Pencalonan Mantan Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Pengawas Pemilu

202 Views

Perdebatan pencalonan mantan terpidana korupsi dalam Pemilu pernah mencuat, pasca KPU tidak meloloskan bakal calon anggota legislatif mantan narapida korupsi, bandar narkoba dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak. KPU mencoret dan menyatakan bakal calon yang diajukan Partai Politik itu, dengan status tidak memenuhi syarat (TMS). Pelarangan ini dinilai agar ke depan terwujud penyelenggaraan pemerintahan bersih yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Keputusan KPU beranjak dari dasar hukum, PKPU Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif, bahwa Partai Politik (Parpol) dalam seleksi internal untuk pengusulan bakal calon anggota legislatif dilarang menyertakan narapidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak. Regulasi ini telah ditetapkan dan telah disosialisasikan, Parpol diharapkan menaati dan melaksanakan. Dan, KPU menilai ketaatan Parpol saat pengajuan calon anggota legislatif turut menyertakan dan menandatangani pakta integritas, dengan muatan di atas. Tetapi ternyata, tetap memuat calon-calon yang bermasalah tadi.

Sementara, pandangan Bawaslu ternyata berbeda. Pasca Bawaslu mengabulkan permohonan sengketa proses Pemilu atas pokok perkara yang diajukan Parpol. Sebelumnya KPU menetapkan calon anggota legislatif mantan narapidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak, tidak memenuhi syarat. Namun, lewat putusan Bawaslu mengabulkan permohonan sengketa yang diajukan Parpol, berupa meloloskan calon yang sebelumnya dinyatakan TMS oleh KPU sebagai calon anggota legislatif, sekaligus memerintahkan KPU untuk menetapkan yang bersangkutan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) agar memiliki hak politik ikut kontestasi sebagai Peserta Pemilu.

Upaya Pencegahan

Bukan hanya KPU dan masyarakat yang mengharap lahir pemimpin yang bersih, pemimpin yang tidak memiliki beban masa lalu sebagai pelaku ekstra ordinary crime, Bawaslu juga mengharapkan agar Parpol lewat seleksi internal dapat pengajuan calon anggota legislatif yang memiliki kapasitas handal, memiliki kualitas spiritual-moral yang mapan, serta terjaga dari hal-hal tercela.

Bahkan lewat kerja-kerja pencegahan, Bawaslu telah menghimbau Parpol untuk tidak mengajukan calon yang pernah dipidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak. Tetapi ternyata Parpol tetap mengajukan calon yang dinilai bermasalah tadi, hingga KPU menyatakan tidak memenuhi syarat bakal calon yang diajukan itu. Dasar KPU adalah PKPU pencalonan anggota legislatif.

Lewat kerja-kerja pencegahan Bawaslu berupa penyampaian himbauan kepada Parpol. Ada parpol yang lantas mengikuti himbauan Bawaslu, dengan membatalkan pengajuan bakal calon terpidana korupsi. Langkah itu diikuti dengan informasi dan pembangunan opini bahwa Ia adalah Parpol yang pro terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, buktinya Parpol itu tidak mengajukan bakal calon mantan terpidana korupsi.

Mengatakan Bawaslu sebagai Lembaga yang pro terhadap koruptor, dari kenyataan ini adalah salah. Bawaslu telah mengambil kebijakan strategis, langkah pencegahan agar Parpol dapat mengajukan bakal calon yang memiliki kapasitas dan bukan terpidana korupsi. Semua menyetujui korupsi adalah masalah besar di Indonesia. Juga disetujui bahwa dana rakyat harus dilindungi dari pihak-pihak yang korup, namun ada hak individu, ada hak orang yang dilindungi UUD dan UU Pemilu.

Jika dalam proses adjudikasi, sikap Bawaslu ternyata berubah, itu soal lain. Proses adjudikasi adalah proses penegakan keadilan Pemilu dengan dasar keyakinan hakim memutus permohonan sesuai dengan fakta persidangan. Dasar argumentasi Bawaslu menjatuhkan vonis dengan menggunakan prinsip hukum dan teori norma, yang umum digunakan Hakim dalam memutus perkara atau permohonan di persidangan.

Penegakan Keadilan Pemilu

Kerangka hukum Pemilu didesain mengatur mekanisme dan penyelesaian permasalahan hukum penyelenggaraan Pemilu. Tujuannya memberikan kepastian hukum dan solusi dalam pelaksanaan tahapan Pemilu, sehingga keadilan bagi seluruh pihak dapat terpenuhi. Kerangka penegakan hukum Pemilu juga mengatur proses penyelesaian sengketa proses Pemilu, yang timbul dari ditetapkannya Keputusan KPU, dan keputusan itu dinilai melanggar hak politik dari peserta Pemilu. Hingga mengajukan permohonan sengketa untuk diputus oleh Bawaslu lewat mekanisme sidang adjudikasi.

Dalam pertimbangan hukum Bawaslu yang dituangkan dalam putusan sengketa proses Pemilu untuk kasus pencalonan mantan terpidana korupsi, setidaknya dapat ditemui beberapa hal yang menjadi dasar argumentasi. Pertama, hak konstitusional warga negara. Setiap orang memiliki hak dan kewajiban konstitusional yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan, termasuk hak warga negara Indonesia. Hak itu merupakan hak dasar yang diberikan oleh negara melalui Undang-Undang, termasuk hak memilih dan dipilih sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang.

Saat ada pembatasan hak, terhalanginya hak seseorang untuk dipilih dalam kontestasi Pemilu, tentu merupakan pelanggaran Undang-Undang. UU Pemilu tidak memuat larangan atas mantan terpidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak untuk dicalonkan sebagai peserta Pemilu. Olehnya, Para pihak termasuk lembaga negara secara ketat harus memberikan perlindungan atas hak konstitusional warga negara. Menjadi masalah, ketika malah lembaga negara yang membatasi pelaksanaan hak konstitusional warga negara.

