Pembentukan Peraturan yang Responsif
PEMBENTUKAN PERATURAN YANG RESPONSIF
Oleh: Ruslan Husen, SH, MH.
Sistem Pemilu merupakan instrumen untuk penegakkan hukum dan menjamin penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Sistem Pemilu dikembangkan untuk mencegah dan mengidentifikasi pelanggaran Pemilu, sekaligus sebagai sarana dan mekanisme menindak pelanggaran tersebut. Pada prinsipnya, sistem Pemilu ingin menempatkan suara rakyat sebagai pemilik kedaulatan harus dijaga dan dikawal hinggal lahir pemimpin pilihan rakyat.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Janedril M. Gaffar menganggap sistem Pemilu yang dipilih adalah sistem Pemilu yang paling mampu mengekspresikan dan melembagakan kehendak rakyat, baik dari sisi pemimpin yang dipilih maupun dari sisi kebijakan dan tindakan yang akan dilakukan oleh pemimpin tersebut. Sehingga, Pemilu harus mampu membangun dan menjalin ikatan tidak terputuskan antara rakyat dan para wakilnya yang duduk sebagai pemimpin.[1]
Merujuk pada teori sistem yang diungkapkan Lawrence Meir Friedman, bahwa sistem merupakan satu-kesatuan yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terpaut (elements of legal system), mendukung dan berkolaborasi dalam pencapaian tujuan sistem. Jika salah satu bagian komponen sistem terhalangi tidak bekerja maksimal, akan mengganggu produktifitas sistem secara keseluruhan. Sistem terdiri dari, struktur pelaksana, ketersediaan substansi regulasi, kultur masyarakat yang mendukung,[2] dan ketersediaan fasilitas pendukung yang memadai.[3] Dengan demikian, sistem Pemilu yang konstitusional dan demokratis sangat terkait dengan ketersediaan komponen-komponen, Penyelenggara Negara dan Penyelenggara Pemilu yang berintegritas, ketersediaan regulasi yang responsif, partisipasi masyarakat secara aktif, dan tersedia sarana dan prasarana pendukung pelaksana Pemilu.
Sistem Pemilu yang ideal, berangkat dari desain regulasi Pemilu, baik dalam bentuk Undang-Undang Pemilu, Peraturan teknis Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP). Ketersediaan regulasi utama dalam Undang-Undang Pemilu akan menjadi arah dan patron Penyelenggara Pemilu bekerja, bagaimana peran serta masyarakat secara partisipatif, sampai pada penyediaan alokasi anggaran untuk memenuhi sarana dan prasaran teknis Pemilu. Semua itu bisa dipenuhi dan dilaksanakan jika didukung oleh ketersediaan regulasi Pemilu yang responsif.
Peraturan yang Aplikatif
Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) disusun sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Perbawaslu dapat memuat teknis pelaksanaan pengawasan tahapan Pemilu, maupun yang terkait dengan teknis manajemen kelembagaan. Sebagai lembaga Penyelenggara Pemilu yang kewenangannya selalu berubah di setiap Pemilu, menjadikan Bawaslu harus cepat melakukan penataan kelembagaan dan penguatan kapasitas jajaran Pengawas Pemilu.
KPU telah menyusun peraturan yang berbasis pada tahapan Pemilu. Menguatkan peraturan yang dibuat, KPU kadang menguatkan dengan menetapkan Keputusan dan Surat Edaran. Respon serupa dari Bawaslu mutlak diperlukan dalam menyiapkan Perbawaslu untuk mengawasi tahapan Pemilu. Oleh karena itu, pembentukan Perbawaslu tidak berbasis rigid sesuai aturan tahapan yang dirumuskan dalam PKPU. Pembentukan Perbawaslu beranjak dari menyiapkan instrumen teknis dalam pengawasan tahapan Pemilu, dan pengawasan non tahapan Pemilu, serta regulasi teknis untuk mendukung Bawaslu melaksanakan tugas dan kewenangan, misalnya ketersediaan regulasi manajemen organisasi dan pengelolaan keuangan.
Sering kali ditemui peraturan dibentuk sebagai tindaklanjut peraturan yang lebih tinggi, misalnya dalam Peraturan Daerah, tidak aplikatif diterapkan oleh Organisasi Perangkat Daerah. Bisa jadi norma yang dirumuskan kabur dan multitafsir, ketidaktegasan menunjuk Perangkat Daerah yang melaksanakan, atau tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan Daerah, hingga Perda hanya menjadi dokumen pajangan saja, tidak bisa dilaksanakan.
