Peningkatan Partisipasi Pemilih di Daerah Terdampak Bencana
Peningkatan Partisipasi Pemilih di Daerah Terdampak Bencana
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.
( Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah periode tahun 2017-2022 )
Setelah gempa bumi yang terjadi di Lombok-NTB, publik kembali dikejutkan dengan kejadian gempa bumi, tsunami dan liquifaksi di Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong Provinsi Sulteng pada tanggal 28 September 2018 lalu. Lalu pada penghujung tahun 2018 kembali terjadi tsunami di wilayah Selat Sunda, disusul pada September 2019 kembali terjadi gempa bumi di Ambon-Maluku. Dampak bencana alam berupa korban jiwa terus berjatuhan, kehilangan keluarga dan harta benda. Solidaritas dan gerak cepat penanggulangan bencana para pihak terus mengalir, terutama dari Pemerintah, lembaga kemanusian, dan perusahaan dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada korban bencana alam.
Dari rentetan kejadian bencana alam tersebut, telah mendorong rasa kesetia-kawanan sosial dan empati masyarakat secara luas, untuk turut-serta membantu meringankan derita korban bencana. Sekat-sekat struktur golongan tidak nampak, menjadikan rasa persaudaraan sesama umat manusia jelas terlihat. Banyak pihak dengan keinginan sendiri, memberikan bantuan tenaga dan materi untuk meringankan derita korban, terpatri dalam hati keperihan dan duka korban, yang berusaha diringankan. Itulah sekilas catatan bencana alam yang tidak terlupakan, terkhusus mereka yang menjadi korban dan relawan di wilayah bencana.
Walaupun suatu daerah mengalami bencana alam terutama pada daerah-daerah yang telah disebutkan di atas, pelaksanaan demokratisasi untuk memilih pemimpin melalui mekanisme pemilihan umum tahun 2019 tetap dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditetapkan KPU. Kejadian bencana alam dengan dampak yang menyertainya, melahirkan kebijakan tidak mengubah tahapan penyelenggaraan pemilu, demikian pula dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah mendatang, tetap dilaksanakan sesuai tahapan yang telah ditetapkan KPU.
Sehubungan dengan demokratisasi penyelenggaraan tahapan pemilihan kepala daerah, terdapat beberapa isu aktual di wilayah terdampak bencana alam yang perlu mendapatkan perhatian stakeholders terkait. Walaupun telah ada langkah penanganan setelah pelaksanaan Pemilu tahun 2019 lalu, tetap saja perlu dipikirkan langkah strategis terutama dalam rangka peningkatan partisipasi pemilih di daerah terdampak bencana. Pertama, konsolidasi jajaran penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Kedua, perlindungan hak konstitusional pemilih. Ketiga, peningkatan partisipasi pemilih.
Konsolidasi Penyelenggara Pemilu
Pada daerah bencana alam misalnya di wilayah Palu, Sigi dan Donggala yang terdampak bencana tahun 2018 lalu, jajaran penyelenggara pemilu juga banyak yang menjadi korban, ada yang meninggal dunia atau hilang, ada yang luka berat, serta kerusakan/hilangnya sarana dan prasarana kantor. Bahwa secara langsung bencana alam juga berdampak pada kinerja penyelenggara pemilu, hingga perlu penanganan cepat dan tepat. Walaupun proses pemulihan kelembagaan akan memakan waktu guna menjalankan tugas dan kewenangan seperti sedia kala.
Atas jajaran penyelenggara pemilu yang meninggal dunia atau hilang, diatasi dengan menetapkan pengganti antar waktu (PAW) atau melakukan rekrutmen ulang jika tidak ada lagi PAW yang memenuhi syarat. Atau pelaksanaan tugas dan kewajiban dilaksanakan oleh jajaran penyelenggara pemilu di atasnya, misalnya Panwascam berhalangan tetap maka tugas dan kewajiban Panwascam dilaksanakan oleh Bawaslu Kabupaten setempat. Demikian pula dengan kesiapan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan tugas dan kewenangan penyelenggara pemilu, bencana alam telah mengakibatkan rusak dan hilangnya fasilitas kantor. Bahkan ada beberapa kantor/sekretariat penyelenggara yang rata dengan tanah (hancur) akibat bencana alam, hingga tidak bisa digunakan lagi. Dokumen hilang, peralatan kantor tidak tersisa lagi. Atas kejadian seperti ini untuk segera dilaporkan secara berjenjang ke atas untuk segera memperoleh penanganan. Misalnya, kantor Panwascam rusak berat, dilaporkan ke Bawaslu Kabupaten untuk diteruskan hingga ke Bawaslu.