Kedua, Melaksanakan ketentuan dalam Undang-Undang. Dasar hukum yang diakui dan menjadi rujukan pihak KPU dan Bawaslu adalah Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Bawaslu menilai, Undang-Undang Pemilu tidak menggariskan larangan bagi narapidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak untuk mencalonkan diri, termasuk tidak ada larangan bagi Partai Politik untuk mencalonkannya.

Undang-Undang Pemilu sudah menyatakan, bahwa seorang mantan narapidana yang telah menyelesaikan masa hukumannya, dapat mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif selama yang bersangkutan sudah mengumumkan kepada publik bahwa pernah berstatus sebagai narapidana dan sudah menjalani hukuman. Dalam hal ini, mantan narapidana kasus korupsi mempunyai hak politik, sama dengan warga negara yang lain, suatu hak yang dijamin oleh konstitusi.

Ketiga, PKPU sebagai penjabaran teknis dari Undang-Undang, bukan sebaliknya yang membatasi hak konstitusional. Undang-Undang Pemilu menjadi dasar penyelenggaraan tahapan pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden-Wakil Presiden tahun 2019. Lembaga penyelenggara pemilu, baik Bawaslu, KPU dan DKPP lantas menjabarkan pengaturan lebih lanjut ke dalam peraturan yang lebih teknis. Peraturan teknis ini, idealnya sinkron dan menjabarkan peraturan yang lebih tinggi. Akan fatal jadinya, jika peraturan teknis malah memunculkan norma baru yang secara subtansi bertentangan dengan peraturan diatasnya.

Keempat, Hak konstitusional hanya bisa dibatasi oleh Undang-Undang dan Putusan Pengadilan. Indonesia adalah negara hukum. Penyelesaian masalah dan pengaturan kehidupan berbangsa didasarkan pada norma hukum, yang diwujudkan dengan peraturan tertulis. Hak dan kewajiban warga negara banyak ditemukan dalam UUD dan UU, termasuk hak politik, hak untuk dicalonkan sebagai peserta Pemilu.

Selain UU, yang dapat membatasi pelaksanaan hak seseorang adalah putusan pengadilan. Hukum positif hingga kini tidak melarang mantan narapidana mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif dan hanya pengadilanlah yang mempunyai kewenangan untuk mencabut hak politik seseorang.

Beberapa putusan hakim yang ditangani KPK atas kasus ekstra ordinary crime, turut menjatuhkan pidana tambahan, berupa pencabutan hak politik sebagai Pemilih dan hak untuk dipilih. Tetapi pencabutan hak politik itu, selain sangat selektif juga ada pembatasan masa waktu berlaku. Suatu saat jika masa berlaku pencabutan hak politik berakhir, yang bersangkutan dapat ikut menggunakan hak politiknya kembali sebagai hak yang dijamin dalam konstitusi.

File PDF dapat didownload di bawah ini :

[sdm_download id=”711″ fancy=”0″]
[sdm_download_counter id=”711″]

Mewujudkan Pemilu Damai

215 Views

Jika diamati secara seksama judul tulisan ini merupakan harapan dan cita-cita, bukan hanya Penyelenggara Pemilu, Pemerintah dan masyarakat saja yang mengharapkan, peserta Pemilu juga sangat mendambakan kondisi Pemilu damai ini. Walaupun ada pandangan pesimis, Pemilu damai susah diwujudkan. Pelanggaran dan kekerasan dalam Pemilu masih silih-berganti terjadi, menjadi benalu dan racun demokrasi.

Ketika kampanye Pemilu telah di mulai, peserta Pemilu seakan tidak kenal lelah menggunakan berbagai potensi dan kesempatan untuk memperkenalkan visi, misi, program dan/atau citra dirinya kepada masyarakat. Agar Pemilih tergerak menggunakan hak politiknya, memilih peserta Pemilu yang bersangkutan di hari pemungutan suara nanti.

Namun, kita dibuat prihatin akibat perilaku oknum-oknum dari berbagai kalangan yang tega menciderai prinsip demokrasi dengan melakukan pelanggaran. Bahkan pelanggaran ada yang terindikasi dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Semua hal menjadi dihalalkan/diperbolehkan asal mendapatkan kekuasaan. Kecurangan, intimidasi, kekerasan, ancaman, persekongkolan dan berbagai bentuk pelanggaran lainnya seolah lumrah dilakukan. Dan, ini yang menjadi benalu dan racun demokrasi yang harus diperangi dan ditindak tegas.

Lebih celaka lagi, ketika perilaku pelanggaran Pemilu itu dinilai sebagai sesuatu yang wajar dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan. Bahkan masyarakat pun dengan antusias mengikuti kegiatan pragmatis dan transaksional, menjadi pendukung atau pihak yang turut serta memudahkan pelanggaran terjadi, misalnya dalam praktek politik uang. Ini yang berbahaya. Seharusnya masyarakat sebagai pemilik kedaulatan, harus berperan dalam menjaga dan mengawasi suara rakyat agar lahir pemimpin berintegritas. Mengawal proses Pemilu agar senantiasa jujur dan adil, hingga ditetapkan hasil Pemilu yang diterima oleh semua pihak.

Persoalan mendasar, mengapa tindak pelanggaran dalam setiap Pemilu masih terus terjadi. Ini karena kematangan berdemokrasi belum melembaga sampai ditingkatan paling bawah lapisan masyarakat. Pengetahuan, pemahaman dan perilaku demokrasi cenderung masih hanya dimiliki oleh sebagaian kecil warga saja. Meskipun dalam penyelenggaraan bernegara berdasarkan asas demokrasi, namun masih sebatas pada formalitas, yaitu tersedianya istitusi demokrasi politik seperti partai politik, lembaga legislatif, yudikatif, eksekutif dan lain-lain. Begitu pula demokrasi dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat belum melekat dengan baik dan masih cenderung pragmatis-transaksional. 

