Desain Kelembagaan Penegak Hukum Pemilu Serentak 2019

222 Views

Mahkamah Konstitusi pada bulan Maret 2013 telah memutuskan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk memilih anggota legislatif dan eksekutif tingkat nasional akan dilaksanakan pada tahun 2019. Keputusan itu merujuk pada norma penyelenggaraan Pemilu serentak yang disebutkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” . Hal dipahami bahwa Konstitusi mengamanatkan hanya ada satu Pemilu dalam kurun waktu lima tahun. Selanjutnya dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dinyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Berdasarkan pada materi muatan kedua ayat UUD 1945 tersebut, dapat dipahami bahwa Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali dilaksanakan secara sekaligus (serentak) untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Secara teknis gambaran pelaksanaan Pemilu nantinya akan terdapat lima kotak, yaitu Kotak 1 adalah kotak DPR, kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3 adalah Presiden dan Wakil Presiden, dan kotak 4 adalah DPRD provinsi, kotak 5 adalah DPRD kabupaten/kota.”

Mewujudkan pelaksanaan Pemilu serentak yang jujur dan adil, tentu menjadi tanggungjawab semua pihak, dan perlu didukung dengan sistem penegakan hukum Pemilu yang ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah hukum seputar Pemilu. Masalah hukum Pemilu menurut Syamsudin Haris didefinisikan sebagai segala perbuatan hukum yang menyimpang, bertentangan, atau melanggar peraturan perundang-undangan Pemilu dalam pelaksanaan Pemilu, termasuk adanya pihak yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan Pemilu tersebut.[1]

Merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, masalah hukum Pemilu dapat dikategorikan: Pelanggaran Pemilu dan Sengketa Pemilu. Jenis Pelanggaran Pemilu terdiri dari atas pelanggaran administrasi Pemilu, tindak pidana Pemilu, dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Sedangkan jenis sengketa terdiri dari atas sengketa proses Pemilu antar-peserta Pemilu dan/atau sengketa peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu, sengketa Tata Usaha Negara Pemilu, dan perselisihan hasil Pemilu.

Masalah-masalah seputar Pemilu itu, sudah terjadi dalam pelaksanaan Pemilu serentak 2019. Mengatasi masalah adalah keharusan dalam mencapai pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Eksistensi perangkat sistem Pemilu yang handal dan diharapkan mampu mengatasi masalah Pemilu tersebut adalah kebutuhan. Perangkat sistem Pemilu itu, menyangkut regulasi Pemilu yang progresif, pelaksana Pemilu yang profesional dan amanah, peran aktif masyarakat mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil, serta dukungan  sarana-prasarana Pemilu yang lengkap.

Masalah dalam Proses Pemilu

Sepanjang pengalaman pelaksanaan Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah, ditemukan sejumlah permasalahan hukum yang turut menyita perhatian stakeholder Pemilu. Masalah ini juga menjadi sandungan dalam perhelatan Pemilu serentak 2019, sehingga perlu antisipasi dengan menyiapkan sistem hukum Pemilu yang progresif. Masalah-masalah dalam proses penegakan hukum Pemilu itu diuraikan sebagai berikut:

a. Tidak Sepaham Bawaslu dan Kepolisian dalam Sentra Gakkumdu

Proses penegakan hukum Pemilu seringkali tidak tuntas karena banyaknya persoalan koordinatif yang tidak tuntas. Permasalahan di lapangan, terdapat pelanggaran pidana yang dismiss karena pihak Bawaslu dan kepolisian tidak sepaham dalam menelaah apakah suatu temuan atau laporan merupakan tindak pidana atau bukan tindak pidana Penilu. Terutama ketentuan yang defenisinya kabur, yang bisa diartikan sempit atau luas.

Bahkan menurut Luky Sandra Amalia, dkk sering terjadi dalam hasil kajian Bawaslu kasus yang ditemukan atau diterima merupakan pelanggaran pidana Pemilu, tetapi ketika dilakukan gelar perkara pihak Kepolisian menyatakan bukan pelanggaran tindak pidana Pemilu. Misalnya, pelanggaran kampanye yang masuk kategori pidana berupa peserta Pemilu yang berkampanye di luar jadwal dan/atau tindakan pemberian uang atau barang kepada Pemilih dengan menyertakan unsur kampanye. Dalam kaitan ini, kadang terjadi perbedaan pandangan dalam menilai iklan peserta Pemilu di media. Sebab dikatakan kampanye jika memasukkan unsur visi, misi dan program peserta Pemilu. Implikasinya, temuan atau laporan pelanggaran hanya berhenti di dalam hasil kajian Bawaslu sesuai tingkatan.[2] Tidak dapat ditindaklanjuti ke pembahasan selanjutnya, akibat perbedaan pandangan tim yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu).

Kenyataan ini mengindikasikan, bukan saja kadang terjadi perbedaan pemahaman/konsep antara Bawaslu dan Kepolisian, tetapi juga karena koordinasi yang efektif kurang berjalan dengan baik meskipun sudah dibentuk suatu Forum bersama untuk menyamakan persepsi tentang pelanggaran Pemilu melalui Sentra Gakkumdu.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, telah mengatur keberadaan Sentra Gakkumdu dalam penanganan tindak pidana pada Pemilihan. Ketentuan dalam Pasal 152 ayat (1) Undang-Undang ini menyebutkan bahwa “untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk penegakkan hukum terpadu”. Demikian pula ketentuan serupa ditemukan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Sentra Gakkumdu merupakan Kelompok Kerja yang terdiri dari 3 (tiga) lembaga, yaitu Lembaga Pengawas, Kepolisian, dan Kejaksaan. Ketiga lembaga tersebut nantinya akan menyatu dalam menindak-lanjuti dugaan terjadinya tindak pidana pada Pemilu serentak. Meskipun pada dasarnya ketiga lembaga tersebut memiliki fungsi dan tugas yang berbeda, yaitu Lembaga Pengawasan berfungsi untuk melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan Pemilu dan menindaklanjuti atas dugaan pelanggaran yang terjadi di dalamnya, Kepolisian berfungsi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta Kejaksaan berfungsi untuk melakukan penuntutan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukuk Acara Pidana (KUHAP).

b. Temuan Bawaslu Tidak Ditindaklanjuti KPU

Persoalan koordinasi juga ditemukan dalam penanganan pelanggaran administrasi, di mana hasil kajian Bawaslu yang diteruskan ke KPU sering kali tidak ditindaklanjuti. Ini dapat diprediksi karena KPU sebagai pemegang fungsi pelaksana Pemilu tentu memiliki beban kerja yang cukup berat, sehingga berimplikasi pada mengendapnya rekomendasi atau hasil kajian Bawaslu di KPU tanpa ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.[3]

Selain itu, pemeriksaan masalah hukum yang dilakukan oleh Bawaslu dengan KPU sebagai aktor yang berbeda, kadang berimplikasi pada keterpaduan hukum Pemilu. Peluang inkonsistensi putusan atas penyelesaian masing-masing persoalan hukum kadang tidak bisa dihindari. Misalnya, KPU memiliki pandangan lain atau berbeda pandangan tentang hasil kajian Bawaslu yang berimplikasi pada eksekusi atas masalah hukum yang dihadapi. Jadilah rekomendasi Bawaslu tanpa tindaklanjut KPU.

Secara normatif, ada keharusan bagi KPU untuk menjalankan rekomendasi Bawaslu, apalagi perintah Bawaslu yang diputuskan lewat putusan sidang Pelanggaran Administrasi Pemilu. Bahkan ada ancaman sanksi yang bisa dikenakan kepada KPU jika tidak menindaklanjuti apa yang menjadi rekomendasi atau putusan Bawaslu. Sanksi itu dapat berupa pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dan sanksi pidana Pemilu.

c. Putusan DKPP Tidak Dipertimbangkan dalam Sengketa Hasil di MK

Ketika Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan bahwa pelanggaran etika telah terjadi, kerap kali putusan itu hanya berhenti pada penyelenggara Pemilu tanpa dipertimbangkan dalam penyelesaian sengketa lainnya yang melibatkan penyelenggara Pemilu dimaksud. Misalnya putusan DKPP tentang penyelenggara Pemilu yang bermasalah tidak menjadi bagian pertimbangan dalam pemeriksaan sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi.[4]

Mahkamah Konstitusi diharapkan mengedepankan pencapaian keadilan substantif dalam memeriksa dan memutus perkara sengketa hasil Pemilu, ketimbang keadilan prosedural yang sifatnya “angka-angka” sebagaimana dalam sengketa hasil Pemilukada. Diharapkan MK tidak hanya melihat persoalan selisih perolehan suara dalam rentang 0,5 sampai 2 persen (ambang batas selisih suara) baru dapat memeriksa pokok permohonan sengketa, sebab banyak praktek kecurangan yang terjadi dan mengakibatkan selisih suara bisa lebih besar dari ambang batas suara yang sudah ditetapkan.

Ketatnya persyaratan sebuah permohonan sengketa hasil Pemilu dapat diterima oleh MK membuat para pihak yang tidak puas mencari jalan untuk melanjutkan perjuangan mereka, yaitu dengan cara mengadukan kasusnya ke DKPP. Jimly Asshiddiqie  menilai, tidak selayaknya MK mengatur persyaratan yang terlalu ketat, Jika MK menutup diri, saluran sengketa itu akan beralih ke tempat lain, dalam hal ini ke DKPP jadinya.[5] Para pihak sering kali mencari-cari akar permasalahan dengan mengaitkan dengan pelanggaran etik, berupa mencari alasan-alasan, dikait-kaitkan dengan pelanggaran kode etik dan tidak profesionalnya penyelenggara Pemilu.

Penegakan hukum Pemilu memiliki karakteristik khusus, diantaranya berupa limitasi waktu penanganan yang singkat. Tim Sentra Gakkumdu harus mempergunakan waktu yang ditentukan dengan efesien. Ini dapat dipahami bahwa tahapan Pemilu tetap berjalan, tanpa terganggu atas proses penegakan hukum yang sedang dilakukan Gakkumdu.

Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur secara rinci proses penanganan pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, dan tindak pidana Pemilu. Pada tabel di bawah ini dapat ditunjukkan lembaga-lembaga (Bawaslu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, KPU dan DKPP) yang berwenang menangani pelanggaran pidana Pemilu, yang juga mengatur batasan waktu penanganan pelanggaran pidana Pemilu.