Sepanjang penanganan tanggap bencana, pimpinan tertinggi organisasi termasuk lembaga penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu tentu memiliki respon penanganan krisis. Sebab bencana tidak mengubah tahapan, dan penyelenggaran pemilu tetap berjalan sesuai tahapan, hingga ada satu TPS yang terhalangi melaksanakan pemungutan suara tentu akan mempengaruhi penyelenggaraan pemilu secara nasional. Artinya hasil pemilu belum bisa ditetapkan dan diterima jika masih ada kendala pelaksanaan pemungutan suara pada TPS tertentu. Sehingga permasalahan berupa tidak berjalannya manajemen kantor di wilayah terkecil sekalipun akan segera ditangani, misalnya dengan menyiapkan sumber daya manusia, peralatan kerja pengganti, pengadaaan dokumen administrasi, dan mendirikan kantor sementara.
Perlindungan Hak Konstitusional Pemilih
Negara dalam menjalankan tugasnya harus melindungi hak asasi dari setiap warga negara. Produk hukum yang dibuat oleh negara dalam menjalankan tugasnya juga harus melindungi dan menjamin penegakannya. Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih harus terfasilitasi dengan baik untuk menyalurkan hak pilihnya. Penyelenggara pemilu bersama Pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan agar hak pilih warga negara itu dapat tersalurkan dengan adil tanpa diskriminasi.
Upaya ini terkait dengan perlindungan hak konstitusional pemilih sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), yakni hak yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia semata-mata karena manusia makhluk yang bermartabat, sekalipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. Hak ini tidak boleh dilanggar, dicabut, atau dikurangi. Hak ini adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak kodrati kepada setiap manusia.
Warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dan tercatat sebagai Pemilih, memiliki hak konstitusional menyalurkan hak suaranya. Pemerintah dan penyelenggara pemilu harus memberikan dukungan dan perlindungan agar hak konstitusional pemilih tadi dapat tersalurkan dengan baik dan dilaksanakan tanpa diskriminatif. Termasuk pemilih yang menjadi korban bencana alam, yang mereka saat ini di relokasi dan menempati hunian-hunian sementara bantuan para pihak. Secara praktis tidak mudah menghilangkan trauma masyarakat yang menjadi korban bencana. Awalnya mereka memiliki keluarga, lantas kehilangan anggota keluarga. Awalnya mereka memiliki tempat tinggal yang nyaman, lantas menempati hunian-hunian sederhana. Awalnya mereka memiliki pekerjaan, lantas rusak tidak tersisa terlibas bencana.
Tetapi dengan pendekatan dan metode yang tepat, pemulihan psikologi dan semangat untuk bangkit perlu terus digelorakan dan diupayakan oleh semua pihak. Termasuk dalam hal ini, disela-sela pemulihan sosial agar dititipkan informasi pemilihan kepala daerah, bahwa akan ada penyelenggaraan pesta demokrasi setiap 5 (lima) tahun sekali. Dengan pendekatan dan metode yang tepat, disela-sela aktifitas pemulihan dan semangat untuk bangkit, akan muncul kesadaran untuk bersama-sama menyukseskan dan berpartisipasi dalam pelaksanaan pesta demokrasi ini.
Perlu kesadaran dan semangat terus-menerus, bahwa suara pemilih sangat berharga dan menentukan tampuk kepemimpinan daerah mendatang. Tentu diharapkan lahir pemimpin berintegritas dan berlaku adil dalam memimpin, pemimpin yang berjuang untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Semua itu dapat tercapai dengan partisipasi masyarakat datang ke TPS untuk menyalurkan hak suaranya, memilih calon terbaik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilihan. Dengan diikuti kesadaran mendukung proses pemilihan yang jujur dan adil, mencegah segala bentuk pelanggaran, dan melaporkan kepada pihak berwenang untuk penindakan atas pelanggaran.
Peningkatan Partisipasi Pemilih
Esensi Pemilu di negara demokrasi adalah mendorong dan melindungi partisipasi seluruh lapisan masyarakat, dimulai dengan jaminan kebebasan dalam menggunakan hak pilih secara demokratis. Maka dari itu, Pemerintah dan penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu harus pro-aktif mengidentifikasi dan memantau hambatan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah terdampak bencana, terkhusus di lokasi hunian-hunian sementara/tetap, penyelenggara pemilu perlu merumuskan kebijakan untuk mengatasi masalah ini dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, khususnya memudahkan pemilih untuk menggunakan hak politiknya.
Bentuk kebijakan yang dapat diinisiasi untuk peningkatan partisipasi pemilih menggunakan hak memilihnya di TPS nanti dapat berupa, Pertama, Maksimalisasi pendataan guna akurasi DPT. Alur-proses penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) telah berjalan panjang. Banyak tahapan dan sumber daya telah terlibat guna akurasi jumlah DPT, baik dari jajaran KPU, Bawaslu maupun dari peserta Pemilu (Partai Politik) termasuk keterlibatan masyarakat. KPU telah menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) menjadi DPT setelah melalui proses panjang. Kembali, atas masukan Bawaslu dan peserta pemilu, KPU lalu melakukan perbaikan atas DPT dan menetapkan DPT perbaikan. Demikian gambaran singkat dalam rangka proses akurasi DPT Pemilu tahun 2019 lalu. Sekarang DPT untuk pelaksanaan Pilkada juga harus akurat, melalui kebijakan perbaikan daftar pemilih secara berkelanjutan.
Jumlah DPT harus akurat, dengan alasan jaminan hak konstitusional warga negara dan profesionalitas penyelenggara pemilu. Warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih, hendaknya terdaftar sebagai pemilih, yang merupakan jaminan pelaksanaan prinsip kesataraan dan keadilan. Demikian pula, akurasi daftar pemilih menjadi ukuran profesionalitas jajaran penyelenggara pemilu, yakni KPU memperbaiki DPT dan Bawaslu melakukan pengawasan atas akurasi dan penetapannya. Selain itu, DPT harus akurat karena berpengaruh terhadap ketersediaan logistik pemilu yang akan disiapkan KPU, seperti jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS), ketersediaan kotak dan bilik suara, hingga formulir dan surat suara yang harus dicetak. Jika jumlah DPT akurat, perencanaan kebutuhan logistik pemilu akan mencukupi dan tidak terjadi penggelembungan atau kekurangan logistik pemilu nantinya.
Dari aspek tahapan Pemilu, terutama di daerah yang mengalami bencana alam, banyak penduduk meninggal dunia-hilang, sarana dan prasarana pemerintahan rusak serta berbagai dampak bencana lainnya turut mempengaruhi pelaksanaan ivent rutinitas demokratisasi ini. Bencana alam telah menyebabkan banyak korban meninggal dunia dan mobilisasi perpindahan penduduk untuk menyelamatkan diri. Akurasi DPT yang dicitakan, sejatinya menghapus pemilih yang meninggal dunia, dan mengubah pemilih yang merupakan penduduk pindah domisili berupa menghapus di alamat awal, dan memunculkan di alamat yang baru.
Kedua, penempatan TPS di sekitar wilayah hunian. Pemerintah Daerah telah menetapkan kebijakan untuk masyarakat terdampak langsung bencana di relokasi ke wilayah-wilayah yang relatif aman. Tujuannya, untuk memudahkan kontrol, koordinasi dan penyaluran bantuan kemanusian. Penyelenggara pemilu dalam penempatan TPS di wilayah bencana tentu harus memperhatikan domisili sesuai identitas kependuduk masyarakat yang bermukim di hunian-hunian sementara/tetap itu. Artinya, sangat memungkinkan kebijakan khusus berdasarkan data yang akurat untuk diambil langkah penambahan TPS-TPS di wilayah relokasi pengungsi korban bencana, sesuai dengan daerah pemilihan. Sekali lagi, semua berawal dari ketersediaan data akurat. Masyarakat yang menempati wilayah-wilayah pengungsi (relokasi) harus dipastikan keberadaannya, terutama alamat asal dan data TPS sebelumnya.
Ketiga, maksimalisasi kegiatan sosialisasi urgensi Pilkada. Secara psikologis, masyarakat di wilayah bencana tidak mudah menghilangkan trauma dan ketakutan. Tetapi penyelenggaraan Pilkada juga tidak bisa menunggu sampai semua kembali normal, Pilkada tetap dilaksanakan sesuai tahapan. Sehingga stekeholders perlu mengambil peran strategis dalam sosialisasi kepada masyarakat di wilayah hunian-hunian sementara/tetap pengungsi.
Metode yang digunakan tidak serta merta radikal, langsung masuk menjelaskan urgensi ivent rutinitas demokratisasi ini. Perlu ada pendekatan emosional-kultural, yang dapat diterima oleh masyarakat pengungsi. Ketika sudah tersentuh kesadarannya, penyelenggara pemilu dan/atau Pemerintah sudah diterima dengan baik, selanjutnya pendataan dan sosialisasi urgensi Pilkada dapat dilakukan dengan berbagai macam pola-metode.
Upaya-upaya konkrit senantiasa perlu dilakukan oleh penyelenggara, sebab tidak ada jaminan hasil Pilkada tidak ada yang mempersoalkan, apalagi jika selisih perolehan suara tipis, maka cenderung akan di gugat di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggara dan Pemerintah perlu terus mengagendakan program dan kegiatan yang dikhususkan melindungi hak konstitusional pemilih di wilayah bencana, yang dapat beriringan dengan upaya meningkatkan partisipasi pemilih sebagai ukuran proses keberhasilan Pilkada.