Persyaratan baik yang bersifat normatif maupun empiris harus terpenuhi dalam rangka mewujudkan Pemilu damai. Demokrasi yang hanya dipahami oleh elit politik cenderung akan mewujudkan anarki massa, sedangkan demokrasi yang hanya dipahami di kalangan bawah tidak akan mewujudkan ruang artikulasi luas di kalangan publik. Elit politik dan masyarakat harus saling mendukung dan menguatkan dalam memahami substansi demokrasi yang diwujudkan lewat pelaksanaan Pemilu.

Ada empat persyaratan untuk mewujudkan harapan tentang Pemilu damai. Pertama, Nilai-nilai demokrasi yang menjadi acuan utama. Dalam demokrasi pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat dihasilkan melalui mekanisme kebebasan berpendapat baik oleh individu, kelompok maupun Partai Politik. Pembentukan kekuasaan tersebut dihasilkan melalui tahapan Pemilu, lewat kontestasi dan yang memperoleh suara yang terbanyak akan ditetapkan sebagai pemenang dan mendapat legitimasi dari publik. Sementara yang kalah, bersedia bekerja sama atau menjadi oposisi untuk mengontrol jalannya pemerintahan. 

Masalah saat ini, nilai-nilai demokrasi sudah lama berkembang secara baik, tetapi kesadaran berdemokrasi individu belum merata, kalau-pun ada hanya dimiliki oleh sebagaian kecil saja. Ini dapat dilihat dari kampanye dan penetapan hasil Pemilu yang cenderung diwarnai berbagai pelanggaran. Kalau tindak pelanggaran Pemilu masih tetap ada, maka kesadaran berdemokrasi hanya kesadaran semu.

Nilai-nilai dan wacana demokrasi sudah ada di masyarakat, tetapi belum dapat diaktualkan secara baik dan konkret. Demokrasi masih dipahami sebagai sarana untuk menyalurkan pendapat dan aspirasi, tetapi tidak pernah dipahami mendengar aspirasi dan pendapat lawan politik. Sehingga yang terjadi adalah melembaganya sifat egois untuk menang tanpa peduli dengan keadaan pihak lawan. Kalau paradigma ini masih tetap ada, maka kebencian antar kelompok yang berbeda akan terus ada, dan pendidikan politik tidak akan berjalan dengan baik.

Kedua, Pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu secara professional. Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu), institusi negara terkait, dan peserta Pemilu, harus terus melakukan pencegahan dan sosialisasi dalam rangka mencegah berbagai potensi pelanggaran Pemilu. Kebijakan bersama antara penyelenggara, institusi negara terkait, dan aparat penegak hukum harus berkolaborasi agar kerja pencegahan tidak sektoral dan kasuistis.

Jika pencegahan pelanggaran telah dilakukan namun tetap terjadi pelanggaran, maka aparat penegak hukum harus menjalankan fungsi penegakan hukum secara tegas. Bawaslu sebagai Pengawas Pemilu, bersama aparat penegak hukum yang bernaung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) harus berani dan aktif. Pelaku pelanggaran harus diberi sanksi secara adil, lewat proses Pengadilan yang transparan dan profesional.

Ketiga, masyarakat harus bijak memilah dan mencerna informasi, perlu ada kroscek ulang sebelum mengambil langkah atau keputusan. Kroscek jika benar-benar dipraktikkan, niscaya tidak akan memberi ruang bagi hadirnya kampanye jahat dan provokasi. Ada kesadaran kritis publik menyaring informasi yang diterima, tidak cepak terpancing untuk bersikap dan menghakimi.

Tradisi kroscek mengharuskan Pemilih meneliti dan menyeleksi suatu berita, tidak tergesa-gesa memutuskan sesuatu sampai jelas benar permasalahannya, sehingga tidak ada pihak yang merasa dizalimi. Penting bagi masyarakat untuk mengkonfirmasi atau menguji validitas data dan informasi yang diterima. Agar tidak terjebak dalam agenda jahat para penyebar hoax dan penyebar ujaran kebencian.

Keempat, keberadaan institusi-institusi sosial-politik yang mendorong demokrasi. Pendidikan politik untuk demokrasi harus tetap dilakukan lewat partai politik, lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan maupun lembaga-lembaga formal lainnya. Tetapi nilai pendidikan politik juga harus dipraktekkan oleh elit politik secara langsung. Sebab prilaku para elit politik akan cenderung ditiru oleh masyarakat terutama oleh pendukung. Di samping itu perilaku untuk siap kalah juga harus dimiliki, dengan bersedia bekerja sama atau melakukan oposisi terhadap pemerintahan yang akan berkuasa.

Keberadaan institusi sosial-politik masyarakat akan berperan meredam konflik dan gejolak sosial yang sering mengemuka ketika ada isu-isu dihembuskan. Apalagi menyasar suku, agama, ras dan antar golongan. Peran dan keberadaan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam mengedukasi masyarakat sangat penting, menjernihkan keadaan, dan memberikan pandangan solutif yang menyejukkan.  

Berbagai tindak pelanggaran yang terjadi dalam Pemilu, mulai dari saat kampanye, penetapan hasil dan pasca penetapan hasil, dapat saja mewarnai hari-hari ke depan, apabila kemampuan dan keahlian berdemokrasi masih rendah. Untuk mewujudkan Pemilu damai, maka setiap individu, kelompok dan institusi politik harus memiliki kesadaran dan keahlian politik yang handal. Kalau ini tidak ada, walaupun ada deklarasi Pemilu damai yang diselenggaran Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah, maka jangan bermimpi bahwa Pemilu yang dilaksanakan akan damai.

