Eksistensi Bawaslu dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

255 Views

EKSISTENSI BAWASLU DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PROSES PEMILU
Oleh: Ruslan Husen, SH, MH.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) hanya dapat diselesaikan oleh Bawaslu RI, kini sesuai Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), PSPP selain dapat diselesaikan oleh Bawaslu RI, juga dapat diselesaikan oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota.  

Ini terkait dengan eksistensi Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota baik dalam hal kelembagaan dan kewenangan pasca penetapan UU Pemilu. Secara kelembagaan, Bawaslu saat ini telah menjadi lembaga parmanen (Badan) baik dari tingkat Pusat sampai dengan Kabupaten/Kota. Salah satu kewenangan yang diberikan UU Pemilu adalah PSPP yang diajukan oleh peserta Pemilu sesuai dengan struktur tingkatan wilayah, sebagai akibat ditetapkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU yang dinilai merugikan hak konstitusionalnya.  

Sengketa Proses Pemilu

Pasal 466 UU Pemilu mendefinisikan, sengketa proses Pemilu sebagai sengketa yang terjadi antar-peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/KPU Kota. Bawaslu menerima permohonan PSPP sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU. Arti Keputusan yang dimaksud, dalam bentuk Surat Keputusan dan/atau Berita Acara.[1]

Dari ketentuan Pasal 466 di atas, secara eksplisit menyebut bahwa potensi sengketa proses Pemilu hanya 2 (dua) yakni: sengketa Peserta Pemilu antar Peserta Pemilu, dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu, khususnya KPU. Pasal ini tidak membuka peluang adanya mekanisme hukum sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu lainnya, seperti Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Sehingga subyek hukum dalam PSPP hanya ada dua pihak, yakni Peserta Pemilu dan KPU. Kedudukan KPU sebagai pihak yang mempertahankan keabsahan keputusan yang dibuatnya. Adapun objek PSPP yang diajukan ke Bawaslu meliputi Surat Keputusan dan/atau Berita Acara yang dikeluarkan oleh KPU sesuai dengan tingkatan struktur (Pusat, Provinsi, atau Kab/Kota) yang dianggap merugikan kepentingan hukum peserta Pemilu tertentu.

Adanya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU di tingkat Provinsi dapat dimohon diadili dan diputus oleh Peserta Pemilu ke Bawaslu Provinsi. Keputusan dan/atau Berita Acara KPU yang merugikan peserta Pemilu di tingkat Kabupaten/Kota, bisa digugat ke Bawaslu Kabupaten/Kota. Dengan syarat formil, masih dalam rentang waktu tiga hari kerja sejak dikeluarkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU tadi sebagai objek sengketa. Dan, Bawaslu wajib menyelesaikan sengketa proses Pemilu itu dalam kurun waktu 14 hari kerja.

Bawaslu melaksanakan PSPP, dengan mempertemukan pihak yang bersengketa untuk didengar kepentingan hukumnya, guna mencapai kesepakatan melalui mediasi atau musyawarah dan mufakat. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa, Bawaslu menyelesaikan sengketa proses Pemilu melalui sidang adjudikasi. Produk adjudikasi berupa putusan.

Putusan Bawaslu terhadap sengketa proses Pemilu bersifat final dan mengikat, kecuali untuk tiga hal, yakni berkaitan dengan verifikasi calon Partai Politik peserta Pemilu, penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, dan penetapan calon. Jika ternyata putusan Bawaslu masih tetap menguatkan penetapan dari KPU (berarti menolak permohonan Pemohon), maka Partai Politik yang bersangkutan dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

PTUN ada di tiap Provinsi.  Jadi, kalau ada peserta Pemilu tidak puas dengan Putusan Bawaslu, bisa mengajukan gugatan ke ke PTUN setempat. Di PTUN, objek gugatan bukanlah Putusan Bawaslu, melainkan keputusan KPU yang belum diputus oleh Bawaslu. Putusan Bawaslu berfungsi sebagai salah satu syarat diterimanya berkas gugatan, karena PTUN tidak berwenang menerima dan memeriksa perkara sengketa proses Pemilu, saat perkara belum pernah diputus dalam sidang Adjudikasi Bawaslu.

Eksistensi Bawaslu Menegakkan Keadilan Pemilu

Eksistensi Bawaslu searah dengan harapan dan optimis publik yang didasarkan atas pengalaman Bawaslu dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2014 lalu. Sebelumnya Bawaslu sebagai lembaga Pengawas Pemilu tidak memiliki wewenang memadai, terutama lembaga Pengawas Pemilu yang hadir secara fungsional menegakkan keadilan Pemilu. Produknya lebih ditempatkan sebagai rekomendasi yang tidak jarang KPU enggan melaksanakannya.

