Jelang Pilkada Sulteng, Jati Centre Gandeng Panwascam Tomini Sosialisasikan Pendidikan Politik Pada Pemilih Pemula

441 Views

Tomini-Jati Centre, Pemilih Pemula yang biasa didominasi para pelajar biasanya apatis terhadap perkembangan politik, tak jarang terjadinya golpot pada tataran pelajar, sehingga pendidikan politik bagi para generasi muda dan para pelajar sangat penting untuk diberikan pemahamannya sejak dini.

Demikian pernyataan Direktur Jaringan Advokasi Untuk Keadilan (Jati Centre), Mashur Alhabsyi, saat menyampaikan materi dalam kegiatan Sekolah Pemilu dengan tema “Pendidikan Politik di masa Pandemik Untuk Pemilih Pemula” dilaksanakan di sekolah Aliyah Alkhairaat Tomini,  Kecamatan Tomini kabupaten Parigi Moutong, Sabtu 07 November 2020.

Dia juga menyampaikan, Kegiatan yang diselenggrakan atas kerjasama Jati Centre dan Panwascam Tomini ini sengaja dilaksanakan untuk pemilih pemula dalam menjelang pilkada Sulawesi Tengah, agar para siswa paham tentang politik dan tidak akan golpot saat tiba pemilihan nanti, dan yang terpenting menurutnya mereka dapat memilih secara jujur dan adil.

Disamping itu ia menambahkan, sangat dibutuhkan partisipasi dari para pemilih pemula untuk terlibat langsung dalam pemantauan pilkada sebagai masyarakat Indonesia.

“Pada dasarnya Jati Centre memang sebagai lembaga yang terakreditasi dalam pemantauan pilkada, namun untuk mewujudkan pilkada yang jujur dan adil maka sangat dibutuhkan partisipasi masyarakat utamanya para pemuda dalam memantau jalannya pilkada, dengan status sebagai masyarakat Indonesia” Jelas Mashur

 Disamping itu Direktur Jati Centre ini, menjelaskan bahwa dalam menentukan pemimpin yang jujur dan adil serta amanah pada dasarnya harus dimulai dari masyarakat yang bersifat itu juga, dan salah satu bentuk penerapan sifat-sifat tersebut maka dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam memantau pelanggaran yang terjadi di lapangan.

Sesi tanya jawab dari siswa Aliyah Alkhairaat Tomini. FOTO : FIRMAN NAZWAR

Searah dengan penjelasan Direktur Jati Centre, Koordinator Devisi Organisasi Jati Centre, Irvan juga menyampaikan bahwa peran pemuda saat ini sangat dibutuhkan, sebab untuk menciptakan pilkada jujur dan adil, bukan hanya para penyelenggara dan pengawas saja yang berperan besar dalam pilkada 9 Desember nanti, anak muda pun khususnya untuk pemilih pemula yang merupakan garda terdepan, juga punya peran yang besar dalam menciptakan pilkada yang jujur dan adil.

“Tentu ini sebuah harapan yang besar, agar terciptanya regenerasi penyelenggara dan pengawas baik di pilkada maupun pemilu yang akan datang. Seandainya anak muda yang masih duduk di bangku sekolah, jika ingin berkontribusi di Pilkada tahun ini, cukup dengan dua tindakan saja yaitu berani dan jujur, itu sudah sangat membantu para penyelenggara dan pengawas dalam mensukseskan Pilkada nanti yang bersih dan damai. Bersih dari money politic, ketidak adilan, penyimpangan paham politik dan lain sebagainya”. Tegas Irvan

Pada waktu yang sama, ketua Panwascam Tomini, Mizwar menyampaikan dalam sosialisasinya bahwa pilkada tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya, untuk tahun ini pilkada bersamaan dengan Covid-19 sehingga semua pihak diharapkan menyelenggarakan pilkada dengan protocol kesehatan.

“ Sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2020 pasal 58 Ayat 2 Huruf e telah ditegaskan Wajib mematuhi ketentuan mengenai status penanganan Covid-19 pada daerah pemilihan serentak lanjutan setempat yang ditetapkan oleh pemerintah daerah atau gugus tugas setempat sehingga semua penyelenggaraan pilkada harus sesuai protocol kesehatan” Ujar Mizwar.

Disamping itu ia menambahkan sesuai UU No 10 Tahun 2016 pasal 71 ayat 1 tentang netralisir Pejabat Negara, Pejabat Daerah, Pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) , TNI-Polri, kepala Desa dan Lurah bahwa mereka semua tidak diperbolehkan terlibat langsung dalam politik praktis.

