Inovasi Pengelolaan Data dan Informasi Bawaslu

247 Views

Data dan informasi mutlak diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan kewajiban Bawaslu, sekaligus indikator kemapanan dan kemajuan lembaga. Bawaslu menganggap penting data dan informasi, hingga pengelolaannya harus direncanakan dengan matang, dilaksanakan secara taat asas dan perlu dievaluasi untuk perbaikan pelayanan dan peningkatan kinerja di masa yang akan datang.

Keterbukaan Informasi Publik
Dalam era milenial saat ini, kinerja lembaga modern harus berbasis pada data dan informasi yang diolah dengan sistem elektronik. Transformasi pengelolaan dari cara manual dengan dokumen yang menimpuk kini beralih menggunakan sarana teknologi informasi. Secara konkrit data, informasi dan fakta diubah dan disarikan dalam bentuk digital-elektronik yang mudah diakses. Tidak lagi terbebani dengan jumlah dan fisik dokumen administrasi yang banyak dan menumpuk, cukup dengan bekal flash disk penyimpan data.

Bawaslu juga menyadari transformasi pengelolaan data dan informasi itu, dengan melakukan beberapa inovasi kreatif guna peningkatan kinerja. Walhasil memperoleh anugerah urutan ke-tiga terbaik tahun 2018 sebagai lembaga berkategori “Informatif” dari Komisi Informasi Publik (KIP). Pencapaian ini dilandasi atas kinerja dan etos jajaran Bawaslu, bahwa masyarakat memperoleh akses informasi dengan mudah, cepat, akurat dan terpercaya.

Pencapaian prestasi Bawaslu sebagai lembaga Informatif dari KIP, berangkat dari transformasi kinerja yang selalu meningkat, ada banyak pihak dan peran yang saling mendukung. Jika dicermati, indikator keberhasilan berbasis pada tiga hal.
Pertama, Komitmen bersama. Komitmen bersama Bawaslu lahir dari cita-cita menjadi lembaga yang terpercaya untuk pelaksanaan fungsi pengawasan pelaksanaan tahapan Pemilu. Setiap jajaran pelayan publik pasti berkomitmen untuk memberikan pelayanan maksimal sesuai dengan tugas dan kewajiban instansinya, demikian pula dengan Bawaslu. Indikator pendukung komitmen ini adalah titik temu pandangan Pimpinan Bawaslu hingga tersedianya Standar Operasional Prosedur (SOP) lembaga sebagai pendukung profesionalisme lembaga. Berkat SOP, masyarakat menjadi terang dalam memperoleh akses layanan publik Bawaslu, demikian pula dengan Bawaslu menjadi lebih terarah, hingga pencapaian dan evaluasi kinerja lebih terukur.
Kedua, Koordinasi maksimal. Pelaksanaan pekerjaan di lembaga sebesar Bawaslu, dalam mengurusi fungsi pengawasan, penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa sebagaimana ditetapkan dalam UU tentu tidaklah mudah. Apalagi ditambah dengan pembinaan dan supervisi jajaran Pengawas Pemilu khususnya di Provinsi dan Kab/Kota. Kata kunci dari maksimalisasi hasil kerja adalah koordinasi top manajerial yang telah terjalin baik. Koordinasi hadir lewat komunikasi harmonis yang telah terbangun, dengan aspek kedekatan emosional diantara pada staf dan pimpinan.
Telah ada kesamaan persepsi yang menjadi perhatian bersama, titik temu yang menjadi potensi dengan berusaha mengenyampingkan titik pembeda diantara para pengambil keputusan dan kebijakan. Semua itu terlaksana dengan baik, saat koordinasi dijalankan dengan baik, saat semua pihak sadar dan mengerti peran yang menjadi tanggungjawabnya.
Di organisasi manapun, kata kunci koordinasi menjadi penentu keberhasilan. Koordinasi yang sehat akan mendukung penyelesaian pekerjaan secara berkualitas. Koordinasi akan membuat sasaran dan pencapaian program dan kegiatan menjadi terarah.
Ketiga, Inovasi. Memanfaatkan sarana teknologi berupa media yang mudah diakses oleh publik, misalnya : email, whatsapp, facebook, twitter dan instagram yang dikelola oleh staf profesional menjadi pendukung pencapaian Bawaslu sebagai lembaga informatif. Konsepsi yang dibangun, bahwa akses informasi Bawaslu ditujukan agar publik dapat memanfaatkan dengan cepat dan mudah. Mendukung inovasi progresif itu, turut pula diterbitkan buku panduan keterbukaan informasi publik, yang turut menjadi andil pencapaian itu.
Intinya inovasi merupakan kebutuhan untuk maju dan berhasil. Perubahan zaman bergerak begitu cepat. Siapa saja dalam pergulatan zaman tidak membuat dan menyesuaikan dengan perubahan zaman, maka Ia harus bersiap-siap tergilas oleh perubahan zaman, tertinggal dan tidak memiliki arti. Perubahan zaman menuntut mereka-mereka yang produktif dan siap bersaing dengan melahirkan karya-karya transformatif, sekaligus siap keluar dari zona nyaman yang juga menuntut inovasi. Dari itu, Bawaslu perlu terus melakukan inovasi, agar senantiasa tercatat sebagai lembaga informatif, terpercaya, dan profesional.

Pengelolaan Data dan Informasi
Bawaslu memiliki struktur lembaga yang didalamnya terdapat Divisi Hukum, Data dan Informasi. Divisi ini bertanggungjawab atas pengelolaan data dan informasi dari kerja-kerja Bawaslu secara kelembagaan. Hakikat pengelolaan data dan informasi lembaga guna mengukur pencapaian dan proyeksi ke depan. Olehnya, setiap Divisi di struktur Bawaslu idealnya selalu mengkoordinasi dan menyerahkan data dan informasi kerja-kerja kedivisian kepada Divisi Hukum, Data dan Informasi ini, untuk dikelola dengan sistem data base agar nantinya dapat diakses oleh internal Bawaslu dan pihak masyarakat dengan mudah dan cepat.

Pencapaian Bawaslu sebagai lembaga informatif, telah menutup sekat bahwa Bawaslu itu lembaga yang tertutup dan tidak memiliki sistem pengelolaan data. Semua itu berhasil ditepis dengan hasil gemilang sebagai lembaga Informatif tahun 2018. Selanjutnya, saat ini adalah mempertahankan prestasi itu, sekaligus meningkatkan kinerja dan karya di masa-masa yang akan datang.

Setidaknya, ada beberapa yang menjadi konsen dan patut dipelihara, yakni Layanan on line senantiasa terpelihara, dengan dukungan jaringan internet yang kuat serta dukungan kapasitas sumber daya manusia yang handal.

Perlu diingat, prestasi itu adalah pencapaian Bawaslu RI, bukan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kab/Kota. Dengan inspirasi capaian itu, jajaran Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kab/Kota dapat juga memacu diri dan lembaga mengikuti jejak Bawaslu sebagai lembaga informatif. Kesepahaman dan komitmen bersama menjadi pendukung atas niatan visioner ini. Apalagi contoh keberhasilan telah dimiliki oleh internal Bawaslu, tinggal dimodifikasi dan diiringi dengan inovasi progresif agar pencapaian juga dapat diraih oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kab/Kota kedepannya. Semoga.

—————————————————————————————————————–
Catatan, Diolah dari Sambutan Pembukaan Rakor Data dan Informasi Bawaslu, Palembang, Rabu (21/11/2018)

Transformasi Rule Of Ethics

384 Views

TRANSFORMASI RULE OF ETHICS
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.


Norma hukum saat ini tidak dapat bekerja dengan baik lagi, keterpurukan hukum turut mewarnai proses penegakan hukum. Hukum tidak berjalan sesuai cita-cita dan harapan reformasi yakni semangat menegakkan keadilan substansial. Potret buram proses penegakan hukum jauh dari semangat keadilan substansial, membuat masyarakat menjadi pesimis pada aparat penegak hukum dan ragu akan putusan pengadilan yang dihasilkan.