Melihat desain jangka waktu penegakan hukum Pemilu bagi pelanggaran pidana Pemilu di atas, dapat dikatakan aturan penyelesaian hukum yang cepat (fast track) karena jangka waktu yang diberikan untuk memprosesnya juga singkat. Bahkan untuk memastikan penanganan cepat ini berjalan sebagaimana mestinya, Bawaslu membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan dengan membuat suatu forum bersama yang disebut dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Di mana Bawaslu dapat menyampaikan hasil kajiannya secara langsung pada Kepolisian untuk diproses dan dilimpahkan langsung pada Kejaksaan untuk diperiksa di Pengadilan.

Penanganan pelanggaran Pemilu memang perlu dibatasi waktunya, mengingat pelanggaran ini terjadi dalam pelaksanaan tahapan Pemilu yang sudah terjadwal. Namun demikian, tidak semua jenis pelanggaran Pemilu perlu dibatasi waktunya. Selain karena sifat pelanggaran itu memang membutuhkan waktu lama untuk membuktikannya, juga pelanggaran itu tidak mempengaruhi pelaksanaan tahapan Pemilu.

Hal ini terutama terjadi dalam penangananan tindak pidana Pemilu. Untuk membuktikan ada-tidaknya tindak pidana perlu dilakukan penyelidikan dan penyidikan yang tidak gampang karena hukum acara pidana Pemilu membutuhkan bukti-bukti dan saksi-saksi kuat agar semua unsur tindak pidana bisa dibuktikan di Pengadilan.

Selain itu, sanksi tindak pidana biasanya jatuh ke perseorangan, sehingga tidak perlu dikhawatiran jatuhnya sanksi akan mengganggu pelaksanaan tahapan Pemilu. Misalnya, dalam tahapan pencalonan terdapat perkara pidana Pemilu yang menjerat seorang calon, maka biarkan saja Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan memproses perkara tersebut, tanpa terpengaruh oleh jadwal Pemilu. Katakanlah pelaksanaan Pemilu terus berlanjut hingga sampai tahapan penetapan hasil Pemilu, yang mana calon tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih. Baru kemudian datang putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa calon terbukti melanggar ketentuan pidana sehingga dijatuhi sanksi. Dengan dinyatakan bersalah atas perkara yang muncul pada tahapan pencalonan, maka calon bersangkutan tidak bisa dilantik. Statusnya sebagai calon terpilih otomatis gugur, dan kursinya digantikan oleh calon lain yang berhak.

d. Sanksi hukum sangat ringan

Proses penegakan hukum Pemilu yang demikian panjang dan kontrol administrasi penindakan yang ketat, kadang tidak sebanding dengan vonis Hakim di Pengadilan. Dari banyak kasus pidana Pemilu yang diputus di persidangan, mayoritas dikenai sanksi pidana percobaan. Padahal efek dan ekspektasi publik untuk pelaku dikenai sanksi tegas dan berat berujung dengan hasil vonis pidana percobaan.

Konsekwensi penjatuhan hukuman percobaan ini berangkat dari norma sanksi dalam UU Pemilu yang mengancam pelaku dengan sanksi/hukuman yang minimal. Nampak ada pertimbangan pembentuk Undang-Undang untuk tidak memberikan sanksi pidana yang berat. Proses kontestasi Pemilu bisa saja sudah berakhir, tetapi pesakitan masih mendekam di tahanan. Itu kelihatannya yang dihindari. Sehingga penjatuhan sanksi lebih mengarah kepada sanksi sosial, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah salah/melanggar hukum hingga di kenai sanksi pidana.

Proses penegakan hukum pidana Pemilu yang panjang tersebut, diharapkan memberi efek jera kepada pelaku yang harus koperatif menghadiri pemeriksaan dan persidangan. Disinilah beban moral dan sosialnya. Sebab jika tersangka atau terdakwa tidak hadir dalam pemeriksaan dan persidangan, kasus yang menjeratnya tetap bisa dilanjutkan, ini dengan dikenal dengan pengadilan in absensia.

Alternatif Solusi

Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas (arti hukum materiel) diistilahkan dengan penegakan keadilan. Jimly Asshiddiqie mengartikan penegakan hukum sebagai proses dilakukan untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[6]

Lawrence Meir Friedman[7] mengungkapkan bahwa penegakan hukum ditentukan dan dipengaruhi oleh unsur-unsur dalam sistem hukum (elements of legal system) yakni : Struktur hukum meliputi institusi dan aparat penegak hukum; Substansi hukum meliputi aturan, norma dan perilaku nyata manusia; Budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Selanjutnya Soerjono Soekamto mengembangkan teori tersebut dengan menyebutkan masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, yakni: Hukumnya sendiri, Penegak hukum, Sarana dan fasilitas, Masyarakat dan Kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya sebagai kesatuan sistem, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum yang juga merupakan tolak ukur dari pada efektivitas penegakan hukum.[8]

Mengacu pada teori sistem penegakan hukum tersebut, menjadikan penegakan hukum Pemilu juga tidak bisa dipisahkan dari teori itu. Artinya, mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil butuh dukungan sumber daya pelaksana Pemilu yang profesional dan berintegritas, regulasi Pemilu yang progresif, peran serta masyarakat dan sarana-prasarana Pemilu yang lengkap.

Pertama, KPU SebagaiPelaksana, Pengawas dan Penindak Pelanggaran. Secara normatif, KPU, Bawaslu, dan DKPP, sebagai lembaga Penyelenggara Pemilu yang merupakan satu kesatuan fungsi Pemilu.[9] KPU dan jajarannya selaku Penyelenggara Pemilu berwenang menjatuhkan sanksi terhadap para pelaku pelanggaran administrasi Pemilu yang disampaikan Pengawas Pemilu. DKPP berwenang menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. MK berwenang menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu.

Demikian pula dengan Bawaslu dan jajarannya selaku pengawas berwenang memastikan ada-tidaknya pelanggaran Pemilu, dan jika ternyata ada pelanggaran Pemilu merekomendasikan kepada instansi lain yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Bersama dengan jajaran Kepolisian, Kejaksaan, dan Lembaga Peradilan yang masing-masing berwenang menyidik, mendakwa, dan menjatuhkan vonis pelanggaran Pemilu yang terjadi dalam setiap tahapan Pemilu. Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan tergabung dalam forum bersama yang disebut Sentra Gakkumdu.

Berangkat dari dinamika penegakan hukum Pemilu selama ini. Bawaslu dan jajarannya yang melaksanakan fungsi pengawas Pemilu dengan melakukan pengkajian ada-tidaknya pelanggaran, menurut Didik Supriyanto sebetulnya hanya menambah birokrasi dan waktu penanganan pelanggaran Pemilu. Hal ini terjadi karena hasil kajian pengawas pemilu (Bawaslu) tidak otomatis dibenarkan dan ditindaklanjuti oleh Kepolisian, KPU, dan DKPP. Ketiga lembaga tersebut tetap melakukan kajian dan penyelidikan sendiri untuk memutuskan ada-tidaknya pelanggaran atau tindak pidana Pemilu. Jika hasilnya sama dengan kajian Bawaslu, pengkajian dua kali ini adalah inefesiensi. Sedangkan jika hasilnya tidak sama, maka selain inefesiensi, juga menimbulkan perdebatan di antara lembaga penegak hukum Pemilu tersebut secara terbuka, sehingga dapat mendegradasi kepercayaan dan integritas lembaga penegak hukum Pemilu itu di mata publik.[10]

Oleh karena itu, akan lebih baik jika fungsi lembaga pengawas pemilu yang dilaksanakan oleh Bawaslu sebagai pengkaji ada-tidaknya pelanggaran, bisa dipikirkan untuk dihilangkan saja. Sehingga jika terjadi pelanggaran administrasi, pelapor bisa langsung mengadu ke KPU. Jika terjadi tindak pidana Pemilu, pelapor bisa langsung mengadu ke kepolisian. Serta jika terjadi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, pelapor bisa langsung mengadu ke DKPP.

Senada dengan hal itu, Topo Santoso mengusulkan agar peran pengawasan dan penindakan yang dilaksanakan oleh Bawaslu dimasukkan dalam fungsi KPU, sehingga KPU memegang fungsi pelaksana, fungsi mengawasi dan menindak pelanggaran. Model kelembagaan ini seperti yang dipraktekkan di KPU Thailand, agar tidak ada lagi gontok-gontokan antara KPU dan Bawaslu serta diharapkan pengawasan bisa efektif dan tidak berbenturan dengan penyelenggara Pemilu yang lain.[11]

Konsep ini tidak hanya memotong birokrasi penanganan pelanggaran dan tindak pidana Pemilu, tetapi bisa meningkatkan efesiensi penggunaan dana Pemilu, serta bisa menghindari terjadinya degradasi reputasi penyelenggara Pemilu akibat perdebatan ada-tidaknya pelanggaran di antara mereka. Lebih dari itu, jika pelaporan pelanggaran bisa langsung ditangani KPU, kepolisian, dan DKPP, maka hal ini bisa merangsang meningkatkan partisipasi masyarakat, pemilih, calon dan partai politik dalam menegakkan hukum Pemilu. Sebab selama ini, terdapat stigma bahwa mereka merasa tidak perlu terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukum Pemilu, karena sudah ada Bawaslu dan jajarannya yang menangani pengawasan itu.

Kedua, Penguatan Fungsi Pengawasan Bawaslu. Ditelisik secara historis, masalah pokok Bawaslu adalah pada fungsinya yang terbatas dan sempat diwacanakan untuk dibubarkan karena hanya menjadi “lembaga pelengkap” Pemilu yang ketika Ia ada hanya membebani keuangan negara/daerah, dan ketika Ia tidak ada maka Pemilu tetap dapat berjalan. Sejak Pemilu 1982 hingga Pemilu 2014, fungsi Bawaslu tidak banyak berubah, yakni: (1) mengawasi tahapan pelaksanaan pemilu; (2) menerima laporan pelanggaran; (3) meneruskan laporan pelanggaran ke instansi berwenang, dalam hal ini ke Penyelenggara Pemilu bila terjadi pelanggaran administrasi, dan ke kepolisian bila terjadi tindak pidana pemilu; serta (4) menyelesaikan sengketa dalam penyelenggaraan pemilu.