“ Harus kalian ketahui bahwa  Aparatur Sipil Negara (ASN) dan TNI-Polri, kepala Desa dan Lurah itu tidak boleh ikut serta dalam politik praktis dan jika ada dari kalangan keluarga kalian tolong diingatkan dan disosialisakan bersama sehingga kita saling membantu dan jika kalian temukan hal itu di kecamatan ini segera laporkan ke kami  guna untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran” Himbau Mizwar.

Nilai Kepastian Hukum dalam Pilkada di Masa Pendemi Covid-19

1.081 Views

Oleh: Randy Atma R Massi, S.H.,M.H.
( Peneliti di Jati Centre, kini Tercatat Sebagai Dosen Tetap Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu )

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) hingga kini masih mengundang polemik di tengah masyarakat. Perbedaan sikap masyarakat tentulah menimbulkan keresahan yang pada akhirnya bermuara pada sikap memilih atau tidak memilih. Ditengah kondisi pro dan kontra hukum dituntut untuk hadir dalam rangka menyudahi polemik dengan memberikan solusi berupa kepastian hukum ditengah keresahan masyarakat.

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Maka dari itu, hukum dijadikan sebagai panglima tertinggi di indonesia, hukum sebagai suatu aturan yang kita kenal dalam bentuk perundang-undangan yang masih berlaku baik pada tingkatan nasional maupun pada tingkatan daerah. Sehingga segala sesuatu yang dilakukan manusia atau masyarakat harus berdasarkan peraturan yang ada. Hukum atau aturan tidak lepas dari kehidupan manusia karena pada dasarnya hukum merupakan suatu aturan yang tujuannya untuk mengatur manusia atau masyarakat itu sendiri demi terjaminnya keamanan dan ketertiban.

Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Dan dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai tujuan. Tujuan hukum merupakan arah atau sasaran yang hendak diwujudkan dengan memakai hukum sebagai alat dalam mewujudkan tujuan tersebut dengan mengatur tatanan dan perilaku masyarakat.

Soebekti, berpendapat bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan para rakyat. Dalam mengabdi kepada tujuan negara dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Merujuk pada prinsip hukum positif yang tercantum dalam alinea ke 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar, menyatakan bahwa tujuan hukum positif kita adalah untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban adalah syarat pokok bagi adanya masyarakat manusia yang teratur. Disamping itu, tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menggunakan konsep umum tujuan hukum yang sama dengan negara-negara barat yang menggunakan sistem hukum civil law dan living law yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Namun yang lebih dominan bercorak legalistik yang menekankan pada aspek hukum tertulis yang berorientasi pada KEPASTIAN.

 

Kepastian Sebagai Salah Satu Tujuan Hukum.

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberative. Undang Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungan dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersbut menimbulkan kepastian hukum.[1]

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut.

  1. Asas kepastian hukum (rechmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut yuridis.
  2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.
  3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau utility. Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum positivisme lebih menekankan pada kepastian.

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summon ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang substantive adalah keadilan.[2]

Di dalam suatu peraturan hukum, terkandung asas-asas hukum yang menjadi dasar pembentuknya. Dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa asas hukum dapat diartikan sebagai “jantungnya” peraturan hukum[3] sehingga untuk memahami suatu peraturan hukum diperlukan adanya asas hukum. Dengan bahasa lain, Karl Larenz dalam bukunya Methodenlehre der Rechtswissenschaft menyampaikan bahwa asas hukum merupakan ukuran-ukuran hukum ethis yang memberikan arah kepada pembentukan hukum.[4] Oleh karena asas hukum mengandung tuntutan etis maka asas hukum dapat dikatakan sebagai jembatan antara peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivisme di dunia hukum yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom yang mandiri, karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya oleh hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.[5]

Lebih lanjut terkait kepastian hukum, Lord Lloyd mengatakan bahwa:[6]

“…law seems to require a certain minimum degree of regularity and certainty ,f or without that it would be impossible to assert that what was operating in a given territory amounted to a legal system”

Dari pandangan tersebut maka dapat dipahami bahwa tanpa adanya kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbulah ketidakpastian (uncertainty) yang pada akhirnya akan menimbulkan kekerasan (chaos) akibat ketidaktegasan sistem hukum. Sehingga dengan demikian kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.

