Belum usai duka bencana gempa bumi di Lombok-NTB, menyusul lagi bencana alam di Provinsi Sulteng, berupa gempa bumi, tsunami dan liquifaksi yang terjadi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong. Bahkan di penghujung tahun 2018, kembali kita dikejutkan dengan bencana tsunami di wilayah Selat Sunda. Korban jiwa berjatuhan, kehilangan keluarga dan harta benda terus saja kita alami.
Gerak cepat penanggulangan bencana para pihak terus mengalir, terutama Pemerintah, Lembaga kemanusian, dan Perusahaan dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada korban bencana. Paling tidak, pertolongan pertama di masa-masa krisis pasca bencana. Kehadiran dan empati sosial terus mengalir, seraya memaknai kejadian tersebut sebagai cobaan sekaligus azab kepada makhluk di muka bumi.
Dari rentetan kejadian bencana alam ini, telah mendorong rasa kesetia-kawanan sosial dan empati masyarakat, untuk turut-serta membantu. Sekat-sekat golongan tidak nampak, menjadi rasa persaudaraan sesama umat manusia. Dan, itu terlihat jelas di masa tanggap darurat dan rehabilitasi wilayah bencana. Banyak pihak dengan keinginan sendiri, memberikan bantuan tenaga dan materi untuk meringankan derita korban, terpatri dalam hati keperihan dan duka korban, yang berusaha diringankan.
Itulah sekilas catatan di penghujung tahun 2018 yang tidak akan pernah terlupakan, terkhusus mereka yang menjadi korban dan relawan di wilayah bencana. Selanjutnya, menjalani kehidupan di tahun baru, tahun 2019, lekat diingatan kita adalah tahun politik untuk pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden beserta calon anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota).
Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah telah menetapkan pelaksanaan hari pemungutan suara pada tanggal 17 April 2019. Termasuk di wilayah yang terdampak bencana tidak ada perubahan hari pemungutan suara, tetap pada hari tersebut. Walaupun beberapa kebijakan strategis lantas ditetapkan untuk mengantisipasi kondisi-kondisi yang tidak normal ini. Misalnya dalam penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), sebagai akibat banyak warga yang meninggal dunia atau status hilang. Ditambah lagi dengan eksodus pengungsi ke luar daerah bencana sampai mengungsi ke wilayah Provinsi sekitar.
Masalah lain, relokasi pengungsi pada hunian-hunian sementara/tetap yang dapat mempengaruhi kebijakan penetapan Daerah Pemilihan (Dapil) dan penempatan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jika relokasi pada wilayah Dapil yang sama tentu besar-kemungkinan tidak ada permasalahan, tinggal penempatan TPS di wilayah relokasi tersebut. Namun yang perlu diantisipasi adalah, jika relokasi masyarakat ditempatkan pada wilayah yang berada di luar Dapil alamat Pemilih sebelumnya, bercampur baur dengan Pemilih yang lebih dahulu bermukim disitu. Mereka terancam tidak dapat menggunakan hak suaranya.
Perlindungan Hak Konstitusional Pemilih
Warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dan tercatat sebagai Pemilih, memiliki hak konstitusional untuk menyalurkan hak suaranya dalam Pemilu 2019. Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu harus memberikan dukungan dan perlindungan agar hak konstitusional Pemilih tadi dapat tersalurkan dengan baik dan dilaksanakan tanpa diskriminatif. Termasuk Pemilih yang menjadi korban bencana alam, yang mereka saat ini di relokasi dan menempati hunian-hunian sementara bantuan para pihak.
Bencana adalah ketetapan sang Pencipta, tidak ada kekuatan yang dapat mencegah dan mengetahui kapan kedatangannya. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah prediksi dan berdoa agar terhindar dari mala-petaka bencana yang selalu mengintai. Dan, Pemilu sebagai kontestasi dalam kehidupan bernegara juga harus terlaksana, dan dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia termasuk di NTB, Sulteng, dan wilayah sekitar Selat Sunda yang mengalami bencana.
Secara praktis tidak mudah menghilangkan trauma masyarakat yang menjadi korban bencana. Awalnya mereka memiliki keluarga, lantas kehilangan anggota keluarga. Awalnya mereka memiliki tempat tinggal yang nyaman, lantas menempati hunian-hunian sederhana. Awalnya mereka memiliki pekerjaan, lantas habis terlibas bencana.
Tetapi dengan pendekatan dan metode yang tepat, pemulihan psikologi dan semangat untuk bangkit perlu terus digelorakan dan diupayakan oleh semua pihak. Termasuk dalam hal ini, disela-sela pemulihan sosial agar dititipkan informasi Pemilu, bahwa kita akan menyelenggarakan pesta demokrasi yang hanya dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali yakni Pemilu serentak tahun 2019. Dengan pendekatan dan metode yang tepat, disela-sela aktifitas pemulihan dan semangat untuk bangkit, akan muncul kesadaran untuk bersama-sama menyukseskan dan berpartisipasi dalam pelaksanaan pesta demokrasi ini.
Perlu kesadaran dan semangat terus-menerus, bahwa suara milik Pemilih sangat berharga dan menentukan tampuk kepemimpinan nasional dan daerah mendatang. Kita menginginkan lahir Pemimpin yang berintegritas dan berlaku adil dalam memimpin, Pemimpin yang berjuang untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dan, semua itu dapat tercapai dengan partisipasi masyarakat datang ke TPS untuk menyalurkan hak suaranya, memilih calon terbaik yang telah ditetapkan sebagai peserta Pemilu. Dengan diikuti kesadaran mendukung proses Pemilu yang jujur dan adil, mencegah segala bentuk pelanggaran, dan melaporkan kepada pihak berwenang untuk penindakan atas pelanggaran Pemilu.
Upaya ini terkait dengan perlindungan hak konstitusional Pemilih sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), yakni hak yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia semata-mata karena Ia manusia yang bermartabat, sekalipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. Hak ini tidak boleh dilanggar, dicabut, atau dikurangi. Hak ini adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak kodrati kepada setiap manusia.
Negara dalam menjalankan tugasnya harus melindungi hak asasi dari setiap warga negara. Produk hukum yang dibuat oleh negara dalam menjalankan tugasnya juga harus melindungi dan menjamin penegakannya. Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai Pemilih harus terfasilitasi dengan baik untuk menyalurkan hak pilihnya. Dan, Penyelenggara Pemilu bersama Pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan agar hak pilih warga negara itu dapat tersalurkan dengan adil tanpa diskriminasi.
Strategi Perlindungan
Esensi Pemilu di negara demokrasi adalah mendorong dan melindungi partisipasi seluruh lapisan masyarakat, dimulai dengan jaminan kebebasan dalam menggunakan hak pilih secara demokratis. Maka dari itu, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Bawaslu dituntut untuk pro-aktif dalam mengidentifikasi dan memantau hambatan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Dengan kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah bencana, terkhusus di lokasi hunian-hunian sementara/tetap, Penyelenggara Pemilu perlu merumuskan kebijakan untuk mengatasi masalah ini dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, khususnya memudahkan Pemilih untuk menggunakan hak politiknya dalam Pemilu tahun 2019.
Bentuk kebijakan tersebut, Pertama, sinkronisasi data kependudukan. Pasca bencana, banyak masyarakat yang tidak ingin lagi bermukim di daerah rawan bencana utamanya rawan liquifaksi berdasarkan data Pemerintah. Mereka lantas mencari tempat hunian baru yang lebih aman dari bencana, misalnya aman dari bencana tsunami dan liquifaksi tentunya. Perpindahan masyarakat ini, dapat mengubah data kependudukan, selanjutnya dapat mempengaruhi akurasi DPT yang telah ditetapkan sebelumnya.
Di samping itu, ada juga masyarakat yang ingin menjadi penduduk di wilayah bencana yang secara faktual wilayah tersebut menjadi tempat terjadinya bencana, liquifaksi. Motivasinya pragmatis, mengejar bantuan kemanusian yang diperuntukkan bagi masyarakat korban bencana liquifaksi, misalnya di Petobo (Palu), dan Jono Oge (Sigi). Ini perlu dicegah.
Sehingga, Pemerintah yang mengelola data kependudukan perlu selektif mengambil langkah dan kebijakan. Perlu dipertimbangkan, agar elemen data kependudukan masyarakat di wilayah terdampak langsung bencana agar tidak diubah data alamatnya (Misal, dari atau ke alamat Petobo). Elemen data lainnya dapat saja berubah, tetapi elemen data alamat untuk dipertimbangkan, tidak diubah sampai dengan selesai tahapan Pemilu tahun 2019. Sebab jika banyak penduduk yang elemen data kependudukan yakni alamat berubah dapat mengubah kebijakan penetapan Dapil dan penempatan TPS nantinya.
Kedua, penempatan TPS di sekitar wilayah hunian. Pemerintah Daerah telah menetapkan kebijakan untuk masyarakat terdampak langsung bencana di relokasi ke wilayah-wilayah yang relatif aman. Tujuannya, untuk memudahkan kontrol, koordinasi dan penyaluran bantuan kemanusian.
Penyelenggara Pemilu dalam penempatan TPS di wilayah bencana tentu harus memperhatikan domisili sesuai identitas kependuduk masyarakat yang bermukim di hunian-hunian sementara/tetap itu. Artinya, sangat memungkinkan kebijakan khusus berdasarkan data yang akurat untuk diambil langkah penambahan TPS-TPS di wilayah relokasi pengungsi tadi. Yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian Dapil dengan penempatan jumlah TPS yang akan dibangun.
Sekali lagi, semua berawal dari ketersediaan data akurat. Masyarakat yang menempati wilayah-wilayah pengungsi (relokasi) harus dipastikan keberadaannya, Ia sebelumnya tercatat di alamat mana atau TPS mana ?, untuk diambil langkah kebijakan penempatan TPS baru. Termasuk, antisipasi bagaimana penempatan TPS di sekitar hunian sementara/tetap pengungsi yang lokasinya berada di luar dari wilayah Dapil.
Ketiga, maksimalisasi kegiatan sosialisasi urgensi Pemilu. Secara psikologis, masyarakat di wilayah bencana tidak mudah menghilangkan trauma dan ketakutan. Tetapi penyelenggaraan Pemilu juga tidak bisa menunggu, Pemilu tetap dilaksanakan sesuai tahapan. Sehingga stekeholders Pemilu perlu mengambil peran strategis dalam sosialisasi kepada masyarakat di wilayah hunian-hunian sementara/tetap pengungsi.
Metode yang digunakan tidak serta merta radikal, langsung masuk menjelaskan urgensi Pemilu. Perlu ada pendekatan emosional-kultural, yang dapat diterima oleh masyarakat pengungsi tadi. Ketika sudah tersentuh kesadarannya, Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemerintah sudah diterima dengan baik, selanjutnya pendataan dan sosialisasi urgensi Pemilu dapat dilakukan dengan berbagai macam pola-metode. Upaya-upaya konkrit senantiasa perlu dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu, sebab tidak ada jaminan hasil Pemilu ini tidak ada yang mempersoalkan, apalagi jika selisih perolehan suara tipis, maka cenderung akan di gugat di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah perlu terus mengagendakan program dan kegiatan yang dikhususkan melindungi hak konstitusional Pemilih di wilayah bencana, yang dapat beriringan dengan upaya meningkatkan partisipasi Pemilih sebagai ukuran proses keberhasilan Pemilu.
Catatan : Opini, pernah dimuat di Harian Sulteng Raya, Edisi 3 Januari 2019
[sdm_download id=”671″ fancy=”0″] [sdm_download_counter id=”671″]