Sekaitan dengan fungsi Bawaslu itu, Didik Supriyanto, dkk menyebutkan fungsi pertama tidak ubah fungsi pemantauan sebagaimana dijalankan lembaga pemantau Pemilu, karena di sini lembaga pengawas pemilu hanya mengeluarkan pernyataan tentang ada tidaknya masalah dalam pelaksanaan tahapan Pemilu. Fungsi kedua dan ketiga, memposisikan lembaga pengawas
Pemilu sebagai petugas kantor pos, karena hanya mengantarkan hasil kajian tentang adanya pelanggaran ke KPU atau Kepolisian. Sedang fungsi keempat, disayangkan keputusan lembaga pengawas tidak mempunyai kekuatan mengikat. [12]

Jika penyederhanaan aktor penegakan hukum Pemilu berupa fungsi Bawaslu sebagai pengawas dilaksanakan KPU belum dapat terwujud sebagaimana diuraikan pada bagian pertama diatas. Maka patut dipikirkan adalah penguatan fungsi pengawasan yang dimiliki Bawaslu, agar putusannya memiliki daya eksekusi dengan sifat final dan mengikat tanpa harus dilimpahkan lagi ke lembaga lain, kecuali sengketa Tata Usaha Negara (TUN) yakni penetapan partai politik, calon tetap Presiden dan Wakil Presiden dan calon tetap anggota legislatif. Secara teknis, proses yang semula dilaksanakan dan menjadi kewenangan PTUN untuk sengketa TUN, dan Kepolisian yang menyangkut pelanggaran tindak pidana Pemilu kemudian dialihkan dan menjadi kewenangan Bawaslu untuk memutusnya, dan keputusan Bawaslu itu bersifat final dan mengikat.

Pengecualian sengketa TUN yang masih bisa diajukan ke Pengadilan Tinggi TUN, itu sebatas sengketa yang disebabkan oleh keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik peserta pemilu, daftar calon tetap Presiden dan Wakil Presiden, dan calon tetap anggota Legislatif. Artinya, di luar kasus sengketa yang disebabkan oleh tiga keputusan KPU tersebut, keputusan Bawaslu dan jajarannya dalam menyelesaikan sengketa bersifat final dan mengikat, yakni terkait dengan pelanggaran administrasi dan tindak pidana Pemilu, serta sengketa administrasi.

Secara teknis, untuk ketiga jenis sengketa itu semua terlebih dahulu harus melalui penyelesaian oleh Bawaslu, dengan mengeluarkan keputusan penyelesaian sengketa TUN. Namun, jika tidak dapat diselesaikan oleh Bawaslu berupa KPU tidak mau melaksanakan keputusan Bawaslu tersebut. Maka KPU harus melakukan upaya hukum dalam menolaknya, tidak bisa secara sepihak dengan tidak melaksanakan saja. Upaya hukum itu dilakukan dan diselesaikan melalui jalur Pengadilan Tinggi TUN.

Demikian pula dalam pelanggaran tindak pidana Pemilu, yang selama ini diselesaikan dalam Sentra Gakkumdu (forum bersama Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan) kemudian dilimpahkan ke Pengadilan. Kaitannya dengan penguatan fungsi Bawaslu sebagai ius constituendum, maka perlu dipikirkan pengalihan kewenangan lembaga tersebut, dengan penguatan fungsi pengawasan Bawaslu yang dilengkapi dengan fungsi kehakiman. Berupa putusan Bawaslu bersifat eksekutorial dalam pelanggaran tindak pidana Pemilu tadi. Bawaslu berwenang dalam menerima, memeriksa dan memutus pelanggaran tindak pidana Pemilu, dan putusannya bersifat final dan mengikat.

Adapun tindak pidana yang sifatnya kejahatan dalam penyelenggaraan Pemilu, tetapi menjadi kewenangan Kepolisian untuk melakukan penyidikan dan dilakukan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Termasuk, kewenangan Kejaksaan melakukan penuntutan dan Pengadilan lewat Hakim menjatuhkan vonis.

Kewenangan Bawaslu dalam penegakan hukum Pemilu, secara khusus (lex spesialis) menyelesaikan sengketa pelanggaran pidana Pemilu sebelum penetapan hasil hendaknya mengerucut pada perubahan legsilasi yang mengatur seputar Pemilu dan lembaganya. Disadari upaya itu tidaklah mudah, butuh kajian mendalam dan upaya politik yang kuat mewujudkannya.

Penutup

Sebagai negara hukum  yang penyelenggaraan kekuasaan Pemerintahan didasarkan atas hukum yang mewujud dalam bentuk peraturan tertulis (Undang-Undang). Tentu desain kelembagaan penegak hukum Pemilu ke depan merupakan produk legislasi yang sudah melalui proses pembahasan bersama DPR dan Pemerintah dengan pelibatan masyarakat. Politik hukum legislasi itu ideal berangkat dari konsepsi penataan sistem demokrasi dan pemerintahan untuk menghadirkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.

Upaya penegakan hukum yang independen, transparan dan bermartabat menjadi harapan dan dambaan masyarakat. Untuk itu, menjadi tanggung jawab bersama mewujudkan harapan masyarakat dengan bekerja secara professional dan berintegritas tinggi dalam penindakan pelanggaran Pemilu.

Catatan Kaki


[1] Syamsudin Haris (Editor), 2016, Pemilu Nasional Serentak 2019, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 145.

[2] Luky Sandra Amalia, dkk, 2016, Evaluasi Pemilu Legislatif 2014; Analisis, Proses dan Hasil, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 116.

[3] Ibid, hlm. 116.

[4] Ibid, hlm. 117.

[5] Jimly Asshiddiqie, 2017, MK Diminta Beri Keadilan Substantif, Kompas 18 Maret 2017.

[6] Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Sumber: www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf, diakses 14 Mei 2017.

[7] Lawrence Friedmann dalam Achamd Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia; Penyebab dan Solusi, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 1.

[8] Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 5.

[9]Lusy Liany, 2016, Desain Hubungan Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum, Jurnal Cita Hukum, Vol.4 No.1, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, hlm. hlm. 54.

[10]Didik Supriyanto, 2014, Sistem Penegakan Hukum Pemilu, Perludem, Jakarta, hlm. 6.

[11]Topo Santoso dalam Luky Sandra Amalia, dkk, 2016, Op Cit, hlm. 121.

[12]Didik Supriyanto, Veri Junaidi, Devi Darmawan, 2012, Penguatan Bawaslu; Optimalisasi Posisi, Organisasi, dan Fungsi dalam Pemilu 2014, Perludem, Jakarta, hlm. 54-55.

File PDF, dapat didownload di bawah ini :

[sdm_download id=”725″ fancy=”0″]

[sdm_download_counter id=”725″]

Pencalonan Mantan Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Pengawas Pemilu

201 Views

Perdebatan pencalonan mantan terpidana korupsi dalam Pemilu pernah mencuat, pasca KPU tidak meloloskan bakal calon anggota legislatif mantan narapida korupsi, bandar narkoba dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak. KPU mencoret dan menyatakan bakal calon yang diajukan Partai Politik itu, dengan status tidak memenuhi syarat (TMS). Pelarangan ini dinilai agar ke depan terwujud penyelenggaraan pemerintahan bersih yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Keputusan KPU beranjak dari dasar hukum, PKPU Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif, bahwa Partai Politik (Parpol) dalam seleksi internal untuk pengusulan bakal calon anggota legislatif dilarang menyertakan narapidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak. Regulasi ini telah ditetapkan dan telah disosialisasikan, Parpol diharapkan menaati dan melaksanakan. Dan, KPU menilai ketaatan Parpol saat pengajuan calon anggota legislatif turut menyertakan dan menandatangani pakta integritas, dengan muatan di atas. Tetapi ternyata, tetap memuat calon-calon yang bermasalah tadi.

Sementara, pandangan Bawaslu ternyata berbeda. Pasca Bawaslu mengabulkan permohonan sengketa proses Pemilu atas pokok perkara yang diajukan Parpol. Sebelumnya KPU menetapkan calon anggota legislatif mantan narapidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak, tidak memenuhi syarat. Namun, lewat putusan Bawaslu mengabulkan permohonan sengketa yang diajukan Parpol, berupa meloloskan calon yang sebelumnya dinyatakan TMS oleh KPU sebagai calon anggota legislatif, sekaligus memerintahkan KPU untuk menetapkan yang bersangkutan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) agar memiliki hak politik ikut kontestasi sebagai Peserta Pemilu.

Upaya Pencegahan

Bukan hanya KPU dan masyarakat yang mengharap lahir pemimpin yang bersih, pemimpin yang tidak memiliki beban masa lalu sebagai pelaku ekstra ordinary crime, Bawaslu juga mengharapkan agar Parpol lewat seleksi internal dapat pengajuan calon anggota legislatif yang memiliki kapasitas handal, memiliki kualitas spiritual-moral yang mapan, serta terjaga dari hal-hal tercela.

Bahkan lewat kerja-kerja pencegahan, Bawaslu telah menghimbau Parpol untuk tidak mengajukan calon yang pernah dipidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak. Tetapi ternyata Parpol tetap mengajukan calon yang dinilai bermasalah tadi, hingga KPU menyatakan tidak memenuhi syarat bakal calon yang diajukan itu. Dasar KPU adalah PKPU pencalonan anggota legislatif.

Lewat kerja-kerja pencegahan Bawaslu berupa penyampaian himbauan kepada Parpol. Ada parpol yang lantas mengikuti himbauan Bawaslu, dengan membatalkan pengajuan bakal calon terpidana korupsi. Langkah itu diikuti dengan informasi dan pembangunan opini bahwa Ia adalah Parpol yang pro terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, buktinya Parpol itu tidak mengajukan bakal calon mantan terpidana korupsi.

Mengatakan Bawaslu sebagai Lembaga yang pro terhadap koruptor, dari kenyataan ini adalah salah. Bawaslu telah mengambil kebijakan strategis, langkah pencegahan agar Parpol dapat mengajukan bakal calon yang memiliki kapasitas dan bukan terpidana korupsi. Semua menyetujui korupsi adalah masalah besar di Indonesia. Juga disetujui bahwa dana rakyat harus dilindungi dari pihak-pihak yang korup, namun ada hak individu, ada hak orang yang dilindungi UUD dan UU Pemilu.

