Nigitama dan Pak Penghukum (Ketika

450 Views

Tuhan yang lebih tahu …

Sedang mana yang berlari mencari benar diri

Dan sedang mana yang tutup diri dengan banyak hiasi

(Sajak Tempa Tanpa Diri, Nigitama)

Siapa Nigitama?

   Ada yang sampaikan ia raja kata. Ada pula beberapa yang menyatakannya wali puisi. Ada yang menganggapnya pujangga intuisi. Tak lupa beberapa yang mencitrakannya filosof sejati hingga guru kehidupan yang mumpuni. Jikalau kau bertanya definisi, ia akan mengeluarkan seribu satu arti, baik yang masuk di akalmu, maupun yang meresap di qalbu. Semua layak berarti bagimu. Ada yang menjulukinya sang ahli hikmah yang muncul di dunia yang merana lagi meng-anti-kan arti.

  Banyak yang datang kepadanya untuk mengadu, atau lebih tepatnya ia yang mendatangi si pengadu. Sebab, tempat tinggal Nigitama takkan kau tahu. Ia seorang pengembara yang datang di tengah-tengah hutan belantara, ataupun duduk-duduk dibangku taman kota. Ia sering terlihat di suatu desa, namun secara kasat mata nampak di desa lainnya. Ia datang di sebuah kota seolah hidup disana, tidak tahunya ia hilang seperti tak pernah ada di tempat itu sebelumnya. Ia mendatangi dan didatangi siapa saja: tua-muda, budak-raja, pemarah-penyabar, jiwa yang abstrak-jiwa yang nyata.

  Jawaban dari aduan tiap orang dijawabnya santun. Kadang dengan sajak tanpa nama, namun mengena. Kadang dengan panjang teorinya, mengena pula. Mengena dalam artian senyum puas sang pengadu setelah aduannya dijawab Nigitama. Atau tangis keharuan maupun penyesalan.    

 

***

  Suatu ketika, Nigitama berjumpa dengan Pak Penghukum. Pak Penghukum sedang menangis. Pak Penghukum merupakan salah satu guru kehidupan yang paling peka qalbunya dan tegar. Jadi terheranlah Nigitama ketika mendapatinya sedang menangis. Pak Penghukum sedang duduk di bangku suatu taman kota. Ia memilih bersunyi ditengah ramai dengan pelupuk mata basah. Nigitama mencoba mendekati. Nigitama ikut duduk. Pak Penghukum menengok pada siapa disampingnya, yang ia sadari adalah Nigitama.

  Tanpa diminta, Pak Penghukum membuka kata,

  “Nigitama? Oh, kaukah itu?” tangis Pak Penghukum berhenti. Tapi masih tersisa isak. Senyumnya muncul dan mengembang. Sambil mengusap air matanya, ia melanjutan, “Nigitama, bolehkah aku meminta nasehatmu?”

  Nigitama yang sejak tadi menatap Pak Penghukum dengan senyum membalas sapa itu, “Aku bukanlah siapa-siapa duhai pengadil dibanding dirimu. Kau membijaki kehidupan, sedang aku seorang pengembara mencari kehidupan. Namun barangkali tiap orang diberikan kelebihan atas orang lain, disitulah letak keadilan Tuhan. Dan kelebihanku hanyalah datang pada waktu seorang butuh teman untuk berbagi kegundahan. Jikalau berbagi adalah menenangkan, dan aku bisa membantu dengan mendengarkan, maka silahkan sampaikan apa yang menjadi kegundahan?”

  Sang penanya tersenang sebab tertanggapi dengan baik. Ia lalu memulai cerita.

