Jika diamati secara seksama judul tulisan ini merupakan harapan dan cita-cita, bukan hanya Penyelenggara Pemilu, Pemerintah dan masyarakat saja yang mengharapkan, peserta Pemilu juga sangat mendambakan kondisi Pemilu damai ini. Walaupun ada pandangan pesimis, Pemilu damai susah diwujudkan. Pelanggaran dan kekerasan dalam Pemilu masih silih-berganti terjadi, menjadi benalu dan racun demokrasi.
Ketika kampanye Pemilu telah di mulai, peserta Pemilu seakan tidak kenal lelah menggunakan berbagai potensi dan kesempatan untuk memperkenalkan visi, misi, program dan/atau citra dirinya kepada masyarakat. Agar Pemilih tergerak menggunakan hak politiknya, memilih peserta Pemilu yang bersangkutan di hari pemungutan suara nanti.
Namun, kita dibuat prihatin akibat perilaku oknum-oknum dari berbagai kalangan yang tega menciderai prinsip demokrasi dengan melakukan pelanggaran. Bahkan pelanggaran ada yang terindikasi dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Semua hal menjadi dihalalkan/diperbolehkan asal mendapatkan kekuasaan. Kecurangan, intimidasi, kekerasan, ancaman, persekongkolan dan berbagai bentuk pelanggaran lainnya seolah lumrah dilakukan. Dan, ini yang menjadi benalu dan racun demokrasi yang harus diperangi dan ditindak tegas.
Lebih celaka lagi, ketika perilaku pelanggaran Pemilu itu dinilai sebagai sesuatu yang wajar dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan. Bahkan masyarakat pun dengan antusias mengikuti kegiatan pragmatis dan transaksional, menjadi pendukung atau pihak yang turut serta memudahkan pelanggaran terjadi, misalnya dalam praktek politik uang. Ini yang berbahaya. Seharusnya masyarakat sebagai pemilik kedaulatan, harus berperan dalam menjaga dan mengawasi suara rakyat agar lahir pemimpin berintegritas. Mengawal proses Pemilu agar senantiasa jujur dan adil, hingga ditetapkan hasil Pemilu yang diterima oleh semua pihak.
Persoalan mendasar, mengapa tindak pelanggaran dalam setiap Pemilu masih terus terjadi. Ini karena kematangan berdemokrasi belum melembaga sampai ditingkatan paling bawah lapisan masyarakat. Pengetahuan, pemahaman dan perilaku demokrasi cenderung masih hanya dimiliki oleh sebagaian kecil warga saja. Meskipun dalam penyelenggaraan bernegara berdasarkan asas demokrasi, namun masih sebatas pada formalitas, yaitu tersedianya istitusi demokrasi politik seperti partai politik, lembaga legislatif, yudikatif, eksekutif dan lain-lain. Begitu pula demokrasi dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat belum melekat dengan baik dan masih cenderung pragmatis-transaksional.
Persyaratan baik yang bersifat normatif maupun empiris harus terpenuhi dalam rangka mewujudkan Pemilu damai. Demokrasi yang hanya dipahami oleh elit politik cenderung akan mewujudkan anarki massa, sedangkan demokrasi yang hanya dipahami di kalangan bawah tidak akan mewujudkan ruang artikulasi luas di kalangan publik. Elit politik dan masyarakat harus saling mendukung dan menguatkan dalam memahami substansi demokrasi yang diwujudkan lewat pelaksanaan Pemilu.
Ada empat persyaratan untuk mewujudkan harapan tentang Pemilu damai. Pertama, Nilai-nilai demokrasi yang menjadi acuan utama. Dalam demokrasi pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat dihasilkan melalui mekanisme kebebasan berpendapat baik oleh individu, kelompok maupun Partai Politik. Pembentukan kekuasaan tersebut dihasilkan melalui tahapan Pemilu, lewat kontestasi dan yang memperoleh suara yang terbanyak akan ditetapkan sebagai pemenang dan mendapat legitimasi dari publik. Sementara yang kalah, bersedia bekerja sama atau menjadi oposisi untuk mengontrol jalannya pemerintahan.
Masalah saat ini, nilai-nilai demokrasi sudah lama berkembang secara baik, tetapi kesadaran berdemokrasi individu belum merata, kalau-pun ada hanya dimiliki oleh sebagaian kecil saja. Ini dapat dilihat dari kampanye dan penetapan hasil Pemilu yang cenderung diwarnai berbagai pelanggaran. Kalau tindak pelanggaran Pemilu masih tetap ada, maka kesadaran berdemokrasi hanya kesadaran semu.