Jika dalam proses adjudikasi, sikap Bawaslu ternyata berubah, itu soal lain. Proses adjudikasi adalah proses penegakan keadilan Pemilu dengan dasar keyakinan hakim memutus permohonan sesuai dengan fakta persidangan. Dasar argumentasi Bawaslu menjatuhkan vonis dengan menggunakan prinsip hukum dan teori norma, yang umum digunakan Hakim dalam memutus perkara atau permohonan di persidangan.

Penegakan Keadilan Pemilu

Kerangka hukum Pemilu didesain mengatur mekanisme dan penyelesaian permasalahan hukum penyelenggaraan Pemilu. Tujuannya memberikan kepastian hukum dan solusi dalam pelaksanaan tahapan Pemilu, sehingga keadilan bagi seluruh pihak dapat terpenuhi. Kerangka penegakan hukum Pemilu juga mengatur proses penyelesaian sengketa proses Pemilu, yang timbul dari ditetapkannya Keputusan KPU, dan keputusan itu dinilai melanggar hak politik dari peserta Pemilu. Hingga mengajukan permohonan sengketa untuk diputus oleh Bawaslu lewat mekanisme sidang adjudikasi.

Dalam pertimbangan hukum Bawaslu yang dituangkan dalam putusan sengketa proses Pemilu untuk kasus pencalonan mantan terpidana korupsi, setidaknya dapat ditemui beberapa hal yang menjadi dasar argumentasi. Pertama, hak konstitusional warga negara. Setiap orang memiliki hak dan kewajiban konstitusional yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan, termasuk hak warga negara Indonesia. Hak itu merupakan hak dasar yang diberikan oleh negara melalui Undang-Undang, termasuk hak memilih dan dipilih sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang.

Saat ada pembatasan hak, terhalanginya hak seseorang untuk dipilih dalam kontestasi Pemilu, tentu merupakan pelanggaran Undang-Undang. UU Pemilu tidak memuat larangan atas mantan terpidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak untuk dicalonkan sebagai peserta Pemilu. Olehnya, Para pihak termasuk lembaga negara secara ketat harus memberikan perlindungan atas hak konstitusional warga negara. Menjadi masalah, ketika malah lembaga negara yang membatasi pelaksanaan hak konstitusional warga negara.

Kedua, Melaksanakan ketentuan dalam Undang-Undang. Dasar hukum yang diakui dan menjadi rujukan pihak KPU dan Bawaslu adalah Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Bawaslu menilai, Undang-Undang Pemilu tidak menggariskan larangan bagi narapidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak untuk mencalonkan diri, termasuk tidak ada larangan bagi Partai Politik untuk mencalonkannya.

Undang-Undang Pemilu sudah menyatakan, bahwa seorang mantan narapidana yang telah menyelesaikan masa hukumannya, dapat mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif selama yang bersangkutan sudah mengumumkan kepada publik bahwa pernah berstatus sebagai narapidana dan sudah menjalani hukuman. Dalam hal ini, mantan narapidana kasus korupsi mempunyai hak politik, sama dengan warga negara yang lain, suatu hak yang dijamin oleh konstitusi.

Ketiga, PKPU sebagai penjabaran teknis dari Undang-Undang, bukan sebaliknya yang membatasi hak konstitusional. Undang-Undang Pemilu menjadi dasar penyelenggaraan tahapan pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden-Wakil Presiden tahun 2019. Lembaga penyelenggara pemilu, baik Bawaslu, KPU dan DKPP lantas menjabarkan pengaturan lebih lanjut ke dalam peraturan yang lebih teknis. Peraturan teknis ini, idealnya sinkron dan menjabarkan peraturan yang lebih tinggi. Akan fatal jadinya, jika peraturan teknis malah memunculkan norma baru yang secara subtansi bertentangan dengan peraturan diatasnya.

Keempat, Hak konstitusional hanya bisa dibatasi oleh Undang-Undang dan Putusan Pengadilan. Indonesia adalah negara hukum. Penyelesaian masalah dan pengaturan kehidupan berbangsa didasarkan pada norma hukum, yang diwujudkan dengan peraturan tertulis. Hak dan kewajiban warga negara banyak ditemukan dalam UUD dan UU, termasuk hak politik, hak untuk dicalonkan sebagai peserta Pemilu.

Selain UU, yang dapat membatasi pelaksanaan hak seseorang adalah putusan pengadilan. Hukum positif hingga kini tidak melarang mantan narapidana mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif dan hanya pengadilanlah yang mempunyai kewenangan untuk mencabut hak politik seseorang.

Beberapa putusan hakim yang ditangani KPK atas kasus ekstra ordinary crime, turut menjatuhkan pidana tambahan, berupa pencabutan hak politik sebagai Pemilih dan hak untuk dipilih. Tetapi pencabutan hak politik itu, selain sangat selektif juga ada pembatasan masa waktu berlaku. Suatu saat jika masa berlaku pencabutan hak politik berakhir, yang bersangkutan dapat ikut menggunakan hak politiknya kembali sebagai hak yang dijamin dalam konstitusi.

File PDF dapat didownload di bawah ini :

[sdm_download id=”711″ fancy=”0″]
[sdm_download_counter id=”711″]

Mewujudkan Pemilu Damai

213 Views

Jika diamati secara seksama judul tulisan ini merupakan harapan dan cita-cita, bukan hanya Penyelenggara Pemilu, Pemerintah dan masyarakat saja yang mengharapkan, peserta Pemilu juga sangat mendambakan kondisi Pemilu damai ini. Walaupun ada pandangan pesimis, Pemilu damai susah diwujudkan. Pelanggaran dan kekerasan dalam Pemilu masih silih-berganti terjadi, menjadi benalu dan racun demokrasi.

Ketika kampanye Pemilu telah di mulai, peserta Pemilu seakan tidak kenal lelah menggunakan berbagai potensi dan kesempatan untuk memperkenalkan visi, misi, program dan/atau citra dirinya kepada masyarakat. Agar Pemilih tergerak menggunakan hak politiknya, memilih peserta Pemilu yang bersangkutan di hari pemungutan suara nanti.

Namun, kita dibuat prihatin akibat perilaku oknum-oknum dari berbagai kalangan yang tega menciderai prinsip demokrasi dengan melakukan pelanggaran. Bahkan pelanggaran ada yang terindikasi dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Semua hal menjadi dihalalkan/diperbolehkan asal mendapatkan kekuasaan. Kecurangan, intimidasi, kekerasan, ancaman, persekongkolan dan berbagai bentuk pelanggaran lainnya seolah lumrah dilakukan. Dan, ini yang menjadi benalu dan racun demokrasi yang harus diperangi dan ditindak tegas.

Lebih celaka lagi, ketika perilaku pelanggaran Pemilu itu dinilai sebagai sesuatu yang wajar dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan. Bahkan masyarakat pun dengan antusias mengikuti kegiatan pragmatis dan transaksional, menjadi pendukung atau pihak yang turut serta memudahkan pelanggaran terjadi, misalnya dalam praktek politik uang. Ini yang berbahaya. Seharusnya masyarakat sebagai pemilik kedaulatan, harus berperan dalam menjaga dan mengawasi suara rakyat agar lahir pemimpin berintegritas. Mengawal proses Pemilu agar senantiasa jujur dan adil, hingga ditetapkan hasil Pemilu yang diterima oleh semua pihak.

Persoalan mendasar, mengapa tindak pelanggaran dalam setiap Pemilu masih terus terjadi. Ini karena kematangan berdemokrasi belum melembaga sampai ditingkatan paling bawah lapisan masyarakat. Pengetahuan, pemahaman dan perilaku demokrasi cenderung masih hanya dimiliki oleh sebagaian kecil warga saja. Meskipun dalam penyelenggaraan bernegara berdasarkan asas demokrasi, namun masih sebatas pada formalitas, yaitu tersedianya istitusi demokrasi politik seperti partai politik, lembaga legislatif, yudikatif, eksekutif dan lain-lain. Begitu pula demokrasi dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat belum melekat dengan baik dan masih cenderung pragmatis-transaksional. 

Persyaratan baik yang bersifat normatif maupun empiris harus terpenuhi dalam rangka mewujudkan Pemilu damai. Demokrasi yang hanya dipahami oleh elit politik cenderung akan mewujudkan anarki massa, sedangkan demokrasi yang hanya dipahami di kalangan bawah tidak akan mewujudkan ruang artikulasi luas di kalangan publik. Elit politik dan masyarakat harus saling mendukung dan menguatkan dalam memahami substansi demokrasi yang diwujudkan lewat pelaksanaan Pemilu.

Ada empat persyaratan untuk mewujudkan harapan tentang Pemilu damai. Pertama, Nilai-nilai demokrasi yang menjadi acuan utama. Dalam demokrasi pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat dihasilkan melalui mekanisme kebebasan berpendapat baik oleh individu, kelompok maupun Partai Politik. Pembentukan kekuasaan tersebut dihasilkan melalui tahapan Pemilu, lewat kontestasi dan yang memperoleh suara yang terbanyak akan ditetapkan sebagai pemenang dan mendapat legitimasi dari publik. Sementara yang kalah, bersedia bekerja sama atau menjadi oposisi untuk mengontrol jalannya pemerintahan. 

Masalah saat ini, nilai-nilai demokrasi sudah lama berkembang secara baik, tetapi kesadaran berdemokrasi individu belum merata, kalau-pun ada hanya dimiliki oleh sebagaian kecil saja. Ini dapat dilihat dari kampanye dan penetapan hasil Pemilu yang cenderung diwarnai berbagai pelanggaran. Kalau tindak pelanggaran Pemilu masih tetap ada, maka kesadaran berdemokrasi hanya kesadaran semu.

Nilai-nilai dan wacana demokrasi sudah ada di masyarakat, tetapi belum dapat diaktualkan secara baik dan konkret. Demokrasi masih dipahami sebagai sarana untuk menyalurkan pendapat dan aspirasi, tetapi tidak pernah dipahami mendengar aspirasi dan pendapat lawan politik. Sehingga yang terjadi adalah melembaganya sifat egois untuk menang tanpa peduli dengan keadaan pihak lawan. Kalau paradigma ini masih tetap ada, maka kebencian antar kelompok yang berbeda akan terus ada, dan pendidikan politik tidak akan berjalan dengan baik.