  “Nigitama, aku seorang penghukum. Aku menghukum siapa saja atas nama keadilan. Aku menghancurkan apapun yang menghalangi jalan keadilan. Tapi aku merasa ada yang rancu dengan keadilan, yang aku dan orang-orang sepertiku berusaha dengan sekuat tenaga untuk tegak.” Pak Penghukum menggelengkan kepala dengan muka sayu. Dia melanjutkan dengan memegang kepalanya, “Tapi ku tidak tahu Nigitama, apa yang rancu. Apa yang salah dari menegakkan adil itu. Dari hati kecilku, terasa ada yang rancu, ada yang salah.”

  “Mohon kiranya engkau berucap Nigitama.”

  Nigitama masih tersenyum, sambil mendengarkan sejak tadi. Ia kemudian mulai menanggapi,

  “Tuan, apa yang lebih tinggi dari keadilan?” tanya Nigitama.

  “Setahuku keadilan adalah segalanya.”

  “Nah, demikianlah rata-rata para penanggung jawab seperti Anda. Mereka terhanyut dengan tugasnya dan lupa hal kecil dan hal dasar. Mereka mampu menjabarkan mengapa ikan berenang dengan segala teori dan ilmu pengetahuan mereka. Mereka mampu menjabarkan mengapa air laut asin, air sungai tawar dengan retorika ilmiahnya. Tapi mereka tidak bisa menjawab hal dasarnya.”

  “Nigitama, jika keadilan bukanlah segalanya, lalu apa yang lebih tinggi dari keadilan Nigitama?” Tanya Pak Penghukum sangat penasaran.

  “Bukan masalah tinggi-rendah sebenarnya tuan. Tapi coba perhatikan biar hanya kali ini saja. kira-kira, jika dalam ‘keadilan’ yang tercipta, hanya ada ‘kebohongan’, apa itu masih perlu ‘ditegakkan’ atau hanya yang dianggap ‘penting’ saja yang ‘ditegakkan’?”

  Pak penghukum berpikir. Dia memilah-milih jawaban yang berseliwiran di benaknya.

  “Tentu tidak Nigitama, tentu tidak. Bagaimana mungkin keadilan tegak di atas kebohongan?”

  “Jadi, apa lawan kebohongan, itulah keadilan.”

  Sang Penghukum bingung. Ia mengerutkan kening. Entah sebab bingung ia kembali menampakkan kesedihan, atau sebab sedih makin bertambah kebingungannya.

  “Nigitama, terus terang, aku ingin mundur dari jatidiriku sebagai penghukum. Sebab aku merasa ada yang kurang dari prinsip adilku. Aku ingin mundur, aku tidak ingin menjadi ‘orang lain’ yang menikmati duduk tenang di tempat yang tidak layak untuknya. Aku ingin menjadi diriku sendiri yang memegang prinsipku.

  “Maka, yang tersisa dariku kini adalah pergolakan batin yang membuatku terus bersedih. Aku ingin memegang prinsipku, namun kurasa dan terus kurasa ada yang kurang. Aku tidak ingin mundur sebagai penghukum, namun terasa dan sangat terasa aku semakin tidak pantas.”

  “Oh, Nigitama, tolong jangan bebankan lagi sesuatu seperti pertanyaanmu itu. itu semakin membingungkan kesedihanku, dan menyedihkan bagi kebingunganku. Aku hanya perlu nasehat pelipur.”

  Nigitama masih dengan senyum menanggapinya. “Aku, Anda tuan, dan semua manusia memiliki masalah di hatinya. Hingga hanyut tenggelam terbawa perasaannya. Kita memiliki masalah di kepala kita. Hingga terus memikir dan berakhir terdampar dalam logika dan rasionalitas yang tersisa.“

  “Nasehat saya sederhana tuan. Tuhan menganugerahkan hati dan akal berarti keduanya alat yang dapat digunakan. Yang menciptakan adalah Tuhan berarti keduanya serba kekurangan dan punya kelebihan masing-masing. Berpikirlah dengan menggunakan perasaan karena-Nya.

  “Renungkanlah tuan, hikmah penciptaan: semua dari-Nya, lalu kembali pada-Nya. Itulah kebenaran. Dan disitulah keadilan.”

