Anggota Baru PIM Diminta Jaga Idealisme, Karakter dan Independensi

291 Views

Palu-Jati Centre. Direktur Perkumpulan Indonesia Memilih (PIM), Rusli Attaqi mengukuhan anggota baru PIM yang dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan tingkat dasar, di Sekretariat Jati Center Palu, Senin (21/9/2020).

Dalam sambutannya, Rusli menekankan tiga hal yang harus dijaga oleh anggota baru PIM di masa-masa tahapan Pilkada saat ini yakni idealisme, karakter dan independensi.

“Kepada teman-teman yang baru saja dikukuhkan menjadi anggota baru di PIM agar tetap menjaga idealisme, memiliki karakter yang kuat dan tetap independen. Kita Minta anggota PIM tidak terlibat dengan hal-hal yang bertentangan dengan aturan-aturan organisasi, seperti terlibat dalam dukung mendukung calon dalam Pilkada,” ujar Rusli.

Rusli Attaqi mengatakan, PIM melakukan rekrutmen anggota baru untuk menjalankan program setiap divisi yang dibentuk.

“Anggota baru yang kita rekrut, akan terus diasah kecakapannya soal organisasi agar bisa menjalankan program kerja sesuai dengan divisinya masing-masing,” katanya.

Lulusan Magister Hukum Untad ini menambahkan, dengan bergabung di PIM, anggota akan dibekali dengan pengetahuaan soal isu-isu Pemilu dan Demokrasi.

“Semoga adanya anggota baru yang terdiri dari anak-nak muda potensial ini, bisa memberi spirit baru, sehingga PIM dapat lebih maju dan jaya di masa mendatang,” tutur Rusli.

Untuk diketahui, anggota PIM baru ini telah mengikuti serangkaian pelatihan dan pendidikan yang menyangkut materi demokrasi dan pemilu, potensi pelanggaran pemilihan kepala daerah, dan mekanisme pelaporan pelanggaran.

Dalam penerimaan materi tersebut, hadir sebagai narasumber dari Akademisi Fakultas Hukum Untad Supriadi, Ketua Bawaslu Sulteng Ruslan Husen, dan Peneliti-Peneliti Jati Centre, untuk memberi pemahaman dan penguatan akan peran serta masyarakat dalam perhelatan kontestasi pemilihan kepala daerah guna meningkatkan kualitas demokrasi lokal.

Dilanjutkan pada sesi terakhir pendidikan, berupa paparan presentasi makalah dari masing-masing peserta terkait dengan karya ilmiah tentang pemilihan kepala daerah. Untuk memperoleh penguatan dan pembobotan penulisan atas isu yang mereka bahas.

Direktur Perkumpulan Indonesia Memilih (PIM), Rusli Attaqi saat mengukuhkan anggota baru PIM di Sekretariat Jati Center Palu, Senin (21/9/2020). Foto: Irwan

Kerawanan Pilkada dimasa Pandemi COVID-19

295 Views

Kerawanan Pilkada di masa Pandemi COVID-19

Oleh

Bambang Rinaldi (Direktur Lembaga Studi Informasi dan Pendidikan)

Sejak diberlakukannya new normal atau kenormalan baru pada bulan juni 2020 oleh pemerintah, maka aktivitas pemerintahan, perekonomian, dan sosial serta tempat ibadah berangsur-angsur kembali berjalan, namun pemaknaan new normal dimasyarakat terkadang masih keliru, pemahaman bahwa new normal adalah kembalinya ke masa sebelum pandemi covid-19 sehingga penerapan standar protocol pencegahan tersebut sering kali terabaikan. Dampak dari pemahaman itu kemudian belakangan ini mulai dirasakan dimana angka kasus penyebaran covid-19 kembali melonjak naik dibeberapa daerah termaksud ibukota DKI Jakarta yang kembali memberlakukan PSBB.

Merujuk pada konteks Sulawesi Tengah, bahwa kasus terkonfirmasi penyebaran virus covid-19 per 13 September 2020 berdasarkan data Pusdatina tercatat 271 kasus positif. Sebaran terbanyak di Kota Palu sebanyak 68 kasus, 60 kasus di Kabupaten Buol, 34 kasus di Banggai, masing 20 kasus di Poso dan di Tolitoli, 17 kasus Morowali Utara, masing-masing 16 kasus di Donggala, 15 kasus Morowali, 9 kasus Parigi Moutong , 5 kasus di Sigi, 4 kasus di Banggai Kepulauan, dan 2 kasus di Banggai Laut serta 1 kasus di Tojo Una-Una.

Kembali meningkatnya angka kasus positif covid-19 di Tanah Air diantaranya  Provinsi Sulawesi Tengah sepatunya harus diwaspadai oleh para penyelenggara. Keputusan penyelenggaraan pilkada serentak pada 9 Desember 2020 merupakan kesepakatan politik yang telah diambil oleh pemerintah melalui Rapat Kerja Komisi II DPR-RI dengan Penyelenggara Pemilu dan Kementerian Dalam Negeri . Dari hasil keputusan tersebut maka terbitlah Perppu Nomor 2 Tahun 2020, yang mengatur pemungutan suara dalam penyelenggaraan pilkada.

Langkah politik yang ditempuh oleh pemerintah sejak awal ini menuai pro dan kontra dalam masyarakat, disebabkan di tengah kondisi bangsa yang fokus pada penanganan pencegahan penyebaran virus Covid-19, kini dihadapkan dengan kontestasi yang melibatkan banyak orang. Maka hal ini akan menjadi PR besar bagi para penyelenggara demi menjaga keselamatan kesehatan masyarakat dalam proses pilkada dan harus menjadi prioritas utama.

Sudah sepatutnya mewaspadai kondisi kekinian penyebaran virus tersebut oleh lembaga penyelenggara dan pihak terkait. karena Setiap tahapan penyelenggaraan tentu memiliki potensi penyebaran virus, kerawanan penyelenggaraan pilkada ditengah pandemi covid-19 akan mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat serta keselamatan peserta dan penyelenggara yang pada akhirnya menentukan kualitas kontestasi demokrasi di Sulawesi Tengah pada khususnya dan Bangsa Indonesia pada Umumnya. Sehingga salah satu upaya yang ditempuh dalam pencegahan penyebaran virus adalah menyesuaikan standar protocol pencegahan covid-19.

Kerawanan penyebaran virus covid-19 penyelenggaraan kontestasi pilkada kali ini berada pada beberapa tahapan diantaranya tahapan pencalonan yang dimulai sejak tanggal 4 september 2020 sampai dengan 24 september 2020 hal ini disebabkan karena rentetan tahapan pencalonan ini banyak mengumpulkan masa dan dalam kerumunan, sebut saja pada pendaftaran calon di KPU dimana banyaknya iring-iringan massa yang mengantarkan pasangan calon untuk mendaftar terkadang mengabaikan protocol kesehatan covid-19 utamanya adalah jaga jarak minimal 1 meter sulit untuk diterapkan dikerumunan.

Tahapan kampanye merupakan waktu dimana tingginya kerawanan penyebaran virus, sebab pengumpulan sejumlah masa secara masif oleh tim pemenangan setiap pasangan calon dapat menyebabkan penyebaran virus semakin meningkat bila panitia yang dibentuk tim pemenangan tidak menerapkan protocol covid-19 dan yang mesti menjadi perhatian oleh pihak penyelenggara kampanye adalah penerapan protocol covid-19 tidak hanya disaat berlangsungnya acara namun saat selesai acara kampanye terkadang peserta kampanye tidak mengindahkan protocol pencegahan covid-19. Penyumpulan orang banyak tidak hanya sampai pada tahapan kampanye namun sampai pada 9 Desember dimana berlangsungnnya pemumutan suara dan pasca perhitungan suara.

Adanya kemungkinan terjadinya klaster baru yang lebih besar dalam penyelenggaraan pilkada kali ini dan turut berkontribusi dalam meningkatkan tingginya angka penyebaran virus covid-19 maka pemerintah sebagai penyelenggara pilkada baik dari KPU, Bawaslu, TNI-Polri, dan Satgas Pencegahan Covid-19 saling besinergi dalam mengsukseskan pesta demokrasi kali ini tentu salah satunya adalah menerbitkan aturan ketat dan terukur dalam setiap tahapan pilkada sehingga dapat meminimalisir penyebaran covid-19 dan baik penyelenggara dan peserta pilkada aman dari infeksi covid-19.

Melihat trend penyebaran virus covid-19 yang kian meningkat maka langkah untuk mengkaji kembali pelaksanaan pilkada pada tanggal 9 desember 2020 perlu dipertimbangkan. Walaupun sejauh ini tahapan pilkada sudah berjalan sampai pada tahapan pencalonan yang tentu sudah menelan anggaran sampai triliun rupiah namun pencegahan korban jiwa akibat infeksi virus ini patut diprioritaskan sehingga langkah penundaan kembali pilkada tahun 2020 sampai kondisi kesehatan bangsa pulih kembali. Ruang untuk penundaan atau pembatalan pilkada sangat terbuka dimana opsi penundaan pilkada diatur dalam undang-undang Nomor 6 tahun 2020 sehingga penundaan tahapan pilkada memiliki dasar yang kuat secara yuridis.

Pemerhati Pemilu Pertanyakan Soal Keterlibatan Tuhan Dalam Demokrasi dan Pemilu

426 Views

Palu-Jati Centre.  Berbagai macam bentuk  pemerintahan dikemukakan Plato, baik  dari model aristokrasi, timokrasi, oligarki, demokrasi dan tirani. Kesemuanya  merupakan model dan bentuk pemerintahan yang telah diterapkan.

Demikian penjelasan  Pemerhati Pemilu, Supriadi saat menyampaikan materi pada kegiatan yang diselenggarakan Perkumpulan Indonesia Memilih (PIM) bekerja sama dengan Jaringan Advokasi Untuk Keadilan (jati) Centre, di kantor Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah, Ahad (13/9/2020).

Materi yang bertemakan “Demokrasi dan Pemilu, Ikhtiar Melihat dari Kacamata Hukum Profetik” itu, menggali antusias dari peserta dalam berdiskusi.  Nampak peserta memberikan penjelasan terkait demokrasi dan pemilu.

“Demokrasi yaitu sistemnya, sedangkan pemilu adalah metodenya,” sebut Abit Zulfikar, yang merupakan salah satu peserta saat menanggapi pertanyaan dari narasumber.

Lanjut  Supriyadi, bahwa demokrasi dan pemilu saat ini harus dilihat dari kacamata hukum profetik, dan hukum profetik itu menginternalisasi nilai-nilai ajaran kenabian dalam demokrasi.

Ia juga memantik antusias dan daya kritis peserta dengan mengajak diskusi, bahwa pantaskah Tuhan terlibat dalam praktek demokrasi.

Di samping itu dosen tetap Universitas Tadulako ini, membagi  tiga konsep hukum profetik yang dimaksudnya, pertama, Humanisasi yang menurutnya bahwa demokrasi dan pemilu harus memanusiakan manusia. Kedua, Liberasi yaitu kapasitas hukum memberikan hak kepada orang dan memberi kewajiban kepada orang. Dan Ketiga, Transenden yaitu melibatkan nilai-nilai keTuhanan dalam berdemokrasi dan pemilu.

“Sudahkah demokrasi dan pemilu kita melibatkan Tuhan di dalamnya? Maksudnya yaitu apakah kita pernah dalam memutuskan perkara selalu sholat istikhorah dan mendahulukan petunjuk Tuhan  dalam memilih pemimpin? Inilah yang dimaksud dengan hukum profetik menginternalisasikan nilai-nilai ajaran nabi dalam kehidupan, baik berdemokrasi dan pemilu,” jelas Supriyadi.

Dikesempatan yang sama ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah, Ruslan Husen dalam materi terkait Demokrasi dan pemilu mengungkapkan bahwa keterlibatan masyarakat sangat penting dalam dinamika politik dan secara langsung belajar dari proses penyelenggaraan hingga menjadi kekuatan kontrol sosial.

Ia juga berharap cita kader dari setiap individu yang ikut serta dalam sekolah pemilu dan demokrasi ini dapat bekerja sama dan berkolaborasi dengan kerja-kerja pengawas.

“Harapannya cita kader dari individu dan komunitas yang lahir dari sekolah kader pengawasan partisipatif, untuk berkolaborasi dengan kerja-kerja pengawas melakukan pencegahan pelanggaran, dan melaporkan jika ditemukan pelanggaran pemilihan kepada bawaslu atau jajarannya di daerah,” harap Ruslan.

Direktur PIM, Rusli Attaqi (dua dari kanan) saat membuka kegiatan sekolah Pemilu dan demokrasi, Ahad (13/9/2020). Fato ; Qadri

Gelar Sekolah Pemilu dan Demokrasi, Berikut Penjelasan Direktur PIM

554 Views
Direktur PIM, Rusli Attaqi (dua dari Kanan) saat membuka kegiatan sekolah Pemilu dan Demokrasi, Ahad (13/9/2020). Foto : Qadri

Palu-Jati Centre. Perkumpulan Indonesia Memilih (PIM) kembali menyelenggarakan Sekolah Pemilu dan Demokrasi, yang digelar di Kantor Bawaslu Provinsu Sulteng, Ahad (13/9/2020).

Menurut Direktur PIM Rusli Attaqi, potensi pelanggaran dan kecurangan dalam proses kontestasi pemilihan kepala daerah, bisa terjadi di segala titik wilayah, hingga akhirnya menggerus kualitas demokrasi.

Lebih lanjut menurutnya, melalui gerak individu dan komunitas untuk berkolaborasi dengan kerja pengawas melakukan pencegahan pelanggaran, dan melaporkan pelanggaran kepada Bawaslu atau jajarannya, akan menjadi kontribusi meningkatkan kualitas demokrasi.

Dalam kesempatan itu, Rusli Attaqi menguraikan poin strategis penyelenggaraan Sekolah Pemilu dan Demokrasi, yang terlaksana atas kerjasama dengan Jaringan Advokasi untuk Keadilan (JATI Centre) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).

“Pertama, mendekatkan pengawasan pemilihan dalam kehidupan sosial. Berupa menciptakan simpul pengawasan potensial di lapisan masyarakat,” katanya.

Menurutnya, individu dan komunitas sosial jika dikonsolidasikan secara tepat akan menjadi kekuatan besar membantu kerja-kerja penyelenggaraan, khususnya Bawaslu sebagai penyelenggara.

“Pengawas pemilihan memiliki jumlah sumber daya terbatas, ditambah waktu penanganan pelanggaran yang singkat, serta wilayah pengawasan yang luas, tentu menyulitkan kegiatan pengawasan langsung dan melekat,” paparnya.

Sehingga menurutnya, dengan kehadiran individu dan komunitas potensial ini, menjadi kekuatan besar yang sinergi dengan kerja-kerja pengawasan pemilihan.

Poin strategis kedua menurutnya, mempertahankan integritas dan kapasitas pemilih. Melalui pola materi pendidikan yang diberikan kepada peserta, yang menghasilkan lulusan potensial menjadi kader pengawas pemilihan di daerah masing-masing.

“Dengan spesifik, memiliki integritas dan kapasitas memadai dalam pelaksanaan kerja-kerja penyelenggaraan pemilihan, khususnya berkolaborasi dengan pengawasan pemilu mewujudkan keadilan pemilu,” jelasnya.

Menurutnya, atas integritas dan kapasitas individu yang telah dibina, diharapkan menjadi bibit kristal untuk menyebar hingga membentuk kekuatan sosial masyarakat. Minimal sosialisasi dilakukan pada keluarga terdekat, lalu menggelinding ke komunitas, dan masyarakat.

“Ketiga, perluasan jaringan sosialisasi. Peserta mengutamakan pegiat dan aktivis sosial, sehingga ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan dapat terdistribusi langsung ke tengah komunitas mereka,” jelasnya.

Menurutnya, secara teknis kerja pengawasan pemilihan bisa dilakukan melalui media-media yang akrab dan digemari khalayak ramai. Bentuknya bisa di media elektronik maupun media cetak termasuk media sosial.

“Keempat, estafet penyelenggara pemilihan,” sebutnya.

Ia menjeleskan, para lulusan dalam jangka panjang dilatih menjadi pemimpin di masa depan, baik di jajaran penyelenggara sendiri maupun di dalam komunitas struktur sosial masyarakat.