Kedua, Pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu secara professional. Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu), institusi negara terkait, dan peserta Pemilu, harus terus melakukan pencegahan dan sosialisasi dalam rangka mencegah berbagai potensi pelanggaran Pemilu. Kebijakan bersama antara penyelenggara, institusi negara terkait, dan aparat penegak hukum harus berkolaborasi agar kerja pencegahan tidak sektoral dan kasuistis.

Jika pencegahan pelanggaran telah dilakukan namun tetap terjadi pelanggaran, maka aparat penegak hukum harus menjalankan fungsi penegakan hukum secara tegas. Bawaslu sebagai Pengawas Pemilu, bersama aparat penegak hukum yang bernaung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) harus berani dan aktif. Pelaku pelanggaran harus diberi sanksi secara adil, lewat proses Pengadilan yang transparan dan profesional.

Ketiga, masyarakat harus bijak memilah dan mencerna informasi, perlu ada kroscek ulang sebelum mengambil langkah atau keputusan. Kroscek jika benar-benar dipraktikkan, niscaya tidak akan memberi ruang bagi hadirnya kampanye jahat dan provokasi. Ada kesadaran kritis publik menyaring informasi yang diterima, tidak cepak terpancing untuk bersikap dan menghakimi.

Tradisi kroscek mengharuskan Pemilih meneliti dan menyeleksi suatu berita, tidak tergesa-gesa memutuskan sesuatu sampai jelas benar permasalahannya, sehingga tidak ada pihak yang merasa dizalimi. Penting bagi masyarakat untuk mengkonfirmasi atau menguji validitas data dan informasi yang diterima. Agar tidak terjebak dalam agenda jahat para penyebar hoax dan penyebar ujaran kebencian.

Keempat, keberadaan institusi-institusi sosial-politik yang mendorong demokrasi. Pendidikan politik untuk demokrasi harus tetap dilakukan lewat partai politik, lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan maupun lembaga-lembaga formal lainnya. Tetapi nilai pendidikan politik juga harus dipraktekkan oleh elit politik secara langsung. Sebab prilaku para elit politik akan cenderung ditiru oleh masyarakat terutama oleh pendukung. Di samping itu perilaku untuk siap kalah juga harus dimiliki, dengan bersedia bekerja sama atau melakukan oposisi terhadap pemerintahan yang akan berkuasa.

Keberadaan institusi sosial-politik masyarakat akan berperan meredam konflik dan gejolak sosial yang sering mengemuka ketika ada isu-isu dihembuskan. Apalagi menyasar suku, agama, ras dan antar golongan. Peran dan keberadaan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam mengedukasi masyarakat sangat penting, menjernihkan keadaan, dan memberikan pandangan solutif yang menyejukkan.  

Berbagai tindak pelanggaran yang terjadi dalam Pemilu, mulai dari saat kampanye, penetapan hasil dan pasca penetapan hasil, dapat saja mewarnai hari-hari ke depan, apabila kemampuan dan keahlian berdemokrasi masih rendah. Untuk mewujudkan Pemilu damai, maka setiap individu, kelompok dan institusi politik harus memiliki kesadaran dan keahlian politik yang handal. Kalau ini tidak ada, walaupun ada deklarasi Pemilu damai yang diselenggaran Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah, maka jangan bermimpi bahwa Pemilu yang dilaksanakan akan damai.

Damai tidak cukup dideklarasikan, damai harus dibuat nyata. Caranya, dengan mempraktekkan apa yang ada di dalam teks, norma dan ketentuan hukum. Akhirnya, kedamaian Pemilu akan terwujud jika kontestasi Pemilu berisi edukasi politik dengan media adu ide, gagasan dan program peserta Pemilu yang mencerahkan. Bukan sebaliknya marak pelanggaran, kecurangan, dan tindakan memecah-belah.

File PDF dapat didownload di bawah ini :

[sdm_download id=”702″ fancy=”0″]
[sdm_download_counter id=”702″]

Kampanye Di Luar Jadwal

294 Views

Partai Politik peserta Pemilu tahun 2019 telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 17 Februari 2018. Lalu hari berikutnya, tanggal 18 Februari 2018 Partai Politik (Parpol) mendapatkan nomor urut lewat pengundian oleh KPU dengan disaksikan Bawaslu. Parpol tersebut sesuai nomor urut, 1.PKB, 2.Gerindra, 3.PDI Perjuangan, 4.Golkar, 5.NasDem, 6.Partai Garuda, 7.Partai Berkarya, 8.PKS, 9.Perindo, 10.PPP, 11.PSI, 12.PAN, 13.Hanura, 14.Partai Demokrat. Ditambah dengan Partai lokal Aceh dengan nomor urut, 15.Partai Aceh, 16.Partai Sira (Aceh), 17.Partai Daerah Aceh, dan 18.Partai Nanggroe Aceh.

Jumlah Parpol peserta Pemilu kemudian bertambah atas dasar Putusan penyelesaian sengketa Bawaslu RI. Sebelumnya Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dinyatakan oleh KPU tidak lolos verifikasi. Lalu PBB mengajukan sengketa ke Bawaslu, dan diputus PBB memenuhi syarat dan memerintahkan kepada KPU untuk menetapkan PBB sebagai peserta pemilu tahun 2019. KPU lalu menggelar Pleno dan menetapkan PBB sebagai peserta pemilu dengan nomor urut 19.

Namun berbeda dengan PKPI, Bawaslu memutuskan menolak permohonan PKPI karena dinilai PKPI gagal memenuhi persyaratan jumlah keanggotaan dan kepengurusan pada 73 kabupaten dan kota yang tersebar di empat provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Papua.

Permohonan ditolak Bawaslu, lantas PKPI mengajukan gugatan ke PTUN DKI Jakarta. PTUN mengabulkan gugatan PKPI pada sidang yang dibacakan tanggal 11 April 2018. Atas dasar Putusan PTUN ini, KPU akhirnya menetapkan PKPI menjadi peserta Pemilu tahun 2019 dengan nomor urut 20. Sehingga total peserta Pemilu tahun 2019 sejumlah 20 (dua puluh) Parpol yang terdiri atas 16 (enam belas) Parpol nasional dan 4 (empat) Partai lokal aceh.

Mencermati praktek Pemilu di tahun 2014 sebelumnya, tiga hari setelah Parpol ditetapkan KPU sebagai peserta pemilu, Parpol langsung melaksanakan kampanye untuk memperkenalkan dan mempengaruhi pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan kegiatan Parpol agar memilihnya saat pemungutan suara.

Namun, hal serupa tidak dapat dilakukan Parpol untuk pelaksanaan Pemilu tahun 2019. Terdapat perbedaan jangka waktu setelah Parpol ditetapkan dan waktu yang diperbolehkan untuk Parpol melaksanakan kampanye. Jedah waktu yang cukup lama sejak Parpol ditetapkan sebagai peserta Pemilu dengan waktu pelaksanaan kampanye. Dalam pelaksanaan Pemilu 2014, tiga hari setelah ditetapkan KPU Parpol langsung melaksanakan kampanye. Berbeda dengan pelaksanaan Pemilu tahun 2019, Parpol melangsungkan kampanye setelah 7 bulan sejak ditetapkan yakni pada tanggal 23 September 2018 sampai dengan 13 April 2019.

Urain lebih lanjut, dapat di download dalam file PDF berikut ini :

[sdm_download id=”695″ fancy=”0″]
[sdm_download_counter id=”695″]

Rakyat, Sebagai Mata dan Telinga Pengawas Pemilu

250 Views

Pemilihan Umum secara serentak untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden serta memilih calon anggota legislatif pusat dan daerah telah ditetapkan pelaksanaan pertama kali di tahun 2019. Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) beserta seluruh jajarannya di berbagai kesempatan terus mensosialisasikan urgensi Pemilu dan pentingnya partisipasi masyarakat dalam menyukseskan perhelatan pesta demokrasi ini.

Bawaslu sebagai Lembaga Pengawas Pemilu yang diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, memiliki kewenangan utama yakni pengawasan/pencegahan pelanggaran, penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses Pemilu. Bawaslu dan KPU merupakan Lembaga yang melaksanakan satu-kesatuan fungsi Pemilu. KPU melaksanakan tahapan Pemilu, Bawaslu mengawasi tahapan Pemilu.

Bawaslu secara kelembagaan telah terbentuk dari tingkat Pusat sampai dengan tingkat Kelurahan/Desa, bahkan sampai tingkatan masing-masing TPS juga akan dibentuk. Namun, jumlah personil Pengawas Pemilu ini masih terhitung terbatas, jika dibandingkan dengan jumlah peserta Pemilu yang berkontestasi dengan hitungan lebih banyak.

Lihat dalam perbandingan, jumlah Pengawas Pemilu tingkat Provinsi ada yang beranggotakan 5 sampai dengan 7 orang Komisioner Bawaslu, sementara peserta Pemilu yang harus diawasi lebih banyak jumlahnya. Partai Politik nasional sejumlah 16 (enam belas) Parpol, masing-masing Parpol itu telah mengajukan calon tetap anggota legislatif untuk masing-masing Daerah Pemilihan (Dapil) yang jumlah puluhan.

Ditambah lagi harus diawasi, peserta Pemilu dari unsur perwakilan daerah, calon anggota DPD yang jumlah juga puluhan orang. Ditambah lagi dengan peserta Pemilu, calon Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki struktur Tim Kampanye tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota yang juga harus diawasi. Nampak keterbatasan jumlah Pengawas Pemilu, yang tidak sebanding dengan jumlah peserta Pemilu yang harus diawasi.

Di samping itu, personil Pengawas Pemilu bukan hanya mengawasi pelaksanaan dari UU Pemilu, tetapi juga mengawasi pelaksanaan dan penegakan Peraturan Perundang-Undangan lainnya. Pengawas Pemilu harus mengawasi netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam kontestasi Pemilu, yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN. Pengawas Pemilu mengawasi netralitas Kepala Desa, Aparat Desa dan Anggota BPD yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Serta mengawasi pihak-pihak yang di dalam ketentuan/aturan internal Kementerian/Lembaga juga menekankan netralitas dalam penyelenggaraan Pemilu, tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis. Misalnya fasilitator Kementerian/Lembaga yang menggunakan operasional kegiatan dengan anggaran bersumber dari keuangan negara dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Kewenangan Bawaslu yang luas menegakkan keadilan Pemilu sebagaimana disebutkan dalam UU Pemilu, beriringan dengan jumlah personil Pengawas Pemilu yang terbatas. Demikian kondisi faktual, sehingga kerja-kerja Pengawasan Pemilu tidak semata-mata menjadi tugas dan tanggungjawab Bawaslu saja. Tetapi, perlu dukungan dan partisipasi masyarakat guna mencegah pelanggaran Pemilu, memberikan informasi awal dan menyampaikan laporan pelanggaran Pemilu kepada jajaran Bawaslu untuk ditindaklanjuti.