Damai tidak cukup dideklarasikan, damai harus dibuat nyata. Caranya, dengan mempraktekkan apa yang ada di dalam teks, norma dan ketentuan hukum. Akhirnya, kedamaian Pemilu akan terwujud jika kontestasi Pemilu berisi edukasi politik dengan media adu ide, gagasan dan program peserta Pemilu yang mencerahkan. Bukan sebaliknya marak pelanggaran, kecurangan, dan tindakan memecah-belah.

File PDF dapat didownload di bawah ini :

[sdm_download id=”702″ fancy=”0″]
[sdm_download_counter id=”702″]

Kampanye Di Luar Jadwal

296 Views

Partai Politik peserta Pemilu tahun 2019 telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 17 Februari 2018. Lalu hari berikutnya, tanggal 18 Februari 2018 Partai Politik (Parpol) mendapatkan nomor urut lewat pengundian oleh KPU dengan disaksikan Bawaslu. Parpol tersebut sesuai nomor urut, 1.PKB, 2.Gerindra, 3.PDI Perjuangan, 4.Golkar, 5.NasDem, 6.Partai Garuda, 7.Partai Berkarya, 8.PKS, 9.Perindo, 10.PPP, 11.PSI, 12.PAN, 13.Hanura, 14.Partai Demokrat. Ditambah dengan Partai lokal Aceh dengan nomor urut, 15.Partai Aceh, 16.Partai Sira (Aceh), 17.Partai Daerah Aceh, dan 18.Partai Nanggroe Aceh.

Jumlah Parpol peserta Pemilu kemudian bertambah atas dasar Putusan penyelesaian sengketa Bawaslu RI. Sebelumnya Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dinyatakan oleh KPU tidak lolos verifikasi. Lalu PBB mengajukan sengketa ke Bawaslu, dan diputus PBB memenuhi syarat dan memerintahkan kepada KPU untuk menetapkan PBB sebagai peserta pemilu tahun 2019. KPU lalu menggelar Pleno dan menetapkan PBB sebagai peserta pemilu dengan nomor urut 19.

Namun berbeda dengan PKPI, Bawaslu memutuskan menolak permohonan PKPI karena dinilai PKPI gagal memenuhi persyaratan jumlah keanggotaan dan kepengurusan pada 73 kabupaten dan kota yang tersebar di empat provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Papua.

Permohonan ditolak Bawaslu, lantas PKPI mengajukan gugatan ke PTUN DKI Jakarta. PTUN mengabulkan gugatan PKPI pada sidang yang dibacakan tanggal 11 April 2018. Atas dasar Putusan PTUN ini, KPU akhirnya menetapkan PKPI menjadi peserta Pemilu tahun 2019 dengan nomor urut 20. Sehingga total peserta Pemilu tahun 2019 sejumlah 20 (dua puluh) Parpol yang terdiri atas 16 (enam belas) Parpol nasional dan 4 (empat) Partai lokal aceh.

Mencermati praktek Pemilu di tahun 2014 sebelumnya, tiga hari setelah Parpol ditetapkan KPU sebagai peserta pemilu, Parpol langsung melaksanakan kampanye untuk memperkenalkan dan mempengaruhi pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan kegiatan Parpol agar memilihnya saat pemungutan suara.

Namun, hal serupa tidak dapat dilakukan Parpol untuk pelaksanaan Pemilu tahun 2019. Terdapat perbedaan jangka waktu setelah Parpol ditetapkan dan waktu yang diperbolehkan untuk Parpol melaksanakan kampanye. Jedah waktu yang cukup lama sejak Parpol ditetapkan sebagai peserta Pemilu dengan waktu pelaksanaan kampanye. Dalam pelaksanaan Pemilu 2014, tiga hari setelah ditetapkan KPU Parpol langsung melaksanakan kampanye. Berbeda dengan pelaksanaan Pemilu tahun 2019, Parpol melangsungkan kampanye setelah 7 bulan sejak ditetapkan yakni pada tanggal 23 September 2018 sampai dengan 13 April 2019.

Urain lebih lanjut, dapat di download dalam file PDF berikut ini :

[sdm_download id=”695″ fancy=”0″]
[sdm_download_counter id=”695″]

Rakyat, Sebagai Mata dan Telinga Pengawas Pemilu

252 Views

Pemilihan Umum secara serentak untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden serta memilih calon anggota legislatif pusat dan daerah telah ditetapkan pelaksanaan pertama kali di tahun 2019. Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) beserta seluruh jajarannya di berbagai kesempatan terus mensosialisasikan urgensi Pemilu dan pentingnya partisipasi masyarakat dalam menyukseskan perhelatan pesta demokrasi ini.

Bawaslu sebagai Lembaga Pengawas Pemilu yang diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, memiliki kewenangan utama yakni pengawasan/pencegahan pelanggaran, penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses Pemilu. Bawaslu dan KPU merupakan Lembaga yang melaksanakan satu-kesatuan fungsi Pemilu. KPU melaksanakan tahapan Pemilu, Bawaslu mengawasi tahapan Pemilu.

Bawaslu secara kelembagaan telah terbentuk dari tingkat Pusat sampai dengan tingkat Kelurahan/Desa, bahkan sampai tingkatan masing-masing TPS juga akan dibentuk. Namun, jumlah personil Pengawas Pemilu ini masih terhitung terbatas, jika dibandingkan dengan jumlah peserta Pemilu yang berkontestasi dengan hitungan lebih banyak.

Lihat dalam perbandingan, jumlah Pengawas Pemilu tingkat Provinsi ada yang beranggotakan 5 sampai dengan 7 orang Komisioner Bawaslu, sementara peserta Pemilu yang harus diawasi lebih banyak jumlahnya. Partai Politik nasional sejumlah 16 (enam belas) Parpol, masing-masing Parpol itu telah mengajukan calon tetap anggota legislatif untuk masing-masing Daerah Pemilihan (Dapil) yang jumlah puluhan.

