruh masyarakat sedang prihatin menyaksikan kenyataan ini. Padahal untuk mengubah arah dan melakukan lompatan jauh ke depan, sangat diperlukan kompromi, penyesuaian dan semangat rekonsiliasi demi tujuan bersama.

Pembenahan etika di bidang politik secara otomatis akan melebar ke etika Pemilu, dan etika Pemilu dimulai dengan membenahi penyelenggara Pemilu (Bawaslu, DKPP dan KPU). Karena bila penyelenggara dapat diperbaiki, maka yang lainnya secara bertahap akan menuju perbaikan pula. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari proses maupun hasil Pemilu apabila penyelenggara Pemilu tidak memiliki kapasitas ethics yang baik.

Artinya, etika penyelenggara Pemilu yang mampu diterjemahkan dalam perspektif filsafat berupa tingkah laku politik khususnya anggota penyelenggara Pemilu mana yang benar dan mana yang tidak benar. Etika politik yang dibangun melalui visi UUD 1945 yakni mencerdaskan bangsa sehingga diperlukan rumusan tindakan yang diatur dalam suatu aturan formal. Kode etik penyelenggara Pemilu, wujudnya. Semua pemangku kepentingan termasuk peserta Pemilu terutama penyelenggara Pemilu perlu memahami dan mengikuti apa yang jadi ketentuan perundang-undangan penegakan kode etik penyelenggara Pemilu. Diharapkan dan perlu mengajak semua pihak membangun tradisi baru dengan kode etik itu.

Tidak ada pilihan lain, selain dibutuhkan penyelenggara Pemilu yang betul-betul memiliki karakter, integritas dan kapasitas yang handal. Penyelenggara Pemilu yang sanggup tampil menyuarakan kebenaran demi menjaga amanah dan suara rakyat-sang pemilik kedaulatan negara. Penyelenggara Pemilu yang mampu mengimplementasikan asas jujur dan adil pada tataran normatif dan tataran moralitas. Penyelenggara Pemilu berbasis aturan, mekanisme serta memastikan proses transformasi nilai politik yang berorentasi pada moral. Serta keterlibatan dan peran aktif media massa, Perguruan Tinggi, kalangan intelektual, instansi-instansi terkait dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsen pada kualitas dan pembangunan Pemilu agar senantiasa proaktif memberikan kontribusi politik moral dalam usaha bersama memperbaiki kualitas bernegara.


Daftar Bacaan :
Jimly Asshiddiqie, 2014, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
———————-, 2014, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Sinar Grafika, Jakarta.
Janedjri M. Gaffar, 2013, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta.
Yudi Latif, 2018, Makrifat Pagi, Percikan Embun Spiritualitas Di Terik Republik, Mizan, Jakarta.


Artikel File PDF downloads di sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.