  Sedih Pak Penghukum berubah menjadi keterpakuaan. Dia seolah tak bisa bergerak akan nasehat itu. Isaknya berhenti. Bahkan angin sekitar taman ikut berhenti, kicau burung terhenti.

  Tak disadari Pak Penghukum, Nigitama pamit meninggalkannya. Tapi entah apa yang menamparnya, atau entah apa yang menyalakan lampu di kepalanya. Ia tiba-tiba bangkit berdiri dari duduknya, dan berteriak!

 “Akhirnya Nigitama, benar. Engkau benar. Engkau membenarkan apa ‘kebenarannya’. Betul sekali, itulah kerancuannya ‘adil yang bohong’. Aku sendiri tidak tahu apa ‘adilku’ yang selalu kutegakkan itu bohong atau benar. Dan disitulah makna kesedihanku, makna gundahku.”

  “Engkau betul Nigitama, terima kasih.” Ia ingin menjabat tangan Nigitama dengan semangat. Tapi sosok disampingnya sudah berlalu sejak tadi.

  Pak Penghukum menoleh kanan-kiri, berbalik badan kesana-kemari, namun yang di dapatinya hanya taman kota dan hiruk-pikuknya tanpa tersisa sedikitpun tanda Nigitama yang berlalu.

 Seorang penjaga taman kota sedang memotong-motong rumput sedari tadi. Pak Penghukum melangkah mendekatinya.

  “Permisi, apakah Anda melihat kemana perginya orang yang bersamaku tadi, dia adalah Nigitama, seorang yang cukup dikenal.” Tanya Pak Penghukum pada sang penjaga.

  Penjaga kebun itu tersenyum dan hampir tertawa.

  “Sama sekali tidak tuan. Yang ada adalah tidak ada siapa-siapa yang bersama Anda sejak tadi. Anda datang dengan kesedihan, duduk sendirian disitu, dan terus terisak hingga Anda ketiduran. Kemudian bangkit berdiri dan berteriak.”

  “Sepertinya mimpi Anda cukup indah, Anda berteriak sambil tersenyum tadi.” Jawab sang penjaga sambil tertawa.

  Pak Penghukum mengerutkan dahinya. Sambil memperhatikan tempat duduknya tadi yang tidak jauh darinya.

  “Aneh. Kalau memang seperti itu, sejak kapan Anda membereskan rumput ini?”

  “Sejak sebelum Anda datang dan duduk ditaman ini.”

  “Tapi seingat saya tadi tidak ada seorangpun selain saya dan Nigitama.”

  “Begini saja tuan, saya sedang sibuk bekerja, ini tumpukan potongan rumput yang banyak, tidak mungkin saya mengerjakannya baru saja. biar mudah Anda pahamai tuan, anggap saja jika tadi Anda tidak bermimpi, berarti tadinya nyata dan sekarang Anda tepatnya sedang bermimpi.” Penjaga itu melanjutkan tugasnya memotong rumput itu sambil tertawa, tanpa peduli lagi dengan Pak Penghukum yang masih berdiri.

  Pak penghukum tersenyum lalu ikut tertawa. Paling tidak jawabannya bukan hanya mimpi, batinya dalam hati.

***

Siapa Nigitama?

  Ada yang sampaikan ia manusia, ada yang katakan dia utusan Tuhan. Tapi dia sendiri berkata dia bukan siapa-siapa. Banyak yang menyampai pernah bertemu dengannya. Tapi mereka tak bisa menjelaskan dan menegaskan, pertemuan itu mimpi atau nyata…

  *) Nigitama adalah tokoh fiksi karangan Cecep Syamsul Hadi dalam sebuah Apresiaisi puisi pada majalah sastra Horison. Penulis (cerpen ini) “hanya” meminjam nama dan sifat bijaknya, seluruh bentuk dan isi cerita dari Penulis.

 

 

Teluk Terceruk, 30-12-2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.