Dari pandangan tersebut maka dapat dipahami bahwa tanpa adanya kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbulah ketidakpastian (uncertainty) yang pada akhirnya akan menimbulkan kekerasan (chaos) akibat ketidaktegasan sistem hukum. Sehingga dengan demikian kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.[7] Meskipun dikatakan bahwa asas hukum merupakan jantung dari peraturan hukum, akan tetapi tidak dapat disamakan antara asas hukum dan norma hukum dalam bentuk hukum positif. Asas hukum hanya bersifat mengatur dan menjelaskan (eksplanasi), dimana tujuannya hanya memberi ikhtisar dan tidak normatif.[8] Oleh karena itu asas hukum tidak termasuk hukum positif dan tentu tidak dapat diterapkan secara langsung untuk menyelesaikan sengketa hukum. Dalam hal ini, Van Eikema Hommes secara tegas mengatakan asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, tetapi dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.[9]

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil.

 

Kepastian Hukum dalam Pilkada di Masa Pandemi

Rapat Kerja antara KPU, Bawaslu, DKPP, Pemerintah (Mendagri) dan DPR RI (Komisi II) pada 27 Mei 2020, telah menyepakati akan melaksanakan PILKADA pada tanggal 9  Desember 2020. Dalam rangka mengantisipasi agar tidak terjadinya kekosongan hukum maka pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 tahun 2020 tentang pelaksanaan pemungutan suara dilaksanakan pada bulan Desember 2020.

Tinjauan historis mengenai jenis peraturan perundang-undangan, Perppu merupakan salah satu jenis dari Peraturan Pemerintah (PP). Jenis PP yang pertama adalah untuk melaksanakan Perintah UU. Jenis PP yang kedua yakni PP sebagai pengganti UU yang dibentuk dalam hal ihwal Kegentingan yang Memaksa. Perppu merupakan jenis perundang-undangan yang disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945, yakni dalam Pasal 22. Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perppu.[10] Pasal 1 angka 4 UU No.12 Tahun 2011 memuat ketentuan umum yang memberikan definisi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.[11] Pasal 1 angka 3 Perpres 87 Tahun 2014 juga tidak memberikan batasan pengertian pada Perppu melainkan menyebutkan definisi yang sama sebagaimana tercantum dalam UU 12 Tahun 2011 dan UUD 1945.[12]

Perppu sebenarnya merupakan suatu Peraturan Pemerintah yang bertindak sebagai suatu Undang-Undang atau dengan perkataan lain Perpu adalah Peraturan Pemerintah yang diberi kewenangan sama dengan Undang-Undang. Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden untuk melaksanakan UU. UU adalah peraturan perundang-undangan yang pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yakni DPR dengan persetujuan Presiden dan merupakan peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945.

Perppu dibentuk oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Apabila Perppu sebenarnya adalah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UU, maka Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk dalam hal ihwal Kegentingan yang Memaksa, untuk melaksanakan undang-undang. Namun karena Peraturan Pemerintah ini diberi kewenangan sama dengan UU, maka dilekatkan istilah “pengganti UU”. UU merupakan peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945. Maka Perppu merupakan Peraturan Pemerintah yang dibentuk dalam hal ihwal Kegentingan yang Memaksa untuk mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945.

Pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Perppu yang sejatinya dibentuk dalam Kegentingan yang Memaksa meniscayakan tahapan perencanaan tidak dilakukan, karena keadaannya bersifat tidak terduga, tidak terencana. Pasal 58 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014, menguraikan tata cara penyusunan rancangan Perppu dengan menekankan hal ihwal kegentingan yang Memaksa dalam Pasal 57.

Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, Perpu juga harus bersumber pada Pancasila dan UUDNRI 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan serta selayaknya juga dapat menjadi sumber hukum peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Berdasarkan konsep bahwa Perppu merupakan suatu peraturan yang dari segi isinya seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang, tetapi karena keadaan kegentingan memaksa ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah maka kedudukan Perppu yang paling rasional dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah sejajar dengan undang-undang.

Dari uraian diatas maka jelaslah mengenai kepastian hukum secara Normatif mengenai Lanjut atau tidaknya Pilkada tahun 2020 tergantung kondisi serta situasi perkembangan dan penyebaran Covid 19. Dalam Perppu No 2 Tahun 2020 disebutkan tentang pelaksanaan pemungutan suara yang sedianya dilaksanakan pada 26 September 2020 menjadi Desember 2020 (Pasal 201A ayat 2). Yang sebelumnya KPU RI lewat SK No 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 atas dasar pertimbangan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) yang menjadi pandemi global, memutuskan untuk melakukan penundaan tahapan pemilihan gubernur dan waakil gubernur, bupati dan wakil bupati dam/atau walikota dan wakil walikota.

Maknanya, keputusan Indonesia untuk menggeser pelaksanaan pilkada tetap di tahun ini memiliki rujukan. Namun tentu bukan hanya itu argumentasi utamanya. Argumentasi utama tentu saja soal menjaga kesinambungan demokrasi. Dalam sistem presidensial, termasuk pada pemerintahan lokal, secara konstitusi jabatan kepala daerah berlaku prinsip fix term alias telah ditetapkan masa jabatannya. Menunda pilkada bisa menimbulkan konflik politik yang kontra produktif dalam situasi penanganan Covid-19. Standar internasional untuk pemilu yang merujuk pada Deklarasi Universal HAM 1948 dan Kovenan Internasional 1966 tentang Hak Sipil dan Politik, maupun berbagai konvensi serta komitmen mengenai pemilu demokratis menyepakati salah satu standar pemilu demokratis adalah penyelenggaraan pemilu yang berkala (IDEA, 2005). Bayangkan, potensi masalah politik dan hukumnya jika pilkada tidak digelar sesuai UU atau Perppu. Bila masa jabatan kepala daerah diperpanjang oleh pemerintah, oposisi atau penantang petahana akan menggugat karena hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri jadi terhambat. Ketidakpastian hukum dan politik akan terjadi. Penundaan pemilu dengan alasan pandemi justru berpotensi mengebiri demokrasi. Implikasinya jelas, instabilitas politik di tengah pandemi jadi taruhan, kecurigaan, bahkan ketidakpercayaan pada pemerintah akan meningkat.[13]

Hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 memang belum juga ditemukan. Tetapi sembari menunggu vaksin tersedia, seharusnya semua orang disiplin menerapkan protokol kesehatan sehingga tetap menjalankan aktivitas dengan tetap waspada. Termasuk untuk pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19. Menunggu vaksin tentunya butuh waktu yang lama mengingat  proses distribusinya ke seluruh Indonesia. Jika  vaksin paling cepat ditemukan pertengahan 2021, dapat dikatakan pada Tahun 2022 atau pertengahan 2022 masalah covid ini bisa baru dapat diselesaikan.

Terlepas dari hal diatas, terdapat sisi lain yang lebih urgen jika menilik kepada nilai kepastian hukum bagi masyarakat adalah dengan ditundanya Pilkada maka akan terjadi stagnatisasi dalam pemerintahan daerah karena akan ada perpanjangan masa jabatan PLT, sedangkan PLT mempunyai tindakan yang terbatas dibanding pejabat definitive, pada faktanya, wewenang yang dimiliki oleh pelaksana tugas dibatasi karena ia tidak boleh mengambil tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis sehingga hal inilah yang nantinya malah menghambat jalannya roda pemerintahan. Olehnya tepatlah Jika Pilkada serentak Pada Tanggal 9 Desember 2020 tetap harus dilaksanakan tentu dengan menerapkan Protokol Kesehatan.

Catatan Kaki

[1] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 58.
[2] Dosminikus Rato, Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, PT Presindo, Yogyakarta, 2010, hlm. 59.
[3] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2012, hlm. 45.
[4] Dewa Gede Atmaja, “Asas-Asas Hukum Dalam Sistem Hukum”, Jurnal Kertha Wicaksana, Volume 12, Nomor 2, 2018, hlm. 146.
[5] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1999, hlm.23.
[6] Mirza Satria Buana, Hubungan Tarik-Menarik Antara Asas Kepastian Hukum (Legal Certainpi) Dengan Asas Keadilan (Substantial Justice) Dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstltusi, Yogyakarta: Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, 2010, hlm.34.
[7] R. Tony Prayogo, “Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang “, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, 2016, hlm.194.
[8] Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Alumni: Bandung, 2006, hlm. 204.
[9] Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia: Jakarta,1975, hlm. 49.
[10]  Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps.22 . Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[11] ndonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,UU No.12 Tahun 2011, LN No.82 Tahun 2011, TLN No.5234, Ps.1.
[12] Indonesia, Peraturan Presiden tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perpres No. 87 Tahun 2014, LN No.199 Tahun 2014, Ps.1.
[13] Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2020/07/07/14144791/pilkada-di-tengah-pandemi-apa-pentingnya-bagi-rakyat?page=all. Di akses tanggal 5 Oktober 2020.

Perkumpulan Indonesia Memilih Angkat Topik Diskusi, Tantangan Pilkada Masa COVID-19

300 Views

Palu-Jati Centre.– Perkumpulan Indonesia Memilih (PIM) menggelar diskusi publik bertema Pilkada di masa COVID ; tunda atau lanjutkan, bagaimana tantangan dan solusinya. Hadiri sebagai Narasumber Ketua Bawaslu Sulteng, Ketua KPU Sulteng, Ketua Umum Pengurus Besar Alkhairaat diwakili Dr. Lukman Tahir dan Plt. Perwakilan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan puluhan peserta perwakilan Organisasi Kepemudaan (OKP), Organisasi Masyarakat (Ormas) dan Media. Diskusi dipandu langsung Direktur PIM Rusli Attaqi di Warkop Tungku Kopi Kota Palu, Jum’at (2/10/2020).

Ketua KPU Sulteng, Tanwir Lamaming mengatakan, KPU wajib mengikuti sesuai Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara pemerintah, DPR RI dan Penyelenggara tetap memutuskan melaksanakan Pilkada serentak 9 Desember tahun 2020.

“Kita adalah sebuah lembaga yang sifatnya hierarki, terstruktur mulai dari tingkat KPU RI, KPU Provinsi hingga tingkat bawah, berarti kami wajib mengikuti apa yang telah disepakati, dengan penerapan protokol kesehatan yang sangat ketat”, tuturnya.

“Perkumpulan yang mengusulkan supaya pemilihan ini di tunda karena pandemi covid semakin meningkat saya kira persoalan itu kemudian sudah terjawab dengan adanya RDP yg di lakukan pemerintah DPR RI dan penyelenggara yang kemudian memutuskan bahwa tetap dilaksanakan pemilihan serentak di 9 desember 2020”, jelasnya.

Senada dengan hal itu, Ketua Bawaslu, Ruslan Husen mengatakan, Pilkada kali ini tidak hanya menggunakan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia (luber) jujur dan adil (jurdil) tetapi juga prinsip keselamatan untuk semua.

“Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di masa pandemi covid 19 dilanjutkan dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Jadi bukan hanya prinsip luber dan jurdil tapi juga prinsip keselamatan untuk semua”, ujarnya.

Lukman Tahir selaku perwakilan Ketua Umum Pengurus Besar Alkhairaat, mengatakan pada dasarnya sepakat Pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020. Hal tersebut mengingat akan banyak pelaksana tugas (Plt) Kepala Daerah jika kontestasi ini ditunda.

“Sementara kita ketahui, kewenangan Plt kepala daerah, tidak sama kuatanya dengan kepala daerah defenitif,” sebutnya.

Menurutnya, jika ditunda Pilkada alasan penyebaran covid-19, maka juga belum bisa dipastikan kapan dilanjutkan sebab Covid belum bisa dipastikan kapan berakhir.

“Sementara, kepemimpinan ini faktor utama dengan pertimbangan ketika ditunda ini akan lebih beresiko artinya aspek mudaratnya lebih besar,” kata Lukman Tahir.

Alfina selaku Narasumber dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng, menambahkan, dalam menghadapi Pilkada butuh kerjasama dengan masyarakat untuk melakukan pencegahan dengan memgedukasi masyarakat terkait penerapan protokol covid-19.

“Pada tahap Pilkada baik itu pada tahap awal persiapan, pelaksanaan bahkan sampai dengan pemilihan nanti tentu terjadi kerumunan massa, maka protokol kesehatan mutlak diterapkan,” sebutnya.

Dari itu menurutnya, dalam waktu 3 bulan ke depan, Ia mengajak untuk bersama-sama melakukan pencegahan, dan melakukan edukasi kepada masyarakat terkait penerapan protokol covid-19,” tuturnya

“Mari kita sama-sama melakukan upaya-upaya promotif dan preventif dalam menjamin kesehatan dan keselamatan masyarakat”, harapnya.

Foto Bersama Narasumber dan Jajaran PIM usai dialog. FOTO : Rendy

 

ASN, antara Netralitas dan Politik “Balas Budi”

311 Views

Oleh : DEBY ANASTASYA, SH
(Koordinator Divisi Hukum dan Pengawasan PIM)

Pemilihan Kepala Daerah atau PILKADA yang merupakan Pesta demokrasi terbesar tahun ini sudah di depan mata, berbagai rangkaian kegiatan dan tahapan sudah dilaksanakan seperti penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) hingga penetapan Calon kepala daerah yang akan diumumkan pada 23 September 2020 oleh KPU. Selain itu, tahapan kampanye akan dimulai pada 26 September 2020 sampai dengan 5 Desember 2020 atau selama 71 hari yang mana KPU membagi masa kampanye pada pilkada tahun ini menjadi 3 fase.

Setiap tahapan Pemilihan terdapat beberapa kerawanan yang berpotensi mengganggu kelancaran tahapan Pemilihan. Salah satu sumber kerawanan Pemilihan adalah netralitas ASN. Meskipun ada banyak aturan yang melarang keberpihakan ASN dalam Pemilihan seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020 yang ditandatangai oleh Kemenpan RB, Kemendagri, BKN, Bawaslu, dan KASN pada Kamis 10/9/2020 yang mengatur secara detail mengenai pengawasan Netralitas ASN, nyatanya masih banyak oknum ASN yang melanggar netralitasnya.

Provinsi Sulawesi Tengah sendiri berdasarkan data Penanganan Pelanggaran ASN pada Pemilihan 2020 oleh Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah terdapat 53 kasus yang direkomendasikan ke KASN dari 57 kasus teregistrasi, sedangkan 4 kasus lainnya dinyatakan tidak memenuhi unsur pelanggaran. Angka ini menunjukan jumlah pelanggaran Netralitas ASN di  Sulawesi Tengah terbilang Tinggi. Hal ini tentu merupakan ceriminan perilaku buruk pejabat pemerintahan kita.

Kerawanan netralitas ASN ini makin terlihat jelas dan meningkat saat incumbent berlaga pada kontestasi Pemilihan. Ada beberapa alasan oknum ASN menjadi “tidak netral” dalam hal ini, seperti loyalitas terhadap atasan dan juga “balas budi” atas jasa yang diberikan oleh incumbent tersebut. Menyoroti politik “balas budi” dalam hal ini, tentu erat kaitannya dengan Nepotisme dan jual-beli jabatan pada masa kepemimpinan incumbent di era sebelumnya. Saat oknum ASN sudah merasakan nikmatnya jabatan yang diberikan, maka secara otomatis ia akan mendukung incumbent tersebut tanpa memandang kualitas kepemimpinannya secara profesional apalagi program futuristik yang ditawarkan bahkan tanpa menghayati lebih jauh netralitasnya sebagai seorang abdi negara.

Bahkan ada beberapa oknum ASN yang paham akan aturan netralitasnya  bukannya menerapkan aturan itu malah mencari celah untuk “mengelabui” aturan tersebut. Salah satunya dengan mengerahkan dukungan secara tidak langsung tapi melalui pihak ketiga seperti suami/istri non ASN, bahkan bawahan yang berstatus non ASN atau honorer. Hal ini kemudian menjadi PR bagi lembaga pengawasan pemilu untuk mampu menjangkau hal-hal yang lebih jauh seperti itu untuk menjaga kualitas tahapan Pemilihan.

Muncul pertanyaan getir nan menggelitik. Saat budaya Nepotisme, jual beli jabatan masih mendarah daging pada tiap pribadi pemegang jabatan yang kemudian tetap lekat dalam tahapan pemilihan sebagai sarana demokrasi maka kualitas kepemimpinan seperti apa yang kita harapkan dari para pejabat negara yang terpilih?

Sumber Gambar Unggulan: https://www.rakyatcirebon.id/

Kerawanan Pilkada dimasa Pandemi COVID-19

294 Views

Kerawanan Pilkada di masa Pandemi COVID-19

Oleh

Bambang Rinaldi (Direktur Lembaga Studi Informasi dan Pendidikan)

Sejak diberlakukannya new normal atau kenormalan baru pada bulan juni 2020 oleh pemerintah, maka aktivitas pemerintahan, perekonomian, dan sosial serta tempat ibadah berangsur-angsur kembali berjalan, namun pemaknaan new normal dimasyarakat terkadang masih keliru, pemahaman bahwa new normal adalah kembalinya ke masa sebelum pandemi covid-19 sehingga penerapan standar protocol pencegahan tersebut sering kali terabaikan. Dampak dari pemahaman itu kemudian belakangan ini mulai dirasakan dimana angka kasus penyebaran covid-19 kembali melonjak naik dibeberapa daerah termaksud ibukota DKI Jakarta yang kembali memberlakukan PSBB.

Merujuk pada konteks Sulawesi Tengah, bahwa kasus terkonfirmasi penyebaran virus covid-19 per 13 September 2020 berdasarkan data Pusdatina tercatat 271 kasus positif. Sebaran terbanyak di Kota Palu sebanyak 68 kasus, 60 kasus di Kabupaten Buol, 34 kasus di Banggai, masing 20 kasus di Poso dan di Tolitoli, 17 kasus Morowali Utara, masing-masing 16 kasus di Donggala, 15 kasus Morowali, 9 kasus Parigi Moutong , 5 kasus di Sigi, 4 kasus di Banggai Kepulauan, dan 2 kasus di Banggai Laut serta 1 kasus di Tojo Una-Una.

Kembali meningkatnya angka kasus positif covid-19 di Tanah Air diantaranya  Provinsi Sulawesi Tengah sepatunya harus diwaspadai oleh para penyelenggara. Keputusan penyelenggaraan pilkada serentak pada 9 Desember 2020 merupakan kesepakatan politik yang telah diambil oleh pemerintah melalui Rapat Kerja Komisi II DPR-RI dengan Penyelenggara Pemilu dan Kementerian Dalam Negeri . Dari hasil keputusan tersebut maka terbitlah Perppu Nomor 2 Tahun 2020, yang mengatur pemungutan suara dalam penyelenggaraan pilkada.

Langkah politik yang ditempuh oleh pemerintah sejak awal ini menuai pro dan kontra dalam masyarakat, disebabkan di tengah kondisi bangsa yang fokus pada penanganan pencegahan penyebaran virus Covid-19, kini dihadapkan dengan kontestasi yang melibatkan banyak orang. Maka hal ini akan menjadi PR besar bagi para penyelenggara demi menjaga keselamatan kesehatan masyarakat dalam proses pilkada dan harus menjadi prioritas utama.

Sudah sepatutnya mewaspadai kondisi kekinian penyebaran virus tersebut oleh lembaga penyelenggara dan pihak terkait. karena Setiap tahapan penyelenggaraan tentu memiliki potensi penyebaran virus, kerawanan penyelenggaraan pilkada ditengah pandemi covid-19 akan mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat serta keselamatan peserta dan penyelenggara yang pada akhirnya menentukan kualitas kontestasi demokrasi di Sulawesi Tengah pada khususnya dan Bangsa Indonesia pada Umumnya. Sehingga salah satu upaya yang ditempuh dalam pencegahan penyebaran virus adalah menyesuaikan standar protocol pencegahan covid-19.

Kerawanan penyebaran virus covid-19 penyelenggaraan kontestasi pilkada kali ini berada pada beberapa tahapan diantaranya tahapan pencalonan yang dimulai sejak tanggal 4 september 2020 sampai dengan 24 september 2020 hal ini disebabkan karena rentetan tahapan pencalonan ini banyak mengumpulkan masa dan dalam kerumunan, sebut saja pada pendaftaran calon di KPU dimana banyaknya iring-iringan massa yang mengantarkan pasangan calon untuk mendaftar terkadang mengabaikan protocol kesehatan covid-19 utamanya adalah jaga jarak minimal 1 meter sulit untuk diterapkan dikerumunan.

Tahapan kampanye merupakan waktu dimana tingginya kerawanan penyebaran virus, sebab pengumpulan sejumlah masa secara masif oleh tim pemenangan setiap pasangan calon dapat menyebabkan penyebaran virus semakin meningkat bila panitia yang dibentuk tim pemenangan tidak menerapkan protocol covid-19 dan yang mesti menjadi perhatian oleh pihak penyelenggara kampanye adalah penerapan protocol covid-19 tidak hanya disaat berlangsungnya acara namun saat selesai acara kampanye terkadang peserta kampanye tidak mengindahkan protocol pencegahan covid-19. Penyumpulan orang banyak tidak hanya sampai pada tahapan kampanye namun sampai pada 9 Desember dimana berlangsungnnya pemumutan suara dan pasca perhitungan suara.

Adanya kemungkinan terjadinya klaster baru yang lebih besar dalam penyelenggaraan pilkada kali ini dan turut berkontribusi dalam meningkatkan tingginya angka penyebaran virus covid-19 maka pemerintah sebagai penyelenggara pilkada baik dari KPU, Bawaslu, TNI-Polri, dan Satgas Pencegahan Covid-19 saling besinergi dalam mengsukseskan pesta demokrasi kali ini tentu salah satunya adalah menerbitkan aturan ketat dan terukur dalam setiap tahapan pilkada sehingga dapat meminimalisir penyebaran covid-19 dan baik penyelenggara dan peserta pilkada aman dari infeksi covid-19.