Ditambah lagi harus diawasi, peserta Pemilu dari unsur perwakilan daerah, calon anggota DPD yang jumlah juga puluhan orang. Ditambah lagi dengan peserta Pemilu, calon Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki struktur Tim Kampanye tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota yang juga harus diawasi. Nampak keterbatasan jumlah Pengawas Pemilu, yang tidak sebanding dengan jumlah peserta Pemilu yang harus diawasi.

Di samping itu, personil Pengawas Pemilu bukan hanya mengawasi pelaksanaan dari UU Pemilu, tetapi juga mengawasi pelaksanaan dan penegakan Peraturan Perundang-Undangan lainnya. Pengawas Pemilu harus mengawasi netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam kontestasi Pemilu, yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN. Pengawas Pemilu mengawasi netralitas Kepala Desa, Aparat Desa dan Anggota BPD yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Serta mengawasi pihak-pihak yang di dalam ketentuan/aturan internal Kementerian/Lembaga juga menekankan netralitas dalam penyelenggaraan Pemilu, tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis. Misalnya fasilitator Kementerian/Lembaga yang menggunakan operasional kegiatan dengan anggaran bersumber dari keuangan negara dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Kewenangan Bawaslu yang luas menegakkan keadilan Pemilu sebagaimana disebutkan dalam UU Pemilu, beriringan dengan jumlah personil Pengawas Pemilu yang terbatas. Demikian kondisi faktual, sehingga kerja-kerja Pengawasan Pemilu tidak semata-mata menjadi tugas dan tanggungjawab Bawaslu saja. Tetapi, perlu dukungan dan partisipasi masyarakat guna mencegah pelanggaran Pemilu, memberikan informasi awal dan menyampaikan laporan pelanggaran Pemilu kepada jajaran Bawaslu untuk ditindaklanjuti.

Dari itu, lahir penggalan slogan Bawaslu berbunyi “Bersama Rakyat Awasi Pemilu”. Slogan ini berangkat dari kondisi nyata, Bawaslu mengakui keterbatasan jumlah personil yang mengawasi aktifitas politik dari peserta Pemilu dalam wilayah yang sangat luas, dan mengawasi penegakan/penerapan peraturan perundang-undangan lainnya. Dan, melaksanakan kewenangan itu, Bawaslu harus mendapatkan dukungan-peran serta rakyat. Bawaslu bersama-sama rakyat mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. Pemilu yang hasilnya dapat diterima oleh semua pihak terutama pihak yang berkontestasi sebagai peserta Pemilu.

Pencegahan Pelanggaran

Telah banyak program dan kegiatan yang dilaksanakan jajaran Bawaslu, tujuan utama meningkatkan kualitas demokrasi yang terus dibangun dan dijaga ini. Urgensinya ingin meletakkan kemurnian suara rakyat agar tersalurkan dengan baik lewat proses konstitusional yang jujur dan adil, hingga lahir pemimpin yang berintegritas. Pemimpin harapan yang lahir dari proses Pemilu berintegritas, dengan hasil Pemilu yang diterima oleh semua pihak.

Program dan kegiatan Bawaslu didesain agar masyarakat mengetahui potensi-potensi pelanggaran Pemilu. Baik dilakukan oleh unsur Pemerintah, peserta Pemilu, aparat keamanan bahkan anggota masyarakat sendiri dan penyelenggara Pemilu. Ketika potensi pelanggaran Pemilu dapat terpahami dengan baik, tahap selanjutnya muncul kesadaran untuk mencegah pelanggaran itu. Minimal mencegah agar diri sendiri, anggota keluarga dan komunitas lingkungan sosial tidak melakukan pelanggaran Pemilu.

Jika kesadaran mencegah pelanggaran Pemilu ini telah terinternalisasi, maka dipastikan bentuk pelanggaran Pemilu akan sangat minim terjadi. Kesadaran yang hadir agar tidak berbuat pelanggaran, sekaligus mencegah pihak lain jika ada potensi pelanggaran akan terjadi. Kesadaran ini, lahir bukan karena takut sanksi hukum, tetapi lahir dari upaya kolektif melahirkan tatanan sosial yang stabil, dan itu diraih dengan cara tertib berhukum.

Kesadaran sosial yang dibangun adalah kesadaran tertinggi, berupa tertib berhukum. Pada tahap ini, anggota masyarakat mengambil peran dengan porsi masing-masing menjalankan aturan hukum, dan bukan malah mencari celah hukum dan melanggar. Ada tingkat kesadaran humanis tertinggi, ketaatan berhukum melahirkan tertib hukum yang ditujukan untuk kebahagiaan umat manusia. Jika ada yang melanggar, akan menyebabkan ketidakaturan sosial yang mengganggu stabilitas dan tatanan sosial.

Informasi Awal dan Laporan

Di samping peran pencegahan pelanggaran, masyarakat dapat berpartisipasi memberikan informasi awal ketika terjadi pelanggaran Pemilu, dan pelanggaran itu diketahui secara pasti dan terdapat bukti pendukung. Bentuknya memberikan informasi awal berupa data, video, foto atau dokumen terkait terjadi pelanggaran Pemilu kepada Pengawas Pemilu.

Bentuk partisipasi ini, diawali dari terjadi pelanggaran Pemilu di tengah masyarakat. Agar pelaku dapat ditindak sesuai dengan ketentuan hukum Pemilu, maka diberikan-lah informasi awal kepada jajaran Pengawas Pemilu untuk ditindaklanjuti. Ada kesadaran, bahwa pelanggaran Pemilu yang dibiarkan terus-menerus, akan mengerus kepercayaan publik akan hasil Pemilu demokratis. Pelanggaran harus dicegah, pelanggaran yang terjadi harus ditindak oleh aparat penegak hukum, agar memberi efek jera pada pelaku dan memberi pencegahan kepada mereka yang ingin coba-coba melanggar.

Jajaran Bawaslu saat menerima informasi awal, tidak serta-merta meningkatkan informasi awal tersebut ketahapan temuan untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme penindakan pelanggaran Pemilu. Tetapi terlebih dahulu mengecek, mengumpulkan bukti, melakukan investigasi hingga terpenuhi unsur formil dan materil terjadi pelanggaran. Jika terpenuhi unsur pelanggaran, akan ditingkatkan menjadi temuan Pengawas Pemilu, tetapi jika tidak terpenuhi unsur pelanggaran maka kasus dihentikan.

Berbeda halnya dengan perlakukan atas Laporan. Laporan yang berasal dari pihak yang berhak melapor yakni WNI, Pematau Pemilu, atau Peserta Pemilu memiliki posisi yang kuat untuk ditindaklanjuti oleh Pengawas Pemilu. Ada keharusan Pengawas Pemilu untuk menindaklajuti laporan tertulis dari masyarakat. Jika ini dilanggar, berupa tidak menindaklanjuti laporan sebagaimana mestinya, maka ada potensi sanksi yang dapat dijatuhkan kepada Pengawas Pemilu, baik sanksi administrasi, kode etik sampai dengan sanksi pidana Pemilu.

Laporan pelanggaran disusun mengikuti format dalam Peraturan Bawaslu yang memuat identitas Pelapor, Terlapor beserta unsur formil dan materil peristiwa/kasus pelanggaran Pemilu yang dilaporkan. Jajaran Pengawas Pemilu menerima laporan dengan standar administrasi yang ketat, mulai dari memberikan tanda terima laporan, memberitahukan laporan yang tidak memenuhi unsur formil-materil, memberitahukan status laporan, register laporan, undangan klarifikasi dan lain sebagainya.

****

Bawaslu harus hadir menjadi solusi terhadap berbagai tuntutan untuk melakukan pengawasan/pencegahan pelanggaran dan penindakan pelanggaran Pemilu yang dilakukan siapa pun, entah Pemerintah, peserta Pemilu, Penyelenggara Pemilu, bahkan masyarakat, karena mereka tidak luput dari potensi melakukan pelanggaran. Kewenangan itu telah diperkuat hingga lahir UU Pemilu, selanjutnya kreatifitas personil Pengawas Pemilu melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban hingga lahir hasil Pemilu yang dapat diterima oleh semua pihak.

Orientasi ke depan, Bawaslu harus mendorong partisipasi masyarakat secara optimal. Bawaslu harus mampu berkolaborasi dengan seluruh elemen bangsa untuk mengawasi dan menegakkan hukum Pemilu secara tegas dan adil. Keadilan Pemilu dapat diwujudkan jika Bawaslu bekerja secara jujur dan adil dengan dukungan peran serta rakyat, rakyat menjadi mata dan telinga Pengawas Pemilu.

[sdm_download id=”665″ fancy=”0″]
[sdm_download_counter id=”665″]

Peningkatan Partisipasi Pemilih Di Daerah Bencana

227 Views

Belum usai duka bencana gempa bumi di Lombok-NTB, menyusul lagi bencana alam di Provinsi Sulteng, berupa gempa bumi, tsunami dan liquifaksi yang terjadi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong. Bahkan di penghujung tahun 2018, kembali kita dikejutkan dengan bencana tsunami di wilayah Selat Sunda. Korban jiwa berjatuhan, kehilangan keluarga dan harta benda terus saja kita alami.

Gerak cepat penanggulangan bencana para pihak terus mengalir, terutama Pemerintah, Lembaga kemanusian, dan Perusahaan dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada korban bencana. Paling tidak, pertolongan pertama di masa-masa krisis pasca bencana. Kehadiran dan empati sosial terus mengalir, seraya memaknai kejadian tersebut sebagai cobaan sekaligus azab kepada makhluk di muka bumi.

Dari rentetan kejadian bencana alam ini, telah mendorong rasa kesetia-kawanan sosial dan empati masyarakat, untuk turut-serta membantu. Sekat-sekat golongan tidak nampak, menjadi rasa persaudaraan sesama umat manusia. Dan, itu terlihat jelas di masa tanggap darurat dan rehabilitasi wilayah bencana. Banyak pihak dengan keinginan sendiri, memberikan bantuan tenaga dan materi untuk meringankan derita korban, terpatri dalam hati keperihan dan duka korban, yang berusaha diringankan.

Itulah sekilas catatan di penghujung tahun 2018 yang tidak akan pernah terlupakan, terkhusus mereka yang menjadi korban dan relawan di wilayah bencana. Selanjutnya, menjalani kehidupan di tahun baru, tahun 2019, lekat diingatan kita adalah tahun politik untuk pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden beserta calon anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota).

Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah telah menetapkan pelaksanaan hari pemungutan suara pada tanggal 17 April 2019. Termasuk di wilayah yang terdampak bencana tidak ada perubahan hari pemungutan suara, tetap pada hari tersebut. Walaupun beberapa kebijakan strategis lantas ditetapkan untuk mengantisipasi kondisi-kondisi yang tidak normal ini. Misalnya dalam penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), sebagai akibat banyak warga yang meninggal dunia atau status hilang. Ditambah lagi dengan eksodus pengungsi ke luar daerah bencana sampai mengungsi ke wilayah Provinsi sekitar.

Masalah lain, relokasi pengungsi pada hunian-hunian sementara/tetap yang dapat mempengaruhi kebijakan penetapan Daerah Pemilihan (Dapil) dan penempatan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jika relokasi pada wilayah Dapil yang sama tentu besar-kemungkinan tidak ada permasalahan, tinggal penempatan TPS di wilayah relokasi tersebut. Namun yang perlu diantisipasi adalah, jika relokasi masyarakat ditempatkan pada wilayah yang berada di luar Dapil alamat Pemilih sebelumnya, bercampur baur dengan Pemilih yang lebih dahulu bermukim disitu. Mereka terancam tidak dapat menggunakan hak suaranya.

Perlindungan Hak Konstitusional Pemilih

Warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dan tercatat sebagai Pemilih, memiliki hak konstitusional untuk menyalurkan hak suaranya dalam Pemilu 2019. Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu harus memberikan dukungan dan perlindungan agar hak konstitusional Pemilih tadi dapat tersalurkan dengan baik dan dilaksanakan tanpa diskriminatif. Termasuk Pemilih yang menjadi korban bencana alam, yang mereka saat ini di relokasi dan menempati hunian-hunian sementara bantuan para pihak.

Bencana adalah ketetapan sang Pencipta, tidak ada kekuatan yang dapat mencegah dan mengetahui kapan kedatangannya. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah prediksi dan berdoa agar terhindar dari mala-petaka bencana yang selalu mengintai. Dan, Pemilu sebagai kontestasi dalam kehidupan bernegara juga harus terlaksana, dan dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia termasuk di NTB, Sulteng, dan wilayah sekitar Selat Sunda yang mengalami bencana.

Secara praktis tidak mudah menghilangkan trauma masyarakat yang menjadi korban bencana. Awalnya mereka memiliki keluarga, lantas kehilangan anggota keluarga. Awalnya mereka memiliki tempat tinggal yang nyaman, lantas menempati hunian-hunian sederhana. Awalnya mereka memiliki pekerjaan, lantas habis terlibas bencana.

Tetapi dengan pendekatan dan metode yang tepat, pemulihan psikologi dan semangat untuk bangkit perlu terus digelorakan dan diupayakan oleh semua pihak. Termasuk dalam hal ini, disela-sela pemulihan sosial agar dititipkan informasi Pemilu, bahwa kita akan menyelenggarakan pesta demokrasi yang hanya dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali yakni Pemilu serentak tahun 2019. Dengan pendekatan dan metode yang tepat, disela-sela aktifitas pemulihan dan semangat untuk bangkit, akan muncul kesadaran untuk bersama-sama menyukseskan dan berpartisipasi dalam pelaksanaan pesta demokrasi ini.

Perlu kesadaran dan semangat terus-menerus, bahwa suara milik Pemilih sangat berharga dan menentukan tampuk kepemimpinan nasional dan daerah mendatang. Kita menginginkan lahir Pemimpin yang berintegritas dan berlaku adil dalam memimpin, Pemimpin yang berjuang untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dan, semua itu dapat tercapai dengan partisipasi masyarakat datang ke TPS untuk menyalurkan hak suaranya, memilih calon terbaik yang telah ditetapkan sebagai peserta Pemilu. Dengan diikuti kesadaran mendukung proses Pemilu yang jujur dan adil, mencegah segala bentuk pelanggaran, dan melaporkan kepada pihak berwenang untuk penindakan atas pelanggaran Pemilu.

Upaya ini terkait dengan perlindungan hak konstitusional Pemilih sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), yakni hak yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia semata-mata karena Ia manusia yang bermartabat, sekalipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. Hak ini tidak boleh dilanggar, dicabut, atau dikurangi. Hak ini adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak kodrati kepada setiap manusia.

Negara dalam menjalankan tugasnya harus melindungi hak asasi dari setiap warga negara. Produk hukum yang dibuat oleh negara dalam menjalankan tugasnya juga harus melindungi dan menjamin penegakannya. Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai Pemilih harus terfasilitasi dengan baik untuk menyalurkan hak pilihnya. Dan, Penyelenggara Pemilu bersama Pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan agar hak pilih warga negara itu dapat tersalurkan dengan adil tanpa diskriminasi.

Strategi Perlindungan

Esensi Pemilu di negara demokrasi adalah mendorong dan melindungi partisipasi seluruh lapisan masyarakat, dimulai dengan jaminan kebebasan dalam menggunakan hak pilih secara demokratis. Maka dari itu, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Bawaslu dituntut untuk pro-aktif dalam mengidentifikasi dan memantau hambatan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.

Dengan kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah bencana, terkhusus di lokasi hunian-hunian sementara/tetap, Penyelenggara Pemilu perlu merumuskan kebijakan untuk mengatasi masalah ini dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, khususnya memudahkan Pemilih untuk menggunakan hak politiknya dalam Pemilu tahun 2019.

Bentuk kebijakan tersebut, Pertama, sinkronisasi data kependudukan. Pasca bencana, banyak masyarakat yang tidak ingin lagi bermukim di daerah rawan bencana utamanya rawan liquifaksi berdasarkan data Pemerintah. Mereka lantas mencari tempat hunian baru yang lebih aman dari bencana, misalnya aman dari bencana tsunami dan liquifaksi tentunya. Perpindahan masyarakat ini, dapat mengubah data kependudukan, selanjutnya dapat mempengaruhi akurasi DPT yang telah ditetapkan sebelumnya.

Di samping itu, ada juga masyarakat yang ingin menjadi penduduk di wilayah bencana yang secara faktual wilayah tersebut menjadi tempat terjadinya bencana, liquifaksi. Motivasinya pragmatis, mengejar bantuan kemanusian yang diperuntukkan bagi masyarakat korban bencana liquifaksi, misalnya di Petobo (Palu), dan Jono Oge (Sigi). Ini perlu dicegah.

Sehingga, Pemerintah yang mengelola data kependudukan perlu selektif mengambil langkah dan kebijakan. Perlu dipertimbangkan, agar elemen data kependudukan masyarakat di wilayah terdampak langsung bencana agar tidak diubah data alamatnya (Misal, dari atau ke alamat Petobo). Elemen data lainnya dapat saja berubah, tetapi elemen data alamat untuk dipertimbangkan, tidak diubah sampai dengan selesai tahapan Pemilu tahun 2019. Sebab jika banyak penduduk yang elemen data kependudukan yakni alamat berubah dapat mengubah kebijakan penetapan Dapil dan penempatan TPS nantinya.