Lebih lanjut menurutnya, dengan jaringan lulusan atau kader yang sudah terbentuk, apalagi dengan jaringan komunitas yang telah mereka bangun sebelumnya, akan menjadi modal sosial calon pemimpin.

“Tinggal saat ini, terus mengasah dan menempah diri meningkatkan integritas dan kapasitas hingga layak menjadi pemimpin dan layak menjadi tumpuan koordinator penyelesaian masalah sosial,” pungkasnya.

Aminuddin Kasim; Emergency Pandemi Covid-19 Bukan Alasan Pembenar Penggantian Pejabat

Aminuddin Kasim
680 Views

Palu-Jati Centre.  Terhadap kondisi emergency (keadaan darurat) pandemi Covid-19, tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi kepala daerah untuk melakukan penggantian pejabat. Sebab jelas pada Pasal 71 ayat (2) UU Pemilihan Kepala Daerah bahwa penggantian pejabat hanya dapat dilaksanakan apabila mendapat izin tertulis dari Menteri atau terjadi kekosongan jabatan.

Demikian penegasan yang disampaikan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako Aminuddin Kasim, pada rapat koordinasi (rakor) konsolidasi penanganan pelanggaran Pilkada yang dilaksanakan Bawaslu Sulawesi Tengah (Sulteng), di salah satu hotel di Palu, Rabu (19/8/2020).

Rakor menghadirkan peserta Komisioner Bawaslu kabupaten/kota dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19. Seluruh peserta wajib menggunakan masker, mencuci tangan sebelum masuk ruangan, dan menjaga jarak.

Aminuddin Kasim menjelaskan, Pasal 71 ayat (2) UU Pemilihan ditujukan kepada Kepala Daerah (termasuk wakil kepala daerah) yang dimaknai sebagai ketentuan memaksa dengan memuat larangan penggantian pejabat, dan konsekuensi hukum jika ketentuan dilanggar.

“Pasal 71 ayat (2)  UU Pemilihan sudah secara tegas menyatakan bahwa Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang melakukan pergantian pejabat selama enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali memperoleh izin tertulis dari Mendagri atau terdapat kekosongan jabatan,” jelasnya.

Dengan dasar tersebut menurut Aminuddin, jika terjadi dan terbukti ada kepala daerah melakukan hal itu, konsekuensi hukum Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Pemilihan yaitu sanksi pidana sebagaimana diatur Pasal 190 Undang-Undang Pemilihan, dan sanksi pelanggaran hukum lainnya yang diatur di luar Undang-Undang Pemilihan.

Serta sanksi administratif bagi kepala daerah yang akan maju dalam suksesi pemilihan sebagai petahana untuk dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) sebagai pasangan calon sesuai ketentuan 89 huruf a PKPU Nomor 1 Tahun 2020, atau dibatalkan sebagai pasangan calon sesuai dengan ketentuan Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan juncto Pasal 90 ayat (1) huruf e PKPU Nomor 1 Tahun 2020.

Saat ditanya, apakah pelanggaran Pasal 71 ayat (2) harus berbarengan dengan Pasal 71 ayat (3) UU Pemilihan, karena adanya diksi “dan” dalam kandungan Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan.

Aminuddin menjelaskan, Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan telah diubah maknanya sesuai putusan Mahkamah Agung Nomor 570/TUN/PILKADA/2016 yang diputuskan pada 4 Januari 2017 terkait pelanggaran Pasal 71 ayat (2) di Pilkada Kabupaten Boalemo tahun 2017.

Berdasarkan teori perubahan konstitusi, dengan putusan pengadilan atas pengujian Undang-Undang sehingga merubah makna dari peraturan walaupun belum dilakukan perubahan diksi dalam peraturan tersebut.

“Terhadap Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan walaupun masih tertulis diksi “dan”, tapi makna sebenarnya adalah “atau,” jelasnya.