Keterpurukan hukum belakang ini, membuat masyarakat semakin galau menghadapi apa yang tengah dilakukan, jaminan kepastian hukum dan keadilan seakan menjadi barang langka dan mewah, tidak semua orang dapat mengakses. Hal ini dapat dipahami sebagai implikasi dari arus perubahan yang begitu cepat dalam kehidupan berdemokrasi. Dengan demikian, bisa dipahami kekacauan nilai-norma yang berimplikasi pada degradasi norma termasuk sistem nilai agama dan nilai adat yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dalam kaitan ini, hendak disadari bahwa agama sebagai pedoman hidup berkaitan dengan yang suci (sacred) yang dari awal memang mengandung kekuatan yang ambivalen. Kata “sacred” (latin, sacer) itu sendiri bisa berarti karunia atau kutukan, suci atau cercaan. Secara konkrit dicermati modus peribadatan yang berhenti sebagai pemujaan lahiriah formalitas peribadatan, tanpa kesanggupan menggali nilai spiritualitas dan moralitas. Belum lagi memisahkan antara kesalehan spiritual yang tidak imbang dengan kesalehan sosial atau sebaliknya. Hanya mementingkan aspek ritual peribadatan tanpa ada empati dan perbaikan terhadap kehidupan sosial-kenegaraan.

Kenyataan ini menurut Yudi Latif dalam bukunya-Makrifat Pagi, sangat berbahaya, sebab akar terdalam dari keterpurukan dalam kehidupan berbangsa adalah “dusta terhadap agama” dengan peribadatan yang keliru. Tanpa menyelami kedalaman pengalaman dan praktek spiritual secara hakiki, keberagamaan menjadi mandul, kering, dan keras, tidak memiliki empati-kontemplatif. Tanpa kedalaman spiritual dengan ketulusan bakti, peribadatan tidak akan membawa dampak konstruktif, melainkan menjadi deskruktif bagi kemanusiaan. Orang yang pura-pura mengabdi pada Tuhan akan berpura-pura pula mengabdi kepada kemanusiaan, yang selanjutnya melahirkan perilaku korupsi dan perilaku tidak terpuji lainnya. Orang seperti ini tidak pantas dipilih dan dijadikan sebagai pemimpin serta tidak dapat dipercaya memikul amanah.

Bangsa Indonesia adalah negara yang religius, dengan menempatkan agama sebagai bagian penting penopang kehidupan berbangsa. Tetapi menjadi suatu keprihatinan semua pihak, karena dalam suasana yang bersamaan, praktek korupsi masih tumbuh subur masuk dan meracuni semua tingkatan Pemerintahan dan sendi-sendi pelayanan publik. Indonesia sebagai negara yang agamais, tetapi di satu sisi koruptor pun berjalan dinamis. Padahal agama yang meresap dan menjadi karakter spiritual individu akan mencegah dari perbuatan terlarang dan tercela. Sehingga menjadi pertanyaan besar, apa yang salah dengan praktek keberagamaan kita.

Keberagaman yang dipraktekkan masih bersifat formalistik kering dengan substansi spiritual, dan ini jelas membutuhkan langkah perbaikan konstruktif dan holistik (menyeluruh). Inilah yang menjadi akar keterpurukan penegakan hukum yang turut mempengaruhi aspek kehidupan lainnya. Bangsa kita telah menghadapi goncangan nilai-norma yang luar biasa. Oleh karena itu, perlu dikembangkan tradisi yang menurut Jimly Asshiddiqie bukan hanya menjalankan amanat rule of law saja, tetapi perlu mentradisikan sikap kepatuhan pada rule of ethics. Artinya penegakan hukum dilaksanakan secara beriringan dengan penegakan kode etika melalui sikap dan perilaku yang berintegritas dan bermartabat dari aparatur pemerintahan.

Transformasi Sebagai Upaya Bersama
Praktek etika harus diartikulasikan dalam sistem norma hukum yang bila dicermati lebih jauh tentu sudah banyak beban penerapan. Misalnya, semua penjara di Indonesia sekarang hampir penuh bahkan mayoritas over kapasitas, karena penjara terus diisi terpidana pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum yang dilakukan itu sebetulnya tidak lepas dari pelanggaran etika. Jika melanggar norma hukum secara otomatis juga melakukan pelanggaran norma etika.

Dunia sekarang mengalami kekacauan norma hukum yang berdampak langsung pada penegakan hukum. Dalam konteks Indonesia, kekacauan sudah sangat parah dan meresahkan, karena itu tidak bisa lagi hanya mengandalkan sistem hukum yang ada. Tetapi perlu dibangun infrastruktur dan kesadaran ethics untuk mengontrol perilaku rakyat Indonesia ke depan, terutama para elit-elit yang melaksanakan tugas pelaksana pemerintahan di berbagai bidang. Paradigma yang dibangun adalah penegakan hukum yang diiringi dengan penegakan etika secara bersama-sama. Dicontohkan, ibarat kapal adalah hukum dan bahtera-lautan adalah etika, maka kapal dapat mencapai arah-tujuan ketika mengarungi bahtera-lautan yang memberi daya dukung. Demikian pula, kapal tidak akan bergerak, saat tidak menyentuh lautan.

Dengan demikian, tugas utama sebagai anak bangsa di antaranya ialah mengembalikan hakikat etika dalam kehidupan berbangsa termasuk membangun tradisi filsafat moral sebagai basis ilmiah dalam menjelaskan kebaikan dan segala tindakan keburukan. Majelis dan diskusi yang mengarah pada peningkatan kapasitas keilmuan dan spiritual dengan pokok bahasan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi penting digalakkan.

Dari kultur yang tumbuh dan berkembang dalam praktek hidup secara tidak tertulis, atau dengan hanya mengacu kepada teologis teks-teks kitab suci agama, lama-kelamaan muncul kebutuhan kodifikasi untuk menuliskan kaidah-kaidah etika ke dalam bentuk kode etik dan pedoman perilaku yang konkrit dan dapat difungsikan sebagai sarana pengendalian dan penuntut perilaku ideal dalam kehidupan bersama.

Lihat saja struktur profesi yang sudah memiliki struktur norma kode etik yang mengontrol anggotanya dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Situasi ini melahirkan berbagai organisasi negara yang memiliki kode etik sebagaimana kode etik Kedokteran, kode etik Aparatur Sipil Negara, kode etik Jurnalistik, kode etik Advokat dan lain-lain. Tetapi semua itu masih berjalan formalitas karena dalam penegakan hampir tidak terdengar gaungnya. Tidak ada ketegasan dalam penegakan kode etik baik bersifat struktural maupun individu yang ada di dalamnya. Yang lebih disayangkan saat kode etik dibuat seakan-akan untuk saling melindungi dan menutupi pelanggaran.

Perlu kesadaran politik yang bijak, di mana zaman sudah modern dan demokrasi substansial sudah menjadi pilihan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak berbuat secara terbuka. Harus ditunjukkan sikap transparan baik dari segi kelembagaan maupun dari sisi keanggotaan. Dengan cara ini akan tercipta mekanisme yang terbuka dan masyarakat bisa tahu mana yang benar dan mana yang salah. Termasuk memberi layanan publik prima, serta mengelola sumber daya secara akuntabel, dan bebas dari segala bentuk penyalahgunaan dan penyimpangan.

Disamping itu, sistem norma etika juga dapat difungsikan sebagai penyaring dan sekaligus penopang bagi bekerja efektifnya sistem hukum. Setiap kali terjadi perilaku menyimpang, sebelum memasuki ranah penegakan hukum, terlebih dahulu tersedia sistem etika yang melakukan koreksi. Seperti doktrin dalam ilmu hukum pidana, bahwa hukum pidana harus dilihat sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), sesudah upaya lain habis atau tidak lagi ampuh, secara keseluruhan maka hukum seharusnya dilihat sebagai upaya terakhir. Dengan demikian tidak semua perbuatan menyimpang dari norma langsung ditangani mekanisme hukum untuk mengatasi semua jenis penyimpangan perilaku manusia dalam kehidupan bersama.

Etika Politik dan Etika Pemilu
Mundurnya pejabat negara di Jepang dari jabatannya setelah skandal atau berita mengenai suatu kegagalan dalam melaksanakan tugas terpublikasi, sering diberitakan media massa. Mengapa “pengunduran diri” merupakan cara yang ditempuh oleh pejabat negara di Jepang tersebut. Ternyata orang Jepang terkenal memiliki nilai-nilai pengorbanan diri dan dedikasi yang tinggi terhadap komunitasnya, serta nilai loyalitas kepada keluarga, kampung halaman, komunitas, serta kepada negara.

Di era modern Jepang saat ini, nilai-nilai tradisional tersebut diwariskan dan diwujudkan dalam bentuk lain seperti: kerja keras, rasa hormat, pelayanan, kinerja nyata, serta moral yang tinggi. Nilai-nilai tersebut masih mendarah daging dan sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Jepang pada umumnya. Oleh karena itu, di dalam etika politik dan pemerintahan dapat dikatakan bahwa metode pengunduran diri seorang pejabat negara di Jepang dianggap sebagai bentuk rasa tanggung jawab, karena telah merugikan kepentingan bersama dan malah mengutamakan kepentingan pribadi.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia, sebenarnya memiliki nilai-nilai tradisional yang juga ditanamkan sejak dahulu, seperti nilai budaya, agama, dan adat istiadat yang bermacam-macam bentuk. Nilai-nilai itu mengandung kejujuran, keteladanan, toleransi, tanggung jawab, disiplin, etos kerja, dan gotong royong. Namun, jika menyoroti secara khusus etika politik dan pemerintahan di kalangan elite politisi dan pejabat negara di Indonesia, nilai-nilai tradisional yang tertanam tadi tidak nampak terlihat pada diri mereka seperti apa yang nampak terlihat pada kalangan pejabat negara di Jepang.

Melihat yang terjadi pada negara Jepang, sepertinya masih terasa jauh bagi politisi serta pejabat negara ini untuk menuju ke arah sana. Namun, selalu ada kesempatan bagi siapa pun yang memiliki keinginan kuat untuk maju demi kepentingan bangsa dan negara. Indonesia harus bisa mengejar untuk menjadi negara modern yang dapat berpolitik dengan nilai-nilai tradisional yang dibanggakan. Tentunya, semua berawal dari niat yang mulia dari para politisi dan pejabat negara Indonesia untuk selanjutnya diikuti oleh masyarakat-pemilik kedaulatan dalam negara.

Berangkat dari sini, harus dilakukan pembenahan terhadap etika kehidupan berbangsa yang dimulai dengan membenahi etika politik. Konsolidasi demokrasi menuntut etika politik yang memberikan kematangan emosional dan dukungan rasional untuk menerapkan prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanan pada pentingnya etika politik pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan etika politik yang tertanam kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut. Implikasinya, proses demokratisasi tanpa etika politik yang mengakar akan rentan dan bahkan mudah hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang rapuh.

Sekarang yang diharapkan adalah adanya pencerahan dari kembalinya akademisi, budayawan dan agamawan yang bermoral sehingga kita senantiasa kembali pada etika dan moralitas. Krisis dan keterpurukan hukum yang mempengaruhi berbagai lini kehidupan sedang dihadapi bangsa ini, antara lain karena persoalan etika dan perilaku kekuasaan. Silang pendapat, perdebatan, konflik, dan upaya saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elit, tanpa peduli dan menyadari bahwa seluruh masyarakat sedang prihatin menyaksikan kenyataan ini. Padahal untuk mengubah arah dan melakukan lompatan jauh ke depan, sangat diperlukan kompromi, penyesuaian dan semangat rekonsiliasi demi tujuan bersama.

Pembenahan etika di bidang politik secara otomatis akan melebar ke etika Pemilu, dan etika Pemilu dimulai dengan membenahi penyelenggara Pemilu (Bawaslu, DKPP dan KPU). Karena bila penyelenggara dapat diperbaiki, maka yang lainnya secara bertahap akan menuju perbaikan pula. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari proses maupun hasil Pemilu apabila penyelenggara Pemilu tidak memiliki kapasitas ethics yang baik.

Artinya, etika penyelenggara Pemilu yang mampu diterjemahkan dalam perspektif filsafat berupa tingkah laku politik khususnya anggota penyelenggara Pemilu mana yang benar dan mana yang tidak benar. Etika politik yang dibangun melalui visi UUD 1945 yakni mencerdaskan bangsa sehingga diperlukan rumusan tindakan yang diatur dalam suatu aturan formal. Kode etik penyelenggara Pemilu, wujudnya. Semua pemangku kepentingan termasuk peserta Pemilu terutama penyelenggara Pemilu perlu memahami dan mengikuti apa yang jadi ketentuan perundang-undangan penegakan kode etik penyelenggara Pemilu. Diharapkan dan perlu mengajak semua pihak membangun tradisi baru dengan kode etik itu.

Tidak ada pilihan lain, selain dibutuhkan penyelenggara Pemilu yang betul-betul memiliki karakter, integritas dan kapasitas yang handal. Penyelenggara Pemilu yang sanggup tampil menyuarakan kebenaran demi menjaga amanah dan suara rakyat-sang pemilik kedaulatan negara. Penyelenggara Pemilu yang mampu mengimplementasikan asas jujur dan adil pada tataran normatif dan tataran moralitas. Penyelenggara Pemilu berbasis aturan, mekanisme serta memastikan proses transformasi nilai politik yang berorentasi pada moral. Serta keterlibatan dan peran aktif media massa, Perguruan Tinggi, kalangan intelektual, instansi-instansi terkait dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsen pada kualitas dan pembangunan Pemilu agar senantiasa proaktif memberikan kontribusi politik moral dalam usaha bersama memperbaiki kualitas bernegara.


Daftar Bacaan :
Jimly Asshiddiqie, 2014, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
———————-, 2014, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Sinar Grafika, Jakarta.
Janedjri M. Gaffar, 2013, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta.
Yudi Latif, 2018, Makrifat Pagi, Percikan Embun Spiritualitas Di Terik Republik, Mizan, Jakarta.


Artikel File PDF downloads di sini.

Panwascam Berstatus Anggota BPD, Pelanggaran UU Desa

873 Views

Apakah bisa anggota BPD masuk dan ditetapkan sebagai Pengawas Pemilu yakni sebagai Anggota Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa, sebagai penyelenggara Pemilu ad hoc tanpa harus menyerahkan surat pengunduran diri dari anggota BPD?

Secara normatif syarat menjadi anggota Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa (ad hoc) sama dengan syarat menjadi anggota Bawaslu (permanen), tidak ada perbedaan norma dan dirumuskan dalam satu tarikan ketentuan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 117 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sebagai berikut :


Selengkapnya dapat dibaca dan downloads pada FILE PDF di sini.

Tahapan Pemilu di Daerah Korban Bencana Alam

225 Views

——————————————

Bencana alam (gempa bumi, tsunami dan likuifaksi) yang menimpa Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala termasuk menimpa Kabupaten Parigi Moutong pada Jumat (28/9/2018) lalu, telah menorehkan catatan jumlah korban bencana alam, baik meninggal dunia, luka berat dan ringan, kehilangan-kerusakan harta benda dan tempat tinggal, perpindahan domisili penduduk, termasuk penduduk yang mengungsi keluar daerah menyelamatkan diri.

Tulisan ini, tidak dimaksudkan menganalisis penyebab bencana alam, termasuk tidak dimaksudkan mengurai program-kegiatan dalam masa tanggap bencana, rehabilitasi dan rekonstuksi ulang atas wilayah bencana dan wilayah terdampak bencana. Tetapi, tulisan ini lebih diarahkan untuk mengurai dinamika-dampak bencana alam atas pelaksanaan tahapan Pemilu tahun 2019 yang terus berjalan.

Ada beberapa isu aktual sekaitan dengan tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah korban bencana alam. Pertama, konsolidasi jajaran penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) yang siap bertugas kembali. Kedua, perbaikan DPT setelah bencana alam karena terdapat pemilih yang meninggal dunia, pindah domisili dan pindah daerah karena mengungsi. Ketiga, perubahan DCT sebagai akibat bencana alam karena terdapat calon anggota legislatif meninggal dunia.

Konsolidasi Penyelenggara Pemilu

Bencana tidak dapat dipastikan (hanya dapat diperkirakan) oleh kemampuan dan teknologi manusia. Demikian pula kejadian bencana alam di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong di Provinsi Sulawesi Tengah telah memakan korban yang sangat banyak. Bencana alam ini telah menjungkir-balikkan kecongkakan manusia atas kekuatan alam (Tuhan). Bencana telah membuat aspek perencanaan pembangunan termasuk dalam hal ini-tahapan Pemilu berpotensi berubah.

Jajaran penyelenggara Pemilu juga banyak menjadi korban meninggal dunia atau hilang, mengalami luka berat serta rusak/hilangnya sarana, prasarana dan dokumen-administrasi Lembaga. Secara langsung dampak bencana akan mempengaruhi kinerja penyelenggara Pemilu. Hingga menimbulkan pertanyaan, apakah tahapan Pemilu di daerah bencana dapat diubah?. Apakah Pemilu susulan bisa menjadi alternatif mengatasi permasalahan dampak bencana ini?. Ini semua menjadi rangkaian pertanyaan, yang harus segera dijawab dan dituntaskan pimpinan tertinggi penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) termasuk kebijakan dari Pemerintah.

Pemulihan dan berbaikan kelembagaan akan memakan waktu guna menjalankan tugas dan kewenangan seperti sedia kala. Pendataan atas jajaran penyelenggara Pemilu yang meninggal dunia, harus diatasi dengan menetapkan pengganti antar waktu (PAW) atau melakukan rekrutmen ulang jika tidak ada lagi PAW yang memenuhi syarat.

Demikian pula dengan kesiapan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan tugas dan kewenangan penyelenggara Pemilu. Bencana alam juga mengakibatkan rusak dan hilangnya fasilitas kantor. Bahkan ada beberapa kantor/sekretariat penyelenggara Pemilu yang rata dengan tanah (hancur) akibat gempa bumi dan terjangan tsunami dan likuifaksi.

Empati dan solidaritas sesama penyelenggara Pemilu, apalagi dengan dukungan Pemerintah akan turut membantu rehabilitasi dan rekonstruksi ulang. Permasalahan dan dampak bencana alam urgen diselesaikan, apalagi jika bencana alam tidak mengubah tahapan. Bagi jajaran penyelenggara yang meninggal dunia-hilang, untuk disiapkan dan ditetapkan PAW. Namun, jika tidak adalagi calon PAW yang memenuhi syarat maka dilakukan rekrutmen ulang mengisi kekosongan, atau pelaksanaan tugas dan kewajiban dilaksanakan oleh jajaran penyelenggara Pemilu diatasnya. Misalnya, Panwascam berhalangan tetap maka tugas dan kewajiban Panwascam dilaksanakan oleh Bawaslu Kabupaten setempat.

Perbaikan DPT

Alur-proses penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah berjalan panjang. Banyak tahapan dan sumber daya telah terlibat guna akurasi jumlah DPT, baik dari jajaran KPU, Bawaslu maupun dari peserta Pemilu (Partai Politik) termasuk keterlibatan masyarakat.

Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) menjadi DPT setelah melalui proses panjang. Kembali, atas masukan Bawaslu dan peserta Pemilu, KPU lalu melakukan perbaikan atas DPT dan menetapkan DPT perbaikan pertama. Namun, karena masih terdapat pemilih yang tidak memenuhi syarat dan pemilih yang memenuhi syarat tidak masuk dalam DPT perbaikan pertama tadi, lalu KPU kembali atas masukan Bawaslu dan peserta Pemilu, melakukan perbaikan menjadi DPT perbaikan kedua.

Jumlah DPT harus akurat, dengan alasan jaminan hak konstitusional warga negara dan profesionalitas penyelenggara Pemilu. Warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih, hendaknya tercantum dalam DPT, sebagai jaminan prinsip kesataraan dan keadilan. Demikian pula, akurasi DPT menjadi ukuran profesionalitas jajaran penyelenggara Pemilu guna akurasi DPT, KPU dalam memperbaiki DPT dan Bawaslu melakukan pengawasan atas akurasi dan penetapan atas DPT.

Selain itu, DPT harus akurat karena berpengaruh terhadap ketersediaan logistik Pemilu yang akan disiapkan KPU, seperti jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS), ketersediaan kotak dan bilik suara, hingga formulir dan surat suara yang harus dicetak. Jika jumlah DPT akurat, perencanaan kebutuhan logistik Pemilu akan mencukupi dan tidak terjadi penggelembungan atau kekurangan logistik Pemilu nantinya.

Dari aspek tahapan Pemilu, DPT hasil perbaikan pertama telah ditetapkan KPU untuk dilakukan perbaikan kembali. Dalam kondisi normal, perbaikan DPT tentu dapat berjalan sesuai dengan rencana. Tetapi bagi daerah yang mengalami bencana alam, banyak penduduk meninggal dunia-hilang, sarana dan prasarana pemerintahan rusak serta berbagai dampak bencana lainnya turut berpotensi mengubah tahapan Pemilu.

Akurasi DPT akan menghapus pemilih yang meninggal dunia dan mengubah penduduk yang pindah domisili. Bencana alam telah menyebabkan banyak korban meninggal dunia dan mobilisasi perpindahan penduduk untuk menyelamatkan diri. Sebut saja di wilayah korban gempa bumi dan likuifaksi, Balaroa dan Petobo di Kota Palu dan Jono Oge di Kabupaten Sigi telah menyebabkan ribuan penduduk meninggal dunia-hilang dan yang selamat harus meninggalkan atau di relokasi dari wilayah tadi.

Perubahan DCT

Catatan korban bencana alam juga mendera beberapa orang yang terdapat dalam Daftar Calon Tetap (DCT), baik meninggal dunia ataupun hilang sebagai korban gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu dan Kabupaten Sigi dan Donggala. Inilah bencana massal, yang tidak memilih manusia, semua dapat menjadi korban.

Atas nama kepastian hukum, DCT dapat saja diubah saat calon yang diusulkan meninggal dunia. Namun berbeda halnya dengan calon anggota legislatif yang terdaftar dalam DCT, regulasi menekan dan kurang membuka ruang untuk melakukan perubahan dan penggantian atas calon anggota legislatif yang meninggal dunia. Jika demikian halnya, tinggal dilaksanakan dan diikuti.

Peran aktif dari Parpol untuk memberikan data dan informasi atas calon anggota legislatif yang telah meninggal dunia atau hilang kepada KPU. Nanti KPU yang mengambil kebijakan atau tindak-lanjut sekaitan dengan calon yang menjadi korban bencana alam.

Hikmah

Kita berkeyakinan bahwa apa yang sedang melanda daerah ini adalah musibah atas kehendak-Nya, meskipun segala sesuatu yang terjadi melalui perantara fenomena alam dan ulah manusia. Segala sesuatu yang dikehendaki-Nya pasti terjadi, dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi.

Saatnya bangkit kembali !
Palu, 23 Oktober 2018

 

File PDF dapat di Downloads di sini

Penindakan, Menjadi Pencegahan Pelanggaran

256 Views

PENINDAKAN, MENJADI PENCEGAHAN PELANGGARAN
Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.[1]


Peserta Rapat Koordinasi memasuki ruangan aula dan menempati kursi-kursi yang telah disiapkan Panitia. Beberapa diantara mereka telah menggunakan kartu identitas peserta yang dikalungkan di leher. Demikian pula Panitia, sibuk menyiapkan kebutuhan teknis untuk acara pembukaan Rapat Koordinasi Bawaslu ini.

Waktu telah menunjukkan pukul 20.05 WIB, ruangan aula telah padat oleh Peserta dan jejeran Panitia pada posisi siaga, menandakan kegiatan pembukaan Rapat Koordinasi siap dimulai. Tak lama kemudian, Pimpinan Bawaslu memasuki ruangan aula. Pesertapun berdiri ramai memberi salam, berjabat tangan. Menandakan keakraban dan kesahajaan pertemuan di antara sesama pengawas Pemilu.

Pimpinan Bawaslu duduk paling depan dengan posisi kursi dan meja lebih tinggi dari kursi meja peserta, dengan posisi membelakangi spanduk besar Rapat Koordinasi dan berhadapan dengan peserta. Di atas meja mereka tampak hidangan kue-kue yang disajikan dalam wadah tertutup, tak lupa disampingnya tersedia air mineral dalam kemasan.

Dalam kesempatan inilah, Mohammad Afifuddin[2] menyampaikan pesan, “Penindakan menjadi pencegahan pelanggaran bagi lainnya.” Satu kalimat ini yang menggambarkan kinerja Bawaslu menindaklanjuti hasil pengawasan ke dalam rangkaian penindakan pelanggaran, yang ternyata memberi dampak pada pencegahan pelanggaran lainnya.

Sengaja Penulis menguraikan diawal sumber inspirasi tulisan ini. Paling tidak, pemikiran ini telah memperoleh justifikasi lewat pelaksanaan kegiatan pengawas pemilu. Bukan hanya pengawas pemilu di Daerah, tetapi kebenarannya telah diuji dalam penindakan pelanggaran di Bawaslu, yang berdampak pada urungnya pelanggaran lain dilakukan.

Pencegahan Pelanggaran

Pengawas Pemilu adalah lembaga yang mengawasi Penyelenggaraan Pemilu yang meliputi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). Keberadaan Pengawas Pemilu mutlak dibutuhkan dalam Penyelenggaraan Pemilu, apalagi setelah ditetapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pengawas Pemilu bersama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjadi satu kesatuan Penyelenggara Pemilu, dengan porsi kewenangan masing-masing.

Penyelenggaraan tahapan Pemilu dilaksanakan oleh KPU, keberadaan Pengawas Pemilu dibutuhkan untuk memastikan proses tahapan dilakukan sesuai dengan norma dan ketentuan  yang berlaku. Demikian pula, jika terjadi penyimpangan etik yang dilakukan KPU, dan Bawaslu maka DKPP akan memeriksa, mengadili dan memutus. Sebagai bentuk peringatan kepada penyelenggara lainnya, dan penghukuman bagi pelaku pelanggaran.

Pelaksanaan Pemilu di desain sebagai pesta demokrasi yang melibatkan stakeholders, guna sarana pergantian kekuasaan Pemerintahan secara damai dan absah (konstitusional). Pilihan demokrasi dengan Pemilu sebagai instrumen teknis, adalah pilihan terbaik saat ini. Bukan hanya Indonesia, mayoritas negara di dunia juga tetap menggunakannya.

Demokrasi menurut Deliar Noer, telah ditempatkan sebagai dasar hidup bernegara yang memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan keputusan atas masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya, termasuk menilai kebijaksanaan negara, oleh karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.[3] Dari itu, Demokrasi dipahami sebagai bentuk pemerintahan, di mana semua warga negara memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi, baik secara langsung atau melalui perwakilan di parlemen dalam hal perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum untuk mengatur tata kehidupan masyarakat.

Penjelmaaan Demokrasi dalam pergantian kekuasaan, di konstruksi melalui pelaksanaan Pemilu. Pemilu yang berhasil menjamin pergantian kekuasaan secara damai dan terjaminnya hak konstitusinal warga negara disebut sebagai Pemilu demokratis. Pemilu demokratis selalu dilekatkan dalam dua kata, artinya pelaksanaan Pemilu menjamin pemenuhan hak konstitusional warga negara dalam menentukan arah pembangunan dan kepemimpinan kedepan.

Di Indonesia, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.[4] Demikian pula dengan konstruksi Penyelenggara Pemilu juga saling terkait, yakni KPU melaksanakan tahapan Pemilu, Bawaslu mengawasi pelaksanaan tahapan Pemilu, dan DKPP menjadi hakim atas pelanggaran etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.

Penyelenggara Pemilu ditempatkan sebagai unsur penting terwujudnya Pemilu yang demokratis. Walaupun keberadaan Pemerintah dan masyarakat juga memegang peranan sangat penting. Penyelenggara Pemilu dituntut bekerja profesional dan taat asas. Memberikan pelayanan profesional secara tepat, cepat dan tanpa diskriminatif.

Demikian pula dengan peserta Pemilu, juga dituntut untuk berintegritas. Taat terhadap pedoman dan aturan pelaksanaan yang sudah digariskan dalam peraturan perundang-undangan Pemilu, menghargai saingan (kontestan) dengan menghindari diri mendapatkan kemenangan dengan melakukan pelanggaran atau kecurangan. Kehadiran mereka dirasakan manfaatnya di tengah masyarakat, dimana peserta Pemilu turut memberikan pendidikan politik yang sehat, pada intinya turut berkontribusi pembangunan demokrasi.

Memang diakui, peserta Pemilu perlu memiliki biaya dan modal yang kuat dalam perhelatan kontestasi demokrasi. Paling tidak, mereka perlu biaya operasional kampanye dan konsolidasi internal. Tetapi, Pemilu yang dilaksanakan serentak oleh perancang Undang-Undang agar terlaksana secara murah dan meriah. Beban pembiayaan yang membutuhkan biaya besar kini diadakan oleh KPU dengan beban anggaran dari APBD atau APBN. Sebut saja, pengadaan bahan kampanye dan pemasangan alat peraga kampanye kini menjadi kewenangan KPU menyediakan. Demikian pula dengan pelaksanaan debat publik, juga menjadi ranah KPU untuk melaksanakan.

Desain Pemilu terlaksana murah dan meriah dengan kesiapan lembaga Penyelenggara Pemilu berlaku adil dan tanpa diskriminatif. Ternyata dalam perjalanan pelaksanaan Pemilu di tahun 2019 ini, maupun pelaksana pemilihan kepala daerah serentak sebelumnya (tahun 2015, 2017 dan 2018) tetap diwarnai dan dinodai dengan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan oleh pihak peserta pemilihan, bahkan pelanggaran yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.

Telah umum dipahami, pelanggaran Pemilu menjadi benalu, hambatan dan tantangan yang merusak tatanan demokrasi yang terus dibangun ini. Pelanggaran Pemilu jika dibiarkan tanpa penanganan yang tepat akan berpotensi menimbulkan konflik sosial, bahkan bisa mengancam keutuhan kesatuan bangsa. Penanganan harus tepat dan cepat, jangan sampai muncul kesan pembiaran dan tidak netral penyelenggara melaksanakan tugas.

Pelanggaran Pemilu adalah tindakan yang bertentangan, melanggar, atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait Pemilu.[5] Norma dalam Undang-Undang dan turunannya baik dalam Peraturan Pemerintah maupun secara teknis dalam Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu, di desain agar ada jaminan keadilan dan kepastian hukum dalam penanganan dan penindakan pelanggaran Pemilu.

Secara khusus Bawaslu yang memiliki tugas melakukan pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu dan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bagi Bawaslu pencegahan bukan lagi menjadi strategi, tetapi pencegahan telah menjadi tugas utama bersama dengan penindakan. Bahkan secara normatif, dalam penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa Pemilu, juga ditanyakan apakah program dan kegiatan pencegahan yang telah dilaksanakan sehingga pelanggaran dan sengketa Pemilu masih tetap terjadi.

Penindakan Pelanggaran

Terdapat pandangan melihat keberhasilan kinerja Bawaslu dari sisi banyak-tidaknya pelanggaran pemilu yang berhasil ditindak atau ditangani sesuai mekanisme penanganan pelanggaran pemilu. Artinya, semakin banyak pelanggaran yang ditangani, maka kinerja Bawaslu dianggap berhasil. Sebaliknya, semakin sedikit penindakan atas pelanggaran yang ditangani, maka kinerja Bawaslu dinilai kurang berhasil.

Sementara di pihak lain juga memandang, keberhasilan kinerja Bawaslu bukan dilihat dari banyak-sedikitnya penindakan atas pelanggaran yang berhasil ditangani. Tetapi seberapa banyak potensi terjadinya pelanggaran yang berhasil dicegah. Peserta pemilu dan masyarakat pemilih berpotensi melakukan pelanggaran, tetapi Bawaslu berhasil mencegah hingga urung pelanggaran terjadi.

Memang sisi pendapat ini ada benarnya dengan justifikasi konsep masing-masing, dengan sudut pandang berbeda. Menurut Penulis, pada sisi pencegahan terjadinya pelanggaran dinilai berhasil jika banyak potensi pelanggaran yang berhasil dicegah oleh pengawas Pemilu. Program dan kegiatan pengawas Pemilu di desain guna potensi terjadinya pelanggaran baik yang dilakukan oleh peserta Pemilu, pemilih maupun Penyelenggara Pemilu berhasil dicegah. Ada bentuk kesadaran yang berhasil terinternalisasi dan menyebar luas kepada masyarakat untuk urung melakukan pelanggaran, baik karena kasadaran moral atas norma dan nilai yang dianut maupun takut dijatuhi sanksi hukum.

Pada sisi lain, banyaknya penindakan oleh Pengawas Pemilu atas kasus pelanggaran Pemilu juga menandakan kemampuan dan daya tahan lembaga bekerja. Tidak semua orang bisa bekerja melakukan penindakan atas pelanggaran Pemilu di tengah keterbatasan sumberdaya, godaan materil dari pihak yang ditindak, bahkan intervensi dan ancaman dari berbagai pihak.


Telah diuraikan di narasi sebelumnya, bahwa tugas Bawaslu melakukan pencegahan dan penindakan. Pencegahan bukan lagi sebagai strategi tetapi telah menjadi tugas utama, sementara penindakan juga mensyaratkan ada pencegahan terlebih dahulu. Lantas, bagaimana menilai keberhasilan kinerja Pengawas Pemilu? Apakah pencegahan dan penindakan bisa dilakukan bersamaan dalam satu tarikan kerja Pengawas Pemilu?

Disinilah dasar pijak pemikiran, penindakan pelanggaran Pemilu menjadi pencegahan terjadi pelanggaran bagi potensi pelanggaran lainnya. Memang butuh kasus tepat ditindak oleh Pengawas Pemilu secara profesional dan taat asas. Hingga berefek secara luas di masyarakat. Setiap orang lalu mengambil pelajaran untuk tidak melakukan pelanggaran serupa atau menyerupai, baik karena kesadaran moral maupun takut akan dikenai sanksi hukum.

Lihat saja penindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Pengawas Pemilu, liputan media massa yang berkelanjutan dan menjadi topik perhatian masyarakat. Apalagi jika terlapor merupakan tokoh Partai atau tokoh di Pemerintahan, yang dikenal memiliki visi membangun daerah lantas diduga melakukan pelanggaran hingga ditindaki di lembaga Pengawas Pemilu. Tentu muncul pro dan kontra atas penanganan pelanggaran yang dilakukan Pengawas Pemilu.

Sementara Pengawas Pemilu, dituntut netral, tegas dan profesional. Siapapun yang melakukan pelanggaran harus ditindak, apakah ada tekanan atau tidak ada tekanan, baik rakyat biasa maupun tokoh berpengaruh maka penanganan pelanggaran tetap dilakukan. Demikian doktrin penanganan pelanggaran dari Pengawas Pemilu yang oleh Undang-Undang memiliki kewenangan untuk itu.

Secara normatif, Penindakan merupakan serangkaian proses penanganan pelanggaran yang berasal dari Temuan atau Laporan untuk ditindaklanjuti oleh instansi yang berwenang. Proses penanganan pelanggaran meliputi Temuan/Laporan; Pengumpulan alat bukti; Klarifikasi; Pengkajian; dan/atau Pemberian rekomendasi.[6]

Serangkaian penindakan Pengawas Pemilu, dengan melakukan klarifikasi kepada saksi dan terlapor dapat menyita perhatian publik, apalagi jika terlapor merupakan tokoh politik atau tokoh di Pemerintahan. Terdapat animo mengetahui tindaklanjut penindakan Pengawas Pemilu. Walaupun tidak jarang kinerja Pengawas Pemilu juga disorot. Tentu hal itu wajar, agar terdapat kontrol juga ke lembaga Pengawas Pemilu ini.

Terdapat semacam sanksi sosial atau moral ketika terlapor diperhadapkan pada Tim Klarifikasi Pengawas Pemilu. Walaupun belum ada rekomendasi atau putusan dari Pengawas Pemilu. Terdapat stigma, yang terklarifikasi oleh Pengawas Pemilu telah melakukan pelanggaran. Disisi lain, terlapor juga tidak mau diposisikan sebagai pihak yang bersalah, jika kasusnya diproses lanjut. Walhasil, terlapor lebih memilih untuk menghentikan kegiatan yang dinilai Pengawas Pemilu sebagai pelanggaran. Agar opini publik yang merugikan terhadap dirinya segera berakhir.

Dalam posisi inilah, kinerja Pengawas Pemilu dan media massa saling sinergi. Pengawas Pemilu membutuhkan penyebarluasan informasi penindakan agar memiliki efek pencegahan ke publik, dan media massa sendiri membutuhkan sumber pemberitaan terpercaya dan beritanya dinanti oleh masyarakat baik mereka yang pro atau kontra atas penanganan pelanggaran yang dilakukan oleh Pengawas Pemilu.

Penutup

Sejatinya Pemilu berlangsung secara demokratis dan taat asas. Adapun pelanggaran Pemilu yang ada pada setiap tahapan, untuk tidak menafikkan kenyataan ini, harus ditangani oleh Pengawas Pemilu secara adil dan berkepastian hukum. Sebab penanganan pelanggaran Pemilu telah menjadi tugas dan wewenang lembaga Pengawas Pemilu yakni Bawaslu/Panwaslu.

Pada kegiatan penindakan pelanggaran, ternyata satu sisi telah menjadi pencegahan efektif. Bagi terlapor dapat menimbulkan efek jera, dan bagi pihak yang potensial melanggar, baik karena kesadaran moral dan takut dikenai sanksi hukum lantas memilih kegiatan yang oleh Pengawas Pemilu bukan pelanggaran.


Catatan Kaki :
[1] Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah. Sebelumnya pernah menjadi Tim Asistensi Bawaslu Provinsi Sulteng tahun 2017 sekaligus mengajar di Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu.
[2] Mohammad Afifuddin, Koordinator Divisi Pengawasan Bawaslu RI periode tahun 2017-2022.
[3] Delair Noer dalam Machmud MD, 2003, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm 19.
[4] Lihat ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
[5] Pasal 1 angkan 28 Peraturan Bawaslu Nomor 7 tahun 2018 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.
[6] Lihat Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Bawaslu Nomor 7 tahun 2018 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.


Artikel File PDF dapat di downloads di sini.

Mencemaskan Bahaya Politik Uang

265 Views

MENCEMASKAN BAHAYA POLITIK UANG

Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.
(Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah)


Tak sengaja saya bertemu dengan Penulis buku ini Kasman Jaya Saad, di suatu kegiatan yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tengah. Kami diundang sebagai peserta kegiatan tersebut. Singkat cerita, Penulis meminta menuliskan Prolog dari buku yang baru selesai ditulisnya. Tulisan seputar dinamika pemilu dan pemilihan yang sering menghiasi halaman opini media cetak lokal. Lantas, tanpa sempat berfikir panjang, saya pun menyanggupi, saya siap.

Sebagai pendatang baru di dunia pengawasan pemilu, khususnya di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah saya berfikir tak berlebihan untuk “numpang tenar” melalui buku Penulis ini. Sebab kaderisasi sumber daya manusia Pengawas Pemilu di Sulawesi Tengah tidak bisa dipisahkan dari diri penulis. Ia telah memiliki pengalaman sebagai pengawas pemilihan, menjadi narasumber berbagai forum yang diselenggarakan Panwaslu Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah, serta tulisan-tulisannya menjadi inspirasi dan dasar pijak dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban pengawasan pemilu.

Disamping itu, rasanya kehadiran buku ini menjadi oase di tengah gurun pasir yang tandus. Kenapa tidak! Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum baru saja ditetapkan. Tentu belum banyak referensi yang ditulis dengan merujuk secara langsung kepada undang-undang ini. Lebih lagi, pengalaman beliau pernah menjadi pengawas pemilihan dan pemerhati pemilu di Sulawesi Tengah akan memotret denyut nadi Daerah secara langsung, hingga menjadikan buku ini segar dibaca, update perkembangan, dan menggambarkan dinamika sosio-politik Daerah secara langsung.


Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati maupun Walikota yang diselenggarakan secara langsung saat ini merupakan pilihan terbaik untuk pergantian top manajerial Pemerintah Daerah secara demokratis. Rakyat dapat memilih pemimpin secara langsung setelah melalui pertimbangan dan perenungan di masa tenang. Rakyat dapat melakukan evaluasi atas kegiatan pembangunan dan kepemimpinan setiap lima tahun. Bila kepemimpinan untuk membangun daerah dan masyarakat dinilai baik, maka rakyat yang dipimpin dipastikan akan memilih kembali yang bersangkutan untuk periode berikutnya. Namun, jika pemimpin hanya manis saat kampanye dan lupa ketika terpilih sebagai kepala daerah, ditambah lagi dengan perilaku korup dan manajemen pembangunan yang buruk selama memimpin, maka bisa dipastikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tak akan memilihnya kembali diperiode kedua.

Penyelenggaraan pemilihan secara serentak, desainnya ingin menjadikan pesta demokrasi semarak dan murah, dengan pembiayaan tahapan dan khususnya kampanye dari uang negara/daerah. Berbagai larangan dinormakan untuk menekan biaya politik tinggi, misalnya larangan akan mahar politik saat pencalonan kepala daerah, larangan politik uang (money politic) saat kampanye untuk mempengaruhi pemilih. Semua itu menjadi desain pemilihan agar pesta demokrasi bisa terlaksana secara murah-meriah, dengan memberi kesempatan yang adil bagi setiap peserta pemilihan untuk berkompetisi secara jujur dan adil.

Pelaksanaan pemilihan serentak, bisa menjadikan kerja lembaga penyelenggara pemilu khususnya KPU menjadi lebih mudah dan sederhana, tidak sebentar-sebentar laksanakan pemilihan lagi. Walaupun berbeda dengan Bawaslu/Panwaslu, yang dituntut untuk menjadi pengawas pemilihan, mediator dan Hakim Pemilihan bagi pihak yang bersengketa secara sekaligus. Demikian juga, pemilihan serentak sejatinya akan mengurangi kejenuhan masyarakat sekaligus meningkatkan angka partisipasi masyarakat. Tanpa pemilihan serentak frekuensi rakyat ke tempat pemungutan suara bisa meningkat.

Namun, hal yang tak kalah penting, dengan penyelenggaraan pemilihan secara serentak ini, adalah beban-beban dana yang bisa diminimalkan sehingga Negara/Daerah tidak terlalu banyak menggelontorkan anggaran. Selain itu pengalokasian anggaran pun lebih mudah dilakukan, termasuk menghitung, merencanakan dan mengevaluasinya, jika hajatan pesta demokrasi dilakukan secara serentak. Penghematan anggaran misalnya, bisa didapat dari pembayaran honorarium petugas ad hoc penyelenggara pemilu jajaran KPU dan Bawaslu yang bertugas di Kecamatan dan Desa/Kelurahan, Sosialisasi tahapan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2018 yang bisa dilakukan bersamaan dengan tahapan Pemilihan Umum tahun 2019, biaya logistik bisa terpangkas dan antar daerah pun dapat melakukan sharing terkait biaya yang menjadi beban pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota.

Demikian pula dalam pelaksanaan kampanye, banyak pembiayaan sebelumnya menjadi beban calon pemilihan, kini dibebankan pada anggaran KPU dengan menggunakan uang negara/daerah. Pemasangan alat peraga kampanye, penyebaran bahan kampanye, iklan di media cetak dan elektronik, dan debat publik antarpasangan calon kepala daerah, semua itu harus dibiayai KPU dan dilaksanakan secara adil.

Desain ini agar peserta pemilihan walaupun dengan modal pas-pasan tetap bisa ikut kontestasi pemilihan kepala daerah. Mulai dari pencalonan ada larangan mahar politik dengan ancaman sanksi diskualifikasi calon. Kampanye ada larangan praktek money politics dengan ancaman pidana dan diskualifikasi calon jika dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM), pelaksanaan kampanye yang membutuhkan anggaran besar telah difasilitasi dan menjadi kewenangan KPU. Calon pemilihan tidak perlu mengeluarkan uang banyak, mereka lebih diarahkan untuk konsen adu visi, misi dan program untuk mempengaruhi pemilih.

Tapi sangat disayangkan, ruang nyata ternyata berbicara lain, pelaksanaannya tak semudah yang direncanakan. Biaya pemilihan yang didesain agar berbiaya murah ternyata menceritakan biaya politik tinggi. Penulis mengulasnya secara apik dalam narasi beberapa sub judul buku ini. Menurutnya, Pemilihan kepala daerah menjadi event mewah dan mahal. Bukan saja dari aspek penyelenggaraan yang membutuhkan biaya yang besar, tapi juga biaya politik yang harus ditanggung sang calon bila ingin berkontestasi dalam Pilkada. Pilkada memerlukan biaya tinggi (high cost), karena banyaknya tahapan dan komponen yang harus dibiayai sang calon. Termasuk komponen tak resmi, meskipun tak ada yang mau menyebut besarannya, biaya pendekatan dan “ongkos jadi” seseorang calon kepala daerah dengan partai politik, namun dapat dipastikan memerlukan biaya tinggi.

Menyambung narasi yang Penulis uraikan, sekaligus menyetujui pendapatnya. Menurut saya, pemilihan kepala daerah yang ingin melahirkan Pemimpin yang berintegritas, linear dengan pencegahan dan tindakan penegakan hukum pemilihan, dengan sub-bagian mencegah politik uang dengan berbagai bentuk sekaligus menjatuhkan sanksi yang adil dan tegas. Penindakan itu, tentu memerlukan sumber daya manusia yakni penyelenggara yang profesional dan berintegritas. Termasuk masyarakat yang menjadi pemilih juga harus berintegritas dengan menolak dan melaporkan perilaku money politics kepada Pengawas Pemilu.

Penggunaan politik uang berdampak pada besarnya biaya politik yang dikeluarkan oleh calon, baik dari sumber pribadi maupun dari para pengusaha yang telah memberi pinjaman dalam bentuk utang. Pikiran calon terpilih tentunya akan berusaha sekuat tenaga agar modal pribadi dapat dikembalikan plus keuntungannya. Termasuk membayar sejumlah utang yang telah digunakan dan memberikan balas budi nyata kepada mereka-mereka yang telah sama-sama berjuang memenangkannya, mereka ini adalah tim sukses.

Bahayanya politik uang, Pertama, APBD yang merupakan uang Rakyat berpotensi akan digunakan untuk kepentingan pengusaha yang telah membiayai pemenangan, walaupun disamarkan melalui pekerjaan proyek pembangunan, namun sarat akat kolusi. Kedua, yang terpilih sangat mungkin, adalah calon yang tidak memiliki kompetensi baik dalam bidang kepemimpinan, pengetahuan dan keterampilan untuk membangun daerah. Semata-mata hanya kecurangan dengan membeli suara Rakyat dengan sangat murah. Ketiga, mereka yang terpilih karena banyak mengeluarkan uang dalam bentuk politik uang, sangat berpotensi akan mengkorupsi APBD yang dikelolahnya. Mereka memiliki kekuasaan dan dapat saja menggunakan kekuasaan secara sepihak untuk kepentingan pribadi dan golongan. Keempat, praktik politik uang dapat menyeret masyarakat dipidana. Merujuk pada ketentuan Pasal 187A ayat (1) dan (2) UU 10 tahun 2016, praktik politik uang tersebut dapat menyebabkan masyarakat yang menerima uang dari Pasangan Calon, tim sukses, relawan dan/atau dari siapa saja yang bertujuan mempengaruhi pemilih sebagaimana disebutkan pada pasal 187A ayat (1) diancam pidana minimal 3 tahun dan paling lama 7 tahun dan dengan denda uang paling sedikit dua ratus juta dan paling banyak satu milyar rupiah. Kelima,  Pasangan calon yang melakukan politik uang secara sistematis, terstruktur dan masif dapat dibatalkan sebagai pasangan calon. Pembatalan pasangan calon tersebut berpotensi menciptakan konflik yang besar di tengah-tengah masyarakat.

Kembali Penulis mengingatkan langkah-langkah antisipasi dini dan strategi penindakan dengan mengaitkan dengan kewenangan lembaga pengawas, Bawaslu dan Panwaslu untuk mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan menerima laporan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan meneruskan temuan dan/atau laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang serta menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan tersebut. Dan, dalam melaksanakan tugasnya Bawaslu dan Panwaslu berkewajiban bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Akhirnya, kepada Penulis Kasman Jaya Saad saya mengucapkan selamat atas penerbitan karya ini dan mudah-mudahan tetap semangat untuk menghasilkan karya-karya tulis berikut, serta senantiasa memberikan masukan-masukan konstruktif guna penguatan lembaga penyelenggara pemilu khususnya jajaran Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah.


Prolog dalam buku : Kasman Jaya Saad, 2018, Mahalnya Pilkada, Politik Uang dan Ajang Perjudian Elit Lokal, Yapensi, Jakarta.

Artikel File PDF downloads di sini.

Torehan “Hakim” Pemilu

267 Views

TOREHAN “HAKIM” PEMILU
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.


Sejarah emas peradaban tidak bisa dipisahkan dari manusia pilihan yang pernah hidup dan mengelolanya. Telah banyak lembaran sejarah gemilang tertorehkan, terdapat sosok manusia pilihan yang berani tampil membangun peradaban umat manusia, kendati menghadapi tantangan, cacian dan ancaman berat-yang kadang harus dibayar dengan nyawa sekalipun.

Dijuluki Mekkah al-Mukarramah, artinya kota yang dimuliakan, kota yang dirahmati-Nya serta kota tujuan umat Islam menunaikan ibadah haji. Di kota inilah, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail mendirikan Baitullah (Ka’bah) yang lokasinya saat ini berada di dalam Masjidil Haram. Bangunan Ka’bah tersebut dijadikan patokan arah Kiblat untuk ibadah shalat bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Namun, di dalam kota yang dijuluki al-Mukarramah sekalipun, ternyata tetap saja ada kejahatan manusia terjadi. Kasus penipuan, pemerasan, pencurian dan pelecehan seksual juga pernah (untuk tidak menyebut sering) terjadi, misalnya yang pernah dialami oleh jamaah haji Indonesia. Penyebutan Mekkah al-Mukarramah bukan berarti di kota ini tidak pernah terjadi kejahatan. Penyebutan itu, lebih pada penghormatan dan pemuliaan, sebab di kota ini pernah hidup Nabi dan Rasul yang menyebarkan agama Islam sebagai ajaran rahmatan lil’alamin yang menentang ketidak-adilan dan kezaliman manusia pada zamannya.

Penyebutan mulia suatu wilayah, juga ditentukan oleh tokoh kharismatik yang pernah mendiami dan melakukan aktivitas pencerahan sosial di dalamnya. Kemajuan dan kehancuran peradaban umat manusia sangat ditentukan oleh tokoh kharismatik penggeraknya. Tokoh inilah yang menentukan berkah dan bercahayanya suatu peradaban, yang mampu menggerakkan masyarakat lain bergerak bersama ke arah yang lebih baik yang menjadi cita-cita bersama.

Berkaca dari tinjauan di atas guna diambil hikmah dan pelajaran, Penulis ingin menghubungkan dengan peran Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga pengawas Pemilu yang diharapkan turut berkontribusi melahirkan pemimpin-pemimpin yang berintegritas dan amanah, atau malah Bawaslu sebagai bagian dari penyelenggara pemilu yang gagal melaksanakan fungsi pengawas pemilu hingga lahir pemimpin yang tamak-korup dan tidak berintegritas.

Ditetapkannya Anggota Bawaslu (termasuk Panwaslu) mulai tingkat pusat sampai jajaran tingkat Desa/Kelurahan tentu menyimpan cita-harapan besar, agar mereka dapat berkontribusi dalam membangun-merawat demokrasi lewat pengawasan pemilu dan menegakkan keadilan pemilu secara jujur dan adil. Yakni, turut melahirkan pemimpin yang berintegritas dan amanah adalah impian yang ideal, dengan indikator melakukan tugas, kewajiban dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan secara berintegritas dan taat asas.

Kontribusi Bawaslu ini tergantung pada kapasitas dan integritas sumber daya manusia yang disiapkan guna menjalankan amanah dengan baik sesuai hukum yang berlaku. Kiranya kesuksesan pemilu sangat tergantung pada struktur penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU)-Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) termasuk Bawaslu beserta jajarannya. Bisa dibayangkan jika salah satu penyelenggara misalnya pengawas pemilu melakukan boikot, tidak melakukan tugas pengawasan pemilu. KPU melaksanakan tahapan pemilu tanpa pengawasan, pelanggaran tidak yang menangani serta sengketa proses pemilu tidak ada yang mengadili. Pasti akan terjadi kekacauan proses pemilu dan dapat batal pelaksanaan pemilu yang direncanakan.

Bawaslu berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memiliki kewenangan melakukan pengawasan tahapan Pemilu, penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses Pemilu. Kewenangan Bawaslu saat ini sangat besar. Berbeda dengan kewenangan Bawaslu sebelumnya, sehingga dipandang lemah dan dipandang sebelah mata. Kini, kewenangan Bawaslu yang kuat telah dalam genggaman berdasarkan UU Pemilu, tinggal menjalankan secara jujur dan adil.

Negara begitu percaya dengan Bawaslu dalam melakukan pengawasan Pemilu, sekaligus menangani pelanggaran Pemilu bahkan dipercaya menyelesaikan sengketa proses Pemilu. Menjadi pengawas Pemilu sekaligus menjadi Hakim Pemilu. Kewenangan seperti ini rasanya belum pernah dimiliki oleh lembaga Pengawas Pemilu dimanapun di dunia. Hanya Bawaslu Indonesia yang memiliki.

Kewenangan menegakkan keadilan Pemilu yang dimiliki Bawaslu malah sangat kuat jika dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga anti korupsi seperti KPK. Bandingkan saja, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Sementara kontrol persidangan dan penetapan Putusan atas kasus beralih menjadi kewenangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Namun berbeda dengan kewenangan mengadili atas pelanggaran pemilu yang dimiliki Bawaslu. Bawaslu berwenang untuk mencari, melengkapi bukti dan keterangan dugaan pelanggaran Pemilu untuk selanjutnya menjadikan sebagai temuan pelanggaran (hasil pengawasan aktif). Melaksanakan pleno dan menyampaikan temuan tersebut dalam sidang Majelis Pemeriksa pelanggaran Pemilu serta memberi Putusan setelah melalui rangkaian Adjudikasi penanganan pelanggaran, yang menempatkan Komisioner Bawaslu sebagai Hakim pemilu. Nampak dalam proses tersebut, Bawaslu berperan dari awal berwujud temuan pelanggaran sebagai hasil pengawasan, sampai selesainya proses pelanggaran itu hingga berwujud adanya Putusan Hakim Pemilu.

Bukan hanya itu saja, Bawaslu juga diberi wewenang dalam menindak-lanjuti Laporan dari : WNI yang memiliki hak pilih, Pemantau pemilihan serta Peserta Pemilu. Guna ditindaklanjuti dalam mekanisme penanganan pelanggaran Pemilu yakni memeriksa, mengadili dan memutus kasus berdasarkan laporan. Demikian pula dalam penyelesaian sengketa proses Pemilu, Komisioner Bawaslu mengambil peran sebagai Mediator yang dapat dilanjutkan dengan kewenangan sebagai Hakim Pemilu lewat proses Adjudikasi sampai pada penetapan putusan Majelis Adjudikasi.

Kewenangan Bawaslu yang demikian besar dan kuat, oleh Undang-Undang harus diselesaikan dalam tempo-limit waktu yang sesingkat-singkatnya. Bawaslu dalam penanganan pelanggaran diberi waktu maksimal 14 hari kalender sejak laporan atau temuan di register. Adapun  untuk penyelesaian sengketa proses Pemilu diberi waktu maksimal 12 hari kerja sejak permohonan di register.

Berbeda dengan penyelesaian kasus di lembaga peradilan lainnya, selain tempo-limit waktu yang relatif lebih panjang, juga masih melibatkan unsur lembaga lain dalam penyelesaian. Misalnya dalam penyelesaian kasus Pidana, ada peran Kepolisian melakukan penyidikan dan penyelidikan, Kejaksaan melakukan penuntutan dan Majelis Hakim di Pengadilan dengan kewenangan memeriksa, mengadili dan memutus kasus pidana tadi.

Adanya gambaran di atas, nampak pembeda dari pelaksanaan kewenangan Bawaslu yang menuntut tindakan cepat, tepat dan kapasitas sumber daya manusia dengan balutan taat asas jujur dan adill serta integritas yang tinggi. Intinya negara melalui pembentuk UU begitu percaya pada sumber daya manusia yang dimiliki oleh Bawaslu dalam melakukan pengawasan Pemilu, sekaligus penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses Pemilu, yakni secara teknis bertindak sebagai orang lapangan yang pengawasi tahapan Pemilu, sebagai mediator Pemilu bagi pihak yang bersengketa, dan sebagai hakim Pemilu dalam adjudikasi penanganan pelanggaran atau sengketa proses Pemilu yang harus diselesaikan kendati dibatasi dengan waktu yang sangat singkat.

Jika kewenangan Bawaslu ini dilaksanakan secara amanah, dengan ukuran kesesuaian dengan regulasi, taat asas (jujur dan adil) dan integritas tinggi. Maka sebagai bagian dari penyelenggara Pemilu, Bawaslu yang terlibat dalam pergantian kekuasaan secara demokratis melalui Pemilu kiranya mengimpikan prosesi itu dapat berjalan demokratis, jujur dan adil, serta pemimpin yang dihasilkan adalah individu yang berkualitas dan berintegritas tinggi. Inilah hakikat pengejewantahan menjaga proses dan hasil pemilu sebagai implementasi kedaulatan rakyat.

Hingga pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban Bawaslu dan penyelenggara Pemilu lain (KPU dan DKPP) akan tercatat dalam tinta emas peradaban, yang senantiasa dikenang dan menjadi inspirasi kemajuan peradaban. Seperti keberadaan Mekkah al-Mukarramah yang sering disebut sebagai kota yang mulia dan dirahmati, berkat torehan sejarah perjuangan para Nabi dalam membangun peradaban umat manusia.


Pernah dimuat dalam Buletin Bawaslu Sulteng, Edisi 03-2017.

Artikel File PDF tersedia di sini.