Kedua, penempatan TPS di sekitar wilayah hunian. Pemerintah Daerah telah menetapkan kebijakan untuk masyarakat terdampak langsung bencana di relokasi ke wilayah-wilayah yang relatif aman. Tujuannya, untuk memudahkan kontrol, koordinasi dan penyaluran bantuan kemanusian.

Penyelenggara Pemilu dalam penempatan TPS di wilayah bencana tentu harus memperhatikan domisili sesuai identitas kependuduk masyarakat yang bermukim di hunian-hunian sementara/tetap itu. Artinya, sangat memungkinkan kebijakan khusus berdasarkan data yang akurat untuk diambil langkah penambahan TPS-TPS di wilayah relokasi pengungsi tadi. Yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian Dapil dengan penempatan jumlah TPS yang akan dibangun.

Sekali lagi, semua berawal dari ketersediaan data akurat. Masyarakat yang menempati wilayah-wilayah pengungsi (relokasi) harus dipastikan keberadaannya, Ia sebelumnya tercatat di alamat mana atau TPS mana ?, untuk diambil langkah kebijakan penempatan TPS baru. Termasuk, antisipasi bagaimana penempatan TPS di sekitar hunian sementara/tetap pengungsi yang lokasinya berada di luar dari wilayah Dapil.

Ketiga, maksimalisasi kegiatan sosialisasi urgensi Pemilu. Secara psikologis, masyarakat di wilayah bencana tidak mudah menghilangkan trauma dan ketakutan. Tetapi penyelenggaraan Pemilu juga tidak bisa menunggu, Pemilu tetap dilaksanakan sesuai tahapan. Sehingga stekeholders Pemilu perlu mengambil peran strategis dalam sosialisasi kepada masyarakat di wilayah hunian-hunian sementara/tetap pengungsi.

Metode yang digunakan tidak serta merta radikal, langsung masuk menjelaskan urgensi Pemilu. Perlu ada pendekatan emosional-kultural, yang dapat diterima oleh masyarakat pengungsi tadi. Ketika sudah tersentuh kesadarannya, Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemerintah sudah diterima dengan baik, selanjutnya pendataan dan sosialisasi urgensi Pemilu dapat dilakukan dengan berbagai macam pola-metode. Upaya-upaya konkrit senantiasa perlu dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu, sebab tidak ada jaminan hasil Pemilu ini tidak ada yang mempersoalkan, apalagi jika selisih perolehan suara tipis, maka cenderung akan di gugat di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah perlu terus mengagendakan program dan kegiatan yang dikhususkan melindungi hak konstitusional Pemilih di wilayah bencana, yang dapat beriringan dengan upaya meningkatkan partisipasi Pemilih sebagai ukuran proses keberhasilan Pemilu.


Catatan : Opini, pernah dimuat di Harian Sulteng Raya, Edisi 3 Januari 2019

[sdm_download id=”671″ fancy=”0″] [sdm_download_counter id=”671″]

Ancaman Politik Uang

272 Views

Money politic (politik uang) adalah pemberian uang atau barang untuk memengaruhi Pemilih agar memilih atau tidak memilih peserta Pemilu. Politik uang merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana, dengan sanksi ancaman penjara dan denda. Hal tersebut disampaikan Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah, Ruslan Husen dalam FGD Pengawasan Partisipatif, yang digelar di Bungku pada Senin (17/12/2018).

“Politik uang merupakan racun dan ancaman bagi demokrasi. Dengan politik uang hilang rasionalitas Pemilih untuk memilih pemimpin yang berkualitas, berintegritas, dan memiliki tingkat spiritual yang mapan.” Urai Ruslan Husen.

Lebih lanjut, Ruslan Husen menguraikan, harga diri Pemilih tergadai dengan sejumlah uang, yang nilainya bisa Rp.50.000,- atau Rp.100.000,-. Hilang kesempatan memilih pemimpin yang berkualitas dengan berbagai keunggulannya, menjadi tergantikan dengan pilihan pragmatis, tergantung siapa yang memberi uang atau materi lainnya.

Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah dalam FGD tersebut, juga menjelaskan perbedaan antara politik uang yang merupakan tindak pidana Pemilu, dengan bantuan, sumbangan, infaq dan sadaqah yang merupakan perintah agama.

“Patut diwaspadai, pemberian  uang atau materi lainnya dengan modus bantuan atau sumbangan yang didalamnya ada unsur kampanye, yakni mengajak memilih atau menyertakan stiker, dan brosur milik peserta Pemilu sebagai praktek politik uang.” Lanjut Ruslan Husen.

Bantuan atau sumbangan sebagai anjuran dalam agama, pada prinsipnya tidak mengikut-sertakan stiker atau brosur dari peserta Pemilu, tidak juga berisi pesan-pesan ajakan kampanye untuk memilih kepada yang memberi. Dilakukan dengan ikhlas, semata-mata mengharapkan pahala dan dapat bernilai ibadah.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bawaslu Kabupaten Morowali, Mahfud Supu juga mengajak stakeholders Pemilu agar berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pemilu. Partisipasi menggunakan hak pilih dengan datang ke TPS, memilih sesuai dengan hati nurani. Serta masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengawasan Pemilu Bersama dengan Bawaslu.

“Masyarakat dapat menjadi mata dan telinga Pengawas Pemilu, yakni memberikan informasi awal atau laporan kepada Pengawas Pemilu, jika ada pelanggaran Pemilu terjadi”. Kata Mahfud Supu.

Bawaslu dalam penindakan pelanggaran, senantiasa mengutamakan pencegahan.Ketika fungsi pencegahan sudah tidak berhasil, maka yang dilakukan selanjutnyaadalah fungsi penindakan pelanggaran. Pencegahan bisa berbentuk himbauan,permintaan bahan keterangan, diskusi tatap muka, dan bentuk-bentuk pencegahanlainnya.