Inilah yang menginisiasi penguatan kelembagaan Bawaslu, baik dari struktur dan kewenangan hingga lahir Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut Fritz Edward Siregar, transformasi krusial yang dilakukan pembentuk UU terhadap Bawaslu adalah menambahkan fungsi penyelesaian sengketa proses Pemilu, adjudikasi. Penambahan wewenang ini membuat Bawaslu tidak lagi sekedar pemberi rekomendasi, melainkan sebagai eksekutor atau pemutus perkara. Berdasarkan UU Pemilu, fungsi adjudikasi yang dimiliki Bawaslu dapat dilaksanakan untuk menerima, memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu, dan sengketa proses Pemilu.[2]

Selanjutnya, kehadiran Bawaslu beserta jajarannya sesuai UU Pemilu, dengan kewenangan PSPP diharapkan dapat berkontribusi mewujudkan pelaksanaan tahapan Pemilu yang jujur dan adil. Pemilu yang proses dan hasilnya memperoleh legitimasi publik, hingga lahir pemimpin pilihan rakyat-pemilik kedaulatan. Menurut Firmansyah, fungsi Bawaslu sangat dibutuhkan sebagai lembaga negara di bawah UU yang bersifat tetap dan mempunyai kewenangan dalam mengawasi jalannya Pemilu,[3] menindak pelanggaran dan menyelesaikan sengketa proses Pemilu.

Keadilan Pemilu (electoral justice) sebagai sarana dan mekanisme untuk menjamin bahwa proses Pemilu tidak dirusak oleh penyimpangan dan kecurangan. Termasuk dalam mekanisme keadilan Pemilu adalah pencegahan terjadinya sengketa Pemilu melalui serangkaian kegiatan, tindak, dan rekomendasi kepada pihak terkait apakah itu KPU ataupun Peserta Pemilu. Yang dilanjutkan dengan pelaksanaan kewenangan PSPP, dengan mempertemukan para pihak yang bersengketa (mediasi dan/atau adjudikasi) sebagai akibat ditetapkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU.

Jika penegakkan hukum Pemilu diartikan sebagai sarana untuk memulihkan prinsip dan aturan hukum Pemilu yang dilanggar sehingga dapat mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan Pemilu, maka sejatinya keadilan Pemilu berkaitan dengan proses penegakan hukum Pemilu. Proses yang menjamin Pemilu yang jujur dan adil (free and fair election), dengan menjamin hak konstitusional semua pihak secara proporsional dan berkeadilan.

Pada aspek normatif penegakkan keadilan Pemilu, desain dan mekanisme PSPP yang diamanatkan UU Pemilu terdapat kombinasi penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dan korektif. Sifat alternatif PSPP tergambar melalui metode “Mediasi”, yang mempertemukan para pihak yang bersengketa dengan difasilitasi Mediator dari Bawaslu. Sedangkan PSPP secara korektif tergambar melalui metode “Adjudikasi”, berupa Bawaslu menerima, memeriksa, dan memutus sengketa yang diajukan oleh pihak peserta Pemilu yang merasa dirugikan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU.[4]

Kombinasi penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dan korektif ini, selain terdapat dalam UU Pemilu, dipertegas lagi dalam Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Bawaslu Nomor 27 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu.

Penambahan kewenangan Bawaslu dalam PSPP, terlihat adanya politik hukum pembentuk UU untuk memperkuat sisi eksekutorial dari fungsi-fungsi Bawaslu. Putusan Bawaslu yang sebelumnya hanya bersifat rekomendasi, kini menjadi putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial layaknya putusan Pengadilan. Hal mentransformasikan Bawaslu menjadi lembaga quasi peradilan yang putusannya bersifat final dan mengikat kecuali ditentukan lain dalam UU Pemilu.

Karakter Putusan Bawaslu

Putusan merupakan produk yang dikeluarkan oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi kewenangan menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa yang diajukan kepada lembaganya. Putusan diucapkan di muka persidangan dengan tujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak.

Kewenangan PSPP yang dimiliki oleh Bawaslu berdasarkan UU Pemilu dalam mengeluarkan putusan final and binding. Pasal 469 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses Pemilu yang berkaitan dengan:

a. verifikasi partai politik peserta pemilu;

b. penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota; dan

c. penetapan pasangan calon.

Putusan Bawaslu bersifat final dan mengikat dan diterapkan pada sengketa yang terjadi antar peserta Pemilu. Sedangkan, putusan Bawaslu yang tidak final dan mengikat diterapkan pada sengketa antara peserta Pemilu dengan KPU. Terhadap putusan Bawaslu tersebut, dapat dilakukan upaya hukum berupa mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh Peserta Pemilu.

Lahirnya kewenangan Bawaslu menetapkan putusan final and binding tentunya akan membuat Bawaslu menjelma sebagai lembaga quasi yudisial. Pintu masuk adanya kewenangan ini bermula dari proses adjudikasi yang diatur oleh UU Pemilu, tepatnya dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa Bawaslu menyelesaikan sengketa proses pemilu melalui adjudikasi. Putusan final and binding oleh Bawaslu dimaksudkan agar putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan (self executing).

Dari aspek kekuatan berlakunya putusan, dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, dan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, merupakan putusan yang masih terbuka jalan untuk dilakukan upaya hukum selanjutnya. Sedangkan putusan inkracht merupakan putusan yang tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum biasa untuk melawannya (banding dan kasasi). Dengan demikian, putusan yang bersifat final and binding merupakan putusan akhir yang inkracht dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi.

