222 Views
Mahkamah Konstitusi pada bulan
Maret 2013 telah memutuskan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk
memilih anggota legislatif
dan eksekutif tingkat nasional akan dilaksanakan pada tahun 2019. Keputusan itu
merujuk pada norma penyelenggaraan Pemilu serentak yang disebutkan dalam Pasal
22E ayat (1) UUD 1945 bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” . Hal dipahami
bahwa Konstitusi mengamanatkan hanya ada satu Pemilu dalam kurun waktu lima
tahun. Selanjutnya dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dinyatakan, “Pemilihan
umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Berdasarkan pada materi muatan
kedua ayat UUD 1945 tersebut, dapat dipahami bahwa Pemilu yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali
dilaksanakan secara sekaligus (serentak) untuk memilih anggota DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Secara teknis gambaran pelaksanaan Pemilu
nantinya akan terdapat lima kotak, yaitu Kotak 1 adalah kotak DPR, kotak 2
adalah kotak DPD, kotak 3 adalah Presiden dan Wakil Presiden, dan kotak 4
adalah DPRD provinsi, kotak 5 adalah DPRD kabupaten/kota.”
Mewujudkan pelaksanaan Pemilu serentak
yang jujur dan adil, tentu menjadi tanggungjawab semua pihak, dan perlu didukung
dengan sistem penegakan hukum Pemilu yang ditujukan untuk mengatasi
masalah-masalah hukum seputar Pemilu. Masalah hukum Pemilu menurut Syamsudin Haris didefinisikan sebagai
segala perbuatan hukum yang menyimpang, bertentangan, atau melanggar peraturan
perundang-undangan Pemilu dalam pelaksanaan Pemilu, termasuk adanya pihak yang
merasa dirugikan dalam pelaksanaan Pemilu tersebut.[1]
Merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, masalah hukum Pemilu dapat dikategorikan: Pelanggaran
Pemilu dan Sengketa Pemilu. Jenis Pelanggaran
Pemilu terdiri dari atas pelanggaran
administrasi Pemilu, tindak pidana Pemilu, dan pelanggaran kode etik
penyelenggara Pemilu. Sedangkan jenis sengketa terdiri dari atas sengketa proses Pemilu antar-peserta Pemilu dan/atau sengketa peserta
Pemilu dengan penyelenggara Pemilu, sengketa Tata Usaha Negara Pemilu, dan
perselisihan hasil Pemilu.
Masalah-masalah seputar Pemilu
itu, sudah terjadi
dalam pelaksanaan Pemilu serentak 2019. Mengatasi masalah adalah keharusan
dalam mencapai pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Eksistensi perangkat sistem Pemilu yang handal dan diharapkan mampu
mengatasi masalah Pemilu tersebut adalah
kebutuhan. Perangkat sistem Pemilu itu, menyangkut regulasi Pemilu yang
progresif, pelaksana Pemilu yang profesional dan amanah, peran aktif masyarakat
mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil, serta dukungan sarana-prasarana Pemilu yang lengkap.
Masalah dalam Proses Pemilu
Sepanjang pengalaman pelaksanaan Pemilu
maupun Pemilihan Kepala Daerah, ditemukan sejumlah permasalahan
hukum yang turut menyita perhatian stakeholder
Pemilu. Masalah ini juga menjadi sandungan dalam perhelatan Pemilu
serentak 2019, sehingga perlu antisipasi dengan menyiapkan sistem hukum Pemilu
yang progresif. Masalah-masalah dalam proses penegakan hukum Pemilu itu diuraikan
sebagai berikut:
a. Tidak Sepaham Bawaslu dan Kepolisian dalam Sentra Gakkumdu
Proses penegakan hukum Pemilu seringkali tidak tuntas karena banyaknya persoalan koordinatif yang tidak tuntas. Permasalahan di lapangan, terdapat pelanggaran pidana yang dismiss karena pihak Bawaslu dan kepolisian tidak sepaham dalam menelaah apakah suatu temuan atau laporan merupakan tindak pidana atau bukan tindak pidana Penilu. Terutama ketentuan yang defenisinya kabur, yang bisa diartikan sempit atau luas.