Dari itu, lahir penggalan slogan Bawaslu berbunyi “Bersama Rakyat Awasi Pemilu”. Slogan ini berangkat dari kondisi nyata, Bawaslu mengakui keterbatasan jumlah personil yang mengawasi aktifitas politik dari peserta Pemilu dalam wilayah yang sangat luas, dan mengawasi penegakan/penerapan peraturan perundang-undangan lainnya. Dan, melaksanakan kewenangan itu, Bawaslu harus mendapatkan dukungan-peran serta rakyat. Bawaslu bersama-sama rakyat mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. Pemilu yang hasilnya dapat diterima oleh semua pihak terutama pihak yang berkontestasi sebagai peserta Pemilu.

Pencegahan Pelanggaran

Telah banyak program dan kegiatan yang dilaksanakan jajaran Bawaslu, tujuan utama meningkatkan kualitas demokrasi yang terus dibangun dan dijaga ini. Urgensinya ingin meletakkan kemurnian suara rakyat agar tersalurkan dengan baik lewat proses konstitusional yang jujur dan adil, hingga lahir pemimpin yang berintegritas. Pemimpin harapan yang lahir dari proses Pemilu berintegritas, dengan hasil Pemilu yang diterima oleh semua pihak.

Program dan kegiatan Bawaslu didesain agar masyarakat mengetahui potensi-potensi pelanggaran Pemilu. Baik dilakukan oleh unsur Pemerintah, peserta Pemilu, aparat keamanan bahkan anggota masyarakat sendiri dan penyelenggara Pemilu. Ketika potensi pelanggaran Pemilu dapat terpahami dengan baik, tahap selanjutnya muncul kesadaran untuk mencegah pelanggaran itu. Minimal mencegah agar diri sendiri, anggota keluarga dan komunitas lingkungan sosial tidak melakukan pelanggaran Pemilu.

Jika kesadaran mencegah pelanggaran Pemilu ini telah terinternalisasi, maka dipastikan bentuk pelanggaran Pemilu akan sangat minim terjadi. Kesadaran yang hadir agar tidak berbuat pelanggaran, sekaligus mencegah pihak lain jika ada potensi pelanggaran akan terjadi. Kesadaran ini, lahir bukan karena takut sanksi hukum, tetapi lahir dari upaya kolektif melahirkan tatanan sosial yang stabil, dan itu diraih dengan cara tertib berhukum.

Kesadaran sosial yang dibangun adalah kesadaran tertinggi, berupa tertib berhukum. Pada tahap ini, anggota masyarakat mengambil peran dengan porsi masing-masing menjalankan aturan hukum, dan bukan malah mencari celah hukum dan melanggar. Ada tingkat kesadaran humanis tertinggi, ketaatan berhukum melahirkan tertib hukum yang ditujukan untuk kebahagiaan umat manusia. Jika ada yang melanggar, akan menyebabkan ketidakaturan sosial yang mengganggu stabilitas dan tatanan sosial.

Informasi Awal dan Laporan

Di samping peran pencegahan pelanggaran, masyarakat dapat berpartisipasi memberikan informasi awal ketika terjadi pelanggaran Pemilu, dan pelanggaran itu diketahui secara pasti dan terdapat bukti pendukung. Bentuknya memberikan informasi awal berupa data, video, foto atau dokumen terkait terjadi pelanggaran Pemilu kepada Pengawas Pemilu.

Bentuk partisipasi ini, diawali dari terjadi pelanggaran Pemilu di tengah masyarakat. Agar pelaku dapat ditindak sesuai dengan ketentuan hukum Pemilu, maka diberikan-lah informasi awal kepada jajaran Pengawas Pemilu untuk ditindaklanjuti. Ada kesadaran, bahwa pelanggaran Pemilu yang dibiarkan terus-menerus, akan mengerus kepercayaan publik akan hasil Pemilu demokratis. Pelanggaran harus dicegah, pelanggaran yang terjadi harus ditindak oleh aparat penegak hukum, agar memberi efek jera pada pelaku dan memberi pencegahan kepada mereka yang ingin coba-coba melanggar.

Jajaran Bawaslu saat menerima informasi awal, tidak serta-merta meningkatkan informasi awal tersebut ketahapan temuan untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme penindakan pelanggaran Pemilu. Tetapi terlebih dahulu mengecek, mengumpulkan bukti, melakukan investigasi hingga terpenuhi unsur formil dan materil terjadi pelanggaran. Jika terpenuhi unsur pelanggaran, akan ditingkatkan menjadi temuan Pengawas Pemilu, tetapi jika tidak terpenuhi unsur pelanggaran maka kasus dihentikan.

Berbeda halnya dengan perlakukan atas Laporan. Laporan yang berasal dari pihak yang berhak melapor yakni WNI, Pematau Pemilu, atau Peserta Pemilu memiliki posisi yang kuat untuk ditindaklanjuti oleh Pengawas Pemilu. Ada keharusan Pengawas Pemilu untuk menindaklajuti laporan tertulis dari masyarakat. Jika ini dilanggar, berupa tidak menindaklanjuti laporan sebagaimana mestinya, maka ada potensi sanksi yang dapat dijatuhkan kepada Pengawas Pemilu, baik sanksi administrasi, kode etik sampai dengan sanksi pidana Pemilu.

Laporan pelanggaran disusun mengikuti format dalam Peraturan Bawaslu yang memuat identitas Pelapor, Terlapor beserta unsur formil dan materil peristiwa/kasus pelanggaran Pemilu yang dilaporkan. Jajaran Pengawas Pemilu menerima laporan dengan standar administrasi yang ketat, mulai dari memberikan tanda terima laporan, memberitahukan laporan yang tidak memenuhi unsur formil-materil, memberitahukan status laporan, register laporan, undangan klarifikasi dan lain sebagainya.

****

Bawaslu harus hadir menjadi solusi terhadap berbagai tuntutan untuk melakukan pengawasan/pencegahan pelanggaran dan penindakan pelanggaran Pemilu yang dilakukan siapa pun, entah Pemerintah, peserta Pemilu, Penyelenggara Pemilu, bahkan masyarakat, karena mereka tidak luput dari potensi melakukan pelanggaran. Kewenangan itu telah diperkuat hingga lahir UU Pemilu, selanjutnya kreatifitas personil Pengawas Pemilu melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban hingga lahir hasil Pemilu yang dapat diterima oleh semua pihak.

Orientasi ke depan, Bawaslu harus mendorong partisipasi masyarakat secara optimal. Bawaslu harus mampu berkolaborasi dengan seluruh elemen bangsa untuk mengawasi dan menegakkan hukum Pemilu secara tegas dan adil. Keadilan Pemilu dapat diwujudkan jika Bawaslu bekerja secara jujur dan adil dengan dukungan peran serta rakyat, rakyat menjadi mata dan telinga Pengawas Pemilu.

[sdm_download id=”665″ fancy=”0″]
[sdm_download_counter id=”665″]

Peningkatan Partisipasi Pemilih Di Daerah Bencana

225 Views

Belum usai duka bencana gempa bumi di Lombok-NTB, menyusul lagi bencana alam di Provinsi Sulteng, berupa gempa bumi, tsunami dan liquifaksi yang terjadi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong. Bahkan di penghujung tahun 2018, kembali kita dikejutkan dengan bencana tsunami di wilayah Selat Sunda. Korban jiwa berjatuhan, kehilangan keluarga dan harta benda terus saja kita alami.

Gerak cepat penanggulangan bencana para pihak terus mengalir, terutama Pemerintah, Lembaga kemanusian, dan Perusahaan dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada korban bencana. Paling tidak, pertolongan pertama di masa-masa krisis pasca bencana. Kehadiran dan empati sosial terus mengalir, seraya memaknai kejadian tersebut sebagai cobaan sekaligus azab kepada makhluk di muka bumi.

Dari rentetan kejadian bencana alam ini, telah mendorong rasa kesetia-kawanan sosial dan empati masyarakat, untuk turut-serta membantu. Sekat-sekat golongan tidak nampak, menjadi rasa persaudaraan sesama umat manusia. Dan, itu terlihat jelas di masa tanggap darurat dan rehabilitasi wilayah bencana. Banyak pihak dengan keinginan sendiri, memberikan bantuan tenaga dan materi untuk meringankan derita korban, terpatri dalam hati keperihan dan duka korban, yang berusaha diringankan.

Itulah sekilas catatan di penghujung tahun 2018 yang tidak akan pernah terlupakan, terkhusus mereka yang menjadi korban dan relawan di wilayah bencana. Selanjutnya, menjalani kehidupan di tahun baru, tahun 2019, lekat diingatan kita adalah tahun politik untuk pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden beserta calon anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota).

Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah telah menetapkan pelaksanaan hari pemungutan suara pada tanggal 17 April 2019. Termasuk di wilayah yang terdampak bencana tidak ada perubahan hari pemungutan suara, tetap pada hari tersebut. Walaupun beberapa kebijakan strategis lantas ditetapkan untuk mengantisipasi kondisi-kondisi yang tidak normal ini. Misalnya dalam penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), sebagai akibat banyak warga yang meninggal dunia atau status hilang. Ditambah lagi dengan eksodus pengungsi ke luar daerah bencana sampai mengungsi ke wilayah Provinsi sekitar.

Masalah lain, relokasi pengungsi pada hunian-hunian sementara/tetap yang dapat mempengaruhi kebijakan penetapan Daerah Pemilihan (Dapil) dan penempatan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jika relokasi pada wilayah Dapil yang sama tentu besar-kemungkinan tidak ada permasalahan, tinggal penempatan TPS di wilayah relokasi tersebut. Namun yang perlu diantisipasi adalah, jika relokasi masyarakat ditempatkan pada wilayah yang berada di luar Dapil alamat Pemilih sebelumnya, bercampur baur dengan Pemilih yang lebih dahulu bermukim disitu. Mereka terancam tidak dapat menggunakan hak suaranya.