Menurut Adam Muhshi dan Fenny Tria Yunita,[5] Putusan Bawaslu terkait PSPP memiliki karakter yuridis selayaknya sebuah putusan Pengadilan meskipun bukan dikeluarkan oleh lembaga yudisial. Hal ini dapat diidentifikasi melalui beberapa aspek. Pertama, segi tujuan, putusan Bawaslu memiliki tujuan sama dengan tujuan dikeluarkannya putusan Peradilan, yakni bertujuan untuk mengakhiri sengketa para pihak. Para pihak yang merasa dirugikan dengan berlakunya objek sengketa, berusaha memulihkan haknya dengan mengajukan sengketa ke Pengadilan, untuk diadili sesuai dengan hukum dan keadilan.

Kedua, segi substansi, putusan Bawaslu memiliki substansi yang sama dengan substansi putusan Badan Peradilan. Substansi sebuah putusan akhir memuat kepala putusan, berupa irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, identitas para pihak, jawaban/kesimpulan para pihak, pertimbangan hukum, dan amar putusan. Amar putusan dapat berupa gugatan / permohonan ditolak, dikabulkan, tidak dapat diterima atau gugur. Dan, substansi putusan seperti itu juga nampak dari produk putusan Bawaslu yang mengadili PSPP.

Ketiga, sspek prosedural. Sebuah putusan dapat dikeluarkan setelah melalui proses pemeriksaan berkas perkara, dan melalui mekanisme persidangan yang mendengarkan dan mempertimbangkan kedudukan serta kepentingan hukum para pihak. UU Pemilu secara eksplisit menyatakan Bawaslu berwenang untuk melakukan proses adjudikasi dalam menyelesaikan sengketa proses Pemilu, jika mediasi yang difasilitasi Bawaslu tidak mencapai kesepakatan.

Sifat putusan Bawaslu final and binding ini yang justru membedakan dengan putusan Badan Peradilan lainnya. Putusan dari Badan Peradilan umumnya masih terbuka upaya hukum misalnya banding, kasasi dan peninjauan kembali. Namun, putusan Bawaslu justru melampaui putusan Badan Peradilan tersebut. Terhadap putusan Bawaslu tidak terbuka upaya hukum yang dapat dilakukan para pihak yang keberatan atas hasil putusan tersebut.

Memaknai final dan mengikat tidak dapat dipisahkan dalam konteks putusan. Secara harfiah, kata “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan “tahap terakhir dari rangkaian pemeriksaan,”[6] sedangkan kata “mengikat” diartikan sebagai mengeratkan dan menyatukan.[7] Sifat final and binding ternyata tidak hanya dimiliki oleh putusan MK, tetapi juga dimiliki oleh Badan-Badan lain yang menyelenggarakan fungsi tertentu. Beberapa putusan final and binding diantaranya putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP).

Konsekwensi atas putusan final dan mengikat yang dikeluarkan oleh Badan-Badan tersebut, dapat menghilangkan atau menciptakan keadaan hukum baru, dan tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan untuk melawan putusan tersebut, baik melalui upaya hukum banding, kasasi, maupun Peninjauan Kembali. Demikian pula dengan putusan Bawaslu yang bersifat final dan mengikat, kecuali ditentukan lain dalam UU Pemilu.

Penutup

Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) merupakan kewenangan Bawaslu dalam penegakkan keadilan Pemilu (electoral justice), bagi peserta Pemilu yang hak hukum dan konstitusinya dilanggar oleh pihak lain, baik dari peserta Pemilu lainnya maupun Penyelenggaraan Pemilu (KPU). PSPP hakikatnya bertujuan mewujudkan proses dan hasil Pemilu yang dapat diterima oleh semua pihak. Proses yang berlangsung secara jujur dan adil, serta hasil Pemilu yang melegitimasi hadirnya pemimpin sesuai dengan pilihan rakyat.

Catatan Kaki :


[1] Pasal 4 ayat (1) dan (2) Perbawaslu Nomo 18 tahun 2017 Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu.
[2] Fritz Edaward Siregar, 2018, Bawaslu Menuju Peradilan Pemilu, Themis Publishing, Jakarta, hlm. 52.
[3] Firmansyah dalam Ni’matul Huda dan M. Imam Nasef, 2017, Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, Kencana, Jakarta, hlm. 110.
[4] Rahmat Bagja, 2018, Membangun Bawaslu Sebagai Lembaga Pengawas Pemilu dan Penyelesaian Sengketa Pemilu Yang Profesional, Transparan dan Akuntabel, Makalah Konferensi HTN Ke-5, Batusangkar, hal. 12.
[5] Adam Muhshi dan Fenny Tria Yunita, 2018, Karakter Yuridis Putusan Badan Pengawas Pemilu Dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu, Call Paper Konferensi HTN Ke-5, Batusangkar, Sumatera Selatan.
[6] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, hal. 414.
[7] Ibid, hlm. 571.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.