Nilai-nilai dan wacana demokrasi sudah ada di masyarakat, tetapi belum dapat diaktualkan secara baik dan konkret. Demokrasi masih dipahami sebagai sarana untuk menyalurkan pendapat dan aspirasi, tetapi tidak pernah dipahami mendengar aspirasi dan pendapat lawan politik. Sehingga yang terjadi adalah melembaganya sifat egois untuk menang tanpa peduli dengan keadaan pihak lawan. Kalau paradigma ini masih tetap ada, maka kebencian antar kelompok yang berbeda akan terus ada, dan pendidikan politik tidak akan berjalan dengan baik.
Kedua, Pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu secara professional. Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu), institusi negara terkait, dan peserta Pemilu, harus terus melakukan pencegahan dan sosialisasi dalam rangka mencegah berbagai potensi pelanggaran Pemilu. Kebijakan bersama antara penyelenggara, institusi negara terkait, dan aparat penegak hukum harus berkolaborasi agar kerja pencegahan tidak sektoral dan kasuistis.
Jika pencegahan pelanggaran telah dilakukan namun tetap terjadi pelanggaran, maka aparat penegak hukum harus menjalankan fungsi penegakan hukum secara tegas. Bawaslu sebagai Pengawas Pemilu, bersama aparat penegak hukum yang bernaung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) harus berani dan aktif. Pelaku pelanggaran harus diberi sanksi secara adil, lewat proses Pengadilan yang transparan dan profesional.
Ketiga, masyarakat harus bijak memilah dan mencerna informasi, perlu ada kroscek ulang sebelum mengambil langkah atau keputusan. Kroscek jika benar-benar dipraktikkan, niscaya tidak akan memberi ruang bagi hadirnya kampanye jahat dan provokasi. Ada kesadaran kritis publik menyaring informasi yang diterima, tidak cepak terpancing untuk bersikap dan menghakimi.
Tradisi kroscek mengharuskan Pemilih meneliti dan menyeleksi suatu berita, tidak tergesa-gesa memutuskan sesuatu sampai jelas benar permasalahannya, sehingga tidak ada pihak yang merasa dizalimi. Penting bagi masyarakat untuk mengkonfirmasi atau menguji validitas data dan informasi yang diterima. Agar tidak terjebak dalam agenda jahat para penyebar hoax dan penyebar ujaran kebencian.
Keempat, keberadaan institusi-institusi sosial-politik yang mendorong demokrasi. Pendidikan politik untuk demokrasi harus tetap dilakukan lewat partai politik, lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan maupun lembaga-lembaga formal lainnya. Tetapi nilai pendidikan politik juga harus dipraktekkan oleh elit politik secara langsung. Sebab prilaku para elit politik akan cenderung ditiru oleh masyarakat terutama oleh pendukung. Di samping itu perilaku untuk siap kalah juga harus dimiliki, dengan bersedia bekerja sama atau melakukan oposisi terhadap pemerintahan yang akan berkuasa.
Keberadaan institusi sosial-politik masyarakat akan berperan meredam konflik dan gejolak sosial yang sering mengemuka ketika ada isu-isu dihembuskan. Apalagi menyasar suku, agama, ras dan antar golongan. Peran dan keberadaan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam mengedukasi masyarakat sangat penting, menjernihkan keadaan, dan memberikan pandangan solutif yang menyejukkan.
Berbagai tindak pelanggaran yang terjadi dalam Pemilu, mulai dari saat kampanye, penetapan hasil dan pasca penetapan hasil, dapat saja mewarnai hari-hari ke depan, apabila kemampuan dan keahlian berdemokrasi masih rendah. Untuk mewujudkan Pemilu damai, maka setiap individu, kelompok dan institusi politik harus memiliki kesadaran dan keahlian politik yang handal. Kalau ini tidak ada, walaupun ada deklarasi Pemilu damai yang diselenggaran Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah, maka jangan bermimpi bahwa Pemilu yang dilaksanakan akan damai.
Damai tidak cukup dideklarasikan, damai harus dibuat nyata. Caranya, dengan mempraktekkan apa yang ada di dalam teks, norma dan ketentuan hukum. Akhirnya, kedamaian Pemilu akan terwujud jika kontestasi Pemilu berisi edukasi politik dengan media adu ide, gagasan dan program peserta Pemilu yang mencerahkan. Bukan sebaliknya marak pelanggaran, kecurangan, dan tindakan memecah-belah.
File PDF dapat didownload di bawah ini :
[sdm_download id=”702″ fancy=”0″]
[sdm_download_counter id=”702″]