Bahkan menurut Luky Sandra Amalia, dkk sering terjadi dalam hasil kajian Bawaslu kasus yang ditemukan atau diterima merupakan pelanggaran pidana Pemilu, tetapi ketika dilakukan gelar perkara pihak Kepolisian menyatakan bukan pelanggaran tindak pidana Pemilu. Misalnya, pelanggaran kampanye yang masuk kategori pidana berupa peserta Pemilu yang berkampanye di luar jadwal dan/atau tindakan pemberian uang atau barang kepada Pemilih dengan menyertakan unsur kampanye. Dalam kaitan ini, kadang terjadi perbedaan pandangan dalam menilai iklan peserta Pemilu di media. Sebab dikatakan kampanye jika memasukkan unsur visi, misi dan program peserta Pemilu. Implikasinya, temuan atau laporan pelanggaran hanya berhenti di dalam hasil kajian Bawaslu sesuai tingkatan.[2] Tidak dapat ditindaklanjuti ke pembahasan selanjutnya, akibat perbedaan pandangan tim yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu).
Kenyataan ini mengindikasikan, bukan saja kadang terjadi perbedaan pemahaman/konsep antara Bawaslu dan Kepolisian, tetapi juga karena koordinasi yang efektif kurang berjalan dengan baik meskipun sudah dibentuk suatu Forum bersama untuk menyamakan persepsi tentang pelanggaran Pemilu melalui Sentra Gakkumdu.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, telah mengatur keberadaan Sentra Gakkumdu dalam penanganan tindak pidana pada Pemilihan. Ketentuan dalam Pasal 152 ayat (1) Undang-Undang ini menyebutkan bahwa “untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk penegakkan hukum terpadu”. Demikian pula ketentuan serupa ditemukan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sentra Gakkumdu merupakan Kelompok Kerja yang terdiri dari 3 (tiga) lembaga, yaitu Lembaga Pengawas, Kepolisian, dan Kejaksaan. Ketiga lembaga tersebut nantinya akan menyatu dalam menindak-lanjuti dugaan terjadinya tindak pidana pada Pemilu serentak. Meskipun pada dasarnya ketiga lembaga tersebut memiliki fungsi dan tugas yang berbeda, yaitu Lembaga Pengawasan berfungsi untuk melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan Pemilu dan menindaklanjuti atas dugaan pelanggaran yang terjadi di dalamnya, Kepolisian berfungsi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta Kejaksaan berfungsi untuk melakukan penuntutan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukuk Acara Pidana (KUHAP).
b. Temuan Bawaslu Tidak Ditindaklanjuti KPU
Persoalan koordinasi juga ditemukan dalam penanganan pelanggaran administrasi, di mana hasil kajian Bawaslu yang diteruskan ke KPU sering kali tidak ditindaklanjuti. Ini dapat diprediksi karena KPU sebagai pemegang fungsi pelaksana Pemilu tentu memiliki beban kerja yang cukup berat, sehingga berimplikasi pada mengendapnya rekomendasi atau hasil kajian Bawaslu di KPU tanpa ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.[3]
Selain itu, pemeriksaan masalah hukum yang dilakukan oleh Bawaslu dengan KPU sebagai aktor yang berbeda, kadang berimplikasi pada keterpaduan hukum Pemilu. Peluang inkonsistensi putusan atas penyelesaian masing-masing persoalan hukum kadang tidak bisa dihindari. Misalnya, KPU memiliki pandangan lain atau berbeda pandangan tentang hasil kajian Bawaslu yang berimplikasi pada eksekusi atas masalah hukum yang dihadapi. Jadilah rekomendasi Bawaslu tanpa tindaklanjut KPU.
Secara normatif, ada keharusan bagi KPU untuk menjalankan rekomendasi Bawaslu, apalagi perintah Bawaslu yang diputuskan lewat putusan sidang Pelanggaran Administrasi Pemilu. Bahkan ada ancaman sanksi yang bisa dikenakan kepada KPU jika tidak menindaklanjuti apa yang menjadi rekomendasi atau putusan Bawaslu. Sanksi itu dapat berupa pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dan sanksi pidana Pemilu.
c. Putusan DKPP Tidak Dipertimbangkan dalam Sengketa Hasil di MK
Ketika Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan bahwa pelanggaran etika telah terjadi, kerap kali putusan itu hanya berhenti pada penyelenggara Pemilu tanpa dipertimbangkan dalam penyelesaian sengketa lainnya yang melibatkan penyelenggara Pemilu dimaksud. Misalnya putusan DKPP tentang penyelenggara Pemilu yang bermasalah tidak menjadi bagian pertimbangan dalam pemeriksaan sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi.[4]
Mahkamah Konstitusi diharapkan mengedepankan pencapaian keadilan substantif dalam memeriksa dan memutus perkara sengketa hasil Pemilu, ketimbang keadilan prosedural yang sifatnya “angka-angka” sebagaimana dalam sengketa hasil Pemilukada. Diharapkan MK tidak hanya melihat persoalan selisih perolehan suara dalam rentang 0,5 sampai 2 persen (ambang batas selisih suara) baru dapat memeriksa pokok permohonan sengketa, sebab banyak praktek kecurangan yang terjadi dan mengakibatkan selisih suara bisa lebih besar dari ambang batas suara yang sudah ditetapkan.
Ketatnya persyaratan sebuah permohonan sengketa hasil Pemilu dapat diterima oleh MK membuat para pihak yang tidak puas mencari jalan untuk melanjutkan perjuangan mereka, yaitu dengan cara mengadukan kasusnya ke DKPP. Jimly Asshiddiqie menilai, tidak selayaknya MK mengatur persyaratan yang terlalu ketat, Jika MK menutup diri, saluran sengketa itu akan beralih ke tempat lain, dalam hal ini ke DKPP jadinya.[5] Para pihak sering kali mencari-cari akar permasalahan dengan mengaitkan dengan pelanggaran etik, berupa mencari alasan-alasan, dikait-kaitkan dengan pelanggaran kode etik dan tidak profesionalnya penyelenggara Pemilu.
Penegakan hukum Pemilu memiliki karakteristik khusus, diantaranya berupa limitasi waktu penanganan yang singkat. Tim Sentra Gakkumdu harus mempergunakan waktu yang ditentukan dengan efesien. Ini dapat dipahami bahwa tahapan Pemilu tetap berjalan, tanpa terganggu atas proses penegakan hukum yang sedang dilakukan Gakkumdu.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur secara rinci proses penanganan pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, dan tindak pidana Pemilu. Pada tabel di bawah ini dapat ditunjukkan lembaga-lembaga (Bawaslu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, KPU dan DKPP) yang berwenang menangani pelanggaran pidana Pemilu, yang juga mengatur batasan waktu penanganan pelanggaran pidana Pemilu.
Melihat desain jangka waktu penegakan hukum Pemilu bagi pelanggaran pidana Pemilu di atas, dapat dikatakan aturan penyelesaian hukum yang cepat (fast track) karena jangka waktu yang diberikan untuk memprosesnya juga singkat. Bahkan untuk memastikan penanganan cepat ini berjalan sebagaimana mestinya, Bawaslu membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan dengan membuat suatu forum bersama yang disebut dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Di mana Bawaslu dapat menyampaikan hasil kajiannya secara langsung pada Kepolisian untuk diproses dan dilimpahkan langsung pada Kejaksaan untuk diperiksa di Pengadilan.
Penanganan pelanggaran Pemilu memang perlu dibatasi waktunya, mengingat pelanggaran ini terjadi dalam pelaksanaan tahapan Pemilu yang sudah terjadwal. Namun demikian, tidak semua jenis pelanggaran Pemilu perlu dibatasi waktunya. Selain karena sifat pelanggaran itu memang membutuhkan waktu lama untuk membuktikannya, juga pelanggaran itu tidak mempengaruhi pelaksanaan tahapan Pemilu.
Hal ini terutama terjadi dalam penangananan tindak pidana Pemilu. Untuk membuktikan ada-tidaknya tindak pidana perlu dilakukan penyelidikan dan penyidikan yang tidak gampang karena hukum acara pidana Pemilu membutuhkan bukti-bukti dan saksi-saksi kuat agar semua unsur tindak pidana bisa dibuktikan di Pengadilan.
Selain itu, sanksi tindak pidana biasanya jatuh ke perseorangan, sehingga tidak perlu dikhawatiran jatuhnya sanksi akan mengganggu pelaksanaan tahapan Pemilu. Misalnya, dalam tahapan pencalonan terdapat perkara pidana Pemilu yang menjerat seorang calon, maka biarkan saja Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan memproses perkara tersebut, tanpa terpengaruh oleh jadwal Pemilu. Katakanlah pelaksanaan Pemilu terus berlanjut hingga sampai tahapan penetapan hasil Pemilu, yang mana calon tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih. Baru kemudian datang putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa calon terbukti melanggar ketentuan pidana sehingga dijatuhi sanksi. Dengan dinyatakan bersalah atas perkara yang muncul pada tahapan pencalonan, maka calon bersangkutan tidak bisa dilantik. Statusnya sebagai calon terpilih otomatis gugur, dan kursinya digantikan oleh calon lain yang berhak.
d. Sanksi hukum sangat ringan
Proses penegakan hukum Pemilu yang demikian panjang dan kontrol administrasi penindakan yang ketat, kadang tidak sebanding dengan vonis Hakim di Pengadilan. Dari banyak kasus pidana Pemilu yang diputus di persidangan, mayoritas dikenai sanksi pidana percobaan. Padahal efek dan ekspektasi publik untuk pelaku dikenai sanksi tegas dan berat berujung dengan hasil vonis pidana percobaan.
Konsekwensi penjatuhan hukuman percobaan ini berangkat dari norma sanksi dalam UU Pemilu yang mengancam pelaku dengan sanksi/hukuman yang minimal. Nampak ada pertimbangan pembentuk Undang-Undang untuk tidak memberikan sanksi pidana yang berat. Proses kontestasi Pemilu bisa saja sudah berakhir, tetapi pesakitan masih mendekam di tahanan. Itu kelihatannya yang dihindari. Sehingga penjatuhan sanksi lebih mengarah kepada sanksi sosial, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah salah/melanggar hukum hingga di kenai sanksi pidana.
Proses penegakan hukum pidana Pemilu yang panjang tersebut, diharapkan memberi efek jera kepada pelaku yang harus koperatif menghadiri pemeriksaan dan persidangan. Disinilah beban moral dan sosialnya. Sebab jika tersangka atau terdakwa tidak hadir dalam pemeriksaan dan persidangan, kasus yang menjeratnya tetap bisa dilanjutkan, ini dengan dikenal dengan pengadilan in absensia.
Alternatif Solusi
Penegakan hukum dapat
dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit,
sedangkan penegakan hukum dalam arti luas (arti hukum materiel) diistilahkan dengan
penegakan keadilan. Jimly Asshiddiqie
mengartikan penegakan hukum sebagai proses dilakukan untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.[6]
Lawrence Meir Friedman[7] mengungkapkan bahwa penegakan hukum ditentukan dan dipengaruhi oleh
unsur-unsur dalam sistem hukum (elements
of legal system) yakni : Struktur hukum meliputi institusi dan aparat
penegak hukum; Substansi hukum meliputi aturan, norma dan perilaku nyata
manusia; Budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Selanjutnya
Soerjono Soekamto mengembangkan
teori tersebut dengan menyebutkan masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, yakni:
Hukumnya sendiri, Penegak hukum, Sarana dan fasilitas, Masyarakat dan Kebudayaan.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya sebagai kesatuan sistem,
oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum yang juga merupakan tolak
ukur dari pada efektivitas penegakan hukum.[8]
Mengacu pada teori
sistem penegakan hukum tersebut, menjadikan penegakan hukum Pemilu juga tidak
bisa dipisahkan dari teori itu. Artinya, mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil
butuh dukungan sumber daya pelaksana Pemilu yang profesional dan berintegritas,
regulasi Pemilu yang progresif, peran serta masyarakat dan sarana-prasarana
Pemilu yang lengkap.
Pertama, KPU SebagaiPelaksana,
Pengawas dan Penindak Pelanggaran. Secara normatif, KPU,
Bawaslu, dan DKPP, sebagai lembaga Penyelenggara Pemilu yang merupakan satu
kesatuan fungsi Pemilu.[9] KPU dan jajarannya selaku Penyelenggara
Pemilu berwenang menjatuhkan sanksi terhadap para pelaku pelanggaran
administrasi Pemilu yang disampaikan Pengawas Pemilu. DKPP berwenang
menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. MK
berwenang menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu.
Demikian pula dengan Bawaslu dan
jajarannya selaku pengawas berwenang memastikan ada-tidaknya pelanggaran Pemilu,
dan jika ternyata ada pelanggaran Pemilu merekomendasikan kepada instansi lain
yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Bersama dengan jajaran Kepolisian, Kejaksaan,
dan Lembaga Peradilan yang masing-masing berwenang menyidik, mendakwa, dan
menjatuhkan vonis pelanggaran Pemilu yang terjadi dalam setiap tahapan Pemilu. Bawaslu,
Kepolisian dan Kejaksaan tergabung dalam forum
bersama yang disebut Sentra Gakkumdu.
Berangkat dari dinamika
penegakan hukum Pemilu selama ini. Bawaslu dan jajarannya yang melaksanakan fungsi
pengawas Pemilu dengan melakukan pengkajian ada-tidaknya pelanggaran, menurut Didik Supriyanto sebetulnya
hanya menambah birokrasi dan waktu penanganan pelanggaran Pemilu. Hal ini
terjadi karena hasil kajian pengawas pemilu (Bawaslu) tidak otomatis dibenarkan
dan ditindaklanjuti oleh Kepolisian, KPU, dan DKPP. Ketiga lembaga tersebut
tetap melakukan kajian dan penyelidikan sendiri untuk memutuskan ada-tidaknya
pelanggaran atau tindak pidana Pemilu. Jika hasilnya sama dengan kajian Bawaslu,
pengkajian dua kali ini adalah inefesiensi. Sedangkan jika hasilnya tidak sama,
maka selain inefesiensi, juga menimbulkan perdebatan di antara lembaga penegak
hukum Pemilu tersebut secara terbuka, sehingga dapat mendegradasi kepercayaan
dan integritas lembaga penegak hukum Pemilu itu di mata publik.[10]
Oleh karena itu, akan lebih
baik jika fungsi lembaga pengawas pemilu yang dilaksanakan oleh Bawaslu sebagai
pengkaji ada-tidaknya pelanggaran, bisa dipikirkan untuk dihilangkan saja. Sehingga
jika terjadi pelanggaran administrasi, pelapor bisa langsung mengadu ke KPU. Jika
terjadi tindak pidana Pemilu, pelapor bisa langsung mengadu ke kepolisian.
Serta jika terjadi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, pelapor bisa
langsung mengadu ke DKPP.
Senada dengan hal itu, Topo Santoso mengusulkan agar peran
pengawasan dan penindakan yang dilaksanakan oleh Bawaslu dimasukkan dalam
fungsi KPU, sehingga KPU memegang fungsi pelaksana, fungsi mengawasi dan
menindak pelanggaran. Model kelembagaan ini seperti yang dipraktekkan di KPU
Thailand, agar tidak ada lagi gontok-gontokan antara KPU dan Bawaslu serta
diharapkan pengawasan bisa efektif dan tidak berbenturan dengan penyelenggara
Pemilu yang lain.[11]
Konsep ini tidak hanya
memotong birokrasi penanganan pelanggaran dan tindak pidana Pemilu, tetapi bisa
meningkatkan efesiensi penggunaan dana Pemilu, serta bisa menghindari
terjadinya degradasi reputasi penyelenggara Pemilu akibat perdebatan
ada-tidaknya pelanggaran di antara mereka. Lebih dari itu, jika pelaporan
pelanggaran bisa langsung ditangani KPU, kepolisian, dan DKPP, maka hal ini
bisa merangsang meningkatkan partisipasi masyarakat, pemilih, calon dan partai
politik dalam menegakkan hukum Pemilu. Sebab selama ini, terdapat stigma bahwa mereka
merasa tidak perlu terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukum Pemilu, karena
sudah ada Bawaslu dan jajarannya yang menangani pengawasan itu.
Kedua, Penguatan Fungsi Pengawasan Bawaslu. Ditelisik
secara historis, masalah pokok Bawaslu adalah pada fungsinya yang terbatas dan
sempat diwacanakan untuk dibubarkan karena hanya menjadi “lembaga pelengkap” Pemilu
yang ketika Ia ada hanya membebani keuangan negara/daerah, dan ketika Ia tidak
ada maka Pemilu tetap dapat berjalan. Sejak Pemilu 1982 hingga Pemilu 2014,
fungsi Bawaslu tidak banyak berubah, yakni: (1) mengawasi tahapan pelaksanaan
pemilu; (2) menerima laporan pelanggaran; (3) meneruskan laporan pelanggaran ke
instansi berwenang, dalam hal ini ke Penyelenggara Pemilu bila terjadi
pelanggaran administrasi, dan ke kepolisian bila terjadi tindak pidana pemilu;
serta (4) menyelesaikan sengketa dalam penyelenggaraan pemilu.
Sekaitan dengan fungsi Bawaslu
itu, Didik Supriyanto, dkk menyebutkan fungsi pertama tidak
ubah fungsi pemantauan sebagaimana dijalankan lembaga pemantau Pemilu, karena
di sini lembaga pengawas pemilu hanya mengeluarkan pernyataan tentang ada
tidaknya masalah dalam pelaksanaan tahapan Pemilu. Fungsi kedua dan ketiga,
memposisikan lembaga pengawas
Pemilu sebagai petugas kantor pos, karena hanya mengantarkan hasil kajian
tentang adanya pelanggaran ke KPU atau Kepolisian. Sedang fungsi keempat,
disayangkan keputusan lembaga pengawas tidak mempunyai kekuatan mengikat. [12]
Jika penyederhanaan aktor penegakan
hukum Pemilu berupa fungsi Bawaslu sebagai pengawas dilaksanakan KPU belum
dapat terwujud sebagaimana diuraikan pada bagian pertama diatas. Maka patut
dipikirkan adalah penguatan fungsi pengawasan yang dimiliki Bawaslu, agar
putusannya memiliki daya eksekusi dengan sifat final dan mengikat tanpa harus
dilimpahkan lagi ke lembaga lain, kecuali sengketa Tata Usaha Negara (TUN)
yakni penetapan partai politik, calon
tetap Presiden dan Wakil Presiden dan calon tetap anggota legislatif.
Secara teknis, proses yang semula dilaksanakan dan menjadi kewenangan PTUN
untuk sengketa TUN, dan Kepolisian yang menyangkut pelanggaran tindak pidana Pemilu
kemudian dialihkan dan menjadi kewenangan Bawaslu untuk memutusnya, dan
keputusan Bawaslu itu bersifat final dan mengikat.
Pengecualian sengketa TUN yang
masih bisa diajukan ke Pengadilan Tinggi TUN, itu sebatas sengketa yang
disebabkan oleh keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik peserta pemilu,
daftar calon tetap Presiden dan Wakil Presiden, dan calon tetap anggota
Legislatif. Artinya, di luar kasus sengketa yang disebabkan oleh tiga keputusan
KPU tersebut, keputusan Bawaslu dan jajarannya dalam menyelesaikan sengketa
bersifat final dan mengikat, yakni terkait dengan pelanggaran administrasi dan
tindak pidana Pemilu, serta sengketa administrasi.
Secara teknis, untuk ketiga
jenis sengketa itu semua terlebih dahulu harus melalui penyelesaian oleh
Bawaslu, dengan mengeluarkan keputusan penyelesaian sengketa TUN. Namun, jika
tidak dapat diselesaikan oleh Bawaslu berupa KPU tidak mau melaksanakan
keputusan Bawaslu tersebut. Maka KPU harus melakukan upaya hukum dalam
menolaknya, tidak bisa secara sepihak dengan tidak melaksanakan saja. Upaya
hukum itu dilakukan dan diselesaikan melalui jalur Pengadilan Tinggi TUN.
