Peningkatan Partisipasi Pemilih di Daerah Terdampak Bencana

294 Views

Peningkatan Partisipasi Pemilih di Daerah Terdampak Bencana
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.

( Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah periode tahun 2017-2022 )


Setelah gempa bumi yang terjadi di Lombok-NTB, publik kembali dikejutkan dengan kejadian gempa bumi, tsunami dan liquifaksi di Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong Provinsi Sulteng pada tanggal 28 September 2018 lalu. Lalu pada penghujung tahun 2018 kembali terjadi tsunami di wilayah Selat Sunda, disusul pada September 2019 kembali terjadi gempa bumi di Ambon-Maluku. Dampak bencana alam berupa korban jiwa terus berjatuhan, kehilangan keluarga dan harta benda. Solidaritas dan gerak cepat penanggulangan bencana para pihak terus mengalir, terutama dari Pemerintah, lembaga kemanusian, dan perusahaan dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada korban bencana alam.

Dari rentetan kejadian bencana alam tersebut, telah mendorong rasa kesetia-kawanan sosial dan empati masyarakat secara luas, untuk turut-serta membantu meringankan derita korban bencana. Sekat-sekat struktur golongan tidak nampak, menjadikan rasa persaudaraan sesama umat manusia jelas terlihat. Banyak pihak dengan keinginan sendiri, memberikan bantuan tenaga dan materi untuk meringankan derita korban, terpatri dalam hati keperihan dan duka korban, yang berusaha diringankan. Itulah sekilas catatan bencana alam yang tidak terlupakan, terkhusus mereka yang menjadi korban dan relawan di wilayah bencana.

Walaupun suatu daerah mengalami bencana alam terutama pada daerah-daerah yang telah disebutkan di atas, pelaksanaan demokratisasi untuk memilih pemimpin melalui mekanisme pemilihan umum tahun 2019 tetap dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditetapkan KPU. Kejadian bencana alam dengan dampak yang menyertainya, melahirkan kebijakan tidak mengubah tahapan penyelenggaraan pemilu, demikian pula dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah mendatang, tetap dilaksanakan sesuai tahapan yang telah ditetapkan KPU.

Sehubungan dengan demokratisasi penyelenggaraan tahapan pemilihan kepala daerah, terdapat beberapa isu aktual di wilayah terdampak bencana alam yang perlu mendapatkan perhatian stakeholders terkait. Walaupun telah ada langkah penanganan setelah pelaksanaan Pemilu tahun 2019 lalu, tetap saja perlu dipikirkan langkah strategis terutama dalam rangka peningkatan partisipasi pemilih di daerah terdampak bencana. Pertama, konsolidasi jajaran penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Kedua, perlindungan hak konstitusional pemilih. Ketiga, peningkatan partisipasi pemilih.

Konsolidasi Penyelenggara Pemilu

Pada daerah bencana alam misalnya di wilayah Palu, Sigi dan Donggala yang terdampak bencana tahun 2018 lalu, jajaran penyelenggara pemilu juga banyak yang menjadi korban, ada yang meninggal dunia atau hilang, ada yang luka berat, serta kerusakan/hilangnya sarana dan prasarana kantor. Bahwa secara langsung bencana alam juga berdampak pada kinerja penyelenggara pemilu, hingga perlu penanganan cepat dan tepat. Walaupun proses pemulihan kelembagaan akan memakan waktu guna menjalankan tugas dan kewenangan seperti sedia kala.

Atas jajaran penyelenggara pemilu yang meninggal dunia atau hilang, diatasi dengan menetapkan pengganti antar waktu (PAW) atau melakukan rekrutmen ulang jika tidak ada lagi PAW yang memenuhi syarat. Atau pelaksanaan tugas dan kewajiban dilaksanakan oleh jajaran penyelenggara pemilu di atasnya, misalnya Panwascam berhalangan tetap maka tugas dan kewajiban Panwascam dilaksanakan oleh Bawaslu Kabupaten setempat. Demikian pula dengan kesiapan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan tugas dan kewenangan penyelenggara pemilu, bencana alam telah mengakibatkan rusak dan hilangnya fasilitas kantor. Bahkan ada beberapa kantor/sekretariat penyelenggara yang rata dengan tanah (hancur) akibat bencana alam, hingga tidak bisa digunakan lagi. Dokumen hilang, peralatan kantor tidak tersisa lagi. Atas kejadian seperti ini untuk segera dilaporkan secara berjenjang ke atas untuk segera memperoleh penanganan. Misalnya, kantor Panwascam rusak berat, dilaporkan ke Bawaslu Kabupaten untuk diteruskan hingga ke Bawaslu.

Sepanjang penanganan tanggap bencana, pimpinan tertinggi organisasi termasuk lembaga penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu tentu memiliki respon penanganan krisis. Sebab bencana tidak mengubah tahapan, dan penyelenggaran pemilu tetap berjalan sesuai tahapan, hingga ada satu TPS yang terhalangi melaksanakan pemungutan suara tentu akan mempengaruhi penyelenggaraan pemilu secara nasional. Artinya hasil pemilu belum bisa ditetapkan dan diterima jika masih ada kendala pelaksanaan pemungutan suara pada TPS tertentu. Sehingga permasalahan berupa tidak berjalannya manajemen kantor di wilayah terkecil sekalipun akan segera ditangani, misalnya dengan menyiapkan sumber daya manusia, peralatan kerja pengganti, pengadaaan dokumen administrasi, dan mendirikan kantor sementara.

Perlindungan Hak Konstitusional Pemilih

Negara dalam menjalankan tugasnya harus melindungi hak asasi dari setiap warga negara. Produk hukum yang dibuat oleh negara dalam menjalankan tugasnya juga harus melindungi dan menjamin penegakannya. Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih harus terfasilitasi dengan baik untuk menyalurkan hak pilihnya. Penyelenggara pemilu bersama Pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan agar hak pilih warga negara itu dapat tersalurkan dengan adil tanpa diskriminasi.