Perlindungan Hak Konstitusional Pemilih

Warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dan tercatat sebagai Pemilih, memiliki hak konstitusional untuk menyalurkan hak suaranya dalam Pemilu 2019. Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu harus memberikan dukungan dan perlindungan agar hak konstitusional Pemilih tadi dapat tersalurkan dengan baik dan dilaksanakan tanpa diskriminatif. Termasuk Pemilih yang menjadi korban bencana alam, yang mereka saat ini di relokasi dan menempati hunian-hunian sementara bantuan para pihak.

Bencana adalah ketetapan sang Pencipta, tidak ada kekuatan yang dapat mencegah dan mengetahui kapan kedatangannya. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah prediksi dan berdoa agar terhindar dari mala-petaka bencana yang selalu mengintai. Dan, Pemilu sebagai kontestasi dalam kehidupan bernegara juga harus terlaksana, dan dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia termasuk di NTB, Sulteng, dan wilayah sekitar Selat Sunda yang mengalami bencana.

Secara praktis tidak mudah menghilangkan trauma masyarakat yang menjadi korban bencana. Awalnya mereka memiliki keluarga, lantas kehilangan anggota keluarga. Awalnya mereka memiliki tempat tinggal yang nyaman, lantas menempati hunian-hunian sederhana. Awalnya mereka memiliki pekerjaan, lantas habis terlibas bencana.

Tetapi dengan pendekatan dan metode yang tepat, pemulihan psikologi dan semangat untuk bangkit perlu terus digelorakan dan diupayakan oleh semua pihak. Termasuk dalam hal ini, disela-sela pemulihan sosial agar dititipkan informasi Pemilu, bahwa kita akan menyelenggarakan pesta demokrasi yang hanya dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali yakni Pemilu serentak tahun 2019. Dengan pendekatan dan metode yang tepat, disela-sela aktifitas pemulihan dan semangat untuk bangkit, akan muncul kesadaran untuk bersama-sama menyukseskan dan berpartisipasi dalam pelaksanaan pesta demokrasi ini.

Perlu kesadaran dan semangat terus-menerus, bahwa suara milik Pemilih sangat berharga dan menentukan tampuk kepemimpinan nasional dan daerah mendatang. Kita menginginkan lahir Pemimpin yang berintegritas dan berlaku adil dalam memimpin, Pemimpin yang berjuang untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dan, semua itu dapat tercapai dengan partisipasi masyarakat datang ke TPS untuk menyalurkan hak suaranya, memilih calon terbaik yang telah ditetapkan sebagai peserta Pemilu. Dengan diikuti kesadaran mendukung proses Pemilu yang jujur dan adil, mencegah segala bentuk pelanggaran, dan melaporkan kepada pihak berwenang untuk penindakan atas pelanggaran Pemilu.

Upaya ini terkait dengan perlindungan hak konstitusional Pemilih sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), yakni hak yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia semata-mata karena Ia manusia yang bermartabat, sekalipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. Hak ini tidak boleh dilanggar, dicabut, atau dikurangi. Hak ini adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak kodrati kepada setiap manusia.

Negara dalam menjalankan tugasnya harus melindungi hak asasi dari setiap warga negara. Produk hukum yang dibuat oleh negara dalam menjalankan tugasnya juga harus melindungi dan menjamin penegakannya. Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai Pemilih harus terfasilitasi dengan baik untuk menyalurkan hak pilihnya. Dan, Penyelenggara Pemilu bersama Pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan agar hak pilih warga negara itu dapat tersalurkan dengan adil tanpa diskriminasi.

Strategi Perlindungan

Esensi Pemilu di negara demokrasi adalah mendorong dan melindungi partisipasi seluruh lapisan masyarakat, dimulai dengan jaminan kebebasan dalam menggunakan hak pilih secara demokratis. Maka dari itu, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Bawaslu dituntut untuk pro-aktif dalam mengidentifikasi dan memantau hambatan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.

Dengan kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah bencana, terkhusus di lokasi hunian-hunian sementara/tetap, Penyelenggara Pemilu perlu merumuskan kebijakan untuk mengatasi masalah ini dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, khususnya memudahkan Pemilih untuk menggunakan hak politiknya dalam Pemilu tahun 2019.

Bentuk kebijakan tersebut, Pertama, sinkronisasi data kependudukan. Pasca bencana, banyak masyarakat yang tidak ingin lagi bermukim di daerah rawan bencana utamanya rawan liquifaksi berdasarkan data Pemerintah. Mereka lantas mencari tempat hunian baru yang lebih aman dari bencana, misalnya aman dari bencana tsunami dan liquifaksi tentunya. Perpindahan masyarakat ini, dapat mengubah data kependudukan, selanjutnya dapat mempengaruhi akurasi DPT yang telah ditetapkan sebelumnya.

Di samping itu, ada juga masyarakat yang ingin menjadi penduduk di wilayah bencana yang secara faktual wilayah tersebut menjadi tempat terjadinya bencana, liquifaksi. Motivasinya pragmatis, mengejar bantuan kemanusian yang diperuntukkan bagi masyarakat korban bencana liquifaksi, misalnya di Petobo (Palu), dan Jono Oge (Sigi). Ini perlu dicegah.

Sehingga, Pemerintah yang mengelola data kependudukan perlu selektif mengambil langkah dan kebijakan. Perlu dipertimbangkan, agar elemen data kependudukan masyarakat di wilayah terdampak langsung bencana agar tidak diubah data alamatnya (Misal, dari atau ke alamat Petobo). Elemen data lainnya dapat saja berubah, tetapi elemen data alamat untuk dipertimbangkan, tidak diubah sampai dengan selesai tahapan Pemilu tahun 2019. Sebab jika banyak penduduk yang elemen data kependudukan yakni alamat berubah dapat mengubah kebijakan penetapan Dapil dan penempatan TPS nantinya.

Kedua, penempatan TPS di sekitar wilayah hunian. Pemerintah Daerah telah menetapkan kebijakan untuk masyarakat terdampak langsung bencana di relokasi ke wilayah-wilayah yang relatif aman. Tujuannya, untuk memudahkan kontrol, koordinasi dan penyaluran bantuan kemanusian.

Penyelenggara Pemilu dalam penempatan TPS di wilayah bencana tentu harus memperhatikan domisili sesuai identitas kependuduk masyarakat yang bermukim di hunian-hunian sementara/tetap itu. Artinya, sangat memungkinkan kebijakan khusus berdasarkan data yang akurat untuk diambil langkah penambahan TPS-TPS di wilayah relokasi pengungsi tadi. Yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian Dapil dengan penempatan jumlah TPS yang akan dibangun.

Sekali lagi, semua berawal dari ketersediaan data akurat. Masyarakat yang menempati wilayah-wilayah pengungsi (relokasi) harus dipastikan keberadaannya, Ia sebelumnya tercatat di alamat mana atau TPS mana ?, untuk diambil langkah kebijakan penempatan TPS baru. Termasuk, antisipasi bagaimana penempatan TPS di sekitar hunian sementara/tetap pengungsi yang lokasinya berada di luar dari wilayah Dapil.

Ketiga, maksimalisasi kegiatan sosialisasi urgensi Pemilu. Secara psikologis, masyarakat di wilayah bencana tidak mudah menghilangkan trauma dan ketakutan. Tetapi penyelenggaraan Pemilu juga tidak bisa menunggu, Pemilu tetap dilaksanakan sesuai tahapan. Sehingga stekeholders Pemilu perlu mengambil peran strategis dalam sosialisasi kepada masyarakat di wilayah hunian-hunian sementara/tetap pengungsi.

Metode yang digunakan tidak serta merta radikal, langsung masuk menjelaskan urgensi Pemilu. Perlu ada pendekatan emosional-kultural, yang dapat diterima oleh masyarakat pengungsi tadi. Ketika sudah tersentuh kesadarannya, Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemerintah sudah diterima dengan baik, selanjutnya pendataan dan sosialisasi urgensi Pemilu dapat dilakukan dengan berbagai macam pola-metode. Upaya-upaya konkrit senantiasa perlu dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu, sebab tidak ada jaminan hasil Pemilu ini tidak ada yang mempersoalkan, apalagi jika selisih perolehan suara tipis, maka cenderung akan di gugat di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah perlu terus mengagendakan program dan kegiatan yang dikhususkan melindungi hak konstitusional Pemilih di wilayah bencana, yang dapat beriringan dengan upaya meningkatkan partisipasi Pemilih sebagai ukuran proses keberhasilan Pemilu.


Catatan : Opini, pernah dimuat di Harian Sulteng Raya, Edisi 3 Januari 2019

[sdm_download id=”671″ fancy=”0″] [sdm_download_counter id=”671″]

Pemimpin Hebat

330 Views

PEMIMPIN HEBAT
Oleh: Ruslan Husen

Tulisan-tulisan seputar pemimpin sudah banyak diulas, baik yang dibukukan maupun tersebar luas di media on line. Terasa norma, konsepsi dan cita pemimpin ideal senatiasa up date dibahas. Keadaan ini berangkat dari kenyataan, bahwa pemimpin dibutuhkan dalam mengatur setiap dimensi kehidupan manusia. Apalagi dalam kehidupan bernegara, pemimpin menjadi orang pilihan yang lahir dari suksesi politik yang panjang, banyak orang ingin menjadi pemimpin tetapi mereka yang memenuhi syarat dan mampu mendapatkan simpati dan dukungan rakyat yang akan terpilih menjadi pemimpin.

Pemimpin banyak jenisnya, mereka dapat ditemui dalam badan usaha, lembaga dan perkumpulan. Bahkan ajaran Islam mengkategorikan dari setiap individu adalah pemimpin, dari itu setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawan dari apa yang dipimpinnya. Kebutuhan akan pemimpin adalah mutlak, pemimpin adalah pihak yang paling bertanggungjawab berhasil dan tidaknya pencapaian dari suatu komunitas-organisasi. Disinilah dibutuhkan seni memimpin, yakni pemimpin harus mampu menggerakkan potensi orang banyak dengan kesadaran bersama, bergerak dan mengambil peran masing-masing untuk mencapai tujuan bersama. Pemimpin seperti ini disebut itu, pemimpin hebat.