Tentu, Perbawaslu yang dibentuk jangan sampai mengalami nasib serupa dengan Perda dimaksud. Perbawaslu harus aplikatif, dibentuk untuk menunjang pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban Pengawas Pemilu. Dibentuk responsive sesuai kebutuhan dan desain kelembagaan menegakkan keadilan Pemilu, dengan peran serta masyarakat secara kolaboratif.
Tahapan Pembentukan
Kekuatan hukum masing-masing peraturan perundang-undangan sangat ditentukan berdasarkan tingkatan hierarki. Bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pembentukan produk hukum harus mengacu ke Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang selanjutnya dijabarkan lebih lanjut ke dalam peraturan pelaksana.
Dalam pembentukan Perbawaslu, mengacu pada Peratuan Bawaslu Nomor 3 tahun 2017 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Bawaslu. Perbawaslu ini menjadi pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan di lingkungan Bawaslu. Tentu pembentukan dan norma di dalam Perbawaslu ini telah mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam UU 12 tahun 2011.
Dalam Perbawaslu ini, proses pembentukan Perbawaslu mencakup, Pertama, Tahap Perencanaan. Perbawaslu disusun sesuai dengan kebutuhan hukum baru dan tantangan lembaga, dalam pelaksanaan tahapan Pemilu. Pemilu serentak dilaksanakan berdasar UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu. UU ini dijabarkan lagi ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih teknis, untuk memberikan pedoman agar lebih aplikatif dan teknis dilaksanakan.
Perencanaan Perbawaslu dituangkan dalam program penyusunan Perbawaslu pada masing-masing tahun anggaran berjalan, yang memuat judul, pemrakarsa, urgensi, keterangan yang berisi pihak terkait dan penerima manfaat Perbawaslu. Hal ini penting mengingat pembentukan Perbawaslu berada dalam satu kesatuan atau terintegrasi dalam sistem hukum nasional. Keseluruhan materi yang diatur dalam perencanaan pembentukan regulasi, menurut Ahmad Yani harus melalui proses pengkajian dan penyelarasan untuk mengetahui keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya secara vertikal dan horizontal sehingga mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.[4]
Di tengah kesibukan pelaksanaan tahapan Pemilu, KPU dan Bawaslu juga berpacu melahirkan peraturan lembaga yang lebih teknis sebagai penjabaran dari UU Pemilu. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Penyelenggara Pemilu, di samping melaksanakan tahapan Pemilu, dengan cepat juga harus menyiapkan regulasi teknis. Setelah itu, harus diikuti dengan sosialisasi secara massif kepada stakeholders Pemilu.
Adanya ketidakpuasan atas kinerja Penyelenggara Pemilu, dan banyaknya pelanggaran yang ditindak oleh jajaran Bawaslu, diantara penyebab adalah sosialisasi regulasi teknis pelaksanaan Pemilu yang belum dipahami dengan baik oleh stakeholders Pemilu, terutama Peserta Pemilu. Setelah penetapan regulasi, Penyelenggara Pemilu harus segara melibatkan Peserta Pemilu untuk memahami dan melaksanakan regulasi Pemilu dengan cepat. Agar dimaklumi, pencegahan pelanggaran dalam bentuk sosialisasi telah dilaksanakan, sebagai langkah awal sebelum penindakan pelanggaran Pemilu.
Kedua, Tahap Penyusunan, Penetapan, dan Pengundangan. Penyusunan Perbawaslu didahului dengan dokumen pendukung yang merasionalkan urgensi Perbawaslu dimaksud, yakni “Naskah Kajian Rancangan Perbawaslu”. Dalam pembentukan Perda, mengharuskan Naskah Akademik Rancangan Perda, demikian pula dalam pembentukan Perbawaslu, juga menekankan ketersediaan Naskah Kajian. Walaupun pada naskah kajian, uraian substansi lebih singkat dan padat, yakni memuat : bagian pendahuluan, urgensi dan tujuan penyusunan, sasaran, pokok pikiran atau objek yang akan diatur, dan jangkauan serta arah pengaturan.
Setelah tersedia draf Naskah Kajian beserta lampirannya, yakni draf Perbawaslu siap dibahas. Sesuai dengan kesepakatan Penyelenggara Pemilu dengan DPR RI maka draf Perbawaslu yang telah siap tadi, selanjutnya diserahkan ke Pimpinan DPR untuk dikonsultasikan. Forum konsultasi diadakan untuk mendengarkan masukan-masukan dari DPR, sebagai lembaga pembentuk UU dan mitra Penyelenggara Pemilu. Namun kadang-kala, forum konsultasi DPR digunakan untuk mengkompromikan keinginan-keinginan pragmatis anggota DPR agar masuk dalam norma. Memang tidak ada keharusan KPU dan Bawaslu mengikuti keinginan pragmatis itu, lebih pada beban moril dan beban spekulatif. Intinya, Penyelenggara Pemilu mengikuti forum konsultasi, jika ada masukan sesuai dengan Undang-Undang dan mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang, tentu harus diakomodir. Tetapi, ketika masukan-masukan menjadi beban, apalagi berpotensi membuat citra lembaga tidak independen, maka masukan-masukan pragmatis tadi harus di tolak atau diabaikan. Kembali kepada khittah, eksistensi melaksanakan amanat UUD dan UU Pemilu secara jujur dan adil.
Ketiga, Tahap Autentifikasi dan Penyebarluasan. Ini lebih pada tahap harmonisasi norma dalam peraturan yang dibentuk. Memeriksa kembali norma-norma dalam Bab, Pasal dan ayat. Jangan sampai terdapat norma-ketentuan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, peraturan yang tidak sinkron dengan Perbawaslu dan PKPU lainnya. Disini letak pentingnya autentifikasi atau harmonisasi norma, biasanya ini dilakukan oleh mereka yang sudah memiliki sertifikat dan keahlian sebagai Perancang Peraturan Perundang-Undangan.
Setelah norma di dalam Perbawaslu siap, lalu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM. Ketentuan pengundangan, menegaskan peraturan yang telah diundangkan dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat sejak tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain.
Selanjutnya naskah salinan yang telah diundangkan tadi, disebarluaskan oleh Kesekretariatan Bawaslu RI untuk diketahui publik dan dilaksanakan. Hingga pihak yang membutuhkan dokumen Perbawaslu dapat mengunduh dalam laman website Bawaslu.
Peran Serta Masyarakat
Masyarakat dapat memberikan masukan baik lisan dan tertulis dalam setiap tahapan pembentukan Perbawaslu. Selain menerima masukan masyarakat, Bawaslu dapat menyelenggarakan kegiatan berupa disiminasi, uji publik, seminar, dan sosialisasi untuk menjaring masukan masyarakat dalam setiap tahapan pembentukan Perbawaslu. Masukan-masukan tersebut dapat diperoleh ketika ada partisipasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat merupakan prasyarat dari terealisasinya pemerintahan yang demokratis. Tanpa partisipasi, niscaya demokrasi dalam sistem pemerintahan negara tidak akan terwujud. Partispasi masyarakat dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menurut Amir Santoso merupakan wujud penyelenggaraan pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip good governance (pemerintahan yang baik), diantaranya: keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, dan transparansi[5].
Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat adalah masyarakat itu sendiri, yang perlu dibangun adalah kesadaran berpartisipasi dan dukungan terhadap aktivitas partisipasi melalui pendidikan politik. Tetapi, hal itu tidaklah cukup, partisipasi masyarakat lebih dibutuhkan dalam memberi masukan pada proses pembentukan suatu Perbawaslu. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat sebagai Pemilih juga perlu dipertimbangkan, hingga Perbawaslu secara sosiologis memiliki daya berlaku di tengah masyarakat.
Perbawaslu akan memiliki nilai tambah “legitimasi” rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Artinya masyarakat akan semakin siap menerima dan melaksanakan gagasan dalam proses penerapan hukum untuk mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. Termasuk, hubungan antara masyarakat dengan struktur kelembagaan Bawaslu akan semakin baik, hingga muncul kepercayaan dan partisipasi publik mencegah setiap potensi pelanggaran dan memberikan informasi/laporan kepada jajaran Bawaslu untuk ditindaklanjuti.
Catatan Kaki
[1] Janedril M. Gaffar, 2013, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 38
[2] Lawrence Friedmann dalam Achamd Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia; Penyebab dan Solusi, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 1.
[3] Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 5.
[4] Ahmad Yani, 2013, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Responsif, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 29.
[5] Amir Santoso, 1997, Demokrasi dan DPR: Agenda Masa Depan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 87.