Artinya, walaupun diksi “dan” (komulatif) dalam Undang-Undang, tetapi makna sebenarnya adalah “atau” (alternatif). Pemahaman ini satu tarikan dengan ketentuan Pasal 89 PKPU tentang Pencalonan, yang telah mengubah menjadi diksi “atau” bukan lagi diksi “dan” seperti halnya diksi dalam UU Pemilihan. Mashur

Soal Kriminalisasi Guru, Berikut Tanggapan Ketua PGRI Sulteng

786 Views

Palu-Jati Centre. Seri diskusi yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Informasi Pendidikan (LSIP) bertema “Teori Konvergensi dalam Perspektif Pendidikan Islam” yang digelar di kantor LSIP pada Selasa, (18/8/2020), telah memantik antusias peserta diskusi bertanya soal dilematis dunia pendidkan, baik dari aspek  peserta didik maupun dari aspek tenaga Pendidik.

Peneliti LSIP yang juga Direktur PIM Rusli Attaqi, menjadi peserta yang hadir dan turut memberikan pertanyaan terkait dinamika diskusi tersebut. Pada kesempatan itu, Ia meminta tanggapan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulteng mengenai kriminalisasi guru, khususnya dalam peran guru mendidik peserta didik di sekolah.

“Jika melihat dinamika pendidikan sekarang ini, apalagi dari aspek hukum yang mengatur terkait hak asasi manusia (HAM), maka ada ruang keterbatasan guru dalam mendidik peserta didik. Misalnya, di lingkungan sekolah, ketika guru memukul siswa padahal dengan tujuan baik dan membina, maka guru akan terancam sanksi hukum,” tanya Alumni Magister Hukum Universitas Tadulako ini.

Lebih lanjut menurutnya alumni HMI ini, tindakan kriminalisasi terhadap guru perlu ada langkah konkrit dari PGRI Sulteng sebagai induk organisasi profesi guru dalam menyikapi kasus semacam ini di sekolah, khusus dalam peran guru mendidik siswa.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Ketua PGRI Syam Zaini yang bertindak selaku Narasumber memberikan jawaban, bahwa soal kriminalisasi guru, PGRI telah memiliki Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI yang konsen mengadvokasi kasus yang melibatkan profesi guru seperti ini.

“Kami mempunyai LKBH, yang turut menangani kasus guru yang terjerat masalah hukum. Bukan hanya itu, dalam Undang-Undang Guru dan Dosen juga sudah diatur, ketika terjadi jerat hukum kepada guru maka yang terlibat menangani yaitu Satuan Pendidikan, Pemerintah Daerah dan organisasi PGRI itu sendiri,” jelas Syam Zaini.

Kepala SMAN 4 Palu ini juga menyampaikan, bahwa realitas yang terjadi di lapangan terkait dengan persoalan yang dialami guru, maka PGRI harus menjadi garda terdepan dalam mengatasi dan menangani semua persoalan.

Ketua PGRI Sulawesi Tengah Syam Zaini, saat memberikan tanggapan.

“Dalam UU sudah diatur, beberapa Instansi yang terlibat dalam menangani guru yang terjerat hukum, namun faktanya yang terjadi di lapangan tidak seperti itu, semua masalah guru masih  di atasi oleh PGRI,” jelasnya.

Selain itu, Ketua PGRI ini juga menyampaikan usaha-usaha mereka dari PGRI dalam menangani dan mencegah kasus yang menjerat guru, dengan bertemu instansi terkait dan rencana kegiatan memberikan sosialisasi akan aturan dan standar dalam dunia pendidikan.

“Kami pernah audiens dengan Kapolda Sulteng, dan meminta untuk melaksanakan pertemuan dengan guru-guru. Sehingga dengan hal itu, akan memberikan pemahaman kepada guru-guru terkait batasan mana yang bisa dipukul, sebagai langkah pembinaan, sehingga tidak terjerat hukum.

Juga mengharapkan adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) dari Dinas Pendidikan terkait aturan anak bermasalah dan tindak lanjutnya, sehingga ketika guru bertindak ada SOP yang menjadi acuan mereka,” terang Syam Zaini.

Lebih lanjut, Ia berharap kepada semua pihak kiranya sama-sama berkontribusi dalam memajukan Pendidikan, utamanya terkait sosialisasi yang bermuatan pendidikan hukum. Sehingga para guru mengetahui batas hukum yang mengatur dan melindungi pelaksanaan profesi guru.