Pemimpin hebat memiliki karakter tertentu. Perjalanan hidupnya telah panjang, pengalamannya telah banyak, hingga sampai pada level, kapasitas dan kondisi tertentu yakni mampu menggerakkan orang banyak untuk mencapai tujuan bersama. Tetapi setiap individu siapa saja, dapat berproses menjadi pemimpin hebat, jika tidak kesampaian minimal menjadi pribadi-pribadi yang hebat dengan substansi diri pemimpin hebat.

Pemimpin hebat memiliki nilai yang sangat dibutuhkan dalam mengatasi keterpurukan dalam segala dimensi kehidupan manusia. Nilai itu dijabarkan dalam lima hal, yakni : spiritualitas yang tinggi, integritas-moral panutan, kapasitas yang handal, empati dengan sesama dan percaya diri.

Spiritualitas
Spiritualitas terkait dengan kemampuan rasionalitas membaca, memahami dan melaksanakan nilai-nilai Ilahiyah (Ketuhanan) yang tersebar di muka bumi. Spiritualitas lahir sebagai kesadaran holistik  mengetahui fungsi dan hakikat kedirian sebagai makhluk dan mengakui kebesaran Tuhan agar bermanfaat bagi manusia dan alam semesta.

Kemampuan manusia sebagai makhluk yang diberi kapasitas alat epistemologi berupa panca indera, akal (rasio) dan intuisi (hati) oleh Sang Pencipta, Allah SWT harus diasah dan dilatih melalui berbagai proses keterlibatan diri terhadap lingkungan alam dan sosial kemasyarakatan. Dari sanalah manusia hendak belajar dan berkolaborasi memaknai kehidupan, mempelajari tanda-tanda kebesaran Sang Pencipta hingga menghasilkan karya dan prestasi nyata. Hal yang tidak boleh terlupakan bagi seorang muslim adalah konsistensi berpegang teguh pada ajaran Ilahiyah yang bersumber dari Al-quran dan Al-hadits sebagai pedoman hidup.

Dengan demikian, spiritualitas adalah karakter utama yang harus dimiliki oleh pemimpin hebat dan pribadi hebat. Ia merupakan dasar yang akan menjadi pondasi karakter diri untuk menghasilkan karya dan prestasi nyata. Ia merupakan ciri kasih sayang Pencipta yang diberi atas potensi setiap manusia, keberadaannya senantiasa dirindukan atas adanya nilai dan manfaat yang diterima.

Pemimpin berkarakter spiritualitas akan menempatkan Sang Pencipta sebagai tempat memohon, mengadu, meminta pertolongan dan mengharap petunjuk. Baginya tidak ada lagi rasa takut kepada semua makhluk-Nya, Ia tidak takut dicaci dan dibenci serta tidak pula takut kehilangan jabatan. Ada hakikat kesadaran, semua yang dimiliki semua adalah titipan Ilahi dan sifatnya sementara saat hidup di dunia. Dari sifat kesementaraan itu, menjadikan karakter spiritualitas tercermin lewat kasalehan sosial dan kesalehan ritual yang konsisten.

Integritas
Turunan dari hakikat spiritualitas pada setiap diri individu adalah sikap dan perilaku yang berintegritas. Sikap dan perilaku itu memiliki landasan teologis sebagai manifestasi pelaksanaan norma universal ajaran agama yang hakiki, sekaligus tercermin lewat pandangan atas segala aspek kehidupan manusia. Paling bernilai adalah saat aktualisasi bernilai manfaat dalam kehidupan sosial dan spiritual.

Integritas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mutu, sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan. Integritas dapat diterjemahkan sebagai “kejujuran”. Kejujuran merupakan nilai yang berlaku dimana saja, dibutuhkan dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

Nilai kejujuran dan karakter integritas ini menjadi kewajiban sekaligus harapan yang harus dimiliki setiap pemimpin. Perjalanan kehidupan berbangsa kita, sudah lelah disuguhi dengan tampilan penyelewengan, kejahatan dan korupsi, serta sikap intoleransi yang gagap-resisten menghadapi perubahan zaman dengan merasa diri dan golongan paling benar.

Pemimpin harus mampu membangunan integritas yang kokoh, dan cerminan moral pada diri sebagai panutan sosial. Keberadaan pemimpin yang selalu menjadi sorotan perhatian publik menjadikan potensi sosok pemimpin banyak pengikut dan penggemar. Bentuk proteksi diri seorang pemimpin, saat Ia menyadari hakikatnya di tengah kehidupan bermasyarakat, hingga ada kesadaran untuk mencegah diri dari perbuatan tercela atau penyalahgunaan wewenang.

Kedirian pemimpin sebagai panutan masyarakat, harus menjadikan sikap dan perilakunya sebagai cerminan intergitas moral yang handal. Ia menjadi solusi dari keterpurukan moral masyarakat, dan bukan malah menjadi sumber masalah keterpurukan moral itu. Ketika menempatkan diri sebagai panutan, maka pemimpin akan terjaga dari perbuatan tercela. Berbagai kesempatan dalam aktifitasnya digunakan dengan menyampaikan atau menyisipkan pesan-pesan moral. Inilah yang menjaganya, ada keselarasan antara yang diucapkan dengan yang dikerjakan. Dengan berlaku jujur akan dengan mudah mendapatkan kepercayaan, dan diandalkan oleh orang-orang sekitar.

Kapasitas
Sering kita mendengar ajaran, bahwa berikan penyelesaian urusan kepada ahlinya, sebaliknya jika menyerahkan pengurusan sesuatu kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran. Ajaran yang terkandung di dalamnya sangat menekankan pentingnya kapasitas dan pengalaman dalam penyelesaian tugas dan kewenangan.

Kapasitas menekankan pada kemampuan dan keahlian seseorang yang telah ditempah dalam waktu yang cukup lama, jenjang pendidikan hingga ahli dalam bidang tertentu. Urusan yang diserahkan padanya, Ia kerjakan dengan perasaan cinta, dedikasi dan loyalitas tinggi. Maksimalisasi proses-usaha intinya, adapun hasilnya diserahkan kepada yang menguasai segala sesuai, Sang Pencipta. Tugasnya adalah berbuat yang terbaik.

Ketika ada keraguan dan kebuntuan atas permasalahan, maka jajarannya lantas meminta arahan darinya, pemimpin hebat ini. Pemimpin hebat memiliki kapasitas yang handal, Ia tempat konsultasi atas permasalahan yang dihadapi. Pemikiran dan analisisnya memberi arah berfikir dan landasan pijak dalam mengambil keputusan.

Pemimpin hebat juga memiliki kemampuan dalam mendamaikan perbedaan pendapat, Ia mampu melahirkan titik temu yang dapat diterima oleh masing-masing pihak. Ada solusi alternatif yang menyejukkan. Hasil pemikirannya menjadi solusi dari kebuntuan pendapat, dan kesuraman langkah lembaga.

Empati
Empati berhubungan dengan keterpanggilan untuk membantu dan berbuat terbaik dengan sesama umat manusia. Ketika ada manusia yang menderita dan butuh pertolongan, maka pemimpin hebat menjadi orang yang sukarela membantu. Membantu bisa dalam bentuk materi, ilmu, pengalaman, gagasan dan ide. Ia mampu menginspirasi dan menggerakkan orang lain membantu menolong dan berbuat bersama. Bukan hanya menyampaikan dalam kata-kata dan anjuran, tetapi aktualisasi dalam sikap dan perbuatan yang nyata.

Pemimpin hebat yang memimpin banyak orang memerlukan usaha yang lebih besar. Ia harus sudah selesai dengan urusan pribadinya. Sebab menjadi pemimpin berarti merelakan sebagian hidupnya untuk orang lain. Sehingga dengan itu, memimpin berarti melayani. Melayani sesama dan tolong-menolong. Pribadi ini merupakan sosok yang berdiri tegak, tidak gentar untuk menyisihkan sebagian waktunya bagi orang lain. Ia adalah harapan yang nyata bagi masyarakat. Ia adalah penabur benih kebaikan dan penghapus egoisme dan intoleransi.

Perlakukan terbaik kepada orang lain mencerminkan kualitas pribadi yang baik. Orang-orang yang melayani dan memperlakukan sesamanya dengan kualitas terbaik tidak lagi berfikir mendapatkan sesuatu hal yang bersifat pragmatis. Titik tekan disini adalah keikhlasan. Keikhlasan membentuk diri menjadi pribadi yang bebas, tidak lagi mengeluh apalagi berputus-asa.

Secara aktual, permasalahan sosial hadir dengan berbagai macam ragam dan bentuk, hadir dan menjadi alur perjalanan kehidupan sosial bernegara. Demikian pula dalam kerja-kerja organisasi, masalah menjadi hal yang wajar dalam pencapaian tujuan. Pemimpin hebat mampu dan hadir untuk terlibat mengatasi permasalahan sosial tersebut. Ia tidak duduk di belakang meja saja, keterpanggilan dan empati menggerakkan dirinya bersama-sama, berkolaborasi dalam tim kerja. Ia memiliki kemampuan dari sisi teknis dan manajemen organisasi. Jajarannya menjadi terbiasa untuk datang dan meminta pandangan alternatif solusi, dan dengan kerendahan hati pemimpin hebat memberi solusi dan pemecahan masalah. Bukan hanya berbicara, tetapi bertindak bersama-sama.

Penutup
Pemimpin hebat memiliki karakter tertentu yang jarang dimiliki oleh setiap manusia, tetapi dapat diusahakan dan diubah dengan keinginan kuat setiap individu. Karakter pemimpin hebat menjadi penyejuk batin yang menyalah-nyalah karena amarah. Kemampuannya menjadi solusi atas masalah yang membingungkan. Dan, semuanya dilakukan dan disampaikan dengan rasa rendah hati. Dalam pergulatan kediriannya, pemimpin hebat memiliki antusias dan rasa percaya diri yang tinggi. Tetapi bukan sikap sombong. Kepercayaan diri, dilandasi oleh nilai spiritualitas yang terinternalisasi dalam diri, dukungan kapasitas yang handal, serta keyakinan diri sebagai makhluk yang berkedudukan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta.