Perkumpulan Indonesia Memilih Angkat Topik Diskusi, Tantangan Pilkada Masa COVID-19

302 Views

Palu-Jati Centre.– Perkumpulan Indonesia Memilih (PIM) menggelar diskusi publik bertema Pilkada di masa COVID ; tunda atau lanjutkan, bagaimana tantangan dan solusinya. Hadiri sebagai Narasumber Ketua Bawaslu Sulteng, Ketua KPU Sulteng, Ketua Umum Pengurus Besar Alkhairaat diwakili Dr. Lukman Tahir dan Plt. Perwakilan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan puluhan peserta perwakilan Organisasi Kepemudaan (OKP), Organisasi Masyarakat (Ormas) dan Media. Diskusi dipandu langsung Direktur PIM Rusli Attaqi di Warkop Tungku Kopi Kota Palu, Jum’at (2/10/2020).

Ketua KPU Sulteng, Tanwir Lamaming mengatakan, KPU wajib mengikuti sesuai Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara pemerintah, DPR RI dan Penyelenggara tetap memutuskan melaksanakan Pilkada serentak 9 Desember tahun 2020.

“Kita adalah sebuah lembaga yang sifatnya hierarki, terstruktur mulai dari tingkat KPU RI, KPU Provinsi hingga tingkat bawah, berarti kami wajib mengikuti apa yang telah disepakati, dengan penerapan protokol kesehatan yang sangat ketat”, tuturnya.

“Perkumpulan yang mengusulkan supaya pemilihan ini di tunda karena pandemi covid semakin meningkat saya kira persoalan itu kemudian sudah terjawab dengan adanya RDP yg di lakukan pemerintah DPR RI dan penyelenggara yang kemudian memutuskan bahwa tetap dilaksanakan pemilihan serentak di 9 desember 2020”, jelasnya.

Senada dengan hal itu, Ketua Bawaslu, Ruslan Husen mengatakan, Pilkada kali ini tidak hanya menggunakan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia (luber) jujur dan adil (jurdil) tetapi juga prinsip keselamatan untuk semua.

“Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di masa pandemi covid 19 dilanjutkan dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Jadi bukan hanya prinsip luber dan jurdil tapi juga prinsip keselamatan untuk semua”, ujarnya.

Lukman Tahir selaku perwakilan Ketua Umum Pengurus Besar Alkhairaat, mengatakan pada dasarnya sepakat Pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020. Hal tersebut mengingat akan banyak pelaksana tugas (Plt) Kepala Daerah jika kontestasi ini ditunda.

“Sementara kita ketahui, kewenangan Plt kepala daerah, tidak sama kuatanya dengan kepala daerah defenitif,” sebutnya.

Menurutnya, jika ditunda Pilkada alasan penyebaran covid-19, maka juga belum bisa dipastikan kapan dilanjutkan sebab Covid belum bisa dipastikan kapan berakhir.

“Sementara, kepemimpinan ini faktor utama dengan pertimbangan ketika ditunda ini akan lebih beresiko artinya aspek mudaratnya lebih besar,” kata Lukman Tahir.

Alfina selaku Narasumber dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng, menambahkan, dalam menghadapi Pilkada butuh kerjasama dengan masyarakat untuk melakukan pencegahan dengan memgedukasi masyarakat terkait penerapan protokol covid-19.

“Pada tahap Pilkada baik itu pada tahap awal persiapan, pelaksanaan bahkan sampai dengan pemilihan nanti tentu terjadi kerumunan massa, maka protokol kesehatan mutlak diterapkan,” sebutnya.

Dari itu menurutnya, dalam waktu 3 bulan ke depan, Ia mengajak untuk bersama-sama melakukan pencegahan, dan melakukan edukasi kepada masyarakat terkait penerapan protokol covid-19,” tuturnya

“Mari kita sama-sama melakukan upaya-upaya promotif dan preventif dalam menjamin kesehatan dan keselamatan masyarakat”, harapnya.

Foto Bersama Narasumber dan Jajaran PIM usai dialog. FOTO : Rendy

 

ASN, antara Netralitas dan Politik “Balas Budi”

314 Views

Oleh : DEBY ANASTASYA, SH
(Koordinator Divisi Hukum dan Pengawasan PIM)

Pemilihan Kepala Daerah atau PILKADA yang merupakan Pesta demokrasi terbesar tahun ini sudah di depan mata, berbagai rangkaian kegiatan dan tahapan sudah dilaksanakan seperti penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) hingga penetapan Calon kepala daerah yang akan diumumkan pada 23 September 2020 oleh KPU. Selain itu, tahapan kampanye akan dimulai pada 26 September 2020 sampai dengan 5 Desember 2020 atau selama 71 hari yang mana KPU membagi masa kampanye pada pilkada tahun ini menjadi 3 fase.

Setiap tahapan Pemilihan terdapat beberapa kerawanan yang berpotensi mengganggu kelancaran tahapan Pemilihan. Salah satu sumber kerawanan Pemilihan adalah netralitas ASN. Meskipun ada banyak aturan yang melarang keberpihakan ASN dalam Pemilihan seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020 yang ditandatangai oleh Kemenpan RB, Kemendagri, BKN, Bawaslu, dan KASN pada Kamis 10/9/2020 yang mengatur secara detail mengenai pengawasan Netralitas ASN, nyatanya masih banyak oknum ASN yang melanggar netralitasnya.

Provinsi Sulawesi Tengah sendiri berdasarkan data Penanganan Pelanggaran ASN pada Pemilihan 2020 oleh Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah terdapat 53 kasus yang direkomendasikan ke KASN dari 57 kasus teregistrasi, sedangkan 4 kasus lainnya dinyatakan tidak memenuhi unsur pelanggaran. Angka ini menunjukan jumlah pelanggaran Netralitas ASN di  Sulawesi Tengah terbilang Tinggi. Hal ini tentu merupakan ceriminan perilaku buruk pejabat pemerintahan kita.

Kerawanan netralitas ASN ini makin terlihat jelas dan meningkat saat incumbent berlaga pada kontestasi Pemilihan. Ada beberapa alasan oknum ASN menjadi “tidak netral” dalam hal ini, seperti loyalitas terhadap atasan dan juga “balas budi” atas jasa yang diberikan oleh incumbent tersebut. Menyoroti politik “balas budi” dalam hal ini, tentu erat kaitannya dengan Nepotisme dan jual-beli jabatan pada masa kepemimpinan incumbent di era sebelumnya. Saat oknum ASN sudah merasakan nikmatnya jabatan yang diberikan, maka secara otomatis ia akan mendukung incumbent tersebut tanpa memandang kualitas kepemimpinannya secara profesional apalagi program futuristik yang ditawarkan bahkan tanpa menghayati lebih jauh netralitasnya sebagai seorang abdi negara.

Bahkan ada beberapa oknum ASN yang paham akan aturan netralitasnya  bukannya menerapkan aturan itu malah mencari celah untuk “mengelabui” aturan tersebut. Salah satunya dengan mengerahkan dukungan secara tidak langsung tapi melalui pihak ketiga seperti suami/istri non ASN, bahkan bawahan yang berstatus non ASN atau honorer. Hal ini kemudian menjadi PR bagi lembaga pengawasan pemilu untuk mampu menjangkau hal-hal yang lebih jauh seperti itu untuk menjaga kualitas tahapan Pemilihan.

Muncul pertanyaan getir nan menggelitik. Saat budaya Nepotisme, jual beli jabatan masih mendarah daging pada tiap pribadi pemegang jabatan yang kemudian tetap lekat dalam tahapan pemilihan sebagai sarana demokrasi maka kualitas kepemimpinan seperti apa yang kita harapkan dari para pejabat negara yang terpilih?

Sumber Gambar Unggulan: https://www.rakyatcirebon.id/

Kerawanan Pilkada dimasa Pandemi COVID-19

296 Views

Kerawanan Pilkada di masa Pandemi COVID-19

Oleh

Bambang Rinaldi (Direktur Lembaga Studi Informasi dan Pendidikan)

Sejak diberlakukannya new normal atau kenormalan baru pada bulan juni 2020 oleh pemerintah, maka aktivitas pemerintahan, perekonomian, dan sosial serta tempat ibadah berangsur-angsur kembali berjalan, namun pemaknaan new normal dimasyarakat terkadang masih keliru, pemahaman bahwa new normal adalah kembalinya ke masa sebelum pandemi covid-19 sehingga penerapan standar protocol pencegahan tersebut sering kali terabaikan. Dampak dari pemahaman itu kemudian belakangan ini mulai dirasakan dimana angka kasus penyebaran covid-19 kembali melonjak naik dibeberapa daerah termaksud ibukota DKI Jakarta yang kembali memberlakukan PSBB.

Merujuk pada konteks Sulawesi Tengah, bahwa kasus terkonfirmasi penyebaran virus covid-19 per 13 September 2020 berdasarkan data Pusdatina tercatat 271 kasus positif. Sebaran terbanyak di Kota Palu sebanyak 68 kasus, 60 kasus di Kabupaten Buol, 34 kasus di Banggai, masing 20 kasus di Poso dan di Tolitoli, 17 kasus Morowali Utara, masing-masing 16 kasus di Donggala, 15 kasus Morowali, 9 kasus Parigi Moutong , 5 kasus di Sigi, 4 kasus di Banggai Kepulauan, dan 2 kasus di Banggai Laut serta 1 kasus di Tojo Una-Una.

Kembali meningkatnya angka kasus positif covid-19 di Tanah Air diantaranya  Provinsi Sulawesi Tengah sepatunya harus diwaspadai oleh para penyelenggara. Keputusan penyelenggaraan pilkada serentak pada 9 Desember 2020 merupakan kesepakatan politik yang telah diambil oleh pemerintah melalui Rapat Kerja Komisi II DPR-RI dengan Penyelenggara Pemilu dan Kementerian Dalam Negeri . Dari hasil keputusan tersebut maka terbitlah Perppu Nomor 2 Tahun 2020, yang mengatur pemungutan suara dalam penyelenggaraan pilkada.

Langkah politik yang ditempuh oleh pemerintah sejak awal ini menuai pro dan kontra dalam masyarakat, disebabkan di tengah kondisi bangsa yang fokus pada penanganan pencegahan penyebaran virus Covid-19, kini dihadapkan dengan kontestasi yang melibatkan banyak orang. Maka hal ini akan menjadi PR besar bagi para penyelenggara demi menjaga keselamatan kesehatan masyarakat dalam proses pilkada dan harus menjadi prioritas utama.

Sudah sepatutnya mewaspadai kondisi kekinian penyebaran virus tersebut oleh lembaga penyelenggara dan pihak terkait. karena Setiap tahapan penyelenggaraan tentu memiliki potensi penyebaran virus, kerawanan penyelenggaraan pilkada ditengah pandemi covid-19 akan mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat serta keselamatan peserta dan penyelenggara yang pada akhirnya menentukan kualitas kontestasi demokrasi di Sulawesi Tengah pada khususnya dan Bangsa Indonesia pada Umumnya. Sehingga salah satu upaya yang ditempuh dalam pencegahan penyebaran virus adalah menyesuaikan standar protocol pencegahan covid-19.

Kerawanan penyebaran virus covid-19 penyelenggaraan kontestasi pilkada kali ini berada pada beberapa tahapan diantaranya tahapan pencalonan yang dimulai sejak tanggal 4 september 2020 sampai dengan 24 september 2020 hal ini disebabkan karena rentetan tahapan pencalonan ini banyak mengumpulkan masa dan dalam kerumunan, sebut saja pada pendaftaran calon di KPU dimana banyaknya iring-iringan massa yang mengantarkan pasangan calon untuk mendaftar terkadang mengabaikan protocol kesehatan covid-19 utamanya adalah jaga jarak minimal 1 meter sulit untuk diterapkan dikerumunan.

Tahapan kampanye merupakan waktu dimana tingginya kerawanan penyebaran virus, sebab pengumpulan sejumlah masa secara masif oleh tim pemenangan setiap pasangan calon dapat menyebabkan penyebaran virus semakin meningkat bila panitia yang dibentuk tim pemenangan tidak menerapkan protocol covid-19 dan yang mesti menjadi perhatian oleh pihak penyelenggara kampanye adalah penerapan protocol covid-19 tidak hanya disaat berlangsungnya acara namun saat selesai acara kampanye terkadang peserta kampanye tidak mengindahkan protocol pencegahan covid-19. Penyumpulan orang banyak tidak hanya sampai pada tahapan kampanye namun sampai pada 9 Desember dimana berlangsungnnya pemumutan suara dan pasca perhitungan suara.

Adanya kemungkinan terjadinya klaster baru yang lebih besar dalam penyelenggaraan pilkada kali ini dan turut berkontribusi dalam meningkatkan tingginya angka penyebaran virus covid-19 maka pemerintah sebagai penyelenggara pilkada baik dari KPU, Bawaslu, TNI-Polri, dan Satgas Pencegahan Covid-19 saling besinergi dalam mengsukseskan pesta demokrasi kali ini tentu salah satunya adalah menerbitkan aturan ketat dan terukur dalam setiap tahapan pilkada sehingga dapat meminimalisir penyebaran covid-19 dan baik penyelenggara dan peserta pilkada aman dari infeksi covid-19.

Melihat trend penyebaran virus covid-19 yang kian meningkat maka langkah untuk mengkaji kembali pelaksanaan pilkada pada tanggal 9 desember 2020 perlu dipertimbangkan. Walaupun sejauh ini tahapan pilkada sudah berjalan sampai pada tahapan pencalonan yang tentu sudah menelan anggaran sampai triliun rupiah namun pencegahan korban jiwa akibat infeksi virus ini patut diprioritaskan sehingga langkah penundaan kembali pilkada tahun 2020 sampai kondisi kesehatan bangsa pulih kembali. Ruang untuk penundaan atau pembatalan pilkada sangat terbuka dimana opsi penundaan pilkada diatur dalam undang-undang Nomor 6 tahun 2020 sehingga penundaan tahapan pilkada memiliki dasar yang kuat secara yuridis.

Aminuddin Kasim; Emergency Pandemi Covid-19 Bukan Alasan Pembenar Penggantian Pejabat

Aminuddin Kasim
681 Views

Palu-Jati Centre.  Terhadap kondisi emergency (keadaan darurat) pandemi Covid-19, tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi kepala daerah untuk melakukan penggantian pejabat. Sebab jelas pada Pasal 71 ayat (2) UU Pemilihan Kepala Daerah bahwa penggantian pejabat hanya dapat dilaksanakan apabila mendapat izin tertulis dari Menteri atau terjadi kekosongan jabatan.

Demikian penegasan yang disampaikan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako Aminuddin Kasim, pada rapat koordinasi (rakor) konsolidasi penanganan pelanggaran Pilkada yang dilaksanakan Bawaslu Sulawesi Tengah (Sulteng), di salah satu hotel di Palu, Rabu (19/8/2020).

Rakor menghadirkan peserta Komisioner Bawaslu kabupaten/kota dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19. Seluruh peserta wajib menggunakan masker, mencuci tangan sebelum masuk ruangan, dan menjaga jarak.

Aminuddin Kasim menjelaskan, Pasal 71 ayat (2) UU Pemilihan ditujukan kepada Kepala Daerah (termasuk wakil kepala daerah) yang dimaknai sebagai ketentuan memaksa dengan memuat larangan penggantian pejabat, dan konsekuensi hukum jika ketentuan dilanggar.

“Pasal 71 ayat (2)  UU Pemilihan sudah secara tegas menyatakan bahwa Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang melakukan pergantian pejabat selama enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali memperoleh izin tertulis dari Mendagri atau terdapat kekosongan jabatan,” jelasnya.

Dengan dasar tersebut menurut Aminuddin, jika terjadi dan terbukti ada kepala daerah melakukan hal itu, konsekuensi hukum Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Pemilihan yaitu sanksi pidana sebagaimana diatur Pasal 190 Undang-Undang Pemilihan, dan sanksi pelanggaran hukum lainnya yang diatur di luar Undang-Undang Pemilihan.

Serta sanksi administratif bagi kepala daerah yang akan maju dalam suksesi pemilihan sebagai petahana untuk dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) sebagai pasangan calon sesuai ketentuan 89 huruf a PKPU Nomor 1 Tahun 2020, atau dibatalkan sebagai pasangan calon sesuai dengan ketentuan Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan juncto Pasal 90 ayat (1) huruf e PKPU Nomor 1 Tahun 2020.

Saat ditanya, apakah pelanggaran Pasal 71 ayat (2) harus berbarengan dengan Pasal 71 ayat (3) UU Pemilihan, karena adanya diksi “dan” dalam kandungan Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan.

Aminuddin menjelaskan, Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan telah diubah maknanya sesuai putusan Mahkamah Agung Nomor 570/TUN/PILKADA/2016 yang diputuskan pada 4 Januari 2017 terkait pelanggaran Pasal 71 ayat (2) di Pilkada Kabupaten Boalemo tahun 2017.

Berdasarkan teori perubahan konstitusi, dengan putusan pengadilan atas pengujian Undang-Undang sehingga merubah makna dari peraturan walaupun belum dilakukan perubahan diksi dalam peraturan tersebut.

“Terhadap Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan walaupun masih tertulis diksi “dan”, tapi makna sebenarnya adalah “atau,” jelasnya.

Artinya, walaupun diksi “dan” (komulatif) dalam Undang-Undang, tetapi makna sebenarnya adalah “atau” (alternatif). Pemahaman ini satu tarikan dengan ketentuan Pasal 89 PKPU tentang Pencalonan, yang telah mengubah menjadi diksi “atau” bukan lagi diksi “dan” seperti halnya diksi dalam UU Pemilihan. Mashur