Upaya ini terkait dengan perlindungan hak konstitusional pemilih sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), yakni hak yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia semata-mata karena manusia makhluk yang bermartabat, sekalipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. Hak ini tidak boleh dilanggar, dicabut, atau dikurangi. Hak ini adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak kodrati kepada setiap manusia.

Warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dan tercatat sebagai Pemilih, memiliki hak konstitusional menyalurkan hak suaranya. Pemerintah dan penyelenggara pemilu harus memberikan dukungan dan perlindungan agar hak konstitusional pemilih tadi dapat tersalurkan dengan baik dan dilaksanakan tanpa diskriminatif. Termasuk pemilih yang menjadi korban bencana alam, yang mereka saat ini di relokasi dan menempati hunian-hunian sementara bantuan para pihak. Secara praktis tidak mudah menghilangkan trauma masyarakat yang menjadi korban bencana. Awalnya mereka memiliki keluarga, lantas kehilangan anggota keluarga. Awalnya mereka memiliki tempat tinggal yang nyaman, lantas menempati hunian-hunian sederhana. Awalnya mereka memiliki pekerjaan, lantas rusak tidak tersisa terlibas bencana.

Tetapi dengan pendekatan dan metode yang tepat, pemulihan psikologi dan semangat untuk bangkit perlu terus digelorakan dan diupayakan oleh semua pihak. Termasuk dalam hal ini, disela-sela pemulihan sosial agar dititipkan informasi pemilihan kepala daerah, bahwa akan ada penyelenggaraan pesta demokrasi setiap 5 (lima) tahun sekali. Dengan pendekatan dan metode yang tepat, disela-sela aktifitas pemulihan dan semangat untuk bangkit, akan muncul kesadaran untuk bersama-sama menyukseskan dan berpartisipasi dalam pelaksanaan pesta demokrasi ini.

Perlu kesadaran dan semangat terus-menerus, bahwa suara pemilih sangat berharga dan menentukan tampuk kepemimpinan daerah mendatang. Tentu diharapkan lahir pemimpin berintegritas dan berlaku adil dalam memimpin, pemimpin yang berjuang untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Semua itu dapat tercapai dengan partisipasi masyarakat datang ke TPS untuk menyalurkan hak suaranya, memilih calon terbaik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilihan. Dengan diikuti kesadaran mendukung proses pemilihan yang jujur dan adil, mencegah segala bentuk pelanggaran, dan melaporkan kepada pihak berwenang untuk penindakan atas pelanggaran.

Peningkatan Partisipasi Pemilih

Esensi Pemilu di negara demokrasi adalah mendorong dan melindungi partisipasi seluruh lapisan masyarakat, dimulai dengan jaminan kebebasan dalam menggunakan hak pilih secara demokratis. Maka dari itu, Pemerintah dan penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu harus pro-aktif mengidentifikasi dan memantau hambatan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah terdampak bencana, terkhusus di lokasi hunian-hunian sementara/tetap, penyelenggara pemilu perlu merumuskan kebijakan untuk mengatasi masalah ini dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, khususnya memudahkan pemilih untuk menggunakan hak politiknya.

Bentuk kebijakan yang dapat diinisiasi untuk peningkatan partisipasi pemilih menggunakan hak memilihnya di TPS nanti dapat berupa, Pertama, Maksimalisasi pendataan guna akurasi DPT. Alur-proses penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) telah berjalan panjang. Banyak tahapan dan sumber daya telah terlibat guna akurasi jumlah DPT, baik dari jajaran KPU, Bawaslu maupun dari peserta Pemilu (Partai Politik) termasuk keterlibatan masyarakat. KPU telah menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) menjadi DPT setelah melalui proses panjang. Kembali, atas masukan Bawaslu dan peserta pemilu, KPU lalu melakukan perbaikan atas DPT dan menetapkan DPT perbaikan. Demikian gambaran singkat dalam rangka proses akurasi DPT Pemilu tahun 2019 lalu. Sekarang DPT untuk pelaksanaan Pilkada juga harus akurat, melalui kebijakan perbaikan daftar pemilih secara berkelanjutan.

Jumlah DPT harus akurat, dengan alasan jaminan hak konstitusional warga negara dan profesionalitas penyelenggara pemilu. Warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih, hendaknya terdaftar sebagai pemilih, yang merupakan jaminan pelaksanaan prinsip kesataraan dan keadilan. Demikian pula, akurasi daftar pemilih menjadi ukuran profesionalitas jajaran penyelenggara pemilu, yakni KPU memperbaiki DPT dan Bawaslu melakukan pengawasan atas akurasi dan penetapannya. Selain itu, DPT harus akurat karena berpengaruh terhadap ketersediaan logistik pemilu yang akan disiapkan KPU, seperti jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS), ketersediaan kotak dan bilik suara, hingga formulir dan surat suara yang harus dicetak. Jika jumlah DPT akurat, perencanaan kebutuhan logistik pemilu akan mencukupi dan tidak terjadi penggelembungan atau kekurangan logistik pemilu nantinya.

Dari aspek tahapan Pemilu, terutama di daerah yang mengalami bencana alam, banyak penduduk meninggal dunia-hilang, sarana dan prasarana pemerintahan rusak serta berbagai dampak bencana lainnya turut mempengaruhi pelaksanaan ivent rutinitas demokratisasi ini. Bencana alam telah menyebabkan banyak korban meninggal dunia dan mobilisasi perpindahan penduduk untuk menyelamatkan diri. Akurasi DPT yang dicitakan, sejatinya menghapus pemilih yang meninggal dunia, dan mengubah pemilih yang merupakan penduduk pindah domisili berupa menghapus di alamat awal, dan memunculkan di alamat yang baru.

Kedua, penempatan TPS di sekitar wilayah hunian. Pemerintah Daerah telah menetapkan kebijakan untuk masyarakat terdampak langsung bencana di relokasi ke wilayah-wilayah yang relatif aman. Tujuannya, untuk memudahkan kontrol, koordinasi dan penyaluran bantuan kemanusian. Penyelenggara pemilu dalam penempatan TPS di wilayah bencana tentu harus memperhatikan domisili sesuai identitas kependuduk masyarakat yang bermukim di hunian-hunian sementara/tetap itu. Artinya, sangat memungkinkan kebijakan khusus berdasarkan data yang akurat untuk diambil langkah penambahan TPS-TPS di wilayah relokasi pengungsi korban bencana, sesuai dengan daerah pemilihan. Sekali lagi, semua berawal dari ketersediaan data akurat. Masyarakat yang menempati wilayah-wilayah pengungsi (relokasi) harus dipastikan keberadaannya, terutama alamat asal dan data TPS sebelumnya.

Ketiga, maksimalisasi kegiatan sosialisasi urgensi Pilkada. Secara psikologis, masyarakat di wilayah bencana tidak mudah menghilangkan trauma dan ketakutan. Tetapi penyelenggaraan Pilkada juga tidak bisa menunggu sampai semua kembali normal, Pilkada tetap dilaksanakan sesuai tahapan. Sehingga stekeholders perlu mengambil peran strategis dalam sosialisasi kepada masyarakat di wilayah hunian-hunian sementara/tetap pengungsi.

Metode yang digunakan tidak serta merta radikal, langsung masuk menjelaskan urgensi ivent rutinitas demokratisasi ini. Perlu ada pendekatan emosional-kultural, yang dapat diterima oleh masyarakat pengungsi. Ketika sudah tersentuh kesadarannya, penyelenggara pemilu dan/atau Pemerintah sudah diterima dengan baik, selanjutnya pendataan dan sosialisasi urgensi Pilkada dapat dilakukan dengan berbagai macam pola-metode.

Upaya-upaya konkrit senantiasa perlu dilakukan oleh penyelenggara, sebab tidak ada jaminan hasil Pilkada tidak ada yang mempersoalkan, apalagi jika selisih perolehan suara tipis, maka cenderung akan di gugat di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggara dan Pemerintah perlu terus mengagendakan program dan kegiatan yang dikhususkan melindungi hak konstitusional pemilih di wilayah bencana, yang dapat beriringan dengan upaya meningkatkan partisipasi pemilih sebagai ukuran proses keberhasilan Pilkada.

Global State Of Democracy

357 Views

GLOBAL STATE OF DEMOCRACY


Lanskap dipengaruhi oleh globalisasi, perubahan kekuatan geopolitik, perubahan peran dan struktur organisasi dan lembaga (supra) nasional serta perkembangan teknologi komunikasi modern.

Fenomena transnasional seperti migrasi dan perubahan iklim mempengaruhi dinamika konflik dan pembangunan, warganegara dan kedaulatan negara. Meningkatnya kesenjangan, dan polarisasi sosial serta eksklusi yang dihasilkannya, mendistorsi representasi dan suara politik, mengurangi pemilih moderat yang vital.

Dinamika-dinamika tersebut berkontribusi pada munculnya pandangan yang diperdebatkan secara luas bahwa demokrasi sedang menurun. Sejumlah peristiwa yang terjadi di berbagai penjuru dunia menantang gagasan ketahanan demokrasi dan membuat sistem demokrasi tampak rapuh dan terancam. Namun, nilai-nilai demokrasi di antara warga negara, dan di dalam lembaga-lembaga, baik di tingkat nasional maupun internasional, terus diekspresikan dan dipertahankan.

Ikhtisar Global State of Democracy 2017: Mengkaji Ketahanan Demokrasi International IDEA menguraikan tantangan-tantangan utama terkini yang dihadapi demokrasi dan kondisi-kondisi yang memungkinkan bagi terciptanya ketahanan demokrasi. Berdasarkan indeks Global State of Democracy yang baru dikembangkan sebagai sebuah basis bukti kunci untuk menginformasikan intervensi kebijakan dan mengidentifikasi pendekatan-pendekatan solutif, publikasi ini menyajikan penilaian global dan regional atas status demokrasi dari tahun 1975—pada awal gelombang ketiga demokratisasi—hingga tahun 2015, dilengkapi dengan analisis kualitatif mengenai tantangantantangan demokrasi hingga tahun 2017.

Sumber: https://www.idea.int/publications/catalogue/global-state-democracy-exploring-democracys-resilience-overview?lang=id

Kader Pengawasan Partisipatif

286 Views

Kader Pengawasan Partisipatif

Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.[1]


Proses dan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) berintegritas dan bermartabat merupakan tujuan ideal dari pembentukan UU No10/2016 (UU Pemilihan), berupa adanya proses yang melibatkan stakeholders pemilihan dalam mencegah dan menindaklanjuti setiap pelanggaran secara jujur dan adil. Hingga lahir pemimpin pilihan rakyat (pemilih) untuk merealisasikan janji-janji politik yang disampaikan saat kampanye lalu. Dikatakan sebagai Pilkada berintegritas dan bermartabat jika pelaksanaan pemilihan memenuhi standar prinsip transparansi proses, prinsip akuntabilitas, dan akses publik menguji kebenaran proses dan hasil, serta prinsip partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip ini menjadi satu-kesatuan sistem yang berkolaborasi dalam pencapaian tujuan dari pelaksanaan Pilkada.

Kedudukan dari prinsip partisipasi masyarakat dalam negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem politiknya, adalah mutlak. Dikatakan demokratis jika secara langsung maupun tidak langsung masyarakat terlibat dalam pengambilan kebijakan politik termasuk mengawal pelaksanaan kebijakan tersebut. Dalam penyelenggaran Pilkada, bentuk partisipasi masyarakat dapat diidentifikasi lewat giat sebagai pemilih menggunakan hak memilihnya di tempat pemungutan suara, menyatakan sikap atau dukungan, mencegah terjadinya kecurangan, dan melaporkan kepada instansi berwenang saat mengetahui atau menemukan terjadinya kecurangan.

Partisipasi Masyarakat

Proses Pilkada berintegritas dan bermartabat telah menggiring pandangan akan adanya keterlibatan masyarakat secara partisipatif. Sehingga penyelenggaraan Pilkada dimaknai sebagai rutinitas politik yang bukan hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara pemilu saja, tetapi juga menegaskan partisipasi masyarakat agar ambil bagian mewujudkan tujuan dan keadilan pemilihan. Pada posisi ini, masyarakat sebagai pemilih, bukan hanya sebagai pihak yang selalu diperebutkan suaranya menjelang hari pemungutan suara, tetapi masyarakat juga berperan dalam pelaksanaan penyelenggaraan sesuai porsi kedudukannya masing-masing. Misalnya melakukan pengawasan pemilihan, menyatakan sikap, menyampaikan himbauan, mencegah terjadinya pelanggaran, dan melaporkan jika terjadi pelanggaran kepada pihak berwenang.

Partisipasi masyarakat ini akan melintasi batas-batas struktur stakeholders Pilkada, artinya masyarakat mengawasi tahapan penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu, mengawasi sepak-terjang kontestasi peserta pemilihan, mengawasi netralitas ASN dan aparat birokrasi, bahkan melakukan langkah pencegahan di dalam kehidupan masyarakat untuk senantiasa taat pada koridor ketentuan hukum. Partisipasi seperti ini lahir atas rasionalitas-kolektif bermasyarakat dan bernegara yang dijamin pelaksanaannya dalam sistem negara.

Pembangunan partisipasi masyarakat dalam Pilkada, dapat berupa kolaborasi dalam kegiatan penyelenggaraan yakni sosialisasi, diskusi, pernyataan dukungan, dan himbauan. Kegiatan semacam ini, cepat atau lambat akan disambut, yang pada giliran akan melahirkan individu dan komunitas yang memiliki visi searah dengan kerja-kerja penyelenggara pemilu. Dengan kesadaran kolektif mereka ikut berkontribusi menyukseskan tahapan pemilihan, mendorong lahirnya pemimpin berintegritas dan memiliki kapasitas handal lewat proses penyelenggaraan pemilihan yang jujur dan adil.

Individu dan komunitas seperti ini, jika dikonsolidasikan secara tepat akan menjadi kekuatan besar. Membantu kerja-kerja penyelenggaraan Pilkada, khususnya Bawaslu sebagai bagian dari penyelenggara pemilu. Sebab, pengawas pemilihan yakni Bawaslu dengan sumber daya terbatas, ditambah waktu penanganan pelanggaran yang singkat, serta wilayah pengawasan yang luas, tentu akan menyulitkan kegiatan pengawasan langsung dan melekat. Tetapi ketika ada kehadiran stakeholders yang terdiri dari individu dan komunitas potensial tadi, menjadi potensi kekuatan besar yang sinergi dengan kerja-kerja pengawasan pemilihan.

Partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilihan menurut Gunawan Suswantoro bertujuan agar masyarakat tidak hanya menjadi objek pemilihan yang suaranya diperebutkan oleh kontestan peserta Pilkada, tetapi masyarakat juga berperan aktif sebagai subjek dengan terlibat dalam menjaga integritas penyelenggaraan pemilihan.[2] Dalam posisi ini, masyarakat memahami arti hak pilih yang disalurkan secara rasional, termasuk menjaga kontestasi pemilihan agar tidak ternodai-terciderai dengan kecurangan. Mereka memiliki sikap dan tindakan menolak kecurangan dan siap menjadi pihak yang aktif memberikan laporan atau informasi awal terjadinya pelanggaran pemilihan kepada pihak berwenang, misalnya kepada pengawas pemilu (Bawaslu atau jajarannya).

Kader Pengawasan Partisipatif

Potensi kecurangan dalam proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) bisa saja terjadi di segala titik wilayah yang demikian luas, sementara jumlah sumber daya manusia pengawas pemilihan masih sangat terbatas. Pada posisi inilah, peran strategis dari individu dan komunitas yang lahir dari kaderisasi sekolah kader pengawasan partisipatif, untuk berkolaborasi dengan kerja-kerja pengawas pemilu dalam melakukan pencegahan pelanggaran, dan melaporkan jika ditemukan pelanggaran pemilihan kepada Bawaslu atau jajarannya di daerah.

Sekolah kader pengawasan partisipatif diinisiasi untuk mendekatkan pengawasan Pilkada ke dalam kehidupan sosial masyarakat. Berupa menciptakan kantong-kantong atau simpul-simpul pengawasan potensial di semua lapisan masyarakat, yakni menjadi mata dan telinga pengawas pemilihan. Pasalnya pengawas pemilu merupakan potensi kekuatan masyarakat yang dilembagakan dan dibiayai oleh negara, sehingga pengawas pemilu tidak boleh lupa dari mana ia berasal dan bekerja untuk apa. Hingga pengawas pemilu merupakan satu kesatuan entitas yang menyatu dengan kekuatan masyarakat, yang menjamin proses pergantian pemimpin dapat berlangsung secara jujur dan adil.

Melalui pola materi pendidikan yang diberikan kepada peserta sekolah kader, sekolah kader pengawasan partisipatif diharapkan akan menghasilkan lulusan yang memiliki potensi untuk menjadi kader pengawas pemilihan di daerah masing-masing. Dengan spesifik, memiliki integritas dan kapasitas dalam pelaksanaan kerja-kerja penyelenggaraan pemilihan, khususnya dalam berkolaborasi dengan pengawasan pemilu mewujudkan keadilan pemilu. Bukan hanya itu peserta juga dilatih untuk menjadi pemimpin di masa yang akan datang, baik di jajaran Bawaslu sendiri maupun di dalam komunitasnya di dalam struktur sosial masyarakat.

Secara teknis kerja-kerja kader pengawasan partisipatif ini bisa dilakukan melalui media-media yang akrab dan digemari khalayak ramai. Bentuknya bisa di media elektronik maupun media cetak termasuk media sosial. Pesan juga dapat disampaikan secara langsung, misalnya lewat selebaran, stiker dan lainnya pada momen kegiatan. Jaringan (networking) personal dan kelembagaan yang selama ini sudah terbangun, juga sangat potensial digunakan. Kerjasama saling menguntungkan titik temunya. Pesan pengawasan pemilihan ini perlu akomodatif sesuai dengan segmen sasaran. Kreatifitas guna merangkai materi dan substansi pesan sangat menentukan keberhasilan, agar pesan diterima secara baik. Selain itu, pesan juga perlu memperhatikan kultur masyarakat setempat, agar pesan diterima dan tidak malah menimbulkan bumerang yang kontra produktif dengan kerja-kerja pengawasan.

Dimensi Manfaat

Pengawasan partisipatif pemilihan digerakkan oleh Bawaslu dan jajaran pengawas pemilu yang berkolaborasi dengan potensi masyarakat, yakni individu dan komunitas yang ambil bagian dalam pencegahan pelanggaran dan melaporkan jika ada pelanggaran pemilihan kepada instansi berwenang. Individu dan komunitas ini bekerja dengan semangat kerelawanan, sehingga disebut dengan “relawan”. Menjadi relawan bisa lahir dari kesadaran internal maupun campur tangan pihak tertentu pembentuk jiwa kerelawanan.

Bawaslu lewat kegiatan sekolah kader pengawasan, berobsesi melahirkan relawan yang merupakan kader–kader potensial pengawasan partisipatif. Relawan atau kader ini memiliki pengetahuan memadai menyangkut urgensi dan tujuan pengawasan guna suksesi penyelenggaraan pemilihan, secara teknis mampu mengisi alat kerja pengawasan. Relawan ini bergerak dengan rasionalitas untuk mencegah potensi pelanggaran, memberikan informasi awal dan melaporkan jika ada pelanggaran pemilihan kepada Bawaslu/Panwaslu. Pada intinya relawan ingin memberikan bukti nyata melalui sikap dan tindakan produktif berupa ambil bagian dalam penyelenggaran rutinitas kontestasi pemilihan.

Gerakan pengawasan partisipatif melalui kegiatan sekolah kader yang digagas Bawaslu sesuai arahan Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) akan berdimensi ganda manfaat. Pertama, mendorong gerak masyarakat terlibat dalam mengawal proses penyelenggaraan dan hasi pemilihan. Peran masyarakat ini tidak lagi sebatas memberikan hak pilih di TPS saja, tetapi cakupan lebih luas yakni ingin menjamin pelaksanaan Pilkada taat asas dan hasilnya berupa lahirnya pemimpin yang memperoleh legitimasi rakyat daerah.

Kedua, peningkatan kapasitas sumber daya masyarakat. Ketika pengawasan partisipatif di kampanyekan, tentu relawan terlebih dahulu belajar, menguasai materi muatan lalu menyampaikan ke sesama masyarakat. Dalam konteks ini, pengetahuan seputar Pilkada bukan hanya menjadi konsumsi penyelenggara pemilu saja, tetapi telah menjadi pengetahuan para pihak (masyarakat) yang pada akhirnya ikut membantu pembangunan demokrasi.

Akhirnya, peran masyarakat secara partisipatif melalui gerak relawan bersama pengawas pemilu untuk memerangi praktik politik pragmatis-transaksional dapat dilakukan. Melalui kekuatan dan potensi tersebut, diharapkan perilaku pelanggaran seperti politik uang, manipulasi, pencurian suara, ujaran kebencian dan pelanggaran pemilihan lainnya dapat dicegah. Termasuk  ditindak agar memiliki efek jera pada pelaku dan sekaligus sebagai peringatan bagi yang ingin coba melanggar.


[1] Penulis adalah Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah Periode 2017-2022.
[2] Gunawan Suswantoro, 2016, Mengawal Penegak Demokrasi di Balik Tata Kelola Bawaslu & DKPP, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 115.

Diskusi; Matinya Demokrasi

290 Views

Seri Diskusi HMI. Berbagi pikiran, ide dan gagasan soal isu aktual yang melingkupi kehidupan sosial politik terkini. Terkadang menimbulkan empati pada satu sisi, dan pada sisi lain menyibak emosi dan amarah.


Ada kalanya aktor pemimpin pilihan rakyat berbalik menjadi masalah bagi rakyat banyak, miris saat aspirasi tidak lagi didengar dan diperjuangkan. Tindakan citra diri bisa saja atas nama rakyat tapi hakikatnya mempertahankan kekuasaan dengan segala cara dan bertindak semata-mata mencapai keuntungan golongan dan pribadi semata. Pada posisi inilah titik krusial demokrasi yang melahirkan aktor pemimpin hasil pemilu, yang malah berbalik mempreteli prinsip-prinsip demokrasi, menjadi pemimpin diktator-otoriter. Demokrasi sejatinya menjadi solusi keterpurukan masalah sosial, malah melahirkan pemimpin anti kritik, mengkriminalisasi lawan politik, membatasi gerak kebebasan berpendapat, dan memperalat aparat penegak hukum untuk kelanggengan kekuasaan dengan kriminalisasi lawan-lawan politik.

Pada keadaan ini, demokrasi yang diagungkan dibajak beberapa kalangan elit politik, tentunya untuk kepentingan pribadi. Hakikat suara rakyat hasil pemilu berkembang untuk melindungi dan mencapai tujuan elit politik. Inilah yang dikhawatirkan dari pemimpin hasil pemilu bertransformasi menjadi pemimpin otoriter. Demokrasi perlahan-lahan mati dan dikalahkan oleh sistem pemerintahan yang dibangun dengan mengarah ke ciri diktator. Padahal pemimpin tersebut lahir dari proses demokratisasi.

Materi pdf : Matinya Demokrasi

RESTATEMENT; Kumpulan Kajian Hukum Pemilu

373 Views

Menghadapi kompleksitas penyelenggaraan tahapan Pemilu dan modus pelanggaran yang terus mengalami perkembangan dan dinamika yang cukup signifikan, Bawaslu perlu memiliki konsep yang komprehensif dan mendalam supaya dapat menyeragamkan pemahaman bagi jajarannya sampai dengan Pengawas TPS terhadap pelaksanaan serta penerapan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 masing-masing sesuai dengan tingkatannya. Penyeragaman konsep ini diharapkan mampu meminimalisasi perbedaan penafsiran terhadap penerapan hukum dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan jajaran pengawas Pemilu di masing-masing tingkatan.

Dalam rangka membangun konsep sebagaimana tersebut di atas, Bawaslu sebagai induk dari lembaga pengawas Pemilu mencoba melakukan analisis dan kajian hukum terhadap isu krusial yang terdapat dalam tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang atau akan berjalan. Kajian dan analisis hukum yang dilakukan oleh Bawaslu dalam buku ini adalah kajian dan analisis hukum terhadap isu krusial.

Selengkapnya download di sini: Restatement, Kumpulan Kajian Hukum Pemilu

 

Kuliah Umum; Penegakan Hukum Pemilu

299 Views

Kuliah Umum dengan tema “Penegakan Hukum Pemilu; Sudah Adilkah? (Catatan Pemilu Serentak 2019 Untuk Menuju Pilkada Serentak 2020), Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu kerja sama dengan Bawaslu menghadirkan Narasumber, Dr Ratna Dewi Pettalolo, SH, MH (Anggota Bawaslu RI) dan Prof. Topo Santoso, SH, MH, PhD yang dilaksanakan di Gedung IT Center Untad, Senin (16/9/2019) menghadirkan peserta Mahasiswa, Dosen, Pegiat Pemilu, dan Penyelenggara Pemilu.

Matinya Demokrasi

300 Views

MATINYA DEMOKRASI
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.[1]

 

Demokrasi, kata yang sering disebut dan didengar, terutama dari kalangan birokrat pemerintahan, pegiat pemilu dan penyelenggara pemilu. Demokrasi sebagaimana dicetuskan Abraham Lincoln, Presiden Amerika yang ke-16, mencitakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi saat ini menjadi sistem politik yang paling baik di dunia, walaupun sistem ini tidak menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat. Sebab banyak juga negara otoriter yang tidak menerapkan demokrasi dalam sistem pemerintahannya, malah lebih sejahtera. Tetapi, demokrasi dapat mengarahkan negara mencapai kesejehteraan dengan peran serta rakyat di dalamnya. Demokrasi menurut Syamsuddin Haris, sebagai sistem politik dan cara pengaturan kehidupan terbaik setiap masyarakat yang menyebut diri modern, sehingga pemerintah di manapun termasuk rezim-rezim totaliter, berusaha menyakinkan masyarakat dunia bahwa mereka menganut sistem politik demokratis, atau sekurang-kurangnya tengah berproses ke arah sistem politik demokratis itu.[2]

Demokrasi dikenali lewat wujud konstitusional penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih pemimpin terbaik dari semua calon pemimpin yang berkompetisi pada periode tertentu. Selanjutnya pemilu dilaksanakan menurut aturan hukum dan aturan proses yang berpijak pada prinsip rechstaat atau rule of law. Aturan dimaksud sejatinya ditaati dan dilaksanakan semua stakeholders pemilu. Saat ketentuan pemilu ditaati dan dilaksanakan secara jujur dan adil, dikatakanlah pemilu-demokratis. Namun pemilu yang terlaksana minim integritas dan profesionalitas, banyak pelanggaran pemilu terjadi tanpa penyelesaian memadai maka pemilu akan kehilangan legitimasi publik yang pada akhirnya menggerus legalitas hasil pemilu.

Fenomena lain dari demokrasi yang hampir terjadi di semua negara dunia, yakni berubahnya wajah demokrasi dari demokrasi nyata menjadi “demokrasi selebritis”. Demokrasi selebritis berwujud bentuk “pencitraan diri”, yang mengandalkan polesan media massa dan penggunaan uang yang banyak untuk mencapai tujuan-tujuan politik tanpa perlu menekankan kepada substansi demokrasi. Menurut Munir Fuady dengan sistem politik selebritis atau pencitraan diri ini, akan tercipta sistem pemilu yang tidak berbasis pada kompetensi, melainkan pemilihan yang berbasis pada tingkat popularitas dan penggunaan uang melimpah guna membangun citra positif di tengah masyarakat. Mereka yang tampan, cantik, terkenal dan/atau banyak uang yang akhirnya akan dipercaya untuk menjadi pemimpin meskipun secara kualitas mereka diragukan.[3]

Sejatinya demokrasi hanya dapat dijalankan oleh para pemimpin negara yang amanah. Label amanah terlihat dan dirasakan oleh rakyat dari sikap, tindakan dan kebijakan pengelolaan negara. Sebab seorang pemimpin politik yang picik, akan menganggap musuh orang-orang yang kritis yang kebetulan berseberangan pendapat dengannya. Lebih fatal lagi, musuh tadi harus dikuasai kalau perlu dimusnahkan dengan berbahai cara, kendati dengan cara membunuh (menghilangkan nyawa), menculik atau membunuh karakter musuh. Tindakan irrasional dalam sudut demokrasi, seperti itu bisa saja terjadi, apalagi dikuasainya mayoritas struktur lembaga-lembaga negara dan kekuatan civil society potensial.

Ancaman Matinya Demokrasi

Demokrasi terlaksana melalui medium pemilu untuk periode masa jabatan tertentu, dengan melahirkan aktor pemimpin terpilih, baik dari kamar kekuasaan eksekutif (presiden dan kepala daerah) maupun dari kamar kekuasaan legislatif (DPR, DPD dan DPRD). Pelaksana kekuasaan eksekutif dan legislatif menjadi satu kesatuan unsur pemerintahan hasil pilihan rakyat pemilik kedaulatan dalam suatu kontestasi pemilu. Terpatri asa, cita dan harapan kepada aktor pemimpin yang baru saja terpilih, agar mereka berani tampil dan berjuang memperbaiki tatanan sosial dan mengatasi keterpurukan sosial. Minimal realisasi janji-janji politik yang sering disampaikan kepada pemilih saat tahapan kampanye pemilu.

Namun ada kalanya aktor pemimpin pilihan rakyat berbalik menjadi masalah bagi rakyat banyak, miris saat aspirasi tidak lagi didengar dan diperjuangkan. Tindakan citra diri bisa saja atas nama rakyat tapi hakikatnya mempertahankan kekuasaan dengan segala cara dan bertindak semata-mata mencapai keuntungan golongan dan pribadi semata. Pada posisi inilah titik krusial demokrasi yang melahirkan aktor pemimpin hasil pemilu, yang malah berbalik mempreteli prinsip-prinsip demokrasi, menjadi pemimpin diktator-otoriter. Demokrasi sejatinya menjadi solusi keterpurukan masalah sosial, malah melahirkan pemimpin anti kritik, mengkriminalisasi lawan politik, membatasi gerak kebebasan berpendapat, dan memperalat aparat penegak hukum untuk kelanggengan kekuasaan dengan kriminalisasi lawan-lawan politik.

Pada keadaan ini, demokrasi yang diagungkan dibajak beberapa kalangan elit politik, tentunya untuk kepentingan pribadi. Hakikat suara rakyat hasil pemilu berkembang untuk melindungi dan mencapai tujuan elit politik. Inilah yang dikhawatirkan dari pemimpin hasil pemilu bertransformasi menjadi pemimpin otoriter. Demokrasi perlahan-lahan mati dan dikalahkan oleh sistem pemerintahan yang dibangun dengan mengarah ke ciri diktator. Padahal pemimpin tersebut lahir dari proses demokratisasi. Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt profesor Universitas Harvard Amerika, dalam bukunya “Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die), menyebut empat ciri-ciri kunci yang menunjukkan bahwa demokrasi telah berubah menjadi sistem pemerintahan berprilaku otoriter.  Pertama, komitemen lemah atas aturan hukum. Kedua, menyangkal legitimasi lawan politik. Ketiga, intoleransi atau anjuran kekerasan. Keempat, membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.[4] Matinya demokrasi ditandai dari keadaan-peristiwa kehidupan bernegara, yang erat kaitan dengan tindakan pemilik kekuasaan (pemerintah) mencerabut nilai dan prinsip demokrasi.

Pemerintah ciri diktator ini bisa saja lahir lewat proses pemilu, di mana tokoh politik menghimpun dukungan dengan menggunakan isu-isu populer dan argumen yang penuh prasangka terhadap lawan-lawan politik. Lalu terpilih dan naik ke puncak kekuasaan lewat proses pemilu, saat itulah Ia mulai menjalankan kekuasaan pemerintahan dengan langkah menghancurkan lembaga-lembaga politik yang demokratis. Berupa lembaga politik dijadikan senjata politik untuk mengendalikan dan menghantam mereka yang berseberangan secara politik. Membeli media dan sektor swasta agar diam atau memihak kepadanya, serta mengubah aturan politik agar keseimbangan politik berubah menjadi merugikan lawan. Jadi inilah paradoks gawat yang harus dihadapi oleh sistem demokrasi.

Banyak upaya pemerintah berkuasa membajak demokrasi sehingga tampak “legal” dengan persetujuan lembaga legislatif dan diterima lembaga yudikatif. Boleh jadi desain pencitraan, melalui upaya-upaya perbaikan demokrasi dengan membuat pengadilan lebih efesien, memerangi kejahatan dan korupsi, atau mendorong pemilu jujur dan adil.  Media massa terbit setiap saat, tapi sudah dibeli atau ditekan pihak pemerintah sehingga menyensor diri sendiri. Rakyat terus mengkritik pemerintah tapi lantas menghadapi kriminalisasi. Jadilah masyarakat sebagian besar memilih jalan aman yakni apatis.

Pemerintahan dijalankan dalam sebuah skenario besar mempertahankan kekuasaan. Kritikan-kritikan berpotensi mengancam eksistensi kekuasaan lantas ditekan, dikriminalisasi dan diberangus dengan terlebih dahulu diajak masuk dalam lingkaran kekuasaan saling menguntungkan. Struktur kekuasaan lembaga negara dikuasai dengan cara mempergunakan otoritas mengisi dengan orang-orang loyal terhadap elit pemerintah. Pada sisi lain, jargon dan branding tentang pemerintahan demokratis, penegakan hukum dan perlindungan HAM terus disampaikan. Walau senyatanya berbeda, antara disampaikan dengan yang dilakukan pemerintah.

Ketahanan Demokrasi

Demokrasi sejatinya mampu mencari solusi untuk mendapatkan kebenaran relatif dan selalu dapat diperbaiki secara berkelanjutan. Jadi demokrasi berhadapan dengan realitas perubahan yang abadi. Maka solusi yang diambil demokrasi tidak selamanya berwajah lembut, tetapi sering berwajah sangar dan berwatak radikal. Demikian pula demokrasi yang tampil dengan sangar dan radikal, juga dapat dirubah menuju demokrasi berwajah humanis dengan menghargai dan menegakkan hak asasi manusia.

Solusi demokrasi yang secara terus-menerus diperbaharui, mengikuti dinamika yang ada dalam masyarakat mestinya berwajah humanis, meskipun tidak harus berwajah lembut. Artinya, demokrasi responsif menyerap aspirasi masyarakat menurut ukuran terminologi sosiologis, yang sudah terpatri dan diterima dalam hati sanubari rakyat. Itu pun dengan membuang jauh-jauh watak absolut dari nilai-nilai tersebut, dengan tetap melindungi golongan minoritas, yang mungkin mempunyai pola pikir dan pola hidup berbeda bahkan berlawanan.

Demokrasi harus selalu mencari solusi terhadap masalah rakyat, serumit apa pun masalah tersebut. Padangan ini sejalan dengan ikhtisar International IDEA bahwa demokrasi harus bisa menawarkan solusi bagi pengelolaan konflik tanpa kekerasan yang dapat merekonsiliasi perpecahan dan perselisihan di dalam masyarakat serta membentuk dasar bagi perdamaian berkelanjutan.[5] Karena itu, demokrasi harus dapat menemukan berbagai macam kompromi di antara pihak yang berseberangan. Walaupun para pihak itu, memiliki tujuan yang sama untuk kepentingan rakyat. Membiarkan suatu masalah rakyat tanpa solusi, akan bertentangan dengan sifat yang paling hakiki dari demokrasi. Dalam negara demokrasi, rakyat punya hak bahkan punya kekuatan.

Pertama, partisipasi masyarakat sipil. Keterlibatan warga negara dalam kerangka masyarakat sipil yang kuat sangat penting bagi ketahanan demokrasi. Adanya partisipasi masyarakat sipil turut menjadi kekuatan penyeimbang menjaga keutuhan demokrasi di tengah politik citra diri pemerintahan. Masyarakat sipil yang kuat membantu menciptakan kepercayaan mendasar bagi kelangsungan pemerintahan demokratis, melalui kritik konstruktif menguji kebijakan dasar. Jika komitmen masyarakat sipil terhadap tumbuh-kembangnya demokrasi, diikuti kontribusi menjaga gagasan ideal dan esensial demokrasi itu, kendati mendapat tekanan terorganisir dari pemerintahan otoriter, pada hakikatnya di sanalah kekuatan dan ketahanan demokrasi.

Kedua, kemandirian lembaga negara. Lembaga negara memiliki tugas dan kewenangan sesuai konsensus kodifikasi peraturan perundang-undangan. Ciri khas demokrasi, menempatkan kekuasaan pemerintah yang terbatas dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negara. Secara teknis, kekuasaan negara dibagi sedemikian rupa kepada beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan kekuasaan pada satu tangan atau badan saja. Metode ini dilakukan agar tercipta kekuatan saling kontrol dan mengimbangi antar masing-masing orang, badan atau lembaga negara. Dengan metode ini, penyalahgunaan kekuasaan melanggar hukum dan hak asasi manusia dapat diperkecil. Apalagi dengan dukungan dan kolaborasi masyarakat sipil dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dalam bingkai rechstaat atau rule of law.

Ketiga, penegakan hukum yang menjamin keadilan dan hak asasi manusia. Kekuasaan yudisial dalam proses penegakan hukum tidak tunduk terhadap kepentingan sektoral penguasa dan pengusaha. Penegakan hukum diarahkan pada pencapaian keadilan dan kebahagiaan umat manusia dengan tetap memperhatikan aspek kepastian hukum. Hukum ditegakkan oleh struktur penegak hukum berintegritas dan profesional kendati berhadapan dengan kepentingan pragmatis kekuasaan dan pengusaha. Struktur penegak hukum yang menjalan fungsi badan yudisial dapat saja silih-berganti, akan tetapi semangat dan komitmen luhur penegakan hukum sejatinya membudaya dan terpatri kuat dalam sanubari aparat hukum.

Keempat, profesionalitas media massa menyatakan pendapat. Media merupakan pilar demokrasi penyambung aspirasi dan kepentingan mendesak publik. Mencapai pemerintahan demokratis, ditentukan peran media massa dalam menyampaikan secara kontinyu pesan dan harapan kepada masyarakat sebagai upaya pemulihan krisis dan mengatasi keterpurukan sosial. Media harus berani menyampaikan fakta dan opini kepada pemerintah terutama yang berpengaruh terhadap aspek tatanan kehidupan sosial politik dan tidak terjebak dalam keberlanjutan politik identitas aktor pemimpin.

Penutup

Praktik kehidupan demokratis sering kali mengecoh, format politik kelihatannya demokratis tetapi dalam praktik ternyata berwujud otoriter. Terjadi ketimpangan dan ketidaksesuaian antara demokrasi normatif (das sollen) dengan demokrasi empirik (das sein). Keadaan ini membuat demokrasi selalu hangat dikaji, apalagi dalam desain aspek tujuan kehidupan bernegara dan menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tampilnya aktor pemimpin dalam periode tertentu yang dihasilkan lewat proses pemilu demokratis adalah cita-harapan rakyat pemilih. Namun sangat disayangkan, belakangan hari berbalik menjadi pemimpin otoriter dengan mencerabut prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Ini menjadi luka trauma bagi demokrasi sebagai sistem politik yang diagungkan. Mengapa tidak, prinsip dan nilai demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat menjadi dibatasi. Lembaga negara menjadi pelayan kekuasaan otoriter yang minim respon atas masalah sosial dan struktur pejabat lebih cenderung terus mempertahankan kekuasaannya. Penegakan hukum menjadi kehilangan arah idealitas, sangat tajam dan kuat ketika berhadapan dengan pelaku yang merupakan pihak dan pendukung dari lawan politik pemerintah. Bahkan aturan hukum (substansi) banyak diubah untuk kepentingan pemerintah dan merugikan pihak lawan politik.

Transformasi aktor pemimpin otoriter telah menjadi objek kajian di banyak negara, yang di satu sisi menumbuhkan semangat mempertahankan demokrasi. Pada sisi lain, menjadi kekuatan kritik kepada aktor pemimpin agar segera merefleksi diri akan tingkah membunuh demokrasi segera diakhiri dan penting menyadari kekuatan kedaulatan rakyat. Suatu saat rakyat akan bangkit menunjukkan kekuatan berdaulatnya, di tengah keterpurukan sosial yang terus menggejala dan menghantarkan aktor pemimpin otoriter pembunuh prinsip demokrasi ke gerbang kehinaan zaman.


Catatan Kaki:

[1] Penulis adalah Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah periode 2017-2022.
[2] Syamsuddin Haris dalam Topo Santoso dan Ida Budhiarti, 2019, Pemilu Di Indonesia; Kelembagaan, Pelaksanaan dan Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10-11.
[3] Munir Fuady, 2010, Konsep Negara Demokrasi, Rafika Aditama, Bandung, hlm. 26.
[4] Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt, 2018, Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 11-12.
[5] International IDEA, 2017, Mengkaji Ketahanan Demokrasi, International IDEA dan Perludem, Jakarta, hlm. 10.


Materi pdf : Matinya Demokrasi