Demikian pula dalam pelanggaran
tindak pidana Pemilu, yang selama ini diselesaikan dalam Sentra Gakkumdu (forum
bersama Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan) kemudian dilimpahkan ke Pengadilan.
Kaitannya dengan penguatan fungsi Bawaslu sebagai ius constituendum, maka perlu dipikirkan pengalihan kewenangan lembaga
tersebut, dengan penguatan fungsi pengawasan Bawaslu yang dilengkapi dengan
fungsi kehakiman. Berupa putusan Bawaslu bersifat eksekutorial dalam pelanggaran tindak pidana Pemilu tadi. Bawaslu berwenang
dalam menerima, memeriksa dan memutus pelanggaran tindak pidana Pemilu, dan
putusannya bersifat final dan mengikat.
Adapun tindak pidana yang sifatnya
kejahatan dalam penyelenggaraan Pemilu, tetapi menjadi kewenangan Kepolisian
untuk melakukan penyidikan dan dilakukan menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Termasuk, kewenangan Kejaksaan
melakukan penuntutan dan Pengadilan lewat Hakim menjatuhkan
vonis.
Kewenangan Bawaslu dalam
penegakan hukum Pemilu, secara khusus (lex
spesialis) menyelesaikan sengketa pelanggaran pidana Pemilu sebelum
penetapan hasil hendaknya mengerucut pada perubahan legsilasi yang mengatur
seputar Pemilu dan lembaganya. Disadari upaya itu tidaklah mudah, butuh kajian mendalam dan upaya politik yang kuat mewujudkannya.
Penutup
Sebagai negara hukum yang
penyelenggaraan kekuasaan Pemerintahan didasarkan atas hukum yang mewujud dalam
bentuk peraturan tertulis (Undang-Undang). Tentu desain
kelembagaan penegak hukum Pemilu ke depan merupakan produk
legislasi yang sudah melalui proses pembahasan bersama DPR dan Pemerintah
dengan pelibatan masyarakat. Politik hukum legislasi itu ideal berangkat dari
konsepsi penataan sistem demokrasi dan pemerintahan untuk menghadirkan pemimpin
yang berkualitas dan berintegritas.
Upaya penegakan hukum yang independen, transparan dan bermartabat menjadi harapan dan dambaan masyarakat. Untuk itu, menjadi tanggung jawab bersama mewujudkan harapan masyarakat dengan bekerja secara professional dan berintegritas tinggi dalam penindakan pelanggaran Pemilu.
Catatan Kaki
[1] Syamsudin
Haris (Editor), 2016, Pemilu Nasional
Serentak 2019, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 145.
[2] Luky
Sandra Amalia, dkk, 2016, Evaluasi Pemilu
Legislatif 2014; Analisis, Proses dan Hasil, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.
116.
[3] Ibid, hlm. 116.
[4] Ibid, hlm. 117.
[5] Jimly Asshiddiqie, 2017, MK Diminta Beri Keadilan Substantif, Kompas 18 Maret 2017.
[6] Jimly
Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Sumber:
www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf,
diakses 14 Mei 2017.
[7] Lawrence Friedmann dalam
Achamd Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di
Indonesia; Penyebab dan Solusi, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 1.
[8] Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 5.
[9]Lusy Liany, 2016, Desain Hubungan Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum, Jurnal Cita Hukum, Vol.4 No.1, Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Jakarta, hlm. hlm. 54.
[10]Didik Supriyanto,
2014, Sistem Penegakan Hukum Pemilu, Perludem,
Jakarta, hlm. 6.
[11]Topo Santoso dalam Luky Sandra Amalia, dkk, 2016, Op Cit, hlm. 121.
[12]Didik Supriyanto, Veri Junaidi, Devi Darmawan, 2012, Penguatan Bawaslu; Optimalisasi Posisi, Organisasi, dan Fungsi dalam Pemilu 2014, Perludem, Jakarta, hlm. 54-55.
File PDF, dapat didownload di bawah ini :
[sdm_download id=”725″ fancy=”0″]
[sdm_download_counter id=”725″]