Melihat trend penyebaran virus covid-19 yang kian meningkat maka langkah untuk mengkaji kembali pelaksanaan pilkada pada tanggal 9 desember 2020 perlu dipertimbangkan. Walaupun sejauh ini tahapan pilkada sudah berjalan sampai pada tahapan pencalonan yang tentu sudah menelan anggaran sampai triliun rupiah namun pencegahan korban jiwa akibat infeksi virus ini patut diprioritaskan sehingga langkah penundaan kembali pilkada tahun 2020 sampai kondisi kesehatan bangsa pulih kembali. Ruang untuk penundaan atau pembatalan pilkada sangat terbuka dimana opsi penundaan pilkada diatur dalam undang-undang Nomor 6 tahun 2020 sehingga penundaan tahapan pilkada memiliki dasar yang kuat secara yuridis.

Aminuddin Kasim; Emergency Pandemi Covid-19 Bukan Alasan Pembenar Penggantian Pejabat

Aminuddin Kasim
679 Views

Palu-Jati Centre.  Terhadap kondisi emergency (keadaan darurat) pandemi Covid-19, tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi kepala daerah untuk melakukan penggantian pejabat. Sebab jelas pada Pasal 71 ayat (2) UU Pemilihan Kepala Daerah bahwa penggantian pejabat hanya dapat dilaksanakan apabila mendapat izin tertulis dari Menteri atau terjadi kekosongan jabatan.

Demikian penegasan yang disampaikan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako Aminuddin Kasim, pada rapat koordinasi (rakor) konsolidasi penanganan pelanggaran Pilkada yang dilaksanakan Bawaslu Sulawesi Tengah (Sulteng), di salah satu hotel di Palu, Rabu (19/8/2020).

Rakor menghadirkan peserta Komisioner Bawaslu kabupaten/kota dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19. Seluruh peserta wajib menggunakan masker, mencuci tangan sebelum masuk ruangan, dan menjaga jarak.

Aminuddin Kasim menjelaskan, Pasal 71 ayat (2) UU Pemilihan ditujukan kepada Kepala Daerah (termasuk wakil kepala daerah) yang dimaknai sebagai ketentuan memaksa dengan memuat larangan penggantian pejabat, dan konsekuensi hukum jika ketentuan dilanggar.

“Pasal 71 ayat (2)  UU Pemilihan sudah secara tegas menyatakan bahwa Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang melakukan pergantian pejabat selama enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali memperoleh izin tertulis dari Mendagri atau terdapat kekosongan jabatan,” jelasnya.

Dengan dasar tersebut menurut Aminuddin, jika terjadi dan terbukti ada kepala daerah melakukan hal itu, konsekuensi hukum Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Pemilihan yaitu sanksi pidana sebagaimana diatur Pasal 190 Undang-Undang Pemilihan, dan sanksi pelanggaran hukum lainnya yang diatur di luar Undang-Undang Pemilihan.

Serta sanksi administratif bagi kepala daerah yang akan maju dalam suksesi pemilihan sebagai petahana untuk dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) sebagai pasangan calon sesuai ketentuan 89 huruf a PKPU Nomor 1 Tahun 2020, atau dibatalkan sebagai pasangan calon sesuai dengan ketentuan Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan juncto Pasal 90 ayat (1) huruf e PKPU Nomor 1 Tahun 2020.

Saat ditanya, apakah pelanggaran Pasal 71 ayat (2) harus berbarengan dengan Pasal 71 ayat (3) UU Pemilihan, karena adanya diksi “dan” dalam kandungan Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan.

Aminuddin menjelaskan, Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan telah diubah maknanya sesuai putusan Mahkamah Agung Nomor 570/TUN/PILKADA/2016 yang diputuskan pada 4 Januari 2017 terkait pelanggaran Pasal 71 ayat (2) di Pilkada Kabupaten Boalemo tahun 2017.

Berdasarkan teori perubahan konstitusi, dengan putusan pengadilan atas pengujian Undang-Undang sehingga merubah makna dari peraturan walaupun belum dilakukan perubahan diksi dalam peraturan tersebut.

“Terhadap Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan walaupun masih tertulis diksi “dan”, tapi makna sebenarnya adalah “atau,” jelasnya.

Artinya, walaupun diksi “dan” (komulatif) dalam Undang-Undang, tetapi makna sebenarnya adalah “atau” (alternatif). Pemahaman ini satu tarikan dengan ketentuan Pasal 89 PKPU tentang Pencalonan, yang telah mengubah menjadi diksi “atau” bukan lagi diksi “dan” seperti halnya diksi dalam UU Pemilihan. Mashur