ASN, antara Netralitas dan Politik “Balas Budi”
Oleh : DEBY ANASTASYA, SH
(Koordinator Divisi Hukum dan Pengawasan PIM)
Pemilihan Kepala Daerah atau PILKADA yang merupakan Pesta demokrasi terbesar tahun ini sudah di depan mata, berbagai rangkaian kegiatan dan tahapan sudah dilaksanakan seperti penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) hingga penetapan Calon kepala daerah yang akan diumumkan pada 23 September 2020 oleh KPU. Selain itu, tahapan kampanye akan dimulai pada 26 September 2020 sampai dengan 5 Desember 2020 atau selama 71 hari yang mana KPU membagi masa kampanye pada pilkada tahun ini menjadi 3 fase.
Setiap tahapan Pemilihan terdapat beberapa kerawanan yang berpotensi mengganggu kelancaran tahapan Pemilihan. Salah satu sumber kerawanan Pemilihan adalah netralitas ASN. Meskipun ada banyak aturan yang melarang keberpihakan ASN dalam Pemilihan seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020 yang ditandatangai oleh Kemenpan RB, Kemendagri, BKN, Bawaslu, dan KASN pada Kamis 10/9/2020 yang mengatur secara detail mengenai pengawasan Netralitas ASN, nyatanya masih banyak oknum ASN yang melanggar netralitasnya.
Provinsi Sulawesi Tengah sendiri berdasarkan data Penanganan Pelanggaran ASN pada Pemilihan 2020 oleh Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah terdapat 53 kasus yang direkomendasikan ke KASN dari 57 kasus teregistrasi, sedangkan 4 kasus lainnya dinyatakan tidak memenuhi unsur pelanggaran. Angka ini menunjukan jumlah pelanggaran Netralitas ASN di Sulawesi Tengah terbilang Tinggi. Hal ini tentu merupakan ceriminan perilaku buruk pejabat pemerintahan kita.
Kerawanan netralitas ASN ini makin terlihat jelas dan meningkat saat incumbent berlaga pada kontestasi Pemilihan. Ada beberapa alasan oknum ASN menjadi “tidak netral” dalam hal ini, seperti loyalitas terhadap atasan dan juga “balas budi” atas jasa yang diberikan oleh incumbent tersebut. Menyoroti politik “balas budi” dalam hal ini, tentu erat kaitannya dengan Nepotisme dan jual-beli jabatan pada masa kepemimpinan incumbent di era sebelumnya. Saat oknum ASN sudah merasakan nikmatnya jabatan yang diberikan, maka secara otomatis ia akan mendukung incumbent tersebut tanpa memandang kualitas kepemimpinannya secara profesional apalagi program futuristik yang ditawarkan bahkan tanpa menghayati lebih jauh netralitasnya sebagai seorang abdi negara.
Bahkan ada beberapa oknum ASN yang paham akan aturan netralitasnya bukannya menerapkan aturan itu malah mencari celah untuk “mengelabui” aturan tersebut. Salah satunya dengan mengerahkan dukungan secara tidak langsung tapi melalui pihak ketiga seperti suami/istri non ASN, bahkan bawahan yang berstatus non ASN atau honorer. Hal ini kemudian menjadi PR bagi lembaga pengawasan pemilu untuk mampu menjangkau hal-hal yang lebih jauh seperti itu untuk menjaga kualitas tahapan Pemilihan.
Muncul pertanyaan getir nan menggelitik. Saat budaya Nepotisme, jual beli jabatan masih mendarah daging pada tiap pribadi pemegang jabatan yang kemudian tetap lekat dalam tahapan pemilihan sebagai sarana demokrasi maka kualitas kepemimpinan seperti apa yang kita harapkan dari para pejabat negara yang terpilih?
Sumber Gambar Unggulan: https://